• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 106-109)

dari Perlawanan Balik sampai Pembuktian  Terbalik 

Akun salah satu media sosial twitter Ketua PPATK seolah menyalakan alarm tanda bahaya pada 12 Agustus 2010. Melalui media sosial itu, ia menulis: “Dalam pembahasan RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, ada kabar burung bahwa Sebag Anggota DPR masuk angin. Mudah-mudahan, info ini tidak benar.”

Informasi singkat itu menggambarkan proses tegang dan genting yang sedang terjadi dalam diskusi Tim Perumus RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Informasi itu mengkonfirmasi kabar adanya upaya dari beberapa fraksi di DPR yang berusaha menjegal beberapa perubahan dalam RUU PPTPPU. Usaha itu mengarah pada pelemahan kewenangan KPK dalam pengusutan pidana pencucian uang yang lahir dari kasus korupsi.

Hal tersebut tentunya menjadi kabar yang mengkhawatirkan. Apalagi, kasus tindak pidana pencucian uang sangat sering terkait erat dengan kasus korupsi.

Kewenangan KPK untuk menyidik kasus pidana pencucian uang juga selaras dengan Pasal 6 huruf b UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam peraturan itu, diberikan kewenangan kepada Pengadilan Tipikor untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi.

Perlawanan Balik?

Ada empat fraksi yang ramai diberitakan berupaya menjegal RUU PPTPPU, yaitu FPG, FPDIP, FPPP, dan Fraksi Hanura (republika.co.id, diakses pada 23 Februari 20110. Poin utama upaya penjegalan itu berbentuk penolakan atas kewenangan KPK untuk menyidik dan memeriksa Laporan Hasil Analisis (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Empat fraksi itu berupaya mempertahankan dominasi kewenangan Polri dan Kejaksaan dalam pengusutan kasus pidana pencucian uang. KPK dianggap tidak berwenang karena lembaga ad hoc, bukan lembaga permanen, seperti Kejaksaan dan Kepolisian (korantempo.com, diakses pada 23 Februari 2011).

Satu hal lain yang juga menjadi perdebatan ialah pemberian kewenangan kepada PPATK untuk memblokir rekening bank yang dinilai mencurigakan. Hal itu juga ditentang keras di DPR. Salah satu orang yang menentang adalah Ahmad Yani dari FPPP. Alasannya adalah pemblokiran merupakan kewenangan penegak hukum, sementara PPATK bukanlah lembaga penegak hukum. Secara terbuka, Anggota FPG Bambang Soesatyo menuduh FPD yang merupakan partai pemerintah bermaksud menjadikan PPATK sebagai alat menyerang lawan-lawan politiknya (detiknews.com, diakses pada 23 Februari 2011).

Selain prosesnya yang tertutup, pembahasan juga sempat diwarnai isu adanya suap. Beredar isu bahwa ada dana sejumlah Rp5 miliar untuk mendukung proses penjegalan. Isu suap itu terangkat pada 21 Agustus 2010 di Hotel Novotel Bogor. Saat itu, awalnya, Tim Perumus mengagendakan proses pembahasan pemantapan bahasa. Kemudian, secara mendadak, mereka melakukan pembahasan perubahan draf yang sudah disepakati di Panja mengenai kewenangan KPK dalam pengusutan pidana pencucian uang. Hal itu bertentangan dengan Tata Tertib DPR yang diatur dalam Peraturan DPR-RI No.1/DPR RI/I/2009. Pasal 145 Tata Tertib menyatakan bahwa Tim Perumus bertugas merumuskan materi sesuai keputusan Rapat Panja.

Isu suap tersebut dibantah oleh Bambang Soesatyo dari FPG yang juga Anggota Tim Perumus Panja RUU PPTPPU (kompas.com, diakses pada 23 Februari 2011).Anggota Panja yang lain, Didi Irawadi, mengaku sempat juga mendengar isu itu. Didi mengharapkan persoalan itu diselidiki dan diusut agar menjadi lebih jelas (detiknews.com, diakses pada 23 Februari 2011). Akan tetapi, isu itu tidak dilanjutkan

dengan tindakan apa pun, baik dari DPR ataupun aparat penegak hukum yang menanganinya.

Setelah melalui proses yang alot, UU tersebut akhirnya disahkan. Pada 18 Februari 2010, presiden menyampaikannya kepada DPR. Akhirnya, pada 5 Oktober 2010, Rapat Paripurna yang dihadiri 370 orang Anggota DPR mengesahkan RUU PPTPPU menjadi UU. Saat itu, UU telah diberi nomor dan menjadi UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Penyidikan tindak pidana pencucian uang akhirnya diputuskan bisa dilakukan oleh penyidik pidana asal (Pasal 74 UU PPTPPU). Selaku penyidik pidana asal (Polri dan Kejaksaan), KPK, BNN, Dirjen Pajak, dan Dirjen Bea Cukai diberikan juga kewenangan itu. Selain itu, PPATK diberi kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi yang mencurigakan terkait pidana pencucian uang (Pasal 65 UU PPTPPU). Adapun, perintah pemblokiran hanya dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana (Pasal 71 UU PPTPPU).

Pembuktian Terbalik

Satu hal lain yang menarik dalam penerapan UU tersebut ialah pembuktian terbalik. Pasal 77 UU PPTPPU mengatur bahwa,”Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.

Pembuktian terbalik tersebut langsung diterapkan dalam kasus Bahasyim Assifie di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis Hakim memvonis Bahasyim dengan 10 tahun penjara atas tindak pidana korupsi dan pidana pencucian uang.

Bahasyim dinilai tidak berhasil membuktikan kekayaannya sebesar Rp64 miliar bukan merupakan hasil tindak pidana.

Hal tersebut merupakan suatu terobosan hukum yang sangat baik.

Mekanisme pembuktian terbalik itu diterapkan pertama kalinya di Indonesia. Lebih dari itu, Majelis Hakim juga membuat terobosan dengan menerapkan pembuktian terbalik tanpa perlu membuktikan pidana asal atau predicate crime-nya.

Terobosan hukum tersebut memberi harapan dalam pemberantasan pidana pencucian uang di Indonesia, termasuk harapan atas penegakan UU PPTPPU.

Walaupun berawal dengan proses pembahasan yang alot, beberapa terobosan dalam UU PPTPPU dapat digunakan secara nyata dalam penegakan hukum.

Sejak upaya rekayasa kasus kriminalisasi pimpinan KPK—yang dikenal dengan kasus Cicak vs Buaya—gerakan perlawanan balik dari koruptor (corruptors fight back) semakin nyata. Tidak hanya di ruang persidangan, perlawanan balik dari barisan koruptor juga masuk dalam ruang-ruang pembahasan legislasi. Gerakan itu akan terus berupaya menjegal berbagai terobosan yang mempersempit ruang gerak para koruptor. Oleh karena itu, terobosan hukum dalam kasus Bahasyim tersebut harus diapresiasi. Penting untuk bisa membalas balik perlawanan para koruptor.

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 106-109)