• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU NO. 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan: Pemenuhan Hak Pejabat Tanpa Batasan Jelas

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 109-113)

Pemenuhan Hak Pejabat Tanpa Batasan Jelas 

Peraturan mengenai keprotokolan mulai diatur di Indonesia pada 1987 melalui UU No. 8 Tahun 1987 tentang Protokol. UU itu disahkan pada 28 September 1987 oleh Presiden Soeharto. UU No. 8 Tahun 1987 dibentuk berdasarkan kewenangan delegasi40 dari Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antarlembaga-Lembaga Tinggi Negara.41

Setelah berlaku selama 23 tahun, UU No. 8 Tahun 1987 akhirnya dicabut dengan diberlakukannya UU No. 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan. Pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 1987 dinilai sudah tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian, terutama adanya amandemen UUD 1945 yang mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia.

Rencana untuk melakukan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1987 sudah dimulai pada 2005. Pada saat itu, RUU tentang Protokoler dan Keuangan DPR masuk dalam Prolegnas 2005—2009. Kemudian, pada Prolegnas 2007, RUU itu masuk sebagai RUU prioritas hasil inisiatif DPR dengan nama RUU tentang Revisi UU No. 8 Tahun 1987 tentang Protokol. Persiapan draf dan naskah akademik dilakukan oleh Baleg dengan berkoordinasi dengan Departemen Hukum dan HAM (sekarang bernama Kementerian Hukum dan HAM).

Dalam prosesnya, tahapan persiapan hingga pembahasan ternyata tidak selesai pada 2007, bahkan sampai masa jabatan DPR periode 2004—2009 berakhir.

Dengan demikian, RUU tersebut sempat masuk kembali menjadi RUU prioritas pada 2008, 2009, dan akhirnya 2010. RUU Keprotokolan mendapat persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah pada 26 Oktober 2010, kemudian disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 19 November 2010.

Dampak Besar Amandemen Konstitusi

Ada dua perubahan penting dalam Amandemen UUD 1945. Pertama, struktur ketatanegaraan Indonesia tidak lagi mengenal adanya perbedaan antara lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Semua lembaga yang fungsinya berkaitan dengan fungsi-fungsi kekuasaan negara—baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif—dan dasar pembentukannya berasal dari UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan di bawahnya disebut sebagai lembaga negara (Asshiddiqie, 2006, 337—338).

Kedua, UUD 1945 mengatur lembaga negara baru, baik yang diatur langsung maupun tidak langsung. Lembaga negara baru yang dibentuk langsung oleh UUD 1945 adalah DPD, MK, dan KY. Sementara itu, lembaga yang diatur tidak langsung

40 Kewenangan delegasi dalam peraturan perundang-undangan adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan dari peraturan yang lebih tinggi ke peraturan yang lebih rendah. Baca Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-andangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 1007, hlm. 56.

41 Mandat yang dimaksud diatur dalam Bab IV tentang Hak Keuangan/Administratif dan Kedudukan Protokoler Pasal 12 jo. Pasal 13.

adalah komisi pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 dan bank sentral yang diatur dalam Pasal 23 D UUD 1945.

Kedua perubahan tersebut membuat UUD 1945 lebih cocok untuk dikatakan

“berubah total” dibandingkan “direvisi”. Perubahan dalam UUD 1945 berdampak pada peraturan perundang-undangan lain di bawahnya. Hal itu disebabkan UUD 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam tata urutan di Indonesia. Hal itulah yang menjadi dasar revisi UU No. 8 Tahun 1987 menjadi UU No. 9 Tahun 2010.

Besarnya pengaruh amandemen terhadap UUD 1945 terhadap UU No. 8 Tahun 1987 tercermin dari pendapat akhir mini42 seluruh fraksi yang ada di DPR pada saat UU itu akan disahkan. Hal itu menandakan kesepakatan semua fraksi terkait perubahan sistem ketatanegaraan sebagai akibat dari amandemen UUD 1945 menjadi alasan utama dalam merevisi UU No. 8 Tahun 1987.

Secara khusus, perubahan struktur ketatanegaraan tersebut berpengaruh terhadap pengaturan mengenai Tata Tempat dalam Pelaksanaan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi dalam pengaturan di UU No. 9 Tahun 2010. Istilah lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara tidak lagi dipakai dalam UU No. 9 Tahun 2010.

Dengan demikian, dalam pengaturan mengenai tata tempat di UU No. 9 Tahun 2010, harus disebutkan satu per satu lembaga negara yang ada. Selain lembaga negara yang sebelumnya tidak diatur dalam UU No. 8 Tahun 1987, pengaturan Tata Tempat dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2010 juga memasukkan lembaga negara lain, yaitu:

1. mantan presiden dan wakil presiden;

2. perintis pergerakan kebangsaan/kemerdekaan;

3. pimpinan partai politik;

4. pemilik tanda jasa kehormatan;

5. pimpinan tertinggi representasi keagamaan tingkat nasional; dan

6. pejabat daerah, seperti gubernur, bupati/walikota, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

Pengaturan mengenai tata tempat dalam UU No. 9 Tahun 2010 tidaklah semata-mata mengatur posisi perwakilan lembaga negara pada Acara Kenegaraan atau Acara Resmi lain. Namun, peraturan itu secara tidak langsung merupakan tafsiran dari posisi setiap lembaga negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

Dalam konteks itu, memperhatikan posisi KPU dan Bawaslu.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dua lembaga negara tersebut diatur secara tidak langsung dalam UUD 1945. Maksud dari pengaturan tidak langsung adalah UUD 1945 tidak menuliskan nama KPU dan Bawaslu dengan huruf besar43. Artinya, kedua lembaga negara itu tidak dibentuk langsung oleh UUD 1945, tetapi

42 Pendapat akhir mini adalah pendapat akhir yang disampaikan oleh fraksi atau DPD, apabila RUU yang dibahas berkaitan dengan kewnangannya. Pendapat akhir mini tersebut disampaikan pada akhir pembahasan tingkat I, sebelum diambil keputusan, umtuk kemudian pembahasan dilanjutkan kepada pembahasan tingkat II. Baca Tata Tertib DPR Periode 2009-2014, Ps.136 ayat (1) dan (5)

43 Dalam hal ini, KPU-Bawaslu dituliskan komisi pemilihan umum, sedangkan BI dituliskan bank sentral.

diatur kemudian dalam UU. Oleh karena itu, dalam UU No. 9 Tahun 2010, posisi KPU dan Bawaslu tidak disejajarkan posisi keprotokolannya dengan lembaga negara lain yang pembentukannya langsung diatur dalam UUD 1945, seperti DPR, MK, atau KY.

Selain itu, Pasal 9 ayat (1) huruf m UU Keprotokolan tidak menyebutkan KPU sebagai satu lembaga tersendiri, tetapi disebut sebagai “Badan Penyelenggara Pemilihan Umum”. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

“Badan Penyelenggaraan Pemilihan Umum” adalah Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Pengaturan itu berdasar pada Putusan MK No.

11/PUU-VIII/2010 yang menafsirkan pengaturan mengenai komisi pemilihan umum pada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 mencakup KPU dan Bawaslu.

Penerapan Sanksi bagi Pelaksana Protokoler

Arti penting lain dari pembentukan UU No. 9 Tahun 2010 adalah memastikan adanya ketentuan dalam pelaksaan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi lain yang melibatkan tamu dari negara lain sehingga dapat berjalan tertib, rapi, lancar, dan teratur. Arti penting itu diungkapkan pula secara langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam satu kesempatan di Rapat Kabinet terbatas, pada 6 Mei 2010 (legalitas.org, diakses pada 7 Mei 2010).

Pentingnya penyelenggaraan keprotokolan dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi lain di Indonesia, baik melibatkan tamu dari negara lain ataupun tidak, memunculkan pendapat bahwa dibutuhkan sanksi bagi pelaksana protokoler yang lalai dalam menyelenggarakan tugasnya (dpr.go.id, diakses pada 13 Januari 2010).

Contoh kasus yang relevan untuk diangkat adalah kelalaian yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal DPR yang tidak mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya pada Sidang Paripurna DPR, Jumat 14 Agustus 2009. Acara kenegaraan itu mengagendakan Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkaitan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-64 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Kejadian itu sempat menjadi perbincangan hangat masyarakat. Sekretariat Jenderal DPR menjadi pihak yang paling disalahkan karena bertindak sebagai penyelenggara kegiatan.

Kasus di atas memperlihatkan bahwa kelalaian dalam penyelenggaraan protokoler dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi lain tidak mustahil terjadi.

Lebih dari itu, kelalaian yang terjadi dapat menimbulkan citra buruk terhadap lembaga negara penyelenggara ataupun bahkan citra negara. Salah satu fraksi yang gencar dalam mengusulkan ketentuan sanksi itu adalah FPDIP. Dalam pandangan mininya, FPDIP menuliskan bahwa ketentuan sanksi dibutuhkan agar protokoler dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian karena berkaitan dengan wibawa dan kehormatan negara dan/atau lembaga negara terkait.

Namun, dalam draf terakhir UU Keprotokolan, usulan mengenai perumusan sanksi tidak diakomodasi. Alasan yang mengemuka adalah pemberian sanksi yang diatur dalam UU bukanlah solusi tepat. Kelalaian itu berada dalam ranah teknis administrasi pelaksanaan. Oleh karena itu, penerapannya lebih tepat ditempatkan dalam aturan pelaksanaannya, seperti dalam petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan protokoler di instansi penyelenggara masing-masing.

Tidak adanya perumusan ketentuan sanksi dalam UU No. 9 Tahun 2010 berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum ketika ada ketentuan dalam UU itu

yang dilanggar. Selain itu, dampak lainnya adalah UU itu menjadi sangat lemah untuk diimplementasikan karena turut mengatur ketentuan utama, yaitu berupa perintah, kebolehan, dan larangan.

Prinsip Penggunaan Anggaran yang Terabaikan

Isu anggaran kerap menjadi perhatian khusus dalam pembentukan suatu UU.

Anggaran yang terbatas selalu dihadapkan dengan kebutuhan yang besar untuk melaksanakan substansi dari UU itu. Dengan demikian, keputusan akhir harus bermuara pada political will dari pembentuk UU. Isu anggaran pun muncul dalam pembahasan RUU tentang Keprotokolan.

Pengunaan anggaran keprotokolan sering kali menjadi perhatian publik dalam beberapa kasus, terutama, karena jumlahnya yang besar. Sebagai contoh kasus adalah anggaran protokoler yang dikeluarkan untuk kegiatan pelantikan Anggota DPR/DPD pada 1 Oktober 2009. Dari data yang ada, tercatat anggaran untuk protokoler berada dalam satu mata anggaran tersendiri, yaitu sebesar Rp112,5 juta (kompas.com, diakses pada 29 September 2009). Besaran anggaran itu dialokasikan untuk menyelenggarakan satu kali acara kenegaraan. Selain itu, anggaran keprotokolan yang diperoleh tiap pejabat negara pun tidak luput dari perhatian publik.

Fakta tersebut menunjukkan keprotokolan berpotensi menyerap anggaran yang tinggi. Apabila melihat substansi pengaturan dalam UU No. 9 Tahun 2010 maupun UU No. 8 Tahun 1987, penyebab dari kondisi itu adalah banyaknya pihak yang diatur dalam UU tentang keprotokolan itu. Dengan penggunaan dana yang tinggi, timbul risiko adanya pemborosan anggaran atau beban yang tinggi terhadap keuangan negara. Jadi, pengunaannya harus berdasar pada prinsip efektif dan efisien serta dijiwai oleh prinsip transparansi atau akuntabilitas dalam pengelolaannya.

Akan tetapi, isu anggaran tersebut tidak mengemuka seperti isu perubahan struktur ketatanegaraan dalam pembahasan RUU tentang Keprotokolan. Tercatat, hanya FPDIP yang mengemukakan prinsip penggunaan anggaran dalam catatan khusus pendapat mininya, walaupun secara umum FPDIP menerima draf akhir RUU tentang Keprotokolan yang akhirnya disahkan menjadi UU No. 9 Tahun 2010.

Dengan demikian, dalam UU No. 9 Tahun 2010, prinisp efektif dan efisien dalam penggunaan anggaran keprotokolan tidak diakomodasi. Bahkan, dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2010, tidak ada satu pun asas yang berkaitan dengan penggunaan anggaran.44

Tidak dikendalikannya pemakaian anggaran dapat berdampak pada potensi pemborosan yang lebih tinggi. Pemakaian anggaran yang berlebihan hanya akan mengundang rasa ketidakadilan bagi masyarakat, terlebih urusan protokoler bukanlah praktik yang menyangkut langsung pada kehidupan dasar mayoritas warga negara. Kondisi itu berpotensi memberikan kontribusi pada terciptanya

44Asas yang tercantum dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2010, yaitu:

1. keseimbangan;

2. ketertiban dan kepastian hukum;

3. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; serta 4. timbal balik.

kesenjangan jarak yang lebih jauh antara pejabat negara atau pejabat pemerintahan dan masyarakat.

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 109-113)