• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka: Kerancuan Konsep Kepanduan

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 115-120)

Salah satu organisasi yang cukup unik keberadaannya di Indonesia adalah Gerakan Pramuka. Organisasi itu termasuk organisasi yang berada di wilayah abu-abu; bukan organisasi negara, tetapi diatur oleh negara. Gerakan Pramuka pada mulanya merupakan bentukan pemerintah melalui Keppres No. 238 Tahun 1961.

Keppres itu muncul mengingat terjadinya pertarungan politik antara kaum komunis dan nonkomunis.47

Gerakan Pramuka selama Orde Baru dapat tumbuh dan berkembang secara baik. Organisasi itu menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pendidikan kepanduan di Indonesia. Hal itu terjadi mengingat pemerintah mendukung penuh keberadaan Gerakan Pramuka. Dukungan tidak hanya dalam bentuk anggaran, tetapi dukungan dalam bentuk kebijakan, seperti adanya tambahan nilai bagi para guru yang ikut terlibat sebagai pembina Pramuka, keterlibatan pejabat dalam kepengurusan, dan kemudahan fasilitas untuk kegiatan kepramukaan. Gerakan Pramuka pun selalu dilibatkan dalam pembangunan serta penanganan ketika terjadi bencana alam.

471. Lengkapnya dapat membaca buku “75 Tahun kepanduan di Indonesia: Patah tumbuh hilang berganti”, Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, 1984.

Namun, ketika Orde Baru runtuh, Gerakan Pramuka pun terimbas.

Pemerintah lebih memprioritaskan penyelamatan ekonomi dan sibuk menangani riuhnya perpolitikan. Selain itu, yang makin menyulitkan keberadaannya adalah muncul kembali organisasi kepanduan di luar Gerakan Pramuka, seperti Hizbul Wathan, Pandu Keadilan, dan organisasi kepanduan yang dikelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan. Hal itu tentu saja menyulitkan pengelola Gerakan Pramuka dalam bersikap.

Di satu sisi, para pengelola Gerakan Pramuka harus bertahan menghadapi lemahnya dukungan pemerintah. Hal itu terlihat dari tidak adanya anggaran dari pemerintah, juga tidak banyak dilibatkannya pada program-program pemerintah—

khususnya yang berkaitan dengan pendidikan nasional—dan program-program lain. Pada era itu, tidak ada nilai tambah yang berarti untuk guru apabila aktif membina di Gerakan Pramuka. Terlebih, pengelola Gerakan Pramuka secara konsisten berusaha agar tidak terseret oleh kepentingan politik yang berefek cukup menyulitkan pengelola Gerakan Pramuka itu sendiri.

Di sisi lain, organisasi kepanduan di luar Gerakan Pramuka melihat bahwa kepentingan mereka selama ini tidak terakomodasi dengan baik oleh Gerakan Pramuka. Selain itu, besarnya organisasi Gerakan Pramuka dan banyaknya pejabat publik yang terlibat dalam kepengurusan Gerakan Pramuka berimplikasi pada manajemen organisasi itu menjadi terlalu birokratis dan bergerak secara lamban.

Hal lain yang membuat organisasi itu makin lamban adalah ketergantungan kepada pemerintah yang sangat tinggi, khususnya di tatanan pengelola Gerakan Pramuka di tingkat Kwartir (pengelola Gerakan Pramuka atas suatu wilayah yang mengikuti wilayah administrasi pemerintahan), dari Kwartir Nasional di level pusat sampai Kwartir ranting di tingkat kecamatan.

Para pengelola Gerakan Pramuka mengalami kesulitan dalam bersikap.

Apabila mereka mengajukan tuntutan pembubaran organisasi kepanduan di luar Gerakan Pramuka karena melanggar Keppres No. 238 Tahun 1961 kepada penegak hukum mengenai keberadaan organisasi penyelenggara kepanduan di luar Gerakan Pramuka, ditakutkan Keppres No. 238 Tahun 1961 justru dicabut oleh MA.

Sebenarnya, hal itu pun tidak sesuai dengan prinsip pembinaan dalam kepanduan, yaitu semangat kebersamaan. Sedikit gambaran alasan ketakutan itu timbul. Pasal 2 Keppres No. 238 Tahun 1961 menyatakan bahwa di seluruh wilayah Republik Indonesia, perkumpulan Gerakan Pramuka dengan Anggaran Dasar sebagaimana tertera pada lampiran keputusan ini adalah satu-satunya badan yang diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan kepanduan itu. Pasal 3 menyebutkan badan-badan lain yang sama sifatnya atau yang menyerupai perkumpulan Gerakan Pramuka dilarang keberadaannya.48 Jadi, sebenarnya, organisasi kepanduan di luar Gerakan Pramuka tidak diperbolehkan secara hukum.

Menghadapi kesulitan tersebut, Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka 2003 di Pontianak Kalimantan Barat mengeluarkan rekomendasi agar Gerakan Pramuka sebagai aset bangsa yang awalnya diatur dalam Keppres diubah menjadi UU.49 Rekomendasi itu diharapkan dapat menyelesaikan kedua permasalahan

48 Lihat Indonesia. Keppres nomor 238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka

49 Lihat Rekomendasi Munas Gerakan Pramuka 2003 pada Buku “Hasil Munas Gerakan Pramuka 2003 di Pontianak, Kalimantan Barat” terbitan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, 2004.

utama, yaitu adanya kepastian hukum terhadap penyelenggaraan pendidikan kepanduan dan dukungan negara terhadap pendidikan kepanduan.

Rekomendasi tersebut mendapatkan pintu masuk ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan revitalisasi Pramuka di Cibubur pada 14 Agustus 2006 ketika menyampaikan amanat dalam Upacara Hari Pramuka. Namun, pada 2010, Gerakan Pramuka baru berhasil diajukan sebagai RUU melalui inisiatif DPR.

Hilangnya Kata Pandu

Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah nama UU yang digunakan, yaitu antara Kepramukaan atau Gerakan Pramuka. Hal itu menarik karena pada pengesahan untuk mulai membahas RUU, nama yang digunakan adalah RUU tentang kepramukaan. Menurut Popong Otje Djundjunan, Anggota DPR dari FPG, alasan mendasar menggunakan nama RUU tentang Gerakan Pramuka bagi pemerintah adalah penghargaan kepada pendiri Pramuka, dalam hal ini sama dengan nama Keppres No. 238 Tahun 1961. Alasan lainnya adalah di beberapa negara berbeda, Scout Move yang bermakna Gerakan Pramuka juga digunakan.

Hal menarik lainnya yaitu hilangnya istilah pandu dalam UU. Istilah pandu dalam UU ini hanya disebut dalam penjelasan. Bahkan istilah ini direduksi istilah yang muncul pada era Hindia Belanda, hal ini bisa dilihat pada bagian Umum paragraf kedua. Padahal sampai Keppres nomor 24 tahun 2009 tentang pengesahan anggaran dasar Gerakan Pramuka, kata pandu masih muncul dalam pengertian Gerakan Pramuka, yaitu Gerakan Kepanduan Praja Muda Karana.

Apabila memerhatikan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, kata pandu tidak identik dengan Pramuka, hanya menyebutkan anggota perkumpulan pemuda yang berpakaian seragam khusus, bertujuan mendidik anggotanya supaya menjadi orang yang berjiwa kesatria, gagah berani, dan suka menolong sesama mahkluk. Namun, pada kata Pramuka sama dengan pandu.

Dengan demikian, logikanya adalah ketika ada organisasi menggunakan kata pandu, misalkan Pandu Hizbul Wathan atau Pandu Keadilan, maka organisasi tersebut tidak harus tergabung dalam Gerakan Pramuka. Namun, UU No. 12 Tahun 2010 secara resmi menyebutnya dengan istilah pramuka, bukan pandu.

Rumitnya Mencari Bentuk Organisasi yang Sesuai

Cukup sulit memang untuk meyakinkan pentingnya penyelenggaraan pendidikan kepanduan diatur dalam bentuk UU. Hal ini sangatlah wajar, karena tidak banyak yang merasakan langsung manfaat dari pendidikan kepanduan apabila dibandingkan dengan UU berkaitan dengan ekonomi dan politik. Namun, pada umumnya setiap fraksi di DPR sepakat bahwa pendidikan kepanduan sangat penting dalam pendidikan bagi kaum muda, khususnya dalam pendidikan menjadi warga negara yang baik. Hal itu terlihat dari pandangan fraksi-fraksi DPR dan tanggapan akhir Presiden dalam Rapat Paripurna DPR pada 26 Oktober 2010.

Bahasan yang relatif cukup ramai menjadi perbincangan adalah bentuk organisasi pengelola pendidikan kepanduan. Hal itu terlihat ketika draf RUU inisiatif DPR mengusulkan organisasi pengelola pendidikan kepanduan dalam

bentuk asosiasi.50 Bagi pengurus Gerakan Pramuka, hal itu tentu saja di luar dari harapan mereka. Organisasi yang ada saja sudah rumit. Kalau dalam bentuk asosiasi, pengelolaannya akan menjadi lebih rumit lagi.

Organisasi penyelenggara pendidikan kepramukaan, seperti Hizbul Wathan, masih berkukuh istilah yang digunakan adalah kepanduan. Organisasi lain yang banyak menerapkan prinsip-prinsip kepanduan, yaitu Pandu Keadilan, kesulitan berpendapat mengingat salah satu prinsip universal dalam kepanduan sedunia adalah nonpolitik. Artinya, kepanduan tidak mengikuti atau berada dalam salah satu partai politik tertentu dan tidak berpolitik praktis, sedangkan Pandu Keadilan secara organisasi langsung di bawah partai politik, yaitu Partai Keadilan Sejahtera.

Namun, dalam pembahasan dengan pemerintah, draf RUU versi DPR berubah total. Gerakan Pramuka merupakan penyelenggara pendidikan kepramukaan di Indonesia. Akan tetapi, organisasi-organisasi penyelenggara pendidikan kepanduan, seperti Hizbul Wathan dan Pandu Keadilan tetap diperbolehkan untuk menyelenggarakan aktivitasnya. Aturan teknisnya pun diatur dalam Anggaran Dasar Gerakan Pramuka.

Dalam pandangan beberapa fraksi berkaitan dengan bentuk organisasi tersebut, FPG, FPAN, FPKS, dan Fraksi Partai Gerindra mewanti-wanti agar Gerakan Pramuka mampu mewadahi, menampung, dan mengayomi semua jenis kelembagaan yang menyelenggarakan gerakan kepanduan di Indonesia.

Kelembagaan itu menjadi rumah bersama dalam melakukan pendidikan kepanduan di Indonesia. Kedudukan kepanduan/kepramukaan itu setara dalam Gerakan Pramuka.

Pembahasan lain yang cukup penting adalah mengenai pengurus kwartir.

Selama ini pengurus Kwartir banyak diisi oleh para pejabat atau birokrat pada level pimpinan organisasi. Kondisi itu diperparah dengan tidak memahaminya proses pendidikan kepramukaan dan tidak pernah aktif dalam penyelenggaraan pendidikan kepramukaan pejabat atau birokrat yang menjadi pengurus tersebut.

Hal itu terjadi karena ketergantungan kwartir kepada pemerintah sangat tinggi, khususnya dalam hal pendanaan. Banyaknya pengurus yang tidak kompeten dan tidak aktif merupakan salah satu penyebab organisasi Gerakan Pramuka berjalan sangat lamban

Oleh karena itu, adanya Pasal 27 ayat (2) dari UU ini yang menyatakan kepengurusan kwartir tidak terikat dengan jabatan publik diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah. Meskipun demikian, kalimat itu cukup rancu karena dapat memberikan penafsiran yang berbeda. Kalimat ini bisa saja ditafsirkan, bahwa seorang pejabat publik tidak masalah apabila menjadi pengurus kwartir. Hal itu tergantung Anggaran Dasar Gerakan Pramuka nantinya dalam memberikan tafsiran atas ayat itu.

Posisi pemerintah—yang lebih berperan sebagai pembina dan pengawas—

memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Anggota Pramuka untuk menjalankan organisasinya tanpa ketergantungan dengan pejabat publik. Dengan demikian, sebenarnya sangat jelas, pejabat-pejabat publik lebih ditempatkan dalam

50 Di Balik Perubahan Nama RUU Kepramukaan Menjadi RUU Gerakan Pramuka,

http://www.jurnalparlemen.com/news/2010/10/di-balik-perubahan-nama-ruu-kepramukaan-menjadi-ruu-gerakan-pramuka, diakses pada 19 Oktober 2010.

6.Lihat draf RUU tentang Kepramukaan Inisiatif DPR yang diajukan pada rapat paripurna DPR RI, 25 Mei 2010.

Majelis Pembimbing, bukan pengurus. Untuk itu, apabila ternyata masih banyak juga pejabat publik yang masuk dalam jajaran pengurus kwartir, perilaku itu sangatlah keterlaluan, baik bagi pejabat publik maupun Pramuka dewasa yang ada dalam Gerakan Pramuka.

Hal positif lain yang berkaitan dengan organisasi adalah langsung dipilih dan ditetapkannya kepengurusan dalam musyawarah. Asumsinya, setelah musyawarah, kepengurusan langsung dapat bekerja sehingga roda organisasi akan jauh lebih efektif. Permasalahannya selama ini adalah bertele-telenya formatur dalam menyusun kepengurusan dan lambatnya kepengurusan kwartir untuk dilantik Ketua Majelis Pembimbing. Sebagai gambaran, kepengurusan Kwartir Nasional 2008—2013 baru bisa resmi bekerja setelah satu tahun penyelenggaraan Musyawarah Nasional akibat menunggu Presiden selaku Ketua Majelis Pembimbing Nasional berkesempatan untuk melantik pengurus Kwartir Nasional.

Secara keorganisasian, UU tersebut cukup banyak memberi terobosan, yang memberikan ruang kepada organisasi penyelenggara kepramukaan selain Gerakan Pramuka agar dapat aktif secara legal. Namun, dari sisi pendidikan kepramukaan, UU itu terlalu teknis mengatur dan mengubah istilah yang ada. Dengan demikian, Anggota Gerakan Pramuka cukup sulit untuk penyesuaian. Misalkan, UU menyebutkan bahwa Pramuka Siaga, Penggalang, Penegak, dan Pandega beserta batasan usianya. Belum tentu, organisasi kepramukaan selain Gerakan Pramuka menggunakan istilah tersebut. Selain itu, karena diatur juga batasan usianya, seperti siaga 7-10 tahun, penggalang 11-15 tahun, penegak 16-20 tahun dan 21-25 tahun, maka apabila ada seorang anggota berusia 19 tahun namun sudah menjadi Pandega, maka anggota itu melanggar UU.

Istilah Pramuka selama ini dalam Gerakan Pramuka adalah anggota muda yang berusia 7 sampai 25 tahun. Namun, dalam UU tersebut, Pramuka adalah warga negara Indonesia yang aktif dalam pendidikan kepramukaan serta mengamalkan Satya Pramuka dan Darma Pramuka. Dengan demikian, semua Anggota Gerakan Pramuka disebut Pramuka. Jadi, apabila sebelumnya seorang pembina disebut pembina pramuka, berdasar UU itu disebut Pramuka Pembina.

Tantangan Awal, Menyusun Anggaran Dasar

Tantangan awal pascapengesahan UU tersebut adalah penyusunan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka. Aturan teknis yang perlu diatur dalam ADART mencakup setidaknya tiga hal, yaitu:

1. organisasi pendukung Gerakan Pramuka,

2. tugas, fungsi, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja gugus depan, kwartir, dan majelis pembimbing; serta

3. penyesuaian Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dengan UU.

Ketiga hal tersebut sangatlah penting khususnya yang berkaitan dengan pewadahan secara tepat keberadaan organisasi kepramukaan. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah Anggaran Dasar berpeluang tidak mengakomodasi seluruh aspirasi organisasi kepanduan di luar Gerakan Pramuka serta belum tentu sesuai dengan pandangan fraksi dalam penyusunan UU. Dengan demikian, Gerakan Pramuka justru bisa mendapat bumerang.

Salah satu kesulitan Gerakan Pramuka adalah peserta Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka hanya diikuti oleh Kwartir Nasional dan Kwartir Daerah.51 Apabila Gerakan Pramuka—dalam hal ini Kwartir Nasional dan Kwartir Daerah—

tidak dapat membahas secara terbuka dan mengajak organisasi-organisasi kepramukaan di luar Gerakan Pramuka untuk membahasnya bersama-sama, kemungkinan adanya ketidakpuasan pun cukup besar. Begitu pula wadah-wadah organisasi baru dalam Gerakan Pramuka, seperti Darma Pramuka. Seandainya Gerakan Pramuka tidak bisa mewadahi dengan baik, masalah baru pun akan timbul.

Untuk itu, pembahasan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga diharapkan dapat terbuka pembahasannya, baik dalam penyusunan draf maupun dalam pengambilan keputusan. Pembahasan penyusunan diharapkan dapat melibatkan berbagai pihak yang berkaitan dengan UU dan bahan-bahan pembahasan itu dapat diakses oleh publik, paling tidak para pemangku kepentingan dalam isu kepramukaan. Dengan demikian, kebebasan berkumpul dan berserikat berbagai organisasi kepanduan tetap dapat terjamin.

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 115-120)