xvii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
LAMPIRAN
Lampiran A Form Bimbingan
xviii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
xix
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
LAMPIRAN
Lampiran B Transkrip Wawancara dengan dr. Liza H. Bun
Tanggal : 6 September 2020 Waktu : 21.50 – 22.50 WIB
Lokasi : Kediaman masing-masing, melalui WhatsApp Narasumber : dr. Liza H. Bun, Akp., Dipl. Cibtac., M.M., M.Farm.
Owner dari Graha Estetika
P: Pewawancara N: Narasumber
P: Halo dr. Liza, perkenalkan saya Amelia Ivanka, mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara jurusan Desain Komunikasi Visual, saat ini saya sedang meneliti mengenai penggunaan sheet mask di kalangan generasi muda.
N: Halo juga Amelia Ivanka. Silakan. Ada yang mau ditanyakah? Silakan dengan voice record, saya akan jawab langsung.
P: Oke dr. Liza, saya langsung bertanya saja ya dengan voice record.
N: Silakan.
P: Langsung saja dr. Liza untuk pertanyaan pertama, saya ingin mengetahui apakah produk skincare khususnya pada facial product untuk zaman sekarang ini sudah mengalami banyak perkembangan? Mungkin bisa dijelaskan dari segi bahan facial productnya sendiri dan pemasarannya.
xx
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
N: Ya, Selamat malam. Jadi untuk produk facial untuk masa sekarang sangat berkembang sekali. Jadi yang dulunya cuma simpel aja dari cuma pembersih, sekarang bisa ada pembersih dilengkapi dengan peeling, dilengkapi dengan moisturizer, jadi ada multifunctionnya juga. Dan dari segi bahannya juga berkembang ya, dari dulu misalnya dari bahan kimia, sekarang juga menggunakan bahan-bahan alam yang sangat bervariasi. Jadi kita bisa memilih daripada produk tersebut berdasarkan jenis kulit kita dan apa tujuan kulit kita. Misalnya jenis kulit kita adalah tipe yang kering, sensitif, berjerawat, atau kombinasi, maka itu bisa disesuaikan. Dan juga apa keinginan kita, misalnya kita untuk indikasinya adalah untuk menyembuhkan jerawat, atau untuk pelembab saja, atau juga untuk mencegah penuaan, dan itu kita bisa memilihnya, atau bisa dikonsultasikan kepada dokter anda secara langsung. Dan secara pemasarannya itu juga banyak bervariasi, dan sampai sekarang berkembang dengan sistem online. Kalau dulu masih kita berdasarkan mungkin ke tempat-tempat klinik, atau ke tempat-tempat salon, atau sekarang juga bisa ke toko-toko yang ada di mall, dan di toko-toko khusus, dan sekarang kita juga bisa sampai mendapatkan secara online. Jadi sekarang banyak dipermudah. Dan juga sekarang itu ada free konsultasi (sebelum membeli). Apakah pertanyaan tadi jawabannya ada yang kurang jelas?
P: Oke dr. Liza, sudah jelas untuk yang jawaban pertanyaan tadi, jadi untuk sekarang berarti produk facial sudah berkembang secara pesat ya.
N: Iya betul, Amel.
P: Oke terima kasih untuk jawabannya, dr. Liza saya ingin tahu untuk facial product khususnya facial mask. Apakah benar sedang booming di kalangan generasi muda?
Kalau sepengetahuan dari riset yang saya lakukan, banyak faktor terutama seperti kemajuan teknologi, terutama di Asia, seperti Cina dan Korea.
N: Ya, jadi kita mesti tahu dulu ya jenis-jenis facial mask itu. Dan jenis-jenis perawatan facial selain face mask itu ada apa aja. Jadi kelebihannya facial (sheet) mask itu adalah lebih praktis. Kita tidak usah ada proses mengaduk-aduk, tidak ada proses pembersihan yang lebih ribet. Kalau jenis lain seperti clay mask, chemical
xxi
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
mask, itu kita mesti ada proses pengadukan, dosis, dan sebagainya. Dan itu benar sekali. Produknya bukan hanya dari Cina dan Korea juga ya. Dari produk Amerika, Eropa juga banyak berkembang. Mungkin karena Korea dan Cina itu yang kita pikirkan adalah harganya yang kompetitif, dan juga sekarang dari desainnya, dari cara packagingnya, bahan-bahannya, itu juga sangat banyak sekali pilihan dan menarik. Jadi kalau untuk anak muda, terus terang ya itu sangat diuntungkan.
Karena kalau dari packagingnya sudah lebih eye-catching, lebih menarik, dan juga cara pemasarannya, bahannya, fungsinya serta indikasinya, memang booming sekali untuk anak-anak muda zaman sekarang. Dan kita lihat banyak sekali toko- toko yang bertebaran di Jakarta, seperti toko-toko Korea yang sampai buka franchise store dibandingkan di Koreanya sendiri. Kalau di anak muda juga masalah utamanya misalnya kulitnya yang berminyak, kering, atau yang ingin glowing. Jadi itu juga banyak sekali pilihannya dari yang bahan kimia juga, seperti hyaluronic acid yang berfungsi melembapkan, ceramide untuk meningkatkan kadar air, dan juga dari whitening, atau bahan dari jojoba atau yang lainnya seperti bunga, herbal. Jadi tergantung lagi dari indikasi dan apa yang diinginkan dari individu anak-anak muda.
P: Oke terima kasih untuk jawabannya, dr. Liza. Jadi untuk menyimpulkan jawaban pertanyaan tadi, berarti product facial ini booming karena terutama bahan sama khasiat yang diberikan, serta desain packagingnya ya. Kalau facial product seperti facial mask itu yang paling diminati sama generasi muda itu jenis apa, ya? Kemarin saya riset jenis-jenisnya ada fiber mask, hydrogel mask, dan bio cellulose mask.
N: Kalo yang paling populer sekarang itu fiber sheet mask ya. Kita lihat dari segi kepraktisannya, karena dia juga sudah terdapat serum, jadinya lebih komplit. Tapi kalau kita lihat daripada clay mask dan lain-lainnya itu lebih agak kurang maksimal hasilnya. Tapi tergantung indikasi dan selera pada anak muda tersebut. Jadi kalau sheet mask itu kan lebih praktis, fleksibel, dan modis, yang kalau sekarang diperhatikan itu banyak variasinya juga yang lebih dikembangkan, seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, seperti packaging, jenis bahannya sampai kepada promosinya ya kalau saya lihat. Jadi kayak menggunakan aktor, aktris, dan juga
xxii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
indikasinya digunakan ke anak-anak muda. Jadi semuanya lebih ke sifat anak muda yang lebih modern dan praktis. Dan harganya juga tidak terlalu mahal, sehingga terjangkau anak-anak muda.
P: Oke, saya juga ingin tahu lebih lanjut sebenarnya apakah produk sheet mask memiliki tingkat efektivitas yang ampuh atau mumpuni dalam jangka waktu panjang? Atau efeknya hanya berlangsung singkat?
N: Ya jadi kalau sheet mask kita lihat dulu juga, yang paling penting menurut saya itu bahannya. Jadi kalau efektivitas ini sebenarnya apa yang diinginkan oleh si anak muda tersebut. Kalau kulitnya tidak bermasalah (tidak harus konsul ke dokter kulit), ya oke oke saja kalau memakai dalam jangka waktu sebentar. Jadi kayak seminggu sekali pakai masker, tapi jangan lupa prinsipnya adalah kulit dibersihkan terlebih dahulu. Jadi jangan cuma asal pakai masker, gunakan pembersih yang tepat. Dalam sheet mask itu kan ada serum ya, jadi itu harus digunakan juga. Setelah dipakai jangan lupa pakai pelembap lagi. Jadi disesuaikan dengan jenis kulitnya, misalnya kulitnya kering atau berjerawat. Jadi efektivitasnya tidak bisa diukur dari sheet masknya sendiri. Jadi dari pembersihnya, pelembapnya, terus pola makan gitu, lifestylenya juga harus diperhatikan jika kita mengharapkan kulit kita sehat dan diinginkan. Kalau pemakaian dalam jangka waktu lama, produk apapun itu juga tidak kita izinkan, dan juga istilahnya kulit itu sesuatu yang kondisinya berubah terus, misalnya di umur sekian, atau kondisi sakit, lagi sehat, lagi stress, atau bagaimana kondisi kulitnya sendiri, jadi kita harus ngerti kapan memakai jenis sheet mask berbeda. Jadi belum tentu seumur hidup bisa selalu cocok memakai sheet mask yang sama. Dan juga apa yang direkomendasikan oleh teman belum tentu cocok, kayak misalnya “oh yang ini bagus nih! Pakai aja!” itu biasanya suka ikut-ikutan di generasi muda. Itu disarankan juga jangan, jadi baca dulu. Kita paling penting mengetahui jenis kulit kita dulu, tahu bahannya dan paling penting ada izin edar di produknya.
xxiii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
P: Jadi kalau disimpulkan efektivitas sheet mask itu banyak faktor lain ya, seperti kondisi kulit, umur, stress dan psikologis ya. Kalau untuk efek sheet mask itu sendiri kira-kira bisa long lasting tidak ya?
N: Seperti yang sudah saya jabarkan tadi, tentu tidak bisa. Karena banyak faktor kalau misalnya mau kulit itu bisa glowing, ada faktor hormonal, faktor ekstrinsik misalnya paparan sinar matahari, polusi, dan sebagainya. Itu yang harus kita pertimbangkan. Jadi kalau misalnya mau muka glowing seperti model-model hanya dengan menggunakan sheet mask, tentu tidak bisa. Kecuali kalau kondisi kulit kita memang dalam keadaan normal atau sehat itu tentu bisa. Tapi kalau dari dasarnya kulitnya sudah sensitif, berjerawat, atau bahkan berkomedo.. tentu jawabannya bukan sheet mask. Ada perawatan wajah yang lain yang akan lebih cocok, seperti di rumah ya melakukan cleansing yang tepat, baru pakai yang lainnya seperti peeling, atau moisturizer, sunblock. Kalau sudah iritasi, sensitif, berjerawat, berkomedo diiringi infeksi ya tidak bisa hanya dari sheet mask. Jadi lebih baik langsung konsultasi kalau mau long lasting effect.
P: Oke dr. Liza, terima kasih untuk jawabannya. Untuk pertanyaan terakhir saya ingin menanyakan apakah sebenarnya penggunaan sheet mask itu wajib dalam rutinitas skincare seseorang? Jika tidak apakah ada alternatif dari penggunaan sheet mask tersebut yang lebih efisien? Kayak misalnya kalau sheet mask kan beli bisa satu pack isi sepuluh.
N: Jadi seperti yang dijabarkan, penggunaan sheet mask itu bukan satu-satunya faktor penting dalam perawatan wajah. Jadi yang paling ditekankan ya kebersihan.
Kebersihan itu biasanya dari cleanser atau toner yang dipakai. Setelah itu lihat juga untuk perawatan kulit mati, karena kan kulit bisa regenerasi. Apakah perlu peeling atau tidak? Lihat dulu jenis kulit kita jenis kulit apa? Kalau sensitif ya jangan pakai peeling dulu. Kalau berjerawat perlu keratinisasi, pengelupasan kulit. Atau kulit flek? Soalnya sekarang banyak anak muda yang juga hiperpigmentasi ya karena sunburn atau kegiatan outdoor. Harus liat kondisi dan indikasi ya. Nah setelah itu baru dilanjutkan dengan proses masker. Manfaat masker ya antara lain mengangkat sisa-sisa kotoran, melembapkan, dan tadi Amel juga menyinggung soal relaksasi
xxiv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
ya, memberi kenyamanan pada kulit. Jadi sekarang sheet mask yang trending di kalangan muda itu ya karena praktis dalam satuan dan harga yang ekonomis dan terjangkau, dan bisa 1 paket isi 10 itu, dipikirkan juga ya pemakaiannya. Prinsipnya tetap ya kebersihan kulit, lifestyle, indikasi yang kita inginkan. Penggantinya ya banyak juga tergantung pada indikasi kulit. Contohnya bisa hanya memakai pembersih, atau menggunakan moisturizer gel atau krim.
xxv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
LAMPIRAN
Lampiran C Transkrip Wawancara dengan Putu Ayu Indira Ardiyatna
Tanggal : 9 September 2020 Waktu : 14.15 – 14.50 WIB
Lokasi : Kediaman masing-masing, melalui ZOOM
Narasumber : Putu Ayu Indira Ardiyatna, S.T., M.Sc., co-founder dari Bumi Buddies
P: Pewawancara N: Narasumber
P: Perkenalkan kembali kak, namaku Amelia Ivanka, aku mahasiswi DKV dari Universitas Multimedia Nusantara. Sekarang ini aku lagi meneliti untuk Tugas Akhir nih, berkaitan sama penggunaan produk skincare dan hubungannya dengan kondisi sampah kosmetik di Indonesia. Sebelum aku masuk ke wawancara, kakak dipersilakan untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu secara singkat.
N: Oke, terima kasih Amelia. Dari Bumi Buddies aku juga ingin mengucapkan terima kasih juga sudah mengundang kita untuk berpartisipasi di risetnya. Namaku Indira Ardiyatna, aku co-founder dari Bumi Buddies. Bumi Buddies ini adalah organisasi yang bertujuan untuk mengedukasi dan meningkatkan kepedulian tentang isu lingkungan kepada anak-anak dan juga remaja Indonesia. Target audiens kita paling muda yaitu berumur 6 tahun sewaktu kegiatan offline, tapi sekarang karena online jadi target audiens kita ditujukan untuk mereka yang pakai sosial media dan internet, sampai yang sudah profesional, mulai dari umur 25 tahun
xxvi
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
sampai mentok umur 30 tahun. Tapi kalau kita mengadakan acara ya kadang- kadang ibu-ibu juga sering ikut di webinar kita.
P: Berarti Bumi Buddies ini lebih fokus targetnya ke young children atau young adult ya kak? Atau memang sudah sama rata keduanya?
N: Kita memang awalnya sih fokus ke young children ya, tapi sekarang sudah mulai shifting karena sudah online juga, kita juga perbanyak target ke young adult juga sih.
P: Kalau untuk sejarah berdirinya Bumi Buddies sendiri, dipelopori karena tujuan apa sih kak?
N: Jadi awalnya memang salah satu co-foundernya juga punya niatan untuk bikin organisasi yang tentang lingkungan gitu. Dan kebetulan dia ikut pelatihan di New York, Tugas Akhirnya itu untuk bikin social organization. Akhirnya karena dia punya ketertarikan di bidang lingkungan, dia ajak aku dan kemarin teman satu lagi untuk sama-sama bangun Bumi Buddies ini. Kita berdiri di tahun 2018, dan bertepatan tanggal 18 September ini kita akan berumur 3 tahun nih. Tujuannya untuk melakukan edukasi sih memang. Lebih ke arah memperkenalkan isu-isu lingkungan. Karena kan kalau kita di sekolah formal untuk anak SMP dan SMA itu nggak ada belajar tentang lingkungan, padahal kitanya tinggal di lingkungan itu sendiri. Jadi kita ingin mengsupply informasi tentang lingkungan ke anak-anak dan remaja.
P: Oh oke deh kak. Mungkin aku langsung masuk ke pertanyaan topik ya kak sekarang. Aku mau tahu kak, kira-kira gimana sih kondisi sampah kosmetik sekarang ini yang ada di Indonesia? Mungkin khususnya di perkotaan besar kayak di DKI Jakarta gitu.
N: Sebenarnya kalau di Indonesia ini salah satu challengenya adalah mengumpulkan data ya, Amelia. Jadi memang agak sulit untuk kita benar-benar secara transparan tahu sebenarnya seberapa banyak sih sampah kosmetik yang ada di Indonesia. Kalau setahu aku, dulu kan aku pernah magang di salah satu perusahaan waste management namanya waste4change. Kalau itu tahu seluruh
xxvii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
dunia itu persentasenya besar banget seberapa banyak sampah kosmetik dan skincare nih. Tapi kalau di Indonesia sendiri itu sampahnya memang mayoritas lebih dari segi packagingnya sih. Jadi lebih ke pembungkus kosmetiknya dibandingkan produknya sendiri. Kalo produknya kan memang lebih ke kandungan kimianya yang berdampak ke tubuh individu ya, gimana mereka pakai di kulitnya.
Jadinya banyakan permasalahan sampahnya itu di packaging atau kemasannya.
P: Oke deh. Kalau menurut kakak sendiri, produk kosmetik skincare itu sebenarnya minatnya lagi tinggi ngga sih di generasi muda? Lalu apakah penggunaan produk skincare ini tuh berpengaruh besar tidak ya ke kondisi sampah sekarang di Indonesia?
N: Jadi kalau menurut aku sendiri, apalagi kalau kita yang cewek-cewek gitu sering banget denger skincare-skincare gitu, apalagi sekarang ada yang lokal banyak banget dipromosiin. Jadi mungkin dengan adanya supply yang banyak itu, jadinya ada demand yang besar juga dari konsumen. Jadi banyak yang mulai tertarik untuk melakukan skincare, apalagi sekarang di rumah aja gitu, mungkin yang awalnya nggak peduli tentang penampilan jadi kayak pengen coba-coba mumpung di rumah, kan kalau nggak cocok ga kelihatan ke publik gitu. Jadi mungkin memang secara demand itu meningkat, dan berdampak terhadap sampah ya tentu sih. Seperti yang tadi aku udah sampaikan, di bagian packagingnya nih yang bermasalah. Karena semakin banyak kita beli online, ada lagi extra packagingnya, seperti bubble wrapnya dan kardusnya. Kadang kan karena barang yang dikirim terbuat dari kaca, jadi harus hati-hati, soalnya kan kadang ada produk skincare yah yang buat ala-ala difoto gitu. Jadi harus dipastikan juga kualitas barangnya bagus pas sampai. Nah itu tentu menambah jumlah sampah yang ada di Indonesia gitu. Dan di kota besar juga ya tadi, memang kalau di daerah-daerah Indonesia agak susah nih untuk mencari data skincarenya gitu. Tapi kalau di kota-kota besar kan semudah kita pesan lewat online platform aja udah gampang, dianterin langsung udah sampai rumah gitu. Jadi bisa semudah itu menambah jumlah sampah yang kita punya.
P: Benar juga sih. Aku juga punya pengalaman serupa. Tadi kan Kak Indira bilang kalau sampah kosmetik sendiri yang paling utama itu dari packagingnya. Kalau dari
xxviii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
packagingnya sendiri itu kira-kira yang jumlahnya paling banyak berkontribusi ke jumlah sampah di Indonesia itu apa ya?
N: Sebenarnya gini, sampah di Indonesia ini banyak kan, dan kita juga nggak punya sistem yang baik untuk menangani sampah itu. Kalau di luar negeri mungkin mereka sampahnya banyak, tapi mereka udah punya sistem yang lebih baik nih untuk menangani sampah itu dengan misalnya sistem daur ulangnya. Misalnya kardus untuk packagingnya mereka udah tahu gimana sortirnya, juga misalnya kaca-kacanya itu dibuang ke mana, kalau botolnya plastik harus diapakan. Di sana intinya sih lebih terstruktur, aku nggak bisa bilang sudah jauh lebih baik tapi lebih terstruktur dibanding sistem yang kita punya di Indonesia. Di Indonesia ini recycling rate kita baru 7% dari jumlah sampah yang dihasilkan di Indonesia. Itu sedikit banget. Dan tempat magangku yaitu waste4change pas lihat tuh kayak:
“Sampahnya udah banyak lho, dan ini baru segini yang direcycle, gimana 93%
lainnya ya?”. Nah jadi itu emang karena banyak juga dari skincare dan makeup jenis-jenisnya beda, dan tempat sampahnya cuma satu kan biasanya. Jadi yang penting buang ke tempat sampah, mikirnya kalau sudah tidak kelihatan di mata kita berarti ya udah hilang gitu. Padahal bukan berarti kalau misalnya kita sudah tidak lihat, sudah hilang dari bumi sampahnya. Karena plastik itu kan umurnya bisa sampai 500 tahun, kitanya udah hilang dari bumi, tapi sampahnya masih ada. Jadi itu sih yang paling krusialnya dari sampah kalau menumpuk. Sedih juga gitu karena orang-orang ingin skincare sekarang packagingnya dibuat lucu-lucu, ternyata malah menambah sampah juga.
P: Iya, apalagi kalau misalnya skincarenya sekali pakai gitu ya kak. Misalnya kayak sheet mask gitu. Atau misalnya yang kayak dapat gratisan skincare trial gitu.
N: Iyaa, seperti yang sachet kecil-kecil gitu. Itu juga salah satu isu lagi sebenarnya Amelia. Karena kadang-kadang itu bukan cuma plastik satu layer, tapi multilayer.
Nah, kalau misalnya mau didaur ulang, itu sebisa mungkin plastik dipisahkan sesuai jenisnya. Plastik itu ada tipe 1 – 7, terus kan kadang kalo sachetan-sachetan itu ada lapisan alumuniumnya, nah itu yang bikin jadi kompleks. Tadi Amelia juga bilang tentang sheet mask itu ya? Nah sheet mask itu kan rasanya kayak kertas atau kayak
xxix
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
tisu basah gitu, sebenernya bukan kertas (murni) asli gitu, karena ada lapisan plastiknya di mask itu. Itu yang bikin jadi sulit. Mau kita daur ulang pun susah banget dan complicated.
P: Ah iya kak. Kemarin aku juga sempet baca tentang jenis sheet mask itu kan ada tiga yang paling diproduksi, nah salah satunya seingatku namanya bio cellulose mask deh. Tapi aku kurang yakin sama pernyataan kalau bio cellulose itu bahannya full biodegradable.
N: Kalau dari sepengetahuan aku ya, aku sebenernya bukan skincare expert juga, tapi dari yang aku tahu memang sheet mask itu kalau ada permukaan yang licin itu biasanya pasti tetap ada plastiknya. Walaupun tipis atau sedikit, pasti ada plastiknya. Dan itu yang bikin jadi sulit untuk didaur ulang sehingga menambah permasalahan sampah. Karena harus dipisahin sebenernya. Jadi kertas dan plastiknya di masker itu harus didaur ulang terpisah.
P: Oke, kalau menurut kakak sendiri, untuk kedepannya kalau orang belum sadar kalau mereka punya skincare banyak, tapi ujung-ujungnya kalau udah expired tidak terpakai lalu dibuang, apalagi yang kayak seharusnya sekali pakai saja. Apakah hal ini akan berdampak terhadap pengolahan sampah dan manajemen sampah jenis lainnya?
N: Kalau misalnya expired kan berarti masih ada kandungan bahannya ya di dalamnya. Nah itu membuat effort lebih nih untuk si pengelola sampahnya untuk ngerukin sisa-sisa makeup atau skincare yang masih ada. Itu juga akan menghambat proses. Karena pengalamanku memang pengolahan sampah itu harus bersih, supaya harga jual dari sampah itu jadi bahan baku kembali (direcycle) lebih mahal. Kalau misalnya tidak bersih kayak tadi di produk yang expired itu (ga cocok di orang) langsung dibuang, akan susah karena ngebersihinnya susah. Jadi karena banyak orang juga yang sudah keburu malas untuk membersihkan, langsung dibuang deh sampahnya. Intinya setahuku sih emang kalau mau direcycle sampahnya harus bersih sih.
xxx
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
P: Kalau misalnya untuk dampak jangka panjangnya nih kak terhadap lingkungan, kira-kira yang paling parah itu gimana ya?
N: Sebenarnya yang paling utama itu karena mindset orang ya. Mindset ini berpikir bahwa kalau sampahnya sudah tidak ada di depan mata berarti udah bukan urusanku lagi, dan itu udah nggak akan memberikan dampak buat aku. Padahal kita sebenernya udah taruh buang sampahnya di tempatnya, diangkut ke TPA, dan sampahnya nanti akan tetap di TPA. Sampah barang yang udah kita hasilkan bahkan 20 tahun yang lalu itu masih ada di TPA, karena sampah terutama plastik itu bisa berumur sampai 500 tahun. Kita kadang nggak kepikiran dan masih kurang teredukasi dari segi itu. Apalagi di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya gitu, kayak di Bekasi, Cibubur, atau Bogor gitu, nah itu kan juga buang sampahnya di TPA Bantar Gebang, dan Bantar Gebang ini tuh udah seperti… aduh menyedihkan banget sih kalau kamu lihat fotonya Amelia. Jadi bener-bener udah kayak gunung terus ada ekskavator yang menggali tumpukan-tumpukan sampah yang tinggi tersebut. Dan itu diprediksi 3 tahun lagi bakal jebol, dalam arti akan masuk ke sungai-sungai yang artinya semua sampahnya akan larut ke laut, padahal laut kita udah penuh banget dengan sampah juga, dan akhirnya lautan kita penuh nih dengan plastik. Yang akhirnya ini diprediksi pada tahun 2045 hingga 2050 itu, nanti akan lebih banyak sampah plastik di laut daripada ikan. Terus juga mungkin pernah dengar istilah mikroplastik ya. Jadi plastik-plastik yang mungkin sudah agak hanyut tapi nggak hanyut banget, akhirnya plastik-plastik kecil itu nggak sengaja terhirup sama binatang-binatang yang ada di lautan, dan akhirnya mereka makan, lalu berlanjut pas kita makan ikan, jadinya kita makanlah itu plastiknya. Jadi kita kan gak mungkin ya gigit-gigit plastik gitu karena kita udah tahu itu buruk. Tapi kita selama ini nggak tahu dan sadar bahwa kita udah secara nggak langsung gigit dan makan plastik yang dimaksud. Karena ikan-ikan yang kita makan ini atau binatang- binatang laut lainnya, seperti di sushi gitu ternyata ada plastiknya karena tindakan kita sendiri juga gitu lho. Dan kita ngerasa: “Ah, enggaklah.” Bahkan ada riset baru- baru ini ya, di placenta bahkan ditemukan ada mikroplastiknya. Udah kerasa nih sebenernya dampaknya Amelia, cuma ya kita aja decides to yaa, yaudahlah belum kejadian sama kita aja, kita nggak mau percaya aja gitu. Dampaknya itu ya
xxxi
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
mulainya dari mindset tadi kita ya gak ngerti sebetapa panjangnya nih dampak dari membuang bahkan hanya sampah 1 biji saja. Bayangin kalo nanti kita skincare atau ganti makeup tiap bulan, terus dapet sampel sampel sachet, mikirnya kan waah dapet gratisan! Sedih sih memang mau pakai face mask dan segala macamnya untuk mempercantik diri, tapi ternyata dampaknya untuk bumi kayak gitu.
P: Aku juga mau tanya kak, sebelumnya dari Bumi Buddies sudah pernah ngadain webinar atau talkshow terkait masalah skincare ini nggak sih?
N: Kalau dari Bumi Buddies sendiri memang belum pernah bahas tentang skincare atau makeup gitu sih, kita belum diskusiin secara elaborate, masih secara general.
Misalnya tentang sampah plastik, anything that contains plastic dan dampaknya seperti apa, tapi kita ga pernah tackle tentang skincare. Alasannya sih bukan karena bukan isu besar, tapi lebih ke audiens kita masih general, waktu offline masih anak- anak dan remaja SMP-SMA, jadi belum sempat sih. Tapi ini mungkin bisa jadi ide menarik untuk dibahas sih ke depannya. Menurutku penting untuk tahu bahwa apapun yang mengandung plastik itu buruk dampaknya ke lingkungan, jika tidak ditackle dan dimanage dengan baik itu akan merugikan kita juga.
P: Kalau misalnya sekarang ini kira-kira tindakan paling tepat itu gimana sih kak, untuk mengurangi jumlah sampah kosmetik ini? Tadi soalnya kan Kak Indira ada sempat singgung soal mindset kita sendiri gitu. Apakah harus dimulai dari sana?
Atau bisa melalui cara lain?
N: Ya jadi memang sih, ini kalau ditanya sebenarnya siapa sih yang salah, sebagai konsumen atau produsen? Kadang agak nyalahin produsen, misalnya “Kok gak bikin produk yang eco-friendly?” gitu. Tapi kita sebagai konsumen yang pakai juga harusnya sudah tahu dong, gimana kita harus bertindak. Kalau menurutku sebenarnya dari dua belah pihak harus bertindak, dimana si konsumen harus pintar- pintar memilih juga support skincare yang memang bahannya juga lebih ramah lingkungan. Kan jadinya tidak mencemari lingkungan kalau misalnya cairan skincarenya itu pas dibuang karena bahannya tidak meracuni lingkungan. Dari segi packaging juga seminimal mungkin dan sesatu jenis material mungkin. Supaya
xxxii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
nanti jika direcycle lebih mudah. Tapi produsen juga harus punya program yang mau menarik perhatian dari konsumen untuk lebih eco-friendly dan nggak repot.
Kan biasanya banyak beberapa brand yang nawarin program recycling kalo kita bawa botol kosong, nanti dia kasih poin. Itu juga salah satu ide yang baik banget, Orang-orang jadi tergerak juga kan kayak “Wah dapet barang lain nih, harus kumpulin barang-barang bekasnya supaya nanti dapet poin” Itu juga jadi salah satu dorongan atau insentif buat konsumen. Tapi konsumen menurutku juga harus teredukasi sih. Karena kalo misalnya kita bodo amat meskipun perusahaannya sudah buat mekanisme seperti itu, kan nggak bisa juga ya. Jadi memang harus ada inisiatif dari dua belah pihaknya sih.
P: Jadi dua belah pihak itu memang harus kooperatif ya saling timbal balik.
N: Betul. Kalo istilahnya sih biasanya itu namanya EPR, yaitu extended producer responsibility. EPR ini di setiap perusahaan harus punya, yaitu gimana caranya mereka bertanggungjawab atas semua yang mereka produksi, sampai akhir hidup produk yang sudah mereka produksi. Sementara kalau botol-botol plastik itu kan umur hidupnya 500 tahun kan, itu EPR fungsinya untuk memastikan gimana mereka harus balikin secara circular ke mereka sendiri.
P: Hmm. Oke deh. Kalau untuk edukasinya sendiri ke generasi muda, kira-kira kalau lewat kampanye sosial gitu memungkinkan nggak sih kak?
N: Oke, kalau kemarin itu kita dari Bumi Buddies sendiri juga sering bikin kampanye, sosialisasi, terus biasanya kita kasih insentif kayak hadiah gitu, supaya orang-orang tertarik. Awalnya sih memang kayak gitu ya yang mulai kita lakuin.
Tapi kita pengen menyusun mindset orang-orang terlebih dahulu sih, Amelia.
Karena kita pikir kalau orang sudah lebih paham kenapa mereka harus melakukan ini, mau dimodifikasiin gimana pun dia akan sadar. Jadi kalau kita lebih fokus ke ningkatin awareness dulu, jadi lebih kayak agar orang mikir “Oh ternyata aksiku tuh begini lho dampaknya”. Nah dari sana mau ada isu apapun yang berkaitan dengan lingkungan, karena dia udah peduli terhadap lingkungan, dan tahu dampaknya kalau misalnya dia salah melakukan hal seperti itu, pasti akan lebih
xxxiii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
mudah untuk disenggol-senggol gitu. Kalau menurutku kampanye bisa dilakukan, dan itu bisa lumayan efektif kalau terus nih kita push.. Jangan sampai mereka lupa atau cuma kayak melakukan atau tahu isunya sekali doang. Kayak sekarang kan mungkin lagi ramai tentang isu perubahan iklim, udah mulai sering ya maksudnya nggak cuma sekali doang. Jadi kayak “oh perubahan iklim tuh dampaknya seperti ini.” Secara terus-menerus, lama-lama kan orang jadi penasaran kayak “aduh ini kenapa sih soal perubahan iklim” sampai akhirnya mereka mau nggak mau udah tahu, dan tanpa mereka udah harus tahu pun udah merasa familiar. Kayak gitu sih mungkin Amelia… Jadi dari kampanye kita ningkatin awarenessnya, yang akhirnya mereka sadar dan paham, dan akhirnya lebih punya willingness untuk melakukan ke aksi sendiri.
P: Oh iya kak, aku juga mikir sih soalnya kan kebanyakan orang Jakarta itu mungkin udah sadar sama tindakan mereka dalam menggunakan skincare.
Mungkin memang benar yang seperti tadi Kak Indira katakan kalau mereka sudah aware tapi belum ada tindak nyatanya gitu.
N: Iya. Sebenarnya menurut aku possible sih untuk bikin kampanye. Tapi memang butuh banyak massa dan harus terus dilakukan, jangan cuma sekali aja gitu. Karena kalau sekali aja ya orang akan lupa gitu.
P: Benar kak, mungkin dari aku sendiri karena salah satu produk skincare yang paling ngetren sekarang itu kan face mask ya di e-commerce banyak pembelanjaannya. Terus pas aku riset kemarin sheet mask itu paling diminati, karena harga murah, packagingnya bagus dan menarik. Dan face mask ini memang banyak yang dipakai ya sekali saja gitu sifatnya disposable, dan menurutku bisa berdampak langsung ke kondisi sampah. Mungkin bisa dimulai dari hal kecil dulu gitu.
N: Iya. Soalnya kan kadang kita mikir kalau yang disposable gitu itu selalu yang paling higenis, dan tergantung bagaimana kita pakainya. Kayak misalnya sheet mask itu praktis juga kan, padahal sebenarnya yang kita bisa maskerin kayak clay mask yang dioles ke muka itu juga bisa jadi alternatif. Atau misalnya yang serupa,
xxxiv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
seperti pemakaian tisu basah itu juga alternatifnya ya cuci tangan hingga bersih.
Sheet mask itu kan juga ada packagingnya dan maskernya sendiri. Tapi lain cerita kalau skincare yang botolan kaca, itu kalau produknya sudah habis ya kacanya bisa diambil untuk direcycle, dan kalau kaca ini lebih mudah dan dia direcycle seperti baru dan semula lagi. Materialnya bisa direcycle secara terus-menerus. Tapi kalau plastik, jika direcycle terus menerus, akan berkurang kualitasnya. Misalnya sekarang kualitas plastiknya 100%, kalau direcycle jadi 60%, 20% dan seterusnya.
Masih bisa berumur sampai 500 tahun, tapi kualitas jadi bahan baku dasar lagi itu akan semakin mengecil gitu. Kalau kaca itu bagus dan bisa terus kualitasnya tetap 100%. Hal ini karena proses kimianya lebih bagus dan lebih tahan lama daripada plastik.
P: Oh oke deh kak. Aku juga mau tanya apakah sebelumnya sudah pernah ada kampanye terkait skincare selain yang pengembalian botol atau kemasan skincare ke perusahaan?
N: Kampanye yang recycle itu ya? Selain itu kurang tahu sih, mungkin udah ada yang pernah dilaksanain, tapi aku nggak bisa jawab sih kalau untuk itu.
P: Oke kak. Aku juga ingin tanya kak, berkaitan kampanye ini kan untuk pelaksanaan Tugas Akhir kak, tapi aku juga lagi membutuhkan Lembaga yang bisa menaungi pelaksanaan kampanye ini. Kira-kira dari pihak Bumi Buddies bersedia tidak ya untuk menjadi Lembaga yang menaungi?
N: Boleh, boleh. Ini Amelia rencananya mau bikin acara atau durasi kampanyenya saja? Atau kira-kira kegiatannya mau kayak gimana ya?
P; Kalau sekarang aku masih butuh insight dan data tambahan untuk perancangannya kak, kemungkinan akan bersifat interaktif. Untuk durasi kampanyenya sendiri nanti aku juga harus menentukan berapa lama dan medianya bagaimana.
N: Mungkin nanti aku bisa tawarin ke teman-teman Bumi Buddies yang lain, tapi kalau kita sekarang memang lagi ada kegiatan sampai bulan September akhir sih.
Kalau untuk Oktober sampai Desember kita memang masih kosong sih, jadi
xxxv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
kampanyenya kalau setelah bulan September we would be very happy to participate. Kalau misalnya kamu butuh data lagi atau interview lagi, nanti berkabar saja, kita bisa atur sebisanya kita.
P: Oke kak, mungkin segitu dulu dari saya untuk wawancara kali ini, terima kasih banyak ya Kak Indira.
N: Oke terima kasih ya Amelia.
xxxvi
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
LAMPIRAN
Lampiran D Transkrip Wawancara dengan Aldian Giovanno
Tanggal : 22 Oktober 2021 Waktu : 13.30 – 14.00 WIB
Lokasi : Kediaman masing-masing, melalui ZOOM Narasumber : Aldian Giovanno, founder dari Jinawi
P: Pewawancara N: Narasumber P: Pewawancara N: Narasumber
P: Sebelum saya mulai wawancara, boleh tolong perkenalkan diri dulu Kak secara singkat aja nggak apa-apa.
N: Perkenalkan saya Aldi atau Aldian, saya pemilik dari Jinawi Natural, salah satu artisan lokal skincare yang berbasis di Malang. Jinawi sendiri sudah mulai berdiri sejak tahun 2018, kita sekarang sudah memasuki tahun yang ketiga.
P: Kalau untuk sejarah berdirinya brand ini sendiri latar belakang gimana sih Kak kira-kira?
N: Jinawi ini kan bisnis keluarga. Kami terdiri dari saya istri kemudian kakak saya. Kakak saya punya anak laki-laki. Waktu usianya sekitar 6 bulan keponakan saya nggak bisa menggunakan sabun-sabun konvensional yang ada di pasar. Lalu karena dasarnya hobi sih dengan yang berkaitan sama sabun dan kesehatan, Bila kulit sabun kesehatan kita membuat sabun kita sendiri dengan bahan yang sangat sederhana kita membuat sabun kita sendiri dengan bahan yang sangat sederhana,
xxxvii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
yaitu terdiri dari minyak zaitun, susu kambing sama bahan-bahan lainnya.
Kemudian kita membuat sabun yang sederhana tersebut dan ternyata berhasil untuk mengatasi eczema dari keponakan saya. Berawal dari situ kita mencoba untuk memperluas alternatif yang kita punya supaya bisa dirasakan oleh masyarakat lain, hingga akhirnya kita mendirikan Jinawi.
P: Kalau menurut kak Aldi sendiri, mungkin sebelum atau sambil menjalankan Jinawi ini, apa sih menurut Kakak kayak sustainability yang diterapkan di brand Jinawi?
N: Sebenarnya kita nggak berpikir sejauh itu ya. Kita cuma berpikir bagaimana caranya kita bisa menyediakan produk yang bisa menjawab kekhawatiran
sebagian orang mungkin ketika orang-orang nggak bisa pakai sabun konvensional, terus kita melihat ada pasar yang begitu, lalu kita mencoba berkembang dari situ, karena kan awalnya dari pengalaman pribadi ya dari pengalaman keluarga dan sebagainya. Kita mencoba membuat solusi, dicoba dan berhasil. Dari situ kita mencoba untuk memperluas, ketika produk itu ternyata memang bisa nih buat dari 1 anggota keluarga kami, mungkin saja itu bisa bekerja juga buat orang lebih banyak. Kita berdasarkan pemikiran itu saja sih sampai saat ini.
P: Berarti untuk value berkaitan dengan sustainability itu dari awal ya? Bukan di tengah-tengah menjalankan brand baru terpikir?
N: Sebenarnya tuh itu benar, di tengah-tengah baru kepikiran. Karena memang pasti dinamis ya yang namanya usaha kita punya pemikiran itu pasti akan
berkembang terus. Baik dari lingkungan maupun masyarakat sekitar. Tetapi yang kalau kita mau membahas sejarah berdirinya Jinawi ya adalah kita punya masalah saat itu yaitu keponakan saya yang nggak bisa menggunakan sabun lain, seperti yang sudah saya jelaskan. Kita juga berkembang dengan adanya produk terbaru yang bermula juga dari sana sebenarnya kalau kita coba mencoba merambah di sektor produksi yang lain. Saat itu karena memang kita dasarnya orang-orang
xxxviii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
yang mungkin termasuk antusias juga ya mengenai isu-isu lingkungan, jadi memang value-value lingkungan akan kita tambahkan di tengah perjalanan.
P: Kalau dari jinawi sendiri sudah pernah ada inisiatif belum? Seperti kegiatan kampanye gitu untuk mendukung berjalannya brand, atau misalnya untuk mendukung isu lingkungan itu sendiri?
N: Sebenarnya kalau secara nggak langsung belum banyak ya. Dulu kita punya jadwal rutin mingguan untuk apa namanya kirim berkas refill ke rumah pelanggan yang ada yang ada di kota Malang, kalau kamu tahu ini ada startup namanya siklus ya. Kalau di Jakarta itu mereka ada jual kayak Rinso terus Sunlight tapi dalam bentuk refill. Kurang lebih kita kegiatannya mirip seperti itu, cuma kita lakukan itu di daerah Malang. Itu mungkin salah satu yang konkrit ya. Tapi kalau misalnya yang nggak konkrit yaitu lebih ke di mana kita berusaha banget nih menggunakan kemasan yang sebisa mungkin nggak sekali pakai,
P: Kalau respon dari peminat produk sendiri, mereka ada nggak sih yang
sebenarnya sebelum coba produk Jinawi menggunakan produk yang lebih banyak bahan kimianya? Karena kan kalau Jinawi banyak yang bahannya natural-based, terus packagingnya juga ramah lingkungan.
N: Macam-macam sih sebenarnya. Beda-beda ya persepsinya pola pikirnya dan latar belakangnya. Memang sekarang kalau ngelihat ada si sebagian kelompok masyarakat yang melalui tumbuh jumlahnya yang lebih memilih produk dan lifestyle ramah lingkungan, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan segala macamnya. Itu komunitas-komunitas itu saya rasa semakin sih makin terus bertambah jumlahnya ya selama berapa tahun ke belakang. Jadi ada banyak permintaan di situ, ada banyak market yang bertumbuh. Tapi kalau secara umum kita lihat ya, masih sedikit orang-orang yang di lingkungan sekitar kami yang mindsetnya belum berubah. Karena kalau mau kita pikir yang concern dengan isu lingkungan tuh kalau bisa di dilihat kayaknya lebih ke lapisan menengah ke atas ya. Walaupun memang komunitas green lifestyle dan eco-living sudah mulai bertumbuh.
xxxix
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
P: Kalau brand Jinawi sendiri kan banyak produknya yang pakai kemasan kaleng, tapi untuk yang bahannya dari bubuk, terus packagingnya pakai kertas, itu kira- kira refillnya bagaimiana ya?
N: Semua produk belum bisa sih untuk refill, yang biasanya bisa refill itu masih liquid soap. Kita ke depannya mau sih refill yang lain, tapi kita harus riset dan cari tahu lagi untuk bahan lainnya.
xl
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
LAMPIRAN
Lampiran E Kuesioner
xli
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
xlii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
xliii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
xliv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
xlv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
xlvi
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
xlvii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
xlviii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
xlix
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
LAMPIRAN
Lampiran F Focus Group Discussion
Tanggal : 10 Oktober 2021 Waktu : 20.00 – 21.30 WIB
Lokasi : Kediaman masing-masing, melalui Google Meet
Peserta 1
Nama : Monica Sutedja (MS) Usia : 21 tahun
Pekerjaan : Jakarta
Jenis Kelamin : Karyawan swasta
Peserta 2
Nama : Maria Clarissa Levina (CL) Usia : 21 tahun
Pekerjaan : Jakarta
Jenis Kelamin : Mahasiswi (sedang magang)
Peserta 3
Nama : Marleen Phangestu (MP) Usia : 20 tahun
l
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
Pekerjaan : Jakarta Jenis Kelamin : Mahasiswi
Peserta 4
Nama : Sherly Phangestu (SP) Usia : 18 tahun
Pekerjaan : Jakarta Jenis Kelamin : Mahasiswi
Peserta 5
Nama : Gracia Yolanda Putri (GY) Usia : 21 tahun
Pekerjaan : Jakarta Jenis Kelamin : Mahasiswi
Peserta 6
Nama : Debbie Lay (DL) Usia : 25 tahun
Pekerjaan : Jakarta
Jenis Kelamin : Karyawan swasta
li
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
P: Pewawancara
P: Kalau boleh tahu, apakah kalian tahu kegunaan dari sheet mask itu sendiri? Terus kira-kira cari tahu tentang sheet mask ini dari mana?
MS: Kalau aku sih aku dulu tahu sheet mask sewaktu lagi travel ke Korea. Terus dulu kan aku memang dulu nggak gitu pakai skincare, terus sampai sana lihat-lihat kok banyak yang jual, kayak buy 1 get 1 gitu, beli 1 pak isi 10 buah, akhirnya beli terus coba di rumah deh. Tapi untuk kegunaannya sih pengen banget ya ngerasain kalau ada produk sheet mask yang sustainable gitu.
DL: Pertama aku tahu sheet mask sih dari drakor (drama Korea) ya. Kan suka nonton tuh drakor, liat mereka sering pakai sheet mask. Jadinya yaudah penasaran kan. Terus mikirnya oh bagus juga nih pakai biar cantik kayak mereka, jadi beli, coba-coba pakai, praktis juga dan enak kayak kalo sheet masknya sebelum dipakai ditaruh di kulkas, terus habis itu dipakai sambil tiduran, enak rasanya.
P: Berarti di sini banyakan tahunya dari drakor ya, kalau yang lain gimana?
GY: Kalau aku tahunya sejak 2015-2016 gitu, tahunya dari drakor, tapi nggak pernah nyari sampai gimana banget, sampai waktu di mall gitu lihat The Face Shop, Innisfree, itu kan memang brand-brand skincare Korea yang gencar banget ngasih promo kan, terus akhirnya coba-coba dan bagus gitu. Cobanya pun karena waktu itu memang lagi ada masalah kulit gitu sih, kayak misalnya kulit lagi kering banget, terus akhirnya pakai sheet mask, oh ternyata memang bikin kulit lembap dan nggak jerawatan gitu. Lembapnya bisa 2-3 hari, tapi intensif banget. Itu sih kegunaannya kalo buat aku.
CL: Sebenarnya aku juga sama sih tahunya dari drakor, kayaknya memang kebanyakan pasti tau dari drakor. Dan sama sih juga tidak mencari dengan seksama.
Terus waktu itu pernah aku ikut ke Korea gitu, terus liat banyak yang menjual.
Waktu itu di Indonesia belum banyak tuh. Nah pas ke Korea belum terlalu gimana banget, mungkin karena aku masih kecil dan belum ngerasa kulitku masih
lii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
sempurna halus. Semakin ke sini kulit sudah makin nggak sempurna, semakin menua, misalnya kayak semakin bruntusan gitu. Nah waktu kedua kalinya ke Korea, aku kan berdua tuh sama temen, di saat itu memang lagi dingin banget pas musim semi, jadinya kulit tuh kering banget mengelupas, terus akhirnya coba beli sheet mask yang random gitu di sana. Terus dipakai di muka, oke gitu lah, kadang suka dipeper serum sheet masknya ke tangan juga karena nggak punya hand cream.
Jadinya pas pulang borong deh yang sheet mask buy 1 get 1 itu, bahkan sampai sekarang masih ada simpen. Ini nggak patut buat dicontoh sih tapi udah expired dan kadang kupakai, soalnya sayang gitu. Mukaku tetap lembap sih, jadi ya sudah.
MP: Kalau aku sih pertama kali tahu juga karena korea-koreaan sih, kayaknya juga karena teman yang juga suka Korea gitu, jadinya pengen coba, ternyata melembapkan. Tapi sebenarnya kayak sheet mask gitu banyak macamnya kan, paling kegunaannya itu lihat dari kemasannya juga sih.
P: Kalau belanja facial sheet mask, kira-kira dalam sebulan gitu belanja berapa banyak? Kenapa belanjanya sejumlah itu?
DL: Kalau aku paling sebulan cuma 10, kenapa 10? Karena buat stok aja sih, 10 aja itu sudah kelebihan buat dipakai sebulan. Soalnya kan kita nggak pakai sheet mask setiap hari gitu, soalnya memang nggak boleh kan. Seminggu paling dua kali pakai.
Belinya juga yang 1 sachet/kemasan isi 1 buah.
GY: Aku sebenarnya kurang lebih sama, tapi belinya nggak pernah per bulan.
Belinya asalkan habis aja baru beli lagi gitu. Penggunaan sheet mask itu juga karena nggak dipakai tiap hari, jadi bukan yang primer banget untuk perawatan wajah.
Kalau aku sih memang pakai kalau kepikiran aja, atau kalau kulit lagi kering gitu.
Sekali beli kadang 5, kadang 10. Terakhir beli 10 gara-gara lagi promo.
CL: Kayaknya kalo aku lebih spesifik lagi. Aku belum pernah beli sheet mask lagi setelah aku pergi ke Korea. Sebenarnya waktu itu aku beli bukan semuanya buat
liii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
aku Mel. Harusnya waktu itu aku bagi-bagi ke teman juga, tapi kan nggak sempat ketemu lagi. Jadi akhirnya nggak ada yang mengambil terus geletak di rumah deh dan banyak banget. Kalau yang expired aku sebenarnya baru pernah pakai sekali sih. Baru ketahuan habis pakai. Ga kenapa-napa sih.
P: Kalau belanja facial sheet mask, suka pakai yang bahan apa?
DL: Kalau aku suka hydrogel sih. Hydrogel hitungannya menurutku nggak gitu mahal dan bagus juga. Jadi standar gitu dan worth it.
CL: Kalau buat bawah mata gitu biasanya aku pakai yang hydrogel, tapi kalau untuk keseluruhan wajah aku suka pakai yang cotton sih.
MS: Aku nggak terlalu familiar sih sebenarnya. Kalau hydrogel mungkin pernah sekali gara-gara mamaku ada beli, terus taruh di kulkas gitu. Biasanya aku juga pakai cotton aja sih.
MP: Aku juga seringnya cotton.
SP: Sama, aku juga.
P: Kenapa sih kalau facial mask, pilihnya belanja sheet mask? Kenapa tidak yang lain?
MS: Mungkin kalau aku enaknya sheet mask itu bisa beli beberapa, dan fungsinya juga beda-beda. Kalau yang 1 tube atau 1 botol besar, bisa dipakai berulang-ulang sih, kayak wash off. Tapi kegunaannya itu cuma satu biasanya, dan ga gitu dibutuhkan setiap hari. Jadi bisa milih hari ini misalnya mau pakai yang hydrating, besoknya pakai yang buat bruntusan kayak tea tree.
CL: Aku juga kurang lebih sama. Karena awalnya kayak bukan pakai sheet mask kalau aku, pakainya yang botolan cup gitu, terus bener deh akhirnya sisa, udah lama nggak digunakan dan terlupakan, jadinya expired. Kalau sheet mask meskipun kamu expired, tapi kan kamu kalau beli itu sedikit-sedikit, jadi ya expirednya 1-2
liv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
biji. Tapi kalau 1 cup gitu kan jatuhnya banyak. Jadi lebih murah juga sih kalau beli sheet mask. Biar lebih nggak buang-buang duit. Kalau yang tube kecil-kecil gitu kan dari brand-brand terpercaya kayak Innisfree, The Face Shop. Itu kan juga nggak murah kayak harganya tuh 100 ribu, bisa 200 ribu juga tergantung jenisnya.
Sedangkan kalau sheet mask itu yah paling satunya 10 ribu atau 15 ribu.
GY: Sudah terjawab sih iya sama Ichong. Karena kalau tube ya sudah harganya mahal segitu, jadi butuh komitmen yang lebih besar. Kalau pakai sheet mask yang murah, pakai sekali buang, ya udah ngerasain manfaatnya gitu.
P: Kalau habis pakai sheet mask, pernah berpikir tidak kalau sheet mask yang disposable itu keseringan dipakai, akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan?
CL: Pernah sih.
MP: Sejujurnya sebelum mengisi survey kamu sih, sebenernya nggak kepikiran banget sih. Pakai ya pakai aja dan tujuannya memang sekali pakai buang. Sekarang baru kepikiran, bener juga sih. Sampahnya bakal kemana gitu.
MS: Kalau aku sih dulu udah sering kepikiran. Tapi masih belum gitu peduli. Pas awal tahun ini tuh udah mulai lebih jaga penggunaan produk sekali pakai. Aku biasanya jadinya beli masker yang 100 ml gitu tapi ya harus dengan komitmen yang besar. Udah gitu sekarang aku masih beli tube juga, tapi untuk sheet mask sendiri udah aku kurangi sih.
SP: Aku juga sama sih kayak ci Marleen. Awalnya juga nggak kepikiran, pakai sheet mask juga bakal mempengaruhi lingkungan. Sekarang mikirnya sih ternyata nggak bagus.
MS: Aku juga mau menambahkan sih, iya benar kalau misalnya pakai sheet mask ada beberapa yang ada thin film di dalamnya kayak lapisan yang belum dihilangkan sebelum dipakai. Gara-gara itu aku juga sempat kepikiran untuk nggak gitu beli sheet mask lagi pas awal tahun kemarin. Karena luaran plastik tipisnya kecil gitu,
lv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
jadi kalaupun nanti direcycle juga udah susah. Jadi kalau misalnya di dalemnya ada plastik lagi males deh, pemakaiannya juga jadi agak ribet gitu. Udah gitu di Indonesia masih belum ada recycling system yang baik. Jadi sebisa mungkin ya aku udah lebih kurangin pemakaian produk yang seperti ini.
P: Menurut kalian apa yang dimaksud dengan sustainable green product?
MS: Kalau menurut aku sustainable green product itu mungkin contoh yang cukup baik tuh kayak Innisfree. Jadi mereka pakai botol dari bahan yang sudah didaur ulang, lalu kayak Lush bahannya juga nggak sepenuhnya plastik, packagingnya pakai kertas.
MP: Aku juga mikirnya nggak jauh dari yang Monica udah bilang, sekarang- sekarang ini green product biasanya dari packaging gitu. Tapi nggak mungkin kan kalo dari masknya sendiri, kayak bahan plastik foilnya gitu untuk dicari penggantinya gitu, malah takutnya sekarang kalau misalnya kayak gitu dari produknya jatuhnya kayak green washing gitu. Misalnya nih ada botol labelnya sustainable, eh dalamnya masih tetap plastik. Karena menurut aku kalo sustainable itu sendiri harus perubahan yang full pada produknya sendiri, bukan dari kemasannya.
GY: Kalau aku jujur tahunya green itu kalau misalkan di toko kosmetik pakai term vegan dan cruelty free. Itu kalau di produk skincare atau kosmetik. Tapi kalau packaging plastik memang tetap dibutuhkan, karena untuk menjaga sterilnya produk. Tapi yang aku liat sekarang mungkin beberapa skincare atau bodycare di perusahaan yang besar udah punya company social responsibility, misalnya kayak Innisfree packagingnya kan bisa dikembalikan ke mereka untuk didaur ulang untuk jadi produk mereka lagi. Jadi itu bisa meminimalisir sampah kosmetik dan skincare.
DL: Sama Body Shop juga setahuku green product gitu sih. Jadi packagingnya bisa dikembalikan ke mereka gitu.
lvi
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
P: Menurut kalian alternatif untuk maskeran yang lebih eco friendly atau sustainable, kira-kira prefer masker yang seperti apa?
MS: Menurutku sih ya alangkah baiknya sheet mask itu kayak reusable cotton pads jatuhnya. Jadi misalnya cuma beli kertasnya atau kainnya, terus misalkan beli kayak esensnya pakai botol yang terpisah. Atau misalnya ada yang jual dalam bentuk powder, jadi lebih tahan lama juga. Intinya jadi kayak less cotton in a way.
GY: Ini wild idea banget sih, tapi kayak menurutku DIY itu peluangnya besar.
Mungkin kalau suatu hari bisa DIY sendiri juga. Misalnya ada brand yang mau bikin satu base face mask yang tube, benar-benar polosan gitu, juga jual spare partnya gitu. Jadi bisa beli mix ingredient A buat apa, ingredient B buat apa. Jadi kayak mix and match gitu.
CL: Dulu sih aku liat ada iklan zaman dulu kayak iklan Amerika gitu kalau bikin make up dicampur di depan mata gitu. Cuma makin ke sini mungkin orang agak males gitu. Mungkin bisa aja buat skincare sekarang. Kalau sekarang mungkin orang mau banyak pakai, karena liat proses nyampurnya mix and match seru gitu.
Orang juga udah mulai niat buat skincare gitu nyampur bahan, jadi buat orang- orang yang suka banget skincare harusnya mau banget, karena bisa pilih-pilih sendiri ingredientnya mau gimana sesuai kebutuhan.
MP: Itu rasanya mirip deh sama yang bisa buat masker sendiri pakai kapsul itu.
Kapsul yang buat bikin kolagen gitu rasanya.
P: Kalau masker yang lebih eco friendly ini misalnya lebih mahal, akankah tetap membelinya? Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa?
MP: Tergantung sih kalau misalnya ada apa aja di dalam produknya.
CL: Kalau 50 ribu cuma buat produk bubuk aja sih rasanya mau nangis sih. Kalau misalnya untuk 10 kali pemakaian gitu sih gapapa ya, tapi kalau yang kapsul yang tadi aku punya itu cuma bisa dua kali pakai. Tapi kalau misalnya sekalian sama alatnya oke sih.
lvii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
GY: Sebenarnya balik lagi ke komitmen diri masing-masing sih. Sebenarnya kan kalau sheet mask itu nggak butuh kalau nggak perlu-perlu banget. Kita juga kalau misalnya sudah punya skincare yang cocok, sebenarnya tidak butuh. Tapi karena kita nggak punya skincare gitu, alternatifnya ya beli sheet mask yang sekali pakai dan hasilnya lumayan oke.
CL: Kalau misalnya beli skincare kayak serum kan sebenarnya juga ada yang jual kecil-kecilan buat coba gitu. Ga semua brand ada sih, Cuma itu bisa jadi pertimbangan komitmennya itu sih. Belum tentu skincare ukuran kecil gitu cocok sama kamu. Jadi bisa tahu dari produk kecil kalo udah cocok, baru beli yang versi mainnya/besarnya.
P: Kalian bisa tertarik sama suatu kampanye itu awalnya mulai dari mana?
Lalu apa yang membuat suatu kampanye itu menarik?
MP: Kalau dulu malah karena sering keluar-keluar, jadinya lihat di beranda fisik mall gitu. Jadi sering liat kampanye di sana. Kalo sekarang sih lewat medsos ya, dan paling influence biasanya menurutku lewat TikTok. Soalnya orang biasanya lebih personal ngomongnya, dan lebih nyambung ke kita jadinya. Menurutku itu sih teknik kampanye yang bagus meskipun terselubung gitu.
CL: Kalau sekarang karena pandemi, pastinya sih dari sosmed ya. Kalau kayak kampanye beauty brand gitu sih banyakan di TikTok. Cuma algoritma TikTok itu kayak kurang jelas. Mungkin awalnya mulainya di Instagram, nah abis itu orang- orang di TikToknya itu mendukung kampanye itu. Tapi tetap kampanye utamanya di Instagram. Kalau di TikTok soalnya nggak mungkin banget untuk memviralkan sesuatu dalam semalam apalagi kalau pakai akun baru gitu. Kalau aku liat sekarang ya utama masih Instagram yang nanti ngarahnya ke website atau ke TikTok gitu.
Kayak misalnya ngupload apa gitu buat kampanye di TikTok.
MS: Kalau aku juga sama, jarang pakai TikTok sih sebenarnya. Menurut aku paling oke sih mulai dari Instagram story ya atau word of mouth gitu. Misalnya kayak
lviii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
temen gitu, meskipun cuma forward-forward aja dari orang lain cuma lebih percaya aja.
GY: Kalau aku setuju sama pernyataan kampanye itu mulainya banyakan di Instagram tahunya. Setting Instagram juga kelihatannya lebih profesional sih, jadi aku juga lebih percaya. Kalau TikTok iya sih personal, misalnya user ini lebih cocok A, yang ini lebih cocok B. Jadi mungkin itu yang oke kedua. Terus menurutku kampanye webinar juga oke sih, apalagi kalau misalnya webinar topik yang sejalan, terus ada kampanye sheet mask atau skincare sustainable gitu. Karena retain timenya lebih lama, misalnya webinar sejam dengan adanya materi jadi lebih paham. Kalau Instagram kan sebenarnya lebih kayak ngescroll lewat aja gitu sekilas.
DL: Kalau soal kampanye yang menarik pertama-tama pasti dari visual menurutku, kalau lihat di depan toko gitu misalnya, kalau gambarnya eye catching dan menarik gitu, kita pasti akan tertarik buat datang dan lihat gitu kan. Pas kita ngedeketin gitu baru tahu kan kampanyenya tentang isunya apa gitu.
MS: Kalau menurutku karena aku baru ngeh juga dulu aku suka dapat e-mail kayak buat acara-acara gitu, atau misalnya ada kampanye itu atau itu. Dan memang benar pertama yang menarik perhatian gitu pasti visual. Tapi yang kedua menurutku setelahnya itu pasti purpose dari kampanye itu apa, misalnya datang ke sana bisa ngapain, penjelasannya gimana, misalnya bisa dapat sheet mask yang sustainable, atau sebarin koneksi kamu lewat kampanye ini gitu.
CL: Kalau visual juga menurutku udah paling utama sih bener, apalagi kalau tipe kampanyenya kayak scroll lewat gitu. Tapi selama ini yang membuat diri aku sendiri tertarik itu kalau di Instagram kayak bahasa yang dipakai lebih personal, kadang kan ada tuh kampanye yang bahasanya formal banget, tapi ada tuh bahasanya yang kayak kamu ngobrol sama teman, tapi bahasanya masih sopan.
Misalnya kayak di IG Story ngasih taunya kayak lagi ngobrol biasa aja. Itu yang membuat aku cenderung lebih baca dibanding kalau udah baca yang formal terus
lix
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
tulisannya banyak dan panjang. Mungkin gapapa kalau di Instagram postnya banyak, tapi tulisannya dikit.
MS: Mungkin yang bisa membantu kampanye juga gitu kalau misalnya aku jadi audiensnya, paling pakai endorsement sih. Misalnya siapa yang sponsorin, terpercaya atau enggak gitu. Jangan kayak random aja ada gitu sih kampanyenya jadi nggak jelas.
CL: Iya, jangan sampai kayak brand yang kampanyenya nggak jelas endorsenya, kayak Scarlett yang ambil Song Joong Ki. Itu nggak tahu dari mana dan kenapa gitu.
GY: Dan Scarlett pun juga agak kontroversial gitu kampanyenya.
P: Kalian paling suka atau prefer gaya penyampaian kampanye yang bagaimana?
DL: Kalau aku lebih ke gambar ya, jujur aku orangnya malas baca. Kalau misalnya disuruh baca itu bener-bener skip sih. Tapi kalau gambar itu kayaknya lebih menarik perhatian atau meningkatkan rasa penasaran gitu. Lebih bagus kalau simpel dan eyecatching.
CL: Kalau aku mungkin storytelling oke, cuma kalau bisa yang nggak terlalu panjang. Banyak sih brand yang pakai storytelling gitu, misalnya dari pengalaman orang gitu kan, awalnya dari situ, cerita pengalaman, terus lama-lama jadi tahu infonya yang lebih lanjut secara singkat. Bahkan ga usah di feeds Instagram gitu.
Pernah akses kampanye website, tapi mulainya juga dari Instagram. Kalau aku tergantung isunya juga soal storytelling yah, yang benar-benar ada kampanye microweb gitu cuma satu sih dulu juga, namanya Syca. Waktu itu sempat pernah keluarin produk baru lip gloss gitu, kampanyenya itu tentang horoskop. Kalo pesan kampanyenya jujur aku udah agak lupa karena udah lama, tapi awalannya itu dari story video gitu yang singkat-singkat, bahkan ada pakai 3D gitu di Instastory, kayak teaser 15 detik gitu. Kalo di Instagram kan ada linknya gitu, dan itu ngarahin ke
lx
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
website kampanyenya. Bisa masukin horoskopmu gitu terus nanti ada quotes tentang diri sendiri gitu. Dan itu menurutku cara yang menarik sih, karena di awal ga ada info apa-apa, cuma visual yang bikin penasaran dan kepo.
MS: Kalau untuk aku kampanye yang paling nyangkut itu kayak teaser juga. Cuma itu lebih kayak tentang keseharian orang. Ceritanya itu di Sydney, pihak pemerintah itu kayak mau save water gitu, jadi kayak ada video gitu yang nampilin satu rumah, terus di atasnya ada asap-asap gitu. Asapnya orang kira kayak kebakaran dan orang- orang pemadam kebakarannya juga udah dobrak pintu segala macam, pas dobrak pintu toilet rumahnya, ternyata pemilik rumahnya cuma lagi mandi air panas sambil nyanyi-nyanyi gitu. Terus baru di akhirnya ada tagline isunya gitu. Jadi buatku sih teaser yang mengarah ke website dan mudah diingat gitu sih yang berkesan. Kalau misalnya ide kayak gitu cukup sulit buat kampanye sheet maskmu, menurutku sih mungkin bisa buat polling gitu di Instagram, kayak isi kamu ini atau ini gitu.
P: Apa yang kalian harapkan atau ingin tahu lebih lanjut dari kampanye ini?
GY: Yang pasti kalau misalnya di Instagram gitu kampanyenya yang mau aku tahu tuh kayak misalnya sampahnya sudah seberapa, terus selama ini bahannya pakai apa aja dan impactnya ke lingkungan itu apa. Terus juga mungkin selain itu bahan yang diganti jadi apa, impactnya bagaimana, dan produk yang dioffer itu khasiatnya untuk kulit seperti apa. Tapi untuk membesarkan dampak kampanyenya, kita juga harus tahu fakta seberapa besar sampahnya saat ini. Mungkin bisa lewat storytelling gitu gimana ya, kan pikiranku sebagai jurnalis nih, nah misalnya bisa storytelling dari pihak yang kena dampak sampahnya gitu, atau buat storytelling yang ngena kayak iklan Thailand yang bikin orang nangis. Gitu sih.
CL: Mungkin kalo konten mirip sih yang tadi Gracia udah jabarin. Kalo penyampaiannya bisa beda kayak dibikin game gitu, kayak polling misalnya yang satu baik dan buruk. Terus pengaruhnya kayak gimana. Di akhir nanti baru jabarin fakta, atau kamu bisa bikin iklan gitu yang gagitu nyambung tapi orang malah jadi ingat.
lxi
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
MS: Mungkin buat memperjelas yang tadi aku maksud soal polling itu ya, bisa juga kayak story yang mirip hasilnya. Misalnya kayak by 2050 apakah kamu mau dunia ini penuh dengan sampah plastik, gitu atau bikin comparative kayak mending sampah food waste atau sheet mask gitu. Kalau misalnya face mask medical juga butuh kan sebenarnya, cuma kan kalo sheet mask ga butuh banget, jadi bisa bikin orang bingung jadi mikir lagi. It might raise your awareness kayak oh iya juga ya gitu.
GY: Yang tadi diusulin juga kayak minigame, yang misalnya milih bahan yang cocok untuk kita, itu juga bisa jadi daya tarik gitu buat beli produk, biar ga salah juga. Sekarang kalo skincare gitu pun bahan segala macem di online shop mesti cek di description produk kan. Kalo misalnya bisa dijadiin game atau lebih interaktif itu juga akan mempermudah usernya gitu atau mengetahui kampanyenya itu sendiri.
lxii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
LAMPIRAN
Lampiran G Kuisioner Hasil Alpha testing Prototype day
Tanggal : 12 November 2021
Waktu : 11.00– 12.00 WIB
Lokasi : ZOOM Admin FSD Universitas Multimedia Nusantara
lxiii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxiv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxvi
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxvii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxviii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxix
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxx
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxxi
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxxii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
LAMPIRAN
Lampiran H Kuisioner Hasil Beta testing
Tanggal : 8 – 9 Desember 2021
Waktu : 15.00 – 15.40 WIB dan pukul 20.00 – 21.00 WIB.
Lokasi : Google Meet
lxxiii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxxiv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxxv
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxxvi
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxxvii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxxviii
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxxix
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxxx
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara
lxxxi
Perancangan Kampanye Interaktif…, Amelia Ivanka, Universitas Multimedia Nusantara