• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik:

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 127-131)

H.  UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman: Pertanyaan

I. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik:

Pemenuhan Janji  

Satu dekade telah berlalu sejak pemilu pertama di alam reformasi. Ketiga pemilu pada 1999, 2004, dan 2009 selalu didahului dengan penyusunan peraturan terkait partai politik sebagai peserta pemilu. Dengan demikian, dalam sebelas tahun terakhir, negara ini telah memiliki tiga UU Partai Politik yang terbit pada 1999, 2002, dan 2008.

Akhir 2010 menjadi babak baru bagi para peserta pemilu di Indonesia. Tanpa hiruk-pikuk, DPR mengesahkan RUU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menjadi UU dalam Rapat Paripurna, 16 Desember 2010.

Peraturan baru yang akan menjadi dasar berpijak partai-partai politik dalam menghadapi pemilu 2014 itu tuntas melalui masa perdebatan selama tiga pekan, waktu yang terbilang singkat untuk membahas UU yang vital bagi kehidupan politik bangsa (Suara Pembaruan, 17 Desember 2010).

Berdasarkan pendapat akhir kesembilan fraksi di DPR58, terlihat bahwa tak ada adu argumentasi sengit yang muncul selama masa pembahasan. Fraksi Partai

57 Komentar Umum No. 4 Pasal 11 ayat 1 Konvensi Internasional Hak – Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.

58 Pendapat akhir mini fraksi adalah pernyataan sikap resmi tertulis setiap fraksi terhadap suatu RUU. Pendapat akhir mini disampaikan oleh perwakilan fraksi masing-masing dalam rapat terakhir

Gerindra memberikan sedikit catatan tanpa disertai maksud dan tujuan penyampaian catatan itu. Tak jauh berbeda, FPKS menyarankan sejumlah penambahan redaksional pada beberapa pasal yang secara substansial merupakan perubahan yang bersifat tidak fundamental. Sementara itu, ketujuh fraksi lain memiliki sikap yang relatif seragam, yaitu memberikan apresiasi positif terhadap berjalannya proses penyusunan RUU. Secara khusus, FPDIP menyampaikan keutamaan revisi UU Partai Politik yang telah mengembalikan semangat pendirian partai politik sebagai perkumpulan orang dengan tidak memasukkan ketentuan tentang syarat jumlah uang tertentu dalam rekening awal pendirian partai politik.59 Pengetatan untuk Penyederhanaan

Dari sisi substansi, berbagai perubahan mendasar dilakukan terhadap UU Partai Politik yang terdiri atas 53 pasal itu. Terdapat 18 pasal perubahan dalam revisi UU itu, baik berupa penambahan sebagian ayat maupun pergantian keseluruhan bunyi pasal. Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap membagi kedelapan-belas pasal perubahan itu menjadi beberapa ketentuan seputar bermacam hal, yaitu:

1. pembentukan partai politik;

2. kepengurusan partai politik dan persyaratan rekening/dana awal;

3. tata cara perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai politik;

4. rekrutmen politik;

5. penyelesaian perselisihan partai politik;

6. bantuan keuangan partai politik;

7. sumbangan kepada partai politik;

8. pengelolaan keuangan partai politik yang bersumber dari sumbangan; dan 9. aturan peralihan partai politik.

Mulusnya perjalanan sembilan butir perubahan tersebut menjadi UU tak lepas dari kesepahaman sikap antara DPR dan pemerintah. Kedua lembaga itu menyadari bahwa pemilu perlu disederhanakan dan pembatasan pendirian partai politik baru menjadi salah satu jalannya. Hal itu tergambar pada sebagian substansi yang menonjol dalam UU perubahan ini. Pengetatan syarat pendirian partai politik baru, antara lain, termuat dalam perubahan pasal 2. Melalui UU itu, partai politik hanya dapat didirikan oleh minimal 30 warga negara Indonesia dari setiap provinsi.

Sejalan dengan itu, perubahan pasal 3 menentukan bahwa partai politik yang ingin disahkan menjadi badan hukum harus sudah memiliki kepengurusan di seluruh provinsi.

Kedua perubahan tersebut dipastikan akan mengerdilkan peluang munculnya partai politik baru. Kurun waktu yang kurang dari tiga tahun menjelang pemilu 2014 kecil kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh partai politik yang baru berdiri untuk membangun jaringan—apalagi struktur kepengurusan—di 100%

provinsi di Indonesia. Sebaliknya, hal itu menguntungkan bagi partai-partai politik

Pembicaraan Tingkat I di hadapan seluruh Anggota Komisi atau Panitia Khusus (Pansus)—sesuai alat kelengkapan yang bertugas membahas RUU itu.

59 Pada masa awal pembahasan, DPR dan pemerintah sempat mengangkat usul pencantuman syarat dana simpanan minimal Rp100 juta bagi partai politik yang ingin disahkan menjadi badan hukum (Investor Daily, 1 Desember 2010).

yang telah memiliki kursi di DPR sekaligus menjelma menjadi nationwide organisation60 (Muhtadi, 2010). Pembatasan munculnya kompetitor baru dalam pemilu 2014 juga jelas terlihat dari ketentuan verifikasi (pasal 51 ayat (1a)).

Ketentuan itu menyebutkan bahwa verifikasi atas partai politik baru harus tuntas paling lambat dua tahun enam bulan sebelum hari pemungutan suara pemilu.

Pencantuman syarat ketat pembentukan partai politik dalam revisi UU Partai Politik dapat dilihat sebagai usaha untuk memperkuat kelembagaan partai politik.

Akan tetapi, hal itu tidak diikuti dengan upaya pengetatan mekanisme pertanggungjawaban keuangan partai politik. Pasal 34 A ayat (1), misalnya, hanya mewajibkan partai politik untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban aliran dana yang bersumber dari bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD). Padahal, publik seharusnya diberi keleluasaan mengakses informasi seputar aktivitas keuangan partai politik, tidak hanya yang berasal dari uang negara atau daerah, tetapi juga sumbangan yang berasal dari sumber-sumber lain.

Bahaya Donasi Tak Bertuan

Lemahnya mekanisme yang menjamin akses publik terhadap laporan keuangan partai politik juga berpeluang menjadi celah bagi pengusaha besar untuk berdiri di belakang partai politik tanpa perlu terlibat dalam politik praktis. Apalagi, ketentuan yang baru telah menaikkan batas maksimal sumbangan per perusahaan atau badan usaha, dari Rp4 miliar menjadi Rp7,5 miliar. Tanpa adanya kejelasan identitas pemberi donasi, partai politik rentan dikuasai oleh pemilik kapital (Muhtadi, 2010). Kondisi demikian dikhawatirkan mempersempit makna pemilu sebagai sarana demokrasi, dari proses pemilihan wakil rakyat menjadi sekadar ajang pertarungan antarpemodal.

Sejarah kelam telah tercatat ketika kasus penyelamatan Bank Century dikaitkan dengan keterlibatan Partai Demokrat sebagai salah satu peserta pemilu 2009—yang akhirnya menjadi pemenang. Kecurigaan mengenai mengalirnya dana talangan Bank Century ke kas Partai Demokrat terus mengganggu publik (Rosari, 2010, 41). Kegusaran itu seharusnya tak perlu terjadi apabila UU Partai Politik mewajibkan setiap partai politik untuk membuka laporan keuangannya—termasuk yang menjelaskan sumber dana dan alokasi penggunaannya—kepada publik. Pasal 38 UU Partai Politik memungkinkan laporan penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik terbuka untuk diketahui masyarakat. Namun, tak ada satu pasal pun yang mengatur mekanisme tertentu untuk memudahkan publik mengakses laporan keuangan sekaligus menjamin terlaksananya transparansi keuangan partai politik. Tidak adanya penyempurnaan aturan terkait transparansi keuangan dalam revisi UU Partai Politik pun akhirnya tetap membuka peluang munculnya donasi tak bertuan yang berujung pada perkara.

Bantuan keuangan dari APBN/APBD—yang diberikan secara proporsional kepada partai politik pemegang kursi DPR dan DPRD—sendiri dialokasikan khusus untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai politik dan masyarakat.

Perlakuan istimewa negara kepada partai politik melalui alokasi penggunaan

60 Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi, revisi UU Partai Politik terkesan memaknai partai politik sebagai nationwide organisation. Partai politik yang hanya kuat di daerah tertentu sulit berkompetisi di level nasional.

APBN/APBD itu harus diakui sebagai bentuk dorongan bagi partai politik untuk melaksanakan fungsi yang melekat pada dirinya, yaitu memberikan pendidikan politik kepada publik. Namun, dengan menggunakan perspektif yang berbeda, publik sebaliknya patut bertanya mengapa partai politik perlu dipaksa oleh negara untuk melaksanakan fungsi yang sudah menjadi tanggung jawabnya.61 Muhtadi menilai, diaturnya alokasi keuangan khusus untuk pendidikan politik terkesan sebagai proyek untuk menjustifikasi bantuan keuangan dari APBN/APBD untuk partai politik (2010).

Berbagai ketentuan dalam revisi UU Partai Politik menunjukkan adanya kecenderungan kuat untuk melembagakan berbagai sistem yang telah ada. Karakter itu kembali diperlihatkan melalui pengaturan mengenai penyelesaian perselisihan internal partai politik. UU No. 2 Tahun 2008 menyerahkan penyelesaian sengketa internal itu langsung pada putusan pengadilan negeri sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir—dengan upaya hukum kasasi ke MA. Sementara itu, UU perubahan memperkenalkan mekanisme perselisihan internal partai politik melalui lembaga mahkamah partai politik. Walau tidak dimaksudkan untuk menjadi lembaga yudikatif baru, mahkamah partai politik memiliki kewenangan

“mengadili” sengketa internal partai politik, yang biasanya terjadi akibat dualisme kepengurusan, perebutan hak antarcalon-legislatif (caleg), dan perselisihan hak antarbakal-calon-kepala-daerah.

Revisi UU Partai Politik menentukan bahwa mahkamah tersebut dibentuk sendiri oleh partai politik dan disampaikan kepada Kemhukham. Proses persidangan harus diselesaikan oleh mahkamah dalam waktu maksimal 60 hari dengan putusan yang bersifat final dan mengikat dalam hal yang berkenaan dengan kepengurusan (Pasal 32). Uniknya, mekanisme itu tetap membuka peluang deadlock.

Bila proses penyelesaian sengketa terhenti pada kondisi deadlock, proses peradilan di pengadilan negeri menjadi jalan keluar yang disediakan. Tak berbeda dengan ketentuan yang lama, UU baru itu memberikan waktu 60 hari kepada pengadilan negeri untuk menjatuhkan putusan tingkat pertama dan terakhir serta 30 hari bagi MA apabila putusan dikasasi.

Mengadili dengan Oligarki

Keberadaan mahkamah partai politik, menurut Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar N. Gumay, hanya sesuai digunakan untuk sengketa antarkepengurusan-partai-politik dengan syarat adanya kejelasan aturan hukum acara di AD/ART partai politik. Gumay (2010) berpendapat bahwa mahkamah itu tak seharusnya diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa internal partai politik dalam hal perselisihan antarcaleg yang berhak mendapatkan kursi di parlemen. Sistem pemilu di Indonesia mengenal pembedaan antara suara partai politik dan suara caleg sehingga menyerahkan perselisihan suara antarcaleg kepada partai politik berpotensi merugikan hak caleg.

61 Kondisi serupa ditemukan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 UU itu mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial lingkungan. Padahal, prinsip pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) adalah sukarela (volunteerism). Secara ideal, kewajiban itu telah melekat dalam diri perusahaan sehingga tidak dibutuhkan adanya kekuasaan (negara) yang memerintahkan perusahaan melaksanakan tanggung jawab itu.

Kekhawatiran munculnya oligarki di dalam tubuh partai politik itulah yang menjadi alasan utama Gumay untuk lebih setuju mempercayakan kewenangan penyelesaian sengketa internal partai politik kepada MK. Sebaliknya, Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo beralasan bahwa UU perlu memberikan kewenangan lebih kepada mahkamah partai politik mengingat—berdasarkan pengalaman dalam sengketa perselisihan hasil pemilu 2009—MK kerap menolak mengadili sengketa antarcaleg dalam suatu partai politik. Dalam berbagai putusannya, MK meminta agar partai politik terlebih dahulu menangani sengketa itu secara internal (hukumonline.com, 17 Desember 2010). Amanat pembentukan lembaga baru itu memang tak membebankan tanggung jawab baru pada negara, tetapi dampak yang lebih berbahaya bagi kehidupan demokrasi tetap menghantui apabila praktik oligarki itu benar-benar terjadi. Rakyat sebagai pemangku kepentingan di luar sistem pun lagi-lagi dibuat menunggu dalam kegelisahan.

Disahkannya UU Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 adalah langkah pertama DPR dalam memenuhi janjinya untuk melengkapi revisi paket UU bidang politik pada 2011. Namun, yang lebih penting daripada pemenuhan janji itu adalah publik masih menunggu pembenahan sistem pemilu yang menyeluruh melalui penataan peraturan yang terkait. Publik tak berharap DPR sekadar memperbaiki UU untuk menghadapi pemilu di hadapan, tetapi memimpikan pesta demokrasi yang siap menerima tamunya—rakyat pemilih—dengan penyelenggaraan yang apik sekaligus mampu menghasilkan representasi hati nurani masyarakat.

 

J. UU Pengesahan Perjanjian Internasional: DPR 

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 127-131)