• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura: Dari Kekhasan Hingga Kebangsaan

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 120-123)

Dari Kekhasan Hingga Kebangsaan 

Dampak globalisasi kembali menjadi pemicu untuk membentuk UU baru bagi negara ini. Kebijakan yang menjadi kerangka sistem perdagangan internasional dianggap tidak lagi berpihak kepada negara-negara dunia ketiga. Negara-negara berkembang itu harus menyesuaikan kerangka hukum nasionalnya dengan kebijakan global yang pembentukannya didominasi oleh negara-negara industri.

Kondisi itu menjadi sebagian latar belakang pemerintah menginisiasi pembentukan UU Hortikultura, mengingat Indonesia termasuk dalam kelompok negara berkembang dengan kekayaan alam melimpah.

Keberadaan UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dianggap hanya memberikan perlindungan terbatas pada jenis tanaman pangan dan belum mengakomodasi proteksi bagi komoditas hortikultura. Naskah akademik RUU Hortikultura mencantumkan tujuh alasan yang mendasari perlu dibentuknya pengaturan komoditas hortikultura secara tersendiri pada level UU. Ketujuh alasan itu diuraikan sebagai berikut.

1. Karakteristik pengembangan usaha hortikultura berbeda dengan tanaman pangan maupun perkebunan, khususnya menyangkut pola pengusahaan, penanganan produksi dan pascapanen, kebutuhan sarana dan prasarana, serta tata niaga dan kelembagaan.

2. Komoditas hortikultura pada umumnya cepat rusak, memakan tempat, dan pemanfaatannya bernilai tinggi apabila dalam bentuk segar.

3. Komoditas hortikultura sangat berorientasi pasar, bahkan sebagian sangat ditentukan oleh selera konsumen. Oleh karena itu, pengembangan komoditas hortikultura harus memperhatikan dinamika selera konsumen yang beragam.

51 Lihat Indonesia. Keppres No. 24 Tahun 2009 tentang Anggaran Dasar Gerakan Pramuka.

4. Komoditas hortikultura termasuk dalam kelompok tanaman yang pengembangannya dapat mendukung program pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi kerakyatan.

5. Usaha budidaya sebagian jenis komoditas hortikultura perlu dilakukan di bawah kondisi rumah lindung dengan modifikasi lingkungan fisik yang bersifat spesifik komoditas. Oleh karena itu, diperlukan penanganan khusus dalam pembudidayaannya.

6. Komoditas hortikultura sangat potensial dikembangkan sebagai komoditas ekspor. Berbagai negara, seperti Belanda, Thailand, dan Taiwan mampu menjadikan komoditas hortikultura sebagai penghasil devisa terbesar yang memberi kontribusi nyata terhadap Pendapatan Domestik Bruto.

7. Peran subsektor hortikultura di dalam perekonomian nasional belum cukup signifikan seperti yang diharapkan karena terkendala oleh berbagai faktor, antara lain: (a)belum mendapat prioritas pengembangan yang memadai;

(b)belum tersedianya ruang permanen yang representatif bagi usaha budidaya skala komersial; (c)belum tersedianya infrastruktur dan sarana/prasarana yang memadai; (d)belum tertariknya pelaku usaha dalam negeri untuk menanamkan modalnya besar-besaran untuk usaha hortikultura dalam negeri; (e)belum tersedianya skema pembiayaan yang kompetitif bagi pelaku usaha; (f)belum tersedianya sistem informasi dan database yang dapat diakses dengan cepat; (g)belum berkembangnya tata niaga produk hortikultura yang berkeadilan; (h)belum berkembangnya industri pendukung (agroinput, industri olahan, industri hilir, jasa transportasi, dan perdagangan);

serta (i)belum tersedianya lembaga pembiayaan.

Biaya Besar untuk Proses Singkat

Meskipun Kementerian Pertanian—melalui Direktorat Jenderal Hortikultura—telah mulai menyusun RUU Hortikultura sejak 2009, RUU itu akhirnya secara resmi diajukan sebagai RUU usul inisiatif DPR pada Juli 2010.

Dalam proses persiapan naskah RUU, Komisi IV sebagai alat kelengkapan DPR yang membidangi sektor pertanian melakukan kunjungan kerja ke daerah, antara lain ke Sumatra Utara dan Jawa Timur. Kunjungan kerja itu dilakukan untuk menjaring aspirasi pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, serta para pemangku kepentingan di bidang hortikultura.

Proses pembahasan RUU Hortikultura dilaksanakan oleh Komisi IV dalam tiga kali Rapat Kerja bersama Kemhukham, lima kali Rapat Panja, serta delapan kali Rapat Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin). RUU Hortikultura akhirnya disetujui menjadi UU oleh DPR dalam Rapat Paripurna pada 26 Oktober 2010 dan selanjutnya disahkan oleh presiden pada 24 November 2010 sebagai UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura.

Peristiwa kontroversial sempat mencuat ketika Komisi IV melakukan kunjungan kerja ke Belanda. Beban keuangan sebesar negara miliaran rupiah yang harus dikeluarkan untuk membiayai aktivitas studi banding DPR itu mengundang

protes dari berbagai unsur masyarakat. DPR dinilai tidak peka pada kondisi negara yang sedang krisis saat itu.

Selain isu penghamburan uang negara, studi banding yang dilakukan menjelang akhir pembahasan RUU pun terbilang ganjil. Keganjilan itu terlihat dari dekatnya waktu antara pelaksanaan studi banding, yaitu pada 14—19 September 2010 dan waktu penyampaian laporan pembahasan dari Timus/Timsin ke Panja pada 19 Oktober 2010. Padahal, seharusnya, studi banding dilakukan jauh sebelum masa pembahasan, yakni ketika DPR baru memasuki tahap penyusunan naskah akademik dan penyiapan naskah suatu RUU.

Karakter Khusus

Secara substansi, UU No. 13 Tahun 2010 memang dimaksudkan untuk menjadi acuan yang mengintegrasikan berbagai ketentuan terkait hortikultura yang tersebar di banyak UU. Lalu, UU itu juga diharapkan dapat mengisi kekosongan pengaturan hortikultura yang terjadi di berbagai peraturan. UU No. 12 Tahun 1992, misalnya, telah mengatur sistem budidaya tanaman secara komprehensif, tetapi belum secara spesifik mengatur hortikultura sebagai sebuah komoditas yang memiliki karakter khusus.

Kekhususan tersebut kini dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa hortikultura adalah segala hal yang berkaitan dengan buah, sayuran, bahan obat nabati, dan florikultura, termasuk jamur, lumut, dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati, dan/atau bahan estetika. UU yang terdiri dari 133 pasal dalam 18 bab itu juga memberikan pengaturan khusus terkait pembentukan lembaga independen yang akan difungsikan sebagai mitra kerja pemerintah dalam usaha mengembangkan hortikultura.

Ketua Komisi IV DPR Ahmad Muqowam, dalam Rapat Paripurna yang menyetujui RUU Hortikultura menjadi UU, mengungkapkan bahwa UU itu diharapkan dapat mewujudkan pengembangan, pengelolaan, serta pemanfaatan sumber daya holtikultura yang optimal, bertanggung jawab, dan lestari. Tujuan akhirnya bukan hanya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa hortikultura, tetapi juga peningkatan produksi, kualitas, serta daya saing produk holtikultura. Kedua tujuan itu erat kaitannya dengan upaya negara dalam menyediakan kesempatan usaha, memberikan perlindungan kepada petani dan pelaku usaha nasional, serta meningkatkan devisa negara.

Akan tetapi, sebagian pihak sejak awal justru meragukan adanya dampak positif bagi petani kecil yang diberikan oleh UU tersebut. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menduga target utama UU itu adalah usaha skala besar karena proses pembahasannya hanya dilakukan antara pembuat UU dan pengusaha, tanpa melibatkan masyarakat petani. Walhi menyoroti pengaturan mengenai pola kemitraan antara pelaku usaha besar dan pelaku usaha kecil yang dapat menimbulkan diskriminasi bagi petani kecil.

Pasal 56 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2010 mewajibkan pelaku usaha besar untuk melakukan kemitraan dengan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dalam menjalankan usaha hortikultura. Pada ayat berikutnya, pasal itu menyebutkan beberapa pola kemitraan yang dapat dilaksanakan, antara lain inti-plasma dan subkontrak. Kedua pola itulah yang dikhawatirkan oleh Walhi karena

berpotensi menempatkan petani sebagai buruh yang minim perlindungan hukum (hukumonline.com, diakses pada 23 februari 2011).

Namun, UU No. 13 Tahun 2010 seakan berusaha menunjukkan keberpihakannya kepada pelaku usaha—termasuk petani—dalam negeri melalui ketentuan yang membatasi penanaman modal asing (PMA) di bidang hortikultura.

Pasal 100 UU itu menentukan bahwa investor dari luar negeri hanya dapat menanamkan modalnya maksimal sebesar 30% dari keseluruhan modal dalam sebuah usaha besar hortikultura. Dana investasi pun hanya dapat dititipkan di bank dalam negeri disertai larangan penggunaan kredit dari bank milik pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Alasan Nasionalisme Menuai Kritik

Sebaliknya, kritik terhadap pembatasan investasi asing justru datang dari kalangan pengusaha nasional. Benny A. Kusbini, Ketua Harian Dewan Hortikultura Nasional yang juga pemimpin beberapa perusahaan hortikultura, berpendapat bahwa batasan PMA dapat menjadi bumerang bagi perkembangan hortikultura di tanah air. Menurutnya, kerugian dapat terjadi jika mitra lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan produk hortikultura, sedangkan kontribusi asing sangat terbatas.

Selain itu, Pasal 131 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2010, yang mewajibkan investor asing untuk melakukan divestasi saham dalam jangka waktu empat tahun, dinilai sulit diimplementasikan dan berisiko. Kusbini mengkhawatirkan sulitnya mitra lokal memenuhi kebutuhan hortikultura dalam waktu yang singkat, sedangkan mitra asing berpotensi hengkang ke negara lain demi menaati ketentuan pasal itu. Akibatnya, komoditas hortikultura di dalam negeri dapat menurun drastis (republika.co.id, diakses pada 23 Februari 2011).

Kritik apa pun yang diutarakan terhadap UU tersebut tetap harus menjadi faktor pendorong bagi negara untuk menunjukkan keberpihakannya kepada usaha-usaha rakyat. Semoga maksud para pembuat UU yang ingin meningkatkan aspek perlindungan bagi petani hortikultura tradisional serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah dari produk hortikultura impor dan pemodal asing bukan hanya niat tulus di atas kertas, tetapi juga berwujud nyata dalam implementasi.

H. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan 

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 120-123)