• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amnesia DPR Soal Keterbukaan Informasi

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 64-72)

  “Tidak bisa, ini dokumen rahasia.” Begitu ucapan seorang pegawai sekretariat salah satu komisi di DPR saat diminta dokumen Pandangan Fraksi tentang RUU Partai Politik. Dokumen itu merupakan salah satu dokumen kegiatan

dalam menjalankan fungsi legislasi DPR. Ada pula kalimat, “Maaf, rapat tidak bisa dipantau.” Kalimat itu diberikan kepada pemantau rapat pembahasan RUU.

Padahal, dalam agenda rapat yang diumumkan secara resmi di situs web DPR, rapat itu jelas dinyatakan terbuka.

Selain itu, belum lekang dari ingatan, pada Juli 2010, media ramai memberitakan tingkat kedisiplinan para Anggota DPR berdasarkan tingkat kehadiran mereka dalam rapat-rapat DPR. Tidak sedikit Anggota DPR resah atas pemberitaan itu. Keresahan anggota terlihat dari respons negatif mereka yang disampaikan di berbagai media cetak maupun elektronik untuk membantah hal itu.

Kemudian, Biro Persidangan DPR menjadi kambing hitam mereka karena telah memberikan daftar hadir kepada pihak luar.

Protes tersebut diiringi dengan beberapa tuntutan agar Biro Persidangan melakukan beberapa tindakan, antara lain:

1. melakukan klarifikasi kepada yang bersangkutan (Anggota DPR yang tidak hadir dalam Rapat Paripurna);

2. meralat dan menyatakan bahwa daftar nama Anggota DPR yang kehadirannya minim dan kemudian disebut “membolos” oleh media bukanlah informasi resmi yang dirilis Setjen DPR;

3. bersikap hati-hati dalam memberikan keterangan tentang ketidakhadiran atau absensi Anggota DPR pada masa mendatang; serta

4. tindakan administratif kepada “oknum” Biro Persidangan yang membuka informasi terkait.

Tidak ada dasar hukum dari tuntutan tersebut. Bahkan, jika melihat isi dari UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), definisi informasi publik adalah ’informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UU KIP serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik’. Dengan demikian, tindakan Anggota DPR bertolak belakang dengan semangat keterbukaan yang terkandung dalam aturan itu.

Itulah sekelumit peristiwa kontradiktif yang sering terjadi. Kejadian tersebut pun menggambarkan minimnya tingkat pengetahuan serta kesadaran Anggota DPR, termasuk staf pendukung, terhadap keterbukaan informasi publik di DPR.

Padahal, DPR sendiri telah melahirkan UU KIP sejak 30 April 2008. Bahkan, DPR juga telah melahirkan aturan internal untuk memperlancar pelaksanaan UU KIP di lapangan. Aturan yang dimaksud adalah Peraturan No. 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi di DPR pada 20 Mei 2010.

Penggembosan Substansi KIP oleh DPR

Jika dilihat dari segi aturan yang mengatur tentang keterbukaan informasi publik di DPR, terdapat lima aturan yang menjadi dasar keterbukaannya, yaitu:

1. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik;

2. UU No. 27 Tahun 2008 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3);

3. Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib;

4. Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik; dan

5. Peraturan DPR No. 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di DPR.

Secara umum, UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib DPR juga mendorong terciptanya DPR yang transparan dan akuntabel. Pasal 200 UU MD3 yang menyatakan semua rapat DPR bersifat terbuka, kecuali yang dinyatakan tertutup, mengandung konsekuensi bahwa seluruh informasi dalam forum yang bersifat terbuka merupakan informasi publik. UU MD3 juga menyebutkan berbagai informasi yang masuk katergori informasi publik. Informasi itu pun seharusnya diakomodasi dalam Peraturan KIP DPR, peraturan turunan dari UU KIP.

Secara khusus, UU KIP mengamanatkan Komisi Infomasi untuk membentuk aturan turunan, yaitu Standar Layanan Informasi Publik. Aturan itu dijadikan sebagai pedoman bagi Badan Publik—dalam hal ini DPR–untuk membuat aturan teknis di tingkat internal lembaga. Jadi, aturan itu dapat menjamin implementasi keterbukaan informasi di DPR.

Komisi Informasi telah merampungkan peraturan itu pada April 2010 dan DPR menyusul pada Mei 2010. Lebih lanjut tentang kualitas keterbukaan informasi dalam tataran aturan teknis DPR itu, perhatikan tabel berikut.

Tabel 8 Catatan Perbandingan Substansi UU KIP dan peraturan KIP DPR

Materi Krusial UU KIP Peraturan KIP DPR Catatan

Alasan

Materi Krusial UU KIP Peraturan KIP DPR Catatan

Tidak diatur DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat

hendaknya mengatur lebih rinci tentang informasi yang wajib diumumkan secara serta merta, seperti criteria

Materi Krusial UU KIP Peraturan KIP DPR Catatan

(Pasal 10 UU KIP) informasi yang mengancam

hajat hidup orang banyak

Materi Krusial UU KIP Peraturan KIP DPR Catatan

Kemudian, berikut enam catatan terhadap Peraturan KIP DPR.

i. Disclaimer ala DPR

Semangat pelayanan informasi yang cepat surut. Peraturan DPR memuat pasal sanggahan bahwa mereka dapat menolak pemberian informasi jika informasi yang diminta belum didokumentasikan (Pasal 2 ayat (3) huruf d).

Aturan itu tidak disertai pengaturan untuk memperbaiki sistem dokumentasi yang bermasalah agar dapat memenuhi hak masyarakat. Namun, aturan itu justru membuat “pasal aman” untuk menyelamatkan diri dari tuntutan pihak yang dirugikan.

ii. Penolakan tanpa Alasan

Tidak ada kewajiban DPR atau Setjen untuk memberikan alasan atas penolakan informasi (Pasal 5 ayat (1) Peraturan KIP DPR). Hal itu bertolak belakang dengan Pasal 22 ayat (7) huruf c UU KIP yang mewajibkan Badan Publik untuk memberikan pemberitahuan secara tertulis tentang penerimaan atau penolakan informasi beserta alasannya.

iii. Informasi Kinerja Legislasi Tidak Hanya Prolegnas

Terdapat kontradiksi dalam peraturan internal DPR dalam menurunkan informasi tentang kegiatan dan kinerja Badan Publik sebagaimana diatur Pasal 9 UU KIP. Dalam Peraturan KIP DPR, informasi kegiatan dan kinerja diturunkan menjadi dua informasi publik, yaitu:

a) informasi pelaksanaan fungsi DPR, yang terdiri dari:

o fungsi legislasi;

o fungsi anggaran;

o fungsi pengawasan;

b) informasi kegiatan dan kinerja DPR, yang terdiri dari:

o pelaksanaan fungsi legislasi dalam rangka Prolegnas;

o pelaksanaan fungsi anggaran dalam rangka penetapan APBN;

dan/atau

o pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan UU dan kebijakan pemerintah.

Info pelaksanaan fungsi bersifat lebih umum sehingga jenis informasinya tidak terbatas sepanjang masuk dalam koridor tiga fungsi DPR. Akan tetapi, turunan informasi kegiatan dan kinerja DPR, khususnya bidang legislasi, direduksi sebatas Prolegnas (tahap perencanaan). Padahal, legislasi merupakan proses yang panjang, mulai dari perencanaan, pembahasan (pembicaraan tingkat I dan II), pengundangan, dan penyebarluasan yang tentunya mengandung banyak informasi di setiap tahapan. Hal itu menggambarkan ketidakharmonisan isi dari peraturan KIP DPR. Selain itu, informasi kegiatan kinerja legislasi yang terbatas pada Prolegnas itu juga bertentangan dengan pasal 9 UU KIP.

iv. Mereduksi Makna Laporan Keuangan

Peraturan KIP DPR mereduksi keterbukaan laporan keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (3) Huruf d Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 yang merupakan turunan dari UU KIP. Laporan keuangan sekurang-kurangnya terdiri dari:

a) rencana dan realisasi anggaran;

b) neraca;

c) laporan arus kas dan catatan laporan atas keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku; dan

d) daftar aset dan investasi.

Laporan keuangan dalam Peraturan KIP DPR hanya terbatas pada Laporan keuangan DPR hasil audit BPK yang telah diserahkan dalam Rapat Paripurna. Hal itu tidak sejalan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

v. Tidak Ada Informasi yang Diumumkan secara Serta-merta

DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat hendaknya mengatur lebih rinci informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta. Contohnya adalah aturan tentang kriteria informasi yang mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum serta cara mengumumkannya agar memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik.

vi. Terfokus pada Informasi Output

Jenis informasi yang wajib tersedia setiap saat dalam Peraturan KIP DPR lebih banyak terfokus pada produk akhir berupa dokumen keputusan DPR atau kebijakan DPR. Padahal, UU KIP mengamanatkan untuk menyertakan dokumen pertimbangan ataupun dokumen pendukung yang merupakan informasi dinamis dalam proses mencapai keputusan atau kebijakan itu.

Banyak sekali jenis informasi publik yang belum diakomodasi dalam Peraturan KIP DPR, padahal UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib DPR sudah meminta untuk dibuka dan/atau dipublikasikan.

Dengan segala catatan kekurangan dari Peraturan KIP DPR, seharusnya peristiwa-peristiwa di atas tidak boleh terjadi lagi. Alasannya, UU KIP mempunyai kedudukan yang tinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Selain itu, UU KIP juga sumber hukum dalam pembentukan Peraturan KIP DPR. Jika peristiwa tersebut masih terulang juga, DPR berarti lupa dengan apa yang telah dibuatnya.

 

Tabel 9 Daftar Informasi Publik yang Belum Terakomodasi dalam Peraturan KIP DPR Berdasarkan UU MD3 dan Tata Tertib DPR

No Informasi Publik Aturan Terkait

1. Rencana dan hasil kunjungan kerja serta bentuk atau

materi tindak lanjut aspirasi masyarakat Pasal 143 ayat (5) Peraturan Tata Tertib DPR

2. Rencana dan hasil studi banding ke luar negeri dan bentuk atau materi tindak lanjut

Pasal 143 ayat (5) Peraturan Tata Tertib DPR

3. Pembahasan dan tndak lanjut hasil pemeriksaan BPK 4. Pembahasan dan tindak lanjut usulan rancangan

undang-undang, berbagai pertimbangan, dan hasil pengawasan DPD

5. Alasan Pemberhentian Antar Waktu (PAW) dan diberhentikan sementara

6. Alasan atau criteria rapat dilakukan tertutup 7. Evaluasi kinerja pimpinan alat kelengkapan dan

pimpinan DPR Psal 23 Peraturan Tata Tertib

untuk pimpinan alat kelengkapan

Pasal 30 Peraturan Tata Tertib ayat (1) huruf k untuk Pimpinan DPR

8. Evaluasi kinerja Anggota DPR yang merupakan anggota

fraksi Pasal 80 ayat (2) UU MD3

9. Evaluasi kinerja alat kelengkapan Pasal 96 ayat (7) untuk Komisi Pasal 102 ayat (1) huruf (i) untuk Baleg

Pasal 127 ayat (4) untuk BK Pasal 133 huruf e untuk BURT Pasal 120 ayat (2) untuk BKSAP

No Informasi Publik Aturan Terkait 10. Evaluasi Program Legislasi Tahunan (Prolegnas) lima

tahun dan Prioritas Tahunan Pasal 60 Peraturan Tata Tertib DPR

11. Laporan hasil pengwasan BURT terhadap realisasi pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR setiap triwulan

Pasal 87 ayat (2) huruf d UU MD3

12. Perkiraan waktu penyelesaian masalah dan jangka waktu

penyelesaian Rancangan Undang-undang (RUU) Pasal 141 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR

13. Daftar Infentarisasi Masalah (DIM) RUU yang berasal dari fraksi atau yang telah terkompilasi

14. Hasil kerja tim pemantau RUU Pasal 152 ayat (2) huruf a Peraturan Tata Tertib DPR 15. Aturan tata kerja internal DPR Pasal 18 ayat (8) Peraturan Tata

Tertib DPR 16. Informasi terkait dengan tugas komisi di bidang

anggaran, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, dan Badan Urusan Rumah Tangga

Pasal 53 ayat (2); pasal 65 ayat (1); pasal 70 s/d pasal 72; dan pasal 86 s/d 88 Peraturan Tata Tertib DPR

17. Hasil pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum RUU disampaikan kepada pimpinan DPR

Pasal 60 huruf d Peraturan Tata Tertib DPR

18. Dasar pengusulan RUU baik yang didalam maupun yang diluar Prolegnas yang terdiri atas: urgensi dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; pokok pikiran; lingkup dan objek yang akan diatur; dan jangkauan serta arah pengaturan

Psal 104 ayat (7) dan 108 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR

19. Status dan mekanisme mendapatkan dokumentasi rapat seperti risalah, catatan rapat, dan laporan singkat

Pasal 265 s/d pasal 269 Peraturan Tata Tertib DPR

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 64-72)