Korupsi legislasi merupakan bagian dari perilaku korupsi politik. Perilaku korupsi legislasi mempunyai wilayah yang lebih spesifik, yaitu penyimpangan atau
penyalahgunaan wewenang yang terjadi dalam proses pembentukan UU. Risikonya di pihak publik sangat besar karena perilaku korupsi legislasi mencoba mempengaruhi pengambilan keputusan atas suatu norma yang akan berlaku umum bagi masyarakat. Di tengah minimnya kasus korupsi politik yang ditangani KPK, muncul satu kasus yang mencuat pada 2010, yaitu penghilangan ayat dalam UU Kesehatan. Kasus itu berawal ketika DPR membahas RUU Kesehatan menjelang akhir masa jabatannya pada September 2009. Salah satu ayat terkait dengan pembatasan tembakau yang sudah disepakati sampai tingkat Pansus tiba-tiba menghilang dari naskah yang akan disahkan di Rapat Paripurna. Koalisi Antikorupsi Ayat Rokok mensinyalir hilangnya ayat itu merupakan sebuah kesengajaan. Bahkan, kasus itu dianggap sebagai korupsi legislasi. Koalisi itu pun kemudian melaporkan Ribka Tjiptaning, Asiyah Salekan, dan Mariani Akib Baramuli ke Mabes Polri. Namun, dalam perkembangannya, kepolisian menghentikan penyidikan kasus itu.
Diagram 10 Alur Penghilangan Ayat Tembakau dalam UU Kesehatan
Sumber: Majalah Tempo Edisi 4—10 Oktober 2010
Kasus tersebut menjadi salah satu bukti adanya penyimpangan dalam proses legislasi. Namun, karena kasusnya tidak sampai ke pengadilan, motif sesungguhnya atas penghilangan ayat tidak terungkap secara jelas kepada masyarakat; begitu juga dengan aktor yang melakukan penghilangan itu. Dengan demikian, informasi yang beredar hanya berdasarkan keterangan pihak-pihak yang bisa bantah-membantah.
Di satu sisi, muncul tuduhan yang menyatakan bahwa penghapusan ayat merupakan suatu kesengajaan. Di sisi lain, bantahan atas tuduhan itu juga muncul dengan pernyataan telah terjadi salah ketik. Namun, dari paparan di media, tampak jelas adanya tindakan di luar prosedur untuk menghilangkan ayat “tembakau”
dalam UU Kesehatan.
11 September 2009 Pertemuan di ruang kerja Ketua
Komisi Kesehatan yang memutuskan untuk menghilangkan pasal 113 ayat 2
14 September 2009 Rapat Paripurna DPR mengesahkan UU Kesehatan
16 September 2009 UU Kesehatan tanpa ayat tembakau dikirim ke Sekretariat
Negara
13 Oktober 2009 Mensesneg mengembalikan UU
Kesehatan ke DPR agar ayat tembakau dikembalikan
13 Oktober 2009 Ketua Komisi Kesehatan dan Kementerian Hukum dan HAM
serta Kementerian Kesehatan menandatangani dokumen yang
menjelaskan pasal 113 ayat (2) disetujui sebagai ayat baru
13 Oktober 2009 Presiden menandatangani UU
Kesehatan
Alur tersebut menunjukkan bahwa upaya perubahan substansi terjadi tidak melalui forum formal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Perubahan dilakukan setelah rancangan disetujui di tingkat Pansus yang akan diserahkan ke Rapat Paripurna. Perubahan itu pun dilakukan oleh segelintir orang di ruang kerja ketua Komisi Kesehatan (Majalah Tempo, 4—10 Oktober 2010).
Tindakan seperti itu merupakan celah dalam proses legislasi yang dapat dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tententu. Forum-forum yang dilakukan di luar forum formal yang dapat dipantau publik berpotensi pencapaian kesepakatan yang merugikan masyarakat atau mengakomodasi kepentingan kelompok dengan suatu kontraprestasi tertentu. Legislator berpeluang menjual atau menegosiasikan substansi UU. Pada titik itu, perlu dicermati adanya tindakan korupsi legislasi, termasuk forum-forum lobi yang kerap dilakukan oleh legislator.
Sayangnya, kontrol publik dalam forum itu sangat terbatas. Biasanya, forum seperti ini berlangsung tertutup.
Desas-desus tentang korupsi legislasi tidak merupakan hal baru, tetapi masih sebatas pemberitaan di media. Pada 2010, juga muncul dugaan adanya kolusi dalam penyusunan RUU Akuntan Publik. Dugaan itu justru muncul dari Ketua Fraksi PAN, Tjatur Sapto Edy. Bahkan, ia dengan tegas meminta KPK untuk melakukan pengawasan terhadap proses pembentukan UU di DPR (inilah.com, diakses pada 2 Februari 2011). Selain itu, pada DPR periode sebelumnya, dugaan korupsi terkait proses legislasi juga pernah terdengar publik. UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris merupakan salah satu UU yang dalam pembentukannya diduga terjadi praktik korupsi. Beberapa media mengungkapkan pengakuan notaris daerah yang telah menyetor sejumlah uang ke organisasi notaris dalam rangka pembahasan RUU Jabatan Notaris. Tak hanya itu, rapat-rapat pembahasannya pun dilakukan di hotel-hotel yang sulit dijangkau publik (Yasin, 2005, 55).
Ketertutupan proses memberi peluang besar terjadinya korupsi legislasi.
Tindakannya pun sulit dideteksi, apalagi kalau pola korupsinya melalui penyuapan.
Penyuapan hanya diketahui oleh pemberi dan penerima suap. Selain itu, korupsi legislasi juga tidak bisa dilakukan sendirian karena hasil akhirnya harus melalui pengambilan keputusan secara bersama. Oleh karena itu, untuk menutup peluang terjadinya korupsi, harus ada jaminan bahwa proses pembahasan UU dilakukan secara terbuka. Kontrol publik harus diberi ruang yang luas agar proses politik yang menentukan aturan bagi masyarakat justru tidak berpihak pada masyarakat karena prosesnya yang diintervensi oleh kepentingan tertentu. Sementara itu, kontrol publik juga harus dikombinasikan dengan penegakan hukum oleh lembaga independen yang mampu menembus “tameng” politisi yang menghambat pemberantasan korupsi.
KERANCUAN PEMBUAT DAN
PELANGGAR UNDANGUNDANG
Dalam Pasal 17 ayat 1 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan disebutkan bahwa RUU—baik yang berasal dari DPR, presiden, maupun DPD—disusun berdasarkan Prolegnas. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa ada tiga pihak dapat membentuk UU, yaitu DPR, presiden, dan DPD.
Selain itu, UU itu juga mengatur banyak hal, mulai dari asas, materi muatan, perencanaan, pembentukan, sampai dengan teknis penyusunan UU.
Selain itu, UU No. 10 Tahun 2004 juga mengatur tentang kegiatan lanjutan yang harus dilakukan oleh pembuat UU setelah disahkan. Beberapa contoh kegiatan yang dimaksud, yaitu pemilihan anggota lembaga negara, pembentukan lembaga atau badan baru, dan penetapan peraturan pelaksanaan UU.
Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Dengan demikian, dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran UU oleh pembentuk UU.
Berikut uraian beberapa contoh dari pelanggaran UU yang dimaksud.