• Tidak ada hasil yang ditemukan

Independensi Anggota dan Keterwakilan Perempuan

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 55-59)

Ada permasalahan klasik yang masih terpelihara di internal lembaga parlemen, yaitu belum maksimalnya independensi anggota dewan dalam mengambil keputusan dan isu keterwakilan perempuan. Kedua isu itu berpangkal pada satu kesamaan, yaitu hak. Independensi anggota dewan dalam menegakkan demokrasi dan mengutamakan kepentingan bangsa merupakan hak yang dilindungi oleh UU. Keterwakilan perempuan bahkan merupakan hak konstitusional, yaitu kedudukan warga negara sama di mata hukum tanpa mendiskriminasikan jenis kelamin, suku, ataupun golongan. Kedua hak itu pada kenyataannya masih belum tercermin di internal lembaga DPR.

Dipilih Langsung, Independensi Masih Terkungkung

Kasus bail out Century memang memegang peranan penting dalam melihat relasi antarfraksi, bahkan internal fraksi, di DPR. Suara partai yang tergabung dalam koalisi partai pemerintah terlihat pecah26. Hanya PAN dan PKB yang masih ”setia”

pada Partai Demokrat. Hal yang menarik adalah satu Anggota PKB, yakni Lily Chodidjah Wahid, memiliki suara yang berbeda dengan suara fraksinya. Akibat dari perbedaan sikapnya, satu hari setelah voting dilaksanakan, Ketua Umum PKB menyatakan sikap dengan mengeluarkan Surat Peringatan Pertama kepada Lily Chodidjah Wahid (detiknews.com, diakses pada 10 Januari 2011).

26 Lihat Tabel 1.

Preseden tersebut menggambarkan bahwa Anggota DPR yang meski sudah dipilih secara langsung dalam pemilu tidak serta-merta memiliki independensi penuh dalam pengambilan keputusan di DPR. Kekuatan fraksi masih sangat dominan dalam mengendalikan suara anggotanya dalam pelaksanaan fungsi anggaran, pengawasan, dan legislasi. Anggota yang ”membelot” dari fraksi akan diberikan peringatan tiga kali, bahkan bisa berakhir dengan pemecatan. Dengan demikian, letak independensi anggota yang dipilih secara langsung perlu dipertanyakan.

Pasal 69 ayat (1) UU MD3 menyebutkan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam ayat (2) ditegaskan, ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat; bukan representasi partai. Selain itu, salah satu kalimat dalam sumpah/janji yang terdapat dalam pasal 76 adalah ”saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan”.

Anggota DPR tentunya harus menyadari betul bahwa kedua pasal tersebut sudah menggambarkan adanya independensi untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara yang tidak bisa ditundukkan oleh kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan, termasuk fraksi sekali pun. Aturan internal dan tindakan partai mana pun yang membolehkan pemberian Surat Peringatan kepada anggotanya karena perbedaan sikap dengan fraksi merupakan tindakan yang tidak sesuai ketentuan pasal UU MD3.

Keberadaan fraksi memang sering kali mengungkung independensi dari anggota sebagai individu yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Di negara lain, konsep keberadaan fraksi justru tidak populer karena sesungguhnya sistem pemilihan langsung memberikan konsekuensi bahwa Anggota DPR memiliki tanggung jawab secara pribadi kepada masyarakat pemilihnya. Dengan demikian, dalam pengambilan keputusan, anggota memiliki hak secara penuh untuk menentukan pilihan sesuai dengan suara konstituennya. Partai lebih berfungsi sebagai kendaraan menuju parlemen, partai tidak memiliki kekuatan untuk

”menyetir” suara anggotanya. Untuk menjaga kualitas anggotanya, transparansi dan akuntabilitas menjadi hal yang utama sejak dari proses rekrutmen calon anggota legislatif hingga pertanggungjawabannya kepada masyarakat. Dalam hal itulah, partai memegang peran.

Banyak hal yang perlu dirombak jika Indonesia ingin mewujudkan sistem keterwakilan yang baik. Perbaikan tidak hanya dilakukan dalam sistem perwakilan saja, melainkan harus dilakukan dari sistem kepartaian dan sistem pemilu secara bersamaan. Dengan kondisi DPR yang sangat pragmatis dalam enam tahun belakangan, pengambilan keputusan berdasarkan fraksi melalui pandangan mini maupun pendapat akhir fraksi menjadi tidak relevan. Apalagi, fraksi juga sangat mengintervensi voting dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Perempuan Tidak Terwakili di Singgasana Pimpinan

Perjuangan atas kesetaraan perempuan di Indonesia tidak merupakan hal baru. Berdasarkan sejarahnya, hal itu telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda.

Pada masa itu, muncul pemimpin-pemimpin perempuan dan inisiator kesetaraan perempuan, seperti Martha Tiahahu, Cut Nyak Dien, Rasuna Said, dan R.A. Kartini.

Pangung politik pascakemerdekaan hingga kini memang masih didominasi oleh kaum laki-laki. Meskipun demikian, pascareformasi, perangkat hukum sudah diarahkan agar mengakomodasi keterwakilan perempuan, khususnya di lembaga perwakilan. Pada pemilu 2009, partai politik diwajibkan untuk memenuhi angka minimum 30% keterwakilan perempuan atas calon anggota legislatifnya (caleg).

Berikut hasil perolehan kursi pada pemilu 2009 berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 5 Perolehan Kursi pada Pemilu 2009 Berdasarkan Jenis Kelamin

Anggota No Urut

Partai Nama Partai

Perempuan Laki-laki 1 Partai Hati Nurani Rakyat 3 14 5 Partai Gerakan Indonesia

Raya 4 22

8 Partai Keadilan Sejahtera 3 54

9 Partai Amanat Nasional 7 39

13

Partai Kebangkitan

Bangsa 7 21

23 Partai Golongan Karya 18 88

24 Partai Persatuan

Pembangunan 5 33

28 Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan 17 77

31 Partai Demokrat 35 113

Sumber: Pemilu 2009 dalam Angka (KPU, 2009)

Meski setiap partai sudah memenuhi minimal 30% perempuan dari calon anggota legislatifnya, perolehan kursi perempuan yang didapat dari tiap parpol masih jauh di bawah 30%. Memang, tidak ada aturan yang memerintahkan partai harus memberikan kursi kepada perempuan dalam jumlah tertentu. Akan tetapi, untuk pemilihan pimpinan alat kelengkapan, UU MD3 telah mengamanatkan dengan kalimat ”memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi”.

Dalam Pasal 20 Peraturan Tata Tertib DPR, disebutkan bahwa DPR memiliki sebelas jenis alat kelengkapan. Ada alat kelengkapan yang bersifat permanen dan ada juga yang bersifat ad hoc atau sementara yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Alat kelengkapan permanen adalah Pimpinan DPR, tujuh badan27, dan sebelas komisi. Sementara itu, alat kelengkapan yang tidak permanen adalah Panitia Khusus dan alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh Rapat Paripurna. Komposisi Pimpinan DPR sudah jelas diatur dalam Pasal 83 UU MD3 dengan menempatkan anggota dari partai-partai pemenang pemilu. Pemenang pertama menduduki kursi ketua dan urutan kedua sampai dengan urutan kelima menduduki posisi wakil ketua. Akan tetapi, UU MD3 tidak mengatur untuk memperhatikan keterwakilan perempuan dalam posisi pimpinan dewan.

27 Badan Musyawarah, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan Kehormatan, Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, dan Badan Urusan Rumah Tangga.

Selain Pimpinan DPR, jumlah alat kelengkapan lain yang bersifat permanen menjadi 18 (tujuh badan dan sebelas komisi). Dari 18 alat kelengkapan, terdapat 69 kursi pimpinan. Berbeda dengan aturan mengenai komposisi Pimpinan DPR, UU MD3 mengamanatkan adanya keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Untuk melihat implementasinya, berikut komposisi keterwakilan perempuan dalam posisi pimpinan alat kelengkapan.

Tabel 6 Komposisi Keterwakilan Perempuan dalam Pemimpin Alat Kelengkapan

Pimpinan Alat Kelengkapan

Sumber: Diolah dari Data Pimpinan Alat Kelengkapan DPR 2009

Perempuan pada posisi pimpinan alat kelengkapan hanya terwakili dengan menduduki tujuh kursi dari 69 kursi pimpinan. Komposisi itu menunjukkan fraksi-fraksi tidak mengindahkan amanat UU MD3, terlebih Pasal 21 Aturan Tata Tertib DPR tentang tata cara pemilihan pimpinan alat kelengkapan. Namun, fraksi justru menghilangkan ketentuan tentang keterwakilan perempuan. Partai-partai besar yang memiliki banyak anggota perempuan, seperti Demokrat, Golkar, dan PDIP justru sedikit sekali memberikan kursi pimpinan bagi perempuan.

Bagi PAN dan PKB yang sama-sama memiliki tujuh anggota perempuan, penerapan keterwakilannya justru berbeda. PAN memiliki lima jatah kursi pimpinan alat kelengkapan, sedangkan PKB hanya memiliki tiga jatah kursi pimpinan. PAN hanya memberikan satu kursi pimpinan kepada anggota perempuan, sedangkan PKB justru menempatkan dua kursi bagi perempuan dan hanya satu kursi untuk anggota laki-laki. PKS memang memiliki jatah kursi pimpinan yang lumayan banyak, yakni sembilan kursi. Namun, PKS sama sekali tidak menempatkan salah satu dari tiga anggota perempuannya untuk menduduki kursi pimpinan. PPP, Hanura, dan Gerindra juga sama sekali tidak menempatkan perempuan dalam kursi pimpinan alat kelengkapan.

Dari komposisi keterwakilan perempuan yang ditentukan dalam rapat konsultasi yang diadakan oleh Pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi sebagai pengganti Rapat Badan Musyawarah, terlihat fraksi yang cukup konsisten dalam menempatkan anggota perempuan sebagai pimpinan alat kelengkapan adalah PKB.

PKB memberikan posisi pimpinan alat kelengkapan kepada dua orang anggota

perempuannya. Demokrat sebagai partai terbesar yang memiliki anggota perempuan hanya menempatkan dua anggota perempuannya untuk menduduki kursi pimpinan. Padahal, jatah yang dimilikinya adalah 18 kursi pimpinan.

Sementara itu, PKS jelas tidak melaksanakan ketentuan UU MD3 untuk memperhatikan keterwakilan perempuan di singgasana pimpinan.

Dengan demikian, UU MD3 harus mengatur keterwakilan perempuan di parlemen secara sungguh-sungguh. Pengaturan keterwakilan perempuan dalam posisi Pimpinan DPR perlu diakomodasi. Selain itu, aturan Tata Tertib DPR yang mereduksi ketentuan UU MD3 tentang keterwakilan perempuan dalam memilih pimpinan alat kelengkapan juga perlu direvisi. Hal itu perlu dilakukan agar keterwakilan perempuan terwujud di parlemen seperti yang dicita-citakan. Tidak hanya segi kuantitas, kualitas anggota parlemen perempuan juga harus ditingkatkan.

 

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 55-59)