• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi DPR dan KPK: Tenang Menimbun Dendam

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 41-44)

Relasi Anggota DPR—terutama Komisi III—untuk masa sidang 2009—2014 dengan KPK patut diberi perhatian. Tercatat, ketika kasus kriminalisasi Bibit-Chandra masih menyita headline media massa, salah satu inisiatif pertama Komisi III DPR adalah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Kapolri (waktu itu) Bambang Hendarso Danuri, Jaksa Agung (waktu itu) Hendarman Supandji. Kritik bagi DPR adalah pembedaan perlakuan. Ketika RDPU dengan KPK, rapat dilakukan secara tertutup, sedangkan RDPU bersama Kapolri-Jaksa Agung dilakukan secara terbuka. RDPU yang disiarkan secara langsung oleh televisi nasional itu menimbulkan kesan DPR berpihak kepada Kapolri-Jaksa Agung.

Padahal, DPR diharapkan mengambil sikap netral.

Contoh RDPU tersebut sekadar memberikan ilustrasi mengenai dinamika relasi yang berlangsung selama tahun 2010 antara DPR dan KPK. Ada dua hal yang perlu dijelaskan terkait relasi kedua lembaga itu. Pertama, mekanisme DPR dalam melaksanaan fungsi pengawasan dan anggaran terhadap KPK. Sementara itu, fungsi legislasi tidak dibahas karena tidak ada RUU yang dibahas oleh DPR dalam masa persidangan 2010 terkait KPK. Kedua, dinamika yang terjadi dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan anggaran serta cara memaknai relasi-dinamika antara KPK dan DPR selama 2010.

Fungsi Dewan sebagai Alat Tawar-menawar

Salah satu kasus yang sampai kini menjadi tunggakan KPK adalah Bank Century. Kasus itu tergolong kasus dengan bobot politik tinggi yang dianggap menyandera pemerintahan SBY-Boediono oleh sebagian pihak karena dugaan keterlibatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (waktu itu) dan Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia dalam melakukan bail-out terhadap Bank Century.

Seperti yang telah disebutkan pada bagian Tinjauan Umum, hasil voting Pansus

Century menyatakan adanya kejanggalan dan pelanggaran dalam pemberian bail-out terhadap Bank Century. Tindak lanjutnya adalah menugaskan aparat penegak hukum, Kepolisian, dan KPK untuk melakukan penyelidikan hukum terkait Century. Untuk mengawasi pelaksanaan pengusutan kasus oleh KPK dan Kejaksaan, DPR membentuk Tim Pengawas (Timwas) Century.

Dalam perjalanannya, DPR seolah menggunakan kasus Century sebagai alat untuk melaksanakan fungsi pengawasannya kepada KPK. Contohnya adalah pernyataan Wakil Ketua DPR Anis Matta (Kompas, 15 Maret 2010) bahwa perlu ada penalti berupa pemotongan anggaran bagi KPK bila tetap lamban menangani kasus Century. Meski pemotongan anggaran itu merupakan wacana, menurut Anis Matta, pilihan untuk memotong anggaran KPK adalah suatu kewajaran.

Dalam kesempatan lain, Komisi III melakukan rapat dengan KPK. Dalam rapat itu terungkap bahwa dokumen hasil Pansus Century ternyata belum diterima oleh KPK. Hal itu diungkapkan oleh pimpinan KPK Chandra M. Hamzah. Ketika Pimpinan Timwas Century Priyo Budi Santoso memastikan keberadaan dokumen itu kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR, ternyata dokumen yang dimaksud tidak dikirimkan kepada KPK, melainkan hanya dikirim kepada presiden.

Pemberantasan korupsi adalah salah satu tujuan utama pemerintahan SBY.

Akan tetapi, dua ilustrasi di atas justru memperlihatkan tidak adanya inisiatif yang tegas dari Anggota DPR untuk mempermudah KPK dalam menjalankan tugasnya.

DPR menekan KPK untuk menuntaskan penyelidikan Century. Namun, permintaan itu tidak diikuti dengan konsistensi untuk memantau lalu lintas informasi hasil penyelidikannya. Selain itu, wacana pemotongan anggaran KPK oleh DPR juga tidak mencerminkan semangat yang diusung oleh pemerintahan SBY.

Sementara itu, pernyataan pemotongan anggaran KPK oleh Anis Matta selaku Wakil Ketua DPR mendapat kritik keras dari beberapa pihak, seperti Sebastian Salang (Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi)) dan Burhan Muhtadi (Lembaga Survei Indonesia). Kritik itu memiliki benang merah yang sama bahwa Century bukanlah satu-satunya kasus yang harus ditangani KPK. Selain itu, KPK juga sudah membentuk sembilan tim khusus untuk menangani Century (Kompas, 17 Maret 2010).

Selain fungsi anggaran, DPR juga menjalankan fungsi pengawasannya terhadap KPK. Pada 2010, Komisi III DPR melakukan uji kelayakan untuk posisi Pimpinan KPK sebagai pengganti Antasari Azhar yang sudah divonis bersalah dalam kasus pembunuhan Nasrudin. Dalam perjalanannya, Pansel KPK berhasil memilih dua Calon Ketua KPK, yaitu Busyro Muqqodas dan Bambang Widjojanto.

Terjadi persilangan pendapat antara Pansel KPK dan Komisi III DPR mengenai rentang waktu masa jabatan pimpinan KPK. Pansel KPK bersikeras untuk menentukan masa jabatan selama empat tahun demi efektivitas masa kerja Pimpinan KPK. Sementara itu, Komisi III DPR juga bersikeras bahwa masa jabatan yang dimaksud hanya melanjutkan sisa waktu Antasari Azhar yang hanya satu tahun. Karena tidak ditemukan kesesuaian pendapat antara Pansel KPK dan Komisi III DPR, akhirnya diambil jalan tengah dengan melakukan konsultasi dengan Panja penyusunan RUU KPK. Keputusannya akhirnya adalah Ketua KPK yang baru terpilih menjalankan sisa masa jabatan Antasari Azhar sesuai dengan maksud dan tujuan Panitia Penyusun RUU KPK.

Soal tafsir Pasal 20 ayat 10 UU KPK No. 30 Tahun 2002, sebetulnya DPR dapat memilih untuk menyatakan bahwa sebaiknya Ketua KPK baru menjalankan empat

tahun masa jabatan daripada menjalani sisa masa jabatan Antasari Azhar. Akan tetapi, DPR tidak melakukannya. Dalam kesempatan lain, Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi DPR untuk memilih Ketua KPK dari calon yang diajukan oleh Pansel.

Penjelasan di atas menunjukkan beberapa peristiwa yang terlihat tidak bersambungan. Sebenarnya, ada benang merah tersendiri, yaitu tidak ada dukungan politis dari DPR untuk KPK.

Keberlanjutan Tekanan kepada KPK

Selama 2010, ada momen penting terkait KPK, yaitu penghargaan integrity award bagi Pimpinan KPK Chandra M. Hamzah yang diberikan oleh World Bank pada 8 Desember 2010. Kemudian, KPK juga mewakili Indonesia untuk terlibat bekerja sama dengan G20 dalam program antikorupsi.22

Dalam uji kepatutan dan kelayakan Pimpinan KPK, Anggota Komisi III DPR bertanya kepada Bambang Widjojanto sebagai salah satu Calon Pimpinan KPK tentang cara menjaga independensi dari bantuan asing. Pertanyaan itu kemudian dikaitkan dalam konteks harkat dan martabat bangsa. Pertanyaan yang cenderung bersifat normatif itu seharusnya dapat dipertajam dengan mengelaborasi pandangan Calon Pimpinan KPK mengenai bentuk kerja sama ideal dengan lembaga asing.

Selain itu, DPR juga bisa menanyakan keuntungan yang telah diperoleh KPK dari kerja sama yang selama ini belum terselenggara secara maksimal. Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya lebih relevan untuk ditanyakan mengingat kerja sama antara lembaga negara dan lembaga donor adalah salah satu skema pendanaan Pemerintah Indonesia.

Kerja sama KPK dan lembaga atau pemerintah asing sebenarnya berada di tangan DPR. Alasan yang mendasarinya adalah KPK membutuhkan DPR untuk melaksanakan fungsi legislasi dan pengawasannya. Sebagai contoh, KPK membutuhkan ratifikasi perjanjian internasional untuk ekstradisi dari Singapura ke Indonesia. Namun, DPR belum menemukan kesepakatan materi muatannya sejak 2007 (The Jakarta Globe, 31 Januari 2011). Selain itu, DPR juga dapat mengingatkan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemhukham) untuk pelaksanaannya.

Pertanyan yang dilontarkan dalam uji kepatutan dan kelayakan Pimpinan KPK tersebut mengindikasikan Anggota Komisi III DPR kurang—jika tidak mau mengatakan tidak—memiliki perspektif holistik mengenai bentuk kerja sama yang berlangsung antara KPK dan lembaga/pemerintah asing. Kurangnya perspektif mengenai peran KPK dan pemberantasan korupsi turut mewarnai dinamika perjalanan KPK dan DPR selanjutnya.

Dalam rapat-rapat antara KPK dan Komisi III DPR, sejumlah Anggota DPR mempertanyakan prosedur pemeriksaan KPK. Bahkan, DPR membahas perkara yang melibatkan sebagian Anggota DPR dalam forum-forum rapat dengan KPK.

Perilaku itu secara etis tidak bisa dibenarkan untuk dilakukan dalam ruang sidang DPR. Intinya, rapat DPR dan KPK sering kali dimanfaatkan sebagai ajang untuk

22 KPK menerima penghargaan Golden Standard Awards dari Public Affairs International, sebuah lembaga nirlaba yang berkedudukan di Hongkong.

menekan KPK dalam penyelesaian perkara tertentu. Kejadian itu sudah beberapa kali terjadi di DPR (Rodja, dkk, 2009).

Dengan demikian, selama 2010, dapat dikatakan relatif tidak terjadi peristiwa yang substansif antara KPK dan DPR. Namun, pola tekanan DPR terhadap KPK semakin terlihat. Semangat DPR terlihat bertentangan dengan pemberantasan korupsi. Hal itu terlihat dari permainan politik anggaran hingga hilangnya kepantasan dengan memberikan forum bagi tersangka kasus korupsi berbicara dalam Rapat DPR. DPR harus mempertimbangkan secara serius untuk merevisi Tata Tertib DPR dan mekanisme BK DPR untuk mengatur etika anggota berperilaku dalam rapat-rapat DPR.

D. Relasi MK dan DPR: Mengusung Pengawasan 

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 41-44)