• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelanggaran UUD 1945 Melalui Proses Seleksi Anggota KY

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 91-94)

KY merupakan salah satu lembaga negara pendamping (auxiliary state agencies) yang dimunculkan sejak bergulirnya reformasi. Kedudukan KY dalam struktur ketatanegaraan termasuk unik. Keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Amandemen Ketiga sehingga menjadikan KY sebagai salah satu lembaga negara organik37. Sebagai sebuah lembaga negara organik, KY seharusnya dipandang sebagai lembaga negara utama; setara dengan lembaga kepresidenan ataupun DPR.

Jika eksistensinya diabaikan, sendi pokok penyelenggaraan negara turut hancur.

Namun, presepsi demikian tampaknya tidak dipahami secara utuh oleh DPR, terutama Komisi III sehubungan proses seleksi Anggota KY periode 2010—2015 yang mengalami keterlambatan. Indikasi keterlambatan proses seleksi untuk menggantikan Anggota KY periode 2005—2010, yang berakhir pada 2 Agustus 2010, sudah terindikasi sejak awal pembentukan panitia seleksi oleh presiden.

Berdasarkan Pasal 28 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, secara garis besar, terdapat beberapa tahap yang perlu dilakukan sehubungan dengan seleksi calon Anggota KY, yakni:

1. pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) oleh presiden;

2. penyerahan nama-nama calon Anggota KY oleh Pansel kepada presiden;

3. penyerahan nama-nama calon Anggota KY oleh presiden kepada DPR;

4. pembahasan oleh DPR;

37 Lembaga negara organik adalah lembaga negara yang keberadannya/kewenangannya diatur di dalam UUD 1945 (konstitusi/constitutional organ).

5. penyerahan nama-nama calon terpilih oleh Pimpinan DPR kepada presiden;

6. penetapan calon terpilih oleh presiden. dan

Berdasarkan tenggang waktu yang ditentukan oleh UU No. 22 Tahun 2004, enam tahapan tersebut memakan waktu kurang lebih 75 hari atau 2 bulan 15 hari di luar lama pembahasan yang dilakukan oleh Pansel.

Presiden membentuk Pansel KY pada 23 April 2010 melalui Keppres No.

9/P/2005 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Anggota Komisi Yudisial.

Pembentukan Pansel itu dinilai banyak kalangan sangat terlambat. Hal itu terbukti dengan baru diserahkannya hasil seleksi Pansel KY pada 20 September 2010, satu bulan setelah berakhirnya masa jabatan periode Anggota KY periode 2005—2010 (mediaindonesia.com, diakses pada 10 Januari 2010). Proses seleksi selanjutnya adalah proses yang dilakukan di DPR.

Pembahasan di dalam DPR melalui dua tahapan utama yang diatur dalam BAB XIII, Pasal 191 ayat (1) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR. Tahap pertama adalah tahap penunjukan penugasaan dan penjadwalan oleh Badan Musyawarah (Bamus) kepada komisi terkait. Tahap kedua berada pada komisi yang ditugaskan. Komisi yang ditugaskan setidaknya melewati lima tahapan yang diatur di dalam Pasal 191 ayat (2), meliputi:

a. penelitian administrasi;

b. penyampaian visi dan misi;

c. uji kelayakan (fit and proper test);

d. penentuan urutan calon; dan/atau e. pengumuman kepada publik.

Dari segi waktu, pembahasan di DPR mengalami keterlambatan, terutama akibat masa reses yang berlangsung pada 27 Oktober 2010 sampai dengan 26 November 2010. Hal itu menyebabkan penundaan pelaksanaan tahap uji kelayakan para calon komisoner (mediaindonesia, diakses pada 10 Januari 2011). Pada 2 Desember 2010, setelah terlambat lebih dari empat bulan, akhirnya terpilih tujuh Komisioner Komisi Yudisial, yaitu Eman Suparman, Abbas Said, Iman Ansori Saleh, Taufiqurahman Sayuti, Suparman Marzuki, Jaja Ahmad Jayus, dan Ibrahim.

Keterlambatan proses penyeleksian KY menimbulkan reaksi yang cukup keras dari kalangan masyarakat sipil, terutama yang bergerak di bidang hukum.

Bahkan, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) mengajukan gugatan kepada Ketua DPR Marzuki Alie dan Ketua Komisi III Benny K. Harman atas keterlambatan itu (hukumonline, diakses pada 10 Januari 2011).

Setidaknya, terdapat dua argumentasi kenapa tindakan DPR dan pemerintah terkait keterlambatan seleksi Anggota KY harus disikapi secara serius. Pertama, KY adalah lembaga negara yang memiliki status lembaga organik. Keberadaan KY menjadi penting karena terkait dengan eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara.

Pengaturan KY diatur dalam Pasal 24 B UUD 1945 Perubahan ke III yang mengatur tentang kewenangan serta pengaturan pokok mengenai keanggotaan KY. Lebih lanjut, Pasal 24 B ayat (3) UUD 1945 Perubahan Ke III mengamanatkan bahwa sususan, kedudukan, dan keanggotaan KY diatur dengan UU. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam ayat itu kemudian diatur dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Salah satu materi muatan dari UU itu adalah mengatur tahapan proses seleksi Anggota KY.

Berdasarkan konstruksi berpikir di atas, tampak jelas bahwa KY maupun UU No. 22 Tahun 2004 merupakan amanat langsung dari konstitusi Indonesia.

Kegagalan dalam mematuhi ketentuan-ketentuan organik UUD 1945 sudah dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945.

Mengenai argumentasi tersebut, Anggota DPR berkilah bahwa mereka tidak melakukan pelanggaran karena pembahasan proses seleksi KY terpotong oleh masa reses DPR. Dengan demikian, waktu 30 hari pembahasan sebagaimana yang diajukan DPR seharusnya berhenti atau tidak dihitung selama masa reses berlangsung (mediaindonesia.com, diakses pada 10 Januari 2011).

Namun, argumentasi yang demikian sangatlah lemah karena melakukan kerja atau rapat pada masa reses tidaklah dilarang, bahkan diperbolehkan. Pada Pasal 47 ayat (2) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2009 dinyatakan bahwa:

“apabila dalam reses ada masalah yang menyangkut tugas dan wewenang DPR yang dianggap mendasar dan perlu segera diambil keputusan, Pimpinan DPR secepatnya memanggil Badan Musyawarah untuk mengadakan rapat setelah mengadakan konsultasi dengan pimpinan fraksi.”

Dalam konstruksi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa melakukan rapat seleksi Calon Anggota KY yang merupakan amanat konstitusi dapat dikategorikan sebagai masalah yang menyangkut tugas dan wewenang DPR yang mendasar.38 Hal itu didasarkan pada dua argumentasi. Pertama, DPR sebagai lembaga perwakilan merupakan penjelmaan langsung dari kedaulatan rakyat dan pelaksanaannya berdasarkan UUD 1945. Hal itu dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Jadi, konsekuensi dari proposisi itu adalah DPR—dalam menjalankan fungsinya—harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh UUD 1945 (konstitusi).

Dengan demikian, DPR tidak dapat begitu saja dapat mengabaikan amanat konstitusi atas dasar masa reses. Kedua, Anggota DPR—dalam sumpah jabatannya—

menyebutkan untuk “…..memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”. Oleh karena itu, mengabaikan amanat UUD 1945 juga merupakan sebuah pelanggaran terhadap sumpah Anggota DPR.

Kedua, kekosongan Anggota KY juga menyebabkan potensi penumpukan perkara. Sebagai catatan, tiap bulannya, KY menerima rata-rata 133 aduan masyarakat terkait pelanggaran dari perilaku hakim. Dari 133 aduan itu, ada sekitar 74 aduan yang sesuai dengan kewenangan KY untuk diproses lebih lanjut. Setiap bulan pula, KY melaksanakan empat kali pleno yang setiap pleno rata-rata berhasil memutuskan 15 aduan. Jadi, dalam satu bulan, KY dapat menyelesaikan rata-rata 60 aduan masyarakat. Dari data itu, dapat diperkirakan kekosongan Anggota KY berakibat pada penumpukan aduan masyarakat sebanyak 60 aduan. Dengan demikian, penumpukan perkara selama 5 bulan—dengan asumsi berakhirnya masa jabatan Anggota KY periode 2005—2010 pada 2 Agustus 2010—berjumlah 300 aduan.

38 Argumentasi ini jika dikemukan oleh Transparansi Internasional Indonesia dalam position paper-nya

tertanggal 25 Oktober 2010,

www.ti.or.id/media/documents/2010/10/25/p/o/potensi_pelanggaran_uu_ky_oleh_dpr.pdf

Hal tersebut sebenarnya telah diantisipasi oleh pemerintah dengan memperpanjang masa kerja komisioner KY periode 2005—2010 melalui Keppres No.

82/2010 tentang Perpanjangan Masa Jabatan Anggota Komisi Yudisial. Akan tetapi, penyelesaian itu justru menimbulkan persoalan baru mengingat Pasal 29 UU No. 22 Tahun 2004 menentukan bahwa masa jabatan Anggota KY adalah lima tahun.

Dengan demikian, Keppres perpanjangan itu menjadi cacat hukum dan berpeluang menciptakan ketidakabsahan terhadap penanganan aduan-aduan yang dilakukan oleh Anggota KY yang diperpanjang jabatannya.

Keterlambatan proses seleksi KY merupakan catatan buruk kinerja; tidak hanya bagi DPR, tetapi juga pemerintah selama 2010. Kinerja buruk itu patut menjadi catatan penting karena jika ditelisik lebih dalam lagi, DPR dan pemerintah telah melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945. Keterlambatan proses seleksi Anggota KY merupakan preseden buruk bagi penegakan ketentuan-ketentuan UUD 1945. Keterlambatan itu juga menunjukkan sikap arogan DPR dan pemerintah dengan menyepelekan keberadaan KY sebagai sebuah lembaga yang keberadaannya diatur dalam UUD 1945.

Dalam dokumen BERHARAP PADA 560. Catatan Kinerja DPR (Halaman 91-94)