• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sewaktu pada Pasien Skizofrenik Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin yang telah diterapi antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sewaktu pada Pasien Skizofrenik Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin yang telah diterapi antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara”"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU PADA PASIEN SKIZOFRENIK BERDASARKAN UMUR DAN JENIS

KELAMIN YANG TELAH DITERAPI ANTIPSIKOTIK DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA

Oleh:

FEBRYNA RIZKY 110100006

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERBANDINGAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU PADA PASIEN SKIZOFRENIK BERDASARKAN UMUR DAN JENIS

KELAMIN YANG TELAH DITERAPI ANTIPSIKOTIK DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA

KARYA TULIS ILMIAH

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh:

FEBRYNA RIZKY 110100006

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

Skizofrenia adalah sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi psikososial. Pengobatan skizofrenia menggunakan obat antipsikotik yang terbagi dua yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Pengobatan antipsikotik telah dihubungkan dengan efek samping metabolik, termasuk tingkat yang bervariasi dari penambahan berat badan, dislipidemia dan kerentanan terhadap diabetes tipe 2. Antipsikotik tipikal dapat meningkatkan kadar glukosa plasma 100-140% dari basal, tidak berbeda jauh dengan antipsikotik atipikal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar glukosa darah sewaktu pada pasien skizofrenik berdasarkan umur dan jenis kelamin yang telah diterapi antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross-sectional), subjek dalam penelitian berjumlah 40 pasien. Sampel diambil dengan metode total sampling yaitu pasien skizofrenik di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara yang memenuhi kriteria inklusi berdasarkan anamnesa, rekam medis, dan pengukuran kadar gula darah.

Berdasarkan data yang diperoleh, frekuensi kejadian tertinggi pada pasien skizofrenik yaitu jenis kelamin laki-laki (67,5%) dan usia 15-55 tahun (82,5%), yang mengalami peningkatan kadar glukosa darah sewaktu yaitu 55%.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan yang mengalami peningkatan kadar glukosa darah sebanyak 55% dari 40 pasien. Terdapat perbedaan bermakna kadar glukosa darah berdasarkan kelompok umur (p = 0,016), sedangkan pada kadar glukosa darah berdasarkan jenis kelamin tidak terdapat perbedaan bermakna (p = 0,333).

(5)

ABSTRACT

Schizophrenia is a chronic heterogenic syndrome characterized by an unorganized mind, delusion, hallucination, abnormal behavior and psychosocial disorder. Schizophrenic patients were treated by rather typical or atypical antipsychotic drugs. Antipsychotic treatment has been thought to be related to metabolic side effect, including varied degree of weight gain, dyslipidemia and increased risk of type 2 diabetes. Typical antipsychotic drugs raise basal plasma glucose level for about 100-140%, as well as atypical antipsychotic. The aim of this study is to assess the difference of blood glucose level in schizophrenic patients, regard of their age groups and gender, treated with antipsychotic drugs in Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

This is a descript analytic study with cross sectional design and 40 subjects. Total sampling used as the sampling method, where every schizophrenic patients in Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara that have fulfilled the inclusion criteria were included in this study.

According to the data obtained, highest frequency was found in men (67,5%) and 15-55 years age group (82,5%) with 55% increase in blood glucose level from 40 patients.

There is a significant difference in increase of blood glucose level among age group (p = 0,016), while there’s no significant difference found regard to gender (p = 0,333).

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan judul “Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sewaktu pada Pasien Skizofrenik Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin yang telah diterapi antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara” sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran.

Penulis menyadari penyusunan proposal ini dapat diselesaikan atas bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. dr. Elmeida Effendy, M.Ked(KJ) Sp.KJ (K), selaku dosen pembimbing yang telah memberi banyak arahan, petunjuk dan masukan dalam langkah-langkah penulisan sehingga proposal ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. dr. Sri Amelia, M.Kes, selaku dosen penguji I penulis atas saran dan kritikan yang diberikan kepada penulis agar karya tulis ilmiah ini lebih baik.

4. dr. Rusdiana, M.Kes, selaku dosen penguji II penulis atas saran dan kritikan yang diberikan kepada penulis agar karya tulis ilmiah ini lebih baik.

5. dr. Adi Muradi Muhar, Sp. B-KBD, selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran USU.

6. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dan memberi ilmu.

(7)

tetap semangat dan pantang menyerah dalam pelaksanaan dan penyelesaian penelitian ini.

8. Sahabat-sahabat saya yang selama ini membantu, Reyhan Aristo, Shinta Pedia Dinanti, Herna Wahyuni, Rachwina Apriza, Tan Fransisca Dian, Febry Dalimunthe, dan Rezky Pamaska yang telah memberi bantuan berupa saran, kritikan, dan motivasi selama penyusunan penelitian ini.

9. Teman-teman mahasiswa angkatan 2011 Fakultas Kedokteran USU yang telah memberikan saran, kritik, serta dukungan dalam menyelesaikan penelitian ini. 10.Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak

langsung terhadap penyelesaian ini.

Penulis menyadari penelitian ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan selanjutnya. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2014

Febryna Rizky

(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ...ii

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Skizofrenia ... 4

2.1.1. Definisi Skizofrenia ... 4

2.1.2. Epidemiologi Skizofrenia ... 4

2.1.3. Etiologi Skizofrenia ... 5

2.1.4. Klasifikasi Skizofrenia... 8

2.1.5. Patogenesis Skizofrenia ... 12

2.1.6. Diagnosis Skizofrenia ... 13

(9)

2.2. Obat Antipsikotik... 20

2.3. Hubungan Antipsikotik dengan Sindrom Metabolik ... 21

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 25

3.1. Kerangka Konsep ... 25

3.2. Definisi Operasional ... 26

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 28

4.1. Jenis Penelitian ... 28

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

4.2.1. Waktu Penelitian ... 28

4.2.2. Tempat Penelitian ... 28

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28

4.3.1. Populasi Penelitian... 28

4.3.2. Sampel Penelitian ... 28

4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 29

4.5. Metode Pengumpulan Data... 29

4.6. Metode Pengolahandan Analisa Data ... 29

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

5.1. Hasil Penelitian ... 30

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 30

5.1.2. Karakteristik individu ... 30

5.2. Pembahasan ... 33

5.2.1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu ... 33

(10)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 36

6.1. Kesimpulan ... 36 6.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA... 37

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Definisi Operasional 26 5.1. Distribusi Frekuensi Pasien Skizofrenik Berdasarkan Umur

dan Jenis Kelamin

31

5.2. Distribusi Frekuensi Peningkatan Kadar Glukosa Darah Sewaktu pada Pasien Skizofrenik

31

5.3. Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sewaktu Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN 2 Informed Consent

LAMPIRAN 3 Surat Izin Penelitian

LAMPIRAN 4 Lembar Ethical Clearance

LAMPIRAN 5 Data Induk

(14)

ABSTRAK

Skizofrenia adalah sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi psikososial. Pengobatan skizofrenia menggunakan obat antipsikotik yang terbagi dua yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Pengobatan antipsikotik telah dihubungkan dengan efek samping metabolik, termasuk tingkat yang bervariasi dari penambahan berat badan, dislipidemia dan kerentanan terhadap diabetes tipe 2. Antipsikotik tipikal dapat meningkatkan kadar glukosa plasma 100-140% dari basal, tidak berbeda jauh dengan antipsikotik atipikal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar glukosa darah sewaktu pada pasien skizofrenik berdasarkan umur dan jenis kelamin yang telah diterapi antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross-sectional), subjek dalam penelitian berjumlah 40 pasien. Sampel diambil dengan metode total sampling yaitu pasien skizofrenik di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara yang memenuhi kriteria inklusi berdasarkan anamnesa, rekam medis, dan pengukuran kadar gula darah.

Berdasarkan data yang diperoleh, frekuensi kejadian tertinggi pada pasien skizofrenik yaitu jenis kelamin laki-laki (67,5%) dan usia 15-55 tahun (82,5%), yang mengalami peningkatan kadar glukosa darah sewaktu yaitu 55%.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan yang mengalami peningkatan kadar glukosa darah sebanyak 55% dari 40 pasien. Terdapat perbedaan bermakna kadar glukosa darah berdasarkan kelompok umur (p = 0,016), sedangkan pada kadar glukosa darah berdasarkan jenis kelamin tidak terdapat perbedaan bermakna (p = 0,333).

(15)

ABSTRACT

Schizophrenia is a chronic heterogenic syndrome characterized by an unorganized mind, delusion, hallucination, abnormal behavior and psychosocial disorder. Schizophrenic patients were treated by rather typical or atypical antipsychotic drugs. Antipsychotic treatment has been thought to be related to metabolic side effect, including varied degree of weight gain, dyslipidemia and increased risk of type 2 diabetes. Typical antipsychotic drugs raise basal plasma glucose level for about 100-140%, as well as atypical antipsychotic. The aim of this study is to assess the difference of blood glucose level in schizophrenic patients, regard of their age groups and gender, treated with antipsychotic drugs in Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

This is a descript analytic study with cross sectional design and 40 subjects. Total sampling used as the sampling method, where every schizophrenic patients in Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara that have fulfilled the inclusion criteria were included in this study.

According to the data obtained, highest frequency was found in men (67,5%) and 15-55 years age group (82,5%) with 55% increase in blood glucose level from 40 patients.

There is a significant difference in increase of blood glucose level among age group (p = 0,016), while there’s no significant difference found regard to gender (p = 0,333).

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Skizofrenia merupakan kumpulan gejala-gejala klinik yang melibatkan kognitif, emosi persepsi dan aspek perilaku dan bermanifestasi pada pasien dan mempengaruhi perjalanan penyakit, biasanya berat dan berlangsung lama (Meltzer, 2000). Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia dalam hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada remaja akhir atau dewasa muda (Amir, 2013).

Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray (1993), di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan awitannya jelas. Awitan untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan risiko awitannya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada umur yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007). Puncak serangan pada laki-laki antara umur 10 sampai 25 tahun dan 25 sampai 35 tahun pada perempuan. Sembilan puluh persen pasien yang mendapatkan pengobatan skizofrenia berusia antara 15 sampai 55 tahun. Serangan di bawah 10 tahun atau di atas 60 tahun jarang dilaporkan. Secara umum, perempuan dengan skizofrenia mempunyai outcome lebih baik dibanding laki-laki (Saddock, 2007).

(17)

yang lebih tinggi terhadap toleransi glukosa, resistensi insulin, dan diabetes mellitus tipe 2 dari populasi umum (Ryan, 2003). Namun, sebagian besar bukti yang menunjukkan bahwa diabetes mellitus tipe 2 sering terjadi pada skizofrenia telah datang dari studi di mana pasien baik yang menerima neuroleptik atau telah terpapar neuroleptik di masa lalu. Sulit untuk menentukan apakah skizofrenia memiliki peran independen dalam berkembangnya metabolisme glukosa yang abnormal, karena keduanya konvensional dan neuroleptik atipikal telah terlibat dalam patogenesis diabetes mellitus tipe 2 dan gangguan toleransi glukosa (Ryan, 2003). Pengobatan antipsikotik telah dihubungkan dengan efek samping metabolik, termasuk tingkat yang bervariasi dari penambahan berat badan, dislipidemi dan kerentanan terhadap diabetes tipe 2 (Cohn, 2006). Efek samping ini telah dihubungkan dengan penggunaan antipsikotik tipikal dan atipikal (Heiskanen dkk, 2003). Risiko terjadinya efek samping metabolisme lebih besar pada penggunaan antipsikotik atipikal. Namun tidak berarti pada antipsikotik tipikal tidak memiliki resiko terhadap perubahan metabolisme, hanya saja perubahan terjadi lebih kecil. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Savoy dkk., (2008) memperlihatkan hasil antipsikotik tipikal dapat meningkatkan kadar glukosa plasma 100-140% dari basal, tidak berbeda jauh dengan antipsikotik atipikal. Jika dibandingkan dengan pasien yang tidak memperoleh antipsikotik, risiko terjadinya hiperlipidemia lebih besar pada pasien dengan antipsikotik tipikal.

(18)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah terdapat perbedaan kadar glukosa darah sewaktu pada pasien skizofrenik yang telah diterapi antipsikotik berdasarkan umur dan jenis kelamin di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.

Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar glukosa darah sewaktu pada pasien skizofrenik berdasarkan umur dan jenis kelamin yang telah diterapi antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui hubungan umur dengan kadar glukosa darah pasien skizofrenik yang telah diterapi antipsikotik.

2. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamindengan kadar glukosa darah pasien skizofrenik yang telah diterapi antipsikotik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Memberikan informasi mengenai perbedaan kadar glukosa darah sewaktu pada pasien skizofrenik yang telah diterapi antipsikotik berdasarkan umur dan jenis kelamin di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

2. Memberi informasi mengenai perbedaan kadar glukosa darah sewaktu pada pasien skizofrenik yang telah diterapi antipsikotik berdasarkan umur dan jenis kelamin kepada unit pelayanan kesehatan khususnya pihak Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia

2.1.1. Definisi

Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu schizo yang berarti ‘terpotong’ atau ‘terpecah’ dan phren yang berarti pikiran, sehingga skizofrenia berarti pikiran yang terpecah (Veague, 2007). Arti dari kata-kata tersebut menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia, yaitu pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya. Definisi skizofrenia yang lebih mengacu kepada gejala kelainannya adalah gangguan psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas, penarikan diri dari interaksi sosial, juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi (Wiramihardja, 2007).

Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi psikososial (Crismon dkk., 2008).

2.1.2. Epidemiologi

(20)

populasi totalnya menjalani pengobatan untuk skizofrenia setiap tahun dan hanya sekitar setengah dari semua pasien skizofrenia mendapat pengobatan, meskipun penyakit ini termasuk berat. Prevalensi penderita skizofrenik di Indonesia tercatat sebesar 1,7 per 1000 penduduk (Riskesdas, 2013).

2.1.3. Etiologi

Penyebab munculnya skizofrenia terbagi menjadi berbagai pendekatan seperti pendekatan biologis, teori psikogenik, dan pendekatan gabungan atau stress-vulnerability model.

1. Pendekatan Biologis

Pada pendekatan biologis menyangkut faktor genetik, struktur otak, dan proses biokimia sebagai penyebab skizofrenia (Halgin dkk., 2010).

a) Teori genetik

Teori ini menekankan pada ekspresi gen yang bisa menyebabkan gangguan mental. Hasil dari beberapa penelitian menunjukan bahwa faktor genetik sangat berperan dalam perkembangan skizofrenia, dimana ditemukan hasil bahwa skizofrenia cenderung menurun dalam keluarga. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan National Institute of Mental Health (NIMH) pada keluarga penderita skizofrenia yang menyatakan bahwa skizofrenia muncul pada 10% populasi yang memiliki keluarga dengan riwayat skizofrenia seperti orang tua dan saudara kandung. Berdasarkan American Journal of Medical Genetics, menyatakan bahwa apabila kedua orang tuanya mengidap skizofrenia, maka kemungkinan anaknya mengalami skizofrenia adalah sebesar 40%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin dekat hubungan biologis dengan individu yang sakit, maka semakin besar juga kemungkinan seseorang menderita skizofrenia (Semiun, 2006).

b) Teori neurostruktural

(21)

ventrikel otak, atrofi kortikal, dan asimetri serebral yang terbalik (reversed cerebral asimetry) (Semiun, 2006).

(1) Pembesaran pada ventrikel otak

Ventrikel adalah rongga atau saluran otak tempat cairan serebrospinal mengalir, diperkirakan pada pasien skizofrenik terjadinya pembesaran pada daerah ini hingga 20 hingga 50%. Kerusakan pada ventrikel berhubungan dengan skizofrenia kronis dan simptom negatif (Semiun, 2006). Struktur otak yang tidak normal seperti pembesaran ventrikel otak diyakini menyebabkan tiga sampai empat orang yang mengalaminya menderita skizofrenia (Nevid dkk., 2005). Pembesaran ventrikel otak ini menyebabkan otak kehilangan sel– sel otak, sehingga otak akan mengecil ukurannya dibandingkan otak yang normal.

Gambar 2.1. Pembesaran ventrikel otak pada pasien skizofrenik (Stefan dkk., 2002)

(2) Atrofi kortikal

(22)

kerusakan sulci yang menutupi selaput otak atau pembesaran celah antara bagian-bagian otak. Sebanyak 20 hingga 35% orang dengan skizofrenia mengalami kelainan ini (Semiun, 2006).

(3) Asimetri serebral yang terbalik (reversed cerebral asimetry)

Pada orang normal, sisi kiri otak lebih besar daripada sisi kanan, tetapi kondisi yang terbalik terjadi pada orang-orang dengan skizofrenia. Padahal otak kiri bertanggung jawab dalam kemampuan bahasa, sedangkan otak kanan bertanggung jawab dalam kemampuan spasial. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam memahami masalah-masalah kognitif pada pasien skizofrenia. Abnormalitas pada struktur otak pada pasien skizofrenik, seperti pengurangan massa otak karena pembesaran ventrikel otak mungkin dapat mempengaruhi dalam produksi neurotransmitter yang terlibat dalam skizofrenia dan menentukan simptom-simptom yang nantinya akan muncul. Selain itu, kemungkinan lain yang diungkapkan adalah pengurangan massa otak ini dapat menyebabkan pegurangan ukuran dari daerah-daerah otak yang penting untuk fungsi normal (Semiun, 2006). Namun, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kepastian teori-teori ini.

c) Teori biokimia

Pada teori biokimia, dikenal hipotesis dopamin dan serotonin-glutamat. Pada teori glutamat disebutkan bahwa, penurunan kadar glutamat akan menyebabkan penurunan regulasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan menyebabkan gejala-gejala psikotik serta defisit kognitif. Aktivitas berlebih reseptor dopamin saraf pada jalur mesolimbik bisa menyebabkan timbulnya gejala positif, sedangkan penurunan aktivitas dopamin neuron pada jalur mesokortek di dalam kortek prefrontalis bisa menyebabkan gejala negatif (Dawe, 2009).

Ada tiga faktor yang mungkin menjadi penyebab tingginya aktivitas dopamin (Semiun, 2006).

(1) Konsentrasi dopamin yang tinggi

(23)

(3) Jumlah reseptor dopamin yang terdapat pada sinapsis

Pada orang dengan skizofrenia ditemukan memiliki jumlah reseptor dopamin yang lebih banyak daripada orang normal. Penurunan drastis jumlah reseptor dopamin pada laki-laki terjadi pada umur antara 30-50 tahun, sedangkan pada perempuan penurunan jumlah reseptor terjadi perlahan-perlahan (Wong dkk., 1986). Teori ini dapat menjadi penjelasan mengenai perbedaan awitan yang terjadi pada laki-laki dan perempuan.

2. Teori Psikogenik

Teori psikogenik, yaitu skizofrenia sebagai suatu gangguan fungsional dan penyebab utama adalah konflik, stress psikologik dan hubungan antar manusia yang mengecewakan.

3. Stress-Vulnerability Model

Pendekatan ini meyakini bahwa orang – orang tertentu yang memiliki kerentanan genetik terhadap skizofrenia akan memunculkan gejala skizofrenia jika mereka hidup dalam lingkungan yang penuh dengan stress (Semiun, 2006). Peristiwa dalam hidup dapat memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia pada mereka yang telah memiliki predisposisi pada penyakit ini.

2.1.4. Klasifikasi

Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III tahun 1993, yaitu :

1) Skizofrenia paranoid

a) Memenuhi kriteria skizofrenia

(24)

c) Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala katatonik relatif tidak ada.

2) Skizofrenia hebefrenik

a) Memenuhi kriteria skizofrenia

b) Pada usia remaja dan dewasa muda (15-25 tahun) c) Kepribadian premorbid : pemalu dan senang menyendiri

d) Gejala bertahan 2-3 minggu tanpa maksud. Preokupasi dangkal dan dibuat-buat terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak

f) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, mannerism, cenderung senang menyendiri, perilaku hampa tujuan, dan hampa perasaan

g) Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (in appropriate), cekikikan, puas diri, senyum sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan hipokondriakal, ungkapan kata diulang-ulang h) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu, inkoheren.

3) Skizofrenia katatonik

a) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia

b) Stupor (amat berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau aktivitas spontan) atau mutisme

c) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik tak bertujuan tanpa stimuli eksternal)

d) Menampilkan posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar serta mempertahankan posisi tersebut

e) Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke arah yang berlawanan dari perintah)

f) Rigiditas (kaku)

(25)

h) Command automatisme (patuh otomatis dari perintah) dan pengulangan kata-kata serta kalimat

i) Diagnosis katatonik dapat tertunda jika diagnosis skizofrenia belum tegak karena pasien yang tidak komunikatif.

4) Skizofrenia tak terinci atau undifferentiated

a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia b) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik

c) Tidak memenuhi skizofren residual atau depresi pascaskizofrenia

5) Skizofrenia pasca-skizofrenia

a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia selama 12 bulan terakhir ini b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya)

c) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.

Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.

6) Skizofrenia residual

(26)

c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia;

d) Tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.

7) Skizofrenia simpleks

a) Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :

(1) Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik

(2) Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

b) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.

8) Skizofrenia lainnya

Termasuk skizofrenia chenesthopathic (terdapat suatu perasaan yang tidak nyaman, tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu), gangguan skizofreniform YTI.

9) Skizofrenia tak spesifik

(27)

2.1.5. Patogenesis

1) Peran dopamin

Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya penerimaan dopamin oleh otak. Dalam hipotesis dopamin, dinyatakan bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh aktivitas dopamin pada jalur mesolimbik dan mesokortis saraf dopamin. Telalu aktifnya saraf dopamin pada jalur mesolimbik bertanggung jawab menyebabkan gejala positif, sedangkan kurangnya aktivitas dopamin pada jalur mesokortis akan menyebabkan gejala negatif kognitif dan afektif. Pada Jalur saraf dopamin terdiri dari 4 jalur yang mempunyai mekanisme kerja dan fungsi masing-masing, yaitu :

a) Jalur nigrostiatal : dari substansia nigra ke bangsal ganglia. b) Jalur mesolimbik : dari substansia nigra menuju ke sistem limbik c) Jalur mesokortikal : dari subtansia nigra menuju ke frontal cortex d) Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitari.

Hipotesis dopamin inilah yang menyebabkan sebelum tahun 1990an, pengembangan obat antipsikotik difokuskan secara eksklusif pada agen dengan aktivitas utama yang berlokasi pada reseptor dopamin D2, yaitu obat-obat antipsikotik tipikal, yang merupakan antagonis reseptor D2. Namun meskipun blokade reseptor D2 dapat mengurangi gejala-gejala positif seperti halusinasi dan delusi, antagonis D2 juga berkaitan dengan efek samping neurologis yang tidak menyenangkan, yaitu gejala ekstrapiramidal. Selain itu agen ini memiliki keterbatasan untuk gejala negatif dan kognitif (Crismon dkk., 2008).

2) Peran serotonin

(28)

Area (VTA) dan Substansia Nigra (SN) dari otak tengah. Saraf serotonergik dilaporkan berujung langsung pada sel-sel dopaminergik dan memberikan pengaruh penghambatan pada aktivitas dopamin di jalur mesolimbik dan nigrostriatal melalui reseptor 5-HT2A. Secara umum, penurunan aktivitas serotonin terkait dengan peningkatan aktivitas dopamin. Interaksi antara serotonin dan dopamin, khususnya reseptor 5-HT2A, dapat menjelaskan mekanisme obat psikotik atipikal dan rendahnya potensi untuk menyebabkan efek samping ekstrapiramidal. Selain itu, stimulasi 5-HT1A juga meningkatkan fungsi dopaminergik (Ereshefsky., 1999).

3) Peranan glutamat

Disfungsi sistem glutamatergik di korteks prefrontal diduga juga terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Hipotesis datang dari bukti pemberian antagonis reseptor N-metil-D-Aspartat (NMDA), seperti phencyclidine (PCP) dan ketamin, pada orang sehat menghasilkan efek yang mirip dengan spektrum gejala dan gangguan kognitif yang terkait dengan skizofrenia. Efek dari antagonis NMDA menyerupai baik gejala negatif dan positif serta defisitkognitif skizofrenia (Ikawati, 2011).

2.1.6. Diagnosis

Menurut Saddock (2007), diagnosis skizofrenia yang biasa digunakan adalah berdasarkan DSM-IV. Kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM-IV :

1) Gejala Karakteristik : dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul dalam jangka waktu yang signifikan dalam periode 1 bulan, yaitu :

a) Delusi (waham, keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak nyata).

b) Halusinasi (seperti mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada).

c) Cara bicara tak teratur.

d) Tingkah laku yang tak terkontrol.

(29)

Catatan : Jika wahamnya bersifat aneh/ganjil, atau halusinasinya terdiri dari suara-suara yang mengomentari orang itu atau suara-suara yang berbicara satu sama lain, maka satu gejala karakteristik saja cukup untuk mendiagnosa skizofrenia.

2) Disfungsi sosial/pekerjaan : adanya gangguan terhadap fungsi sosial atau pekerjaan untuk jangka waktu yang signifikan.

3) Durasi : tanda gangguan terjadi secara terus-menerus selama enam bulan, yang merupakan gejala karakteristik seperti pada poin 1.

4) Gejala psikotik bukan disebabkan karena gangguan mood seperti pada bipolar. 5) Gejala psikotik bukan disebabkan karena penggunaan obat atau kondisi medik

tertentu.

Selain itu, ada juga kr iteria diagnostik menurut PPDGJ III :

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

a. - Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda, atau - Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan - Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umumnya mengetahuinya.

(30)

terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya= secara jelas, merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau kepikiran, tindakan atau penginderaan khusus). - Delusion perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya , biasanya bersifat mistik dan mukjizat.

c. Halusinasi Auditorik - Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap prilaku

pasien . -

Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara atau - Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan makhluk asing atau dunia lain).

2. Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:

e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.

(31)

g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.

h. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neureptika.

*Adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal); *Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute), dan penarikan diri secara sosial.

2.1.7. Penatalaksanaan

Ada tiga fase pengobatan dan pemulihan skizofrenia (Ikawati, 2011) :

1) Terapi fase akut

Pada fase ini pasien menunjukkan gejala psikotik yang intensif. Biasanya pada fase ini ditandai dengan munculnya gejala positif dan negatif. Pengobatan pada fase ini bertujuan untuk mengendalikan gejala psikotik sehingga tidak membahayakan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Terapi utamanya adalah dengan menggunakan obat dan biasanya dibutuhkan rawat inap. Pemilihan antipsikotik yang benar dan dosis yang tepat dapat mengurangi gejala psikotik dalam waktu enam minggu.

2) Terapi fase stabilisasi

(32)

kambuh sehingga butuhkan pengobatan yang rutin untuk menuju ke tahap pemulihan yang lebih stabil.

3) Terapi fase pemeliharaan

Pada fase ini dilakukan terapi jangka panjang dengan harapan dapat mempertahankan kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi risiko kekambuhan, mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan keterampilan untuk hidup mandiri. Terapinya meliputi obat-obatan, terapi suportif, pendidikan keluarga dan konseling, serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial.

Ada terapi farmakologi dan non farmakologi yang dapat dilakukan :

a. Terapi Non Farmakologi

Ada beberapa pendekatan psikososial yang dapat digunakan untuk pengobatan skizofrenia. Intervensi psikososial merupakan bagian dari perawatan yang komprehensif dan dapat meningkatkan kesembuhan jika diintegrasikan dengan terapi farmakologis. Intervensi psikososial ditujukan untuk memberikan dukungan emosional pada pasien. Pilihan pendekatan dan intervensi psikososial didasarkan kebutuhan khusus pasien sesuai dengan keparahan penyakitnya.

1) Program for Assertive Community Treatment (PACT)

PACT merupakan program rehabilitasi yang terdiri dari manajemen kasus dan Intervensi aktif oleh satu tim menggunakan pendekatan yang sangat terintegrasi. Program ini dirancang khusus untuk pasien yang fungsi sosialnya buruk dan bertujuan untuk mencegah kekambuhan dan memaksimalkan fungsi sosial dan pekerjaan. Unsur-unsur kunci dalam PACT adalah menekankan kekuatan pasien dalam beradaptasi dengan kehidupan masyarakat, penyediaan dukungan dan layanan konsultasi untuk pasien, memastikan bahwa pasien tetap dalam program perawatan. Laporan dari bebarapa penelitian menunjukan bahwa PACT efektif untuk memperbaiki gejala, mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan memperbaiki kondisi kehidupan secara umum.

(33)

Prinsipnya adalah bahwa keluarga pasien harus dilibatkan dan terlibat dalam penyembuhan pasien. Anggota keluarga diharapkan berkontribusi untuk perawatan pasien dan memerlukan pendidikan, bimbingan dan dukungan serta pelatihan membantu mereka mengoptimalkan peran mereka. 3) Terapi perilaku kognitif

Dalam terapi ini dilakukan koreksi atau modifikasi terhadap keyakinan (delusi), fokus terhadap halusinasi pendengaran dan menormalkan pengalaman psikotik pasien sehingga mereka bisa tampil secara normal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi perilaku efektif dalam mengurangi frekuensi dan keparahan gejala positif. Namun ada risiko penolakan yang mungkin disebabkan oleh pertemuan mingguan yang mungkin terlalu membebani pasien-pasien dengan gejala negatif yang berat. 4) Terapi pelatihan keterampilan sosial

Terapi ini didefinisikan sebagai penggunaan teknik perilaku atau kegiatan pembelajaran yang memungkinkan pasien untuk memenuhi tuntutan interpersonal, perawatan diri dan menghadapi tuntutan masyarakat. Tujuannya adalah memperbaiki kekurangan tertentu dalam fungsi sosial pasien. Terapi ini tidak efektif untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala.

5) Terapi Elektrokonvulsif (ECT)

Dalam sebuah kajian sistematik menyatakan bahwa penggunaan ECT dan kombinasi dengan obat-obat antipsikotik dapat dipertimbangkan sebagai pilihan bagi penderita skizofrenia terutama jika menginginkan perbaikan umum dan pengurangan gejala yang cepat (American Psychiatric Assosiated, 2013).

b. Terapi Farmakologi

(34)
(35)
(36)

2.2. Obat Antipsikotik

Terdapat dua jenis antipsikotik yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Pada dasarnya semua antipsikotik mempunyai efek klinis yang sama pada dosis ekivalen. Perbedaan utama pada efek samping. Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosik yang dominan dan efek samping obat. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat antipsikosik atipikal (golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal (golongan generasi pertama). Antipsikotik tidak bersifat kuratif (karena tidak mengeliminasi gangguan berpikir mendasar), tetapi biasanya membantu pasien berfungsi normal. Obat-obat ini hanya memperbaiki ketidakseimbangan untuk sementara dan tidak dapat memecahkan masalah fisiologis yang mendasar. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus pasien yang kambuh setelah menghentikan penggunaan obat-obat ini.

Antipsikotik dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

a. Antipsikotik tipikal (FGA)

Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang mempunyai aksi untuk mengeblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis ini lebih efektif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping ekstrapiramidal banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga muncul antipsikotik atipikal yang lebih aman. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam antipsikotik tipikal diantaranya adalah klorpromazin, tiorizadin, flufenazin, haloperidol, loxapin, dan perfenazin (Ikawati, 2011).

b. Antipsikotik atipikal (SGA)

(37)

dan masih efektif diberikan untuk pasien yang telah resisten terhadap pengobatan (Shen, 1999). Antipsikotik ini efektif untuk mengatasi gejala baik positif maupun negatif. Contoh obat yang termasuk antipsikotik atipikal adalah clozapin, risperidon, olanzapin, ziprasidon, dan quetiapin.

2.3. Hubungan Penggunaan Obat Antipsikotik dengan Sindrom Metabolik

Banyak teori yang mengemukakan tentang mekanisme yang mungkin memperantarai terjadinya perubahan metabolisme yang terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik.

1. Teori yang pertama menyatakan jika penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenik menyebabkan peningkatan berat badan. Bertambahnya berat badan pada pasien yang diobati dengan antipsikotik disebabkan oleh peningkatan nafsu makan yang tidak diseimbangi dengan peningkatan penggunaan energi. Akibatnya terjadi peningkatan penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa yang mengakibatkan penambahan berat badan. Keadaan yang berlanjut menyebabkan terjadinya obesitas yang dilihat dari Body Mass Index (BMI). Obesitas dihubungkan dengan resistansi insulin dan merupakan faktor utama penyebab diabetes tipe 2 (Castagna, 2011).

(38)

3. Aktifitas antipsikotik atipikal adalah antagonis pada berbagai sistem neurotransmiter termasuk dopaminergik, adrenergik, serotonergik, histaminergik dan subtipe reseptor muskarinik (Teff & Kim, 2011). Neurotransmiter ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan jalur metabolisme dan juga regulasi asupan makanan. Reseptor yang mungkin berpengaruh terhadap timbulnya diabetes adalah dopamin, 5-HT1A , 5-HT2c, histamin-1 (Gianfrancesco dkk., 2003).

a. Reseptor muskarinik dan histaminergik

Suatu hipotesis yang menyimpulkan jika reseptor muskarinik dan histaminrgik memiliki peranan penting dalam kasus gangguan metabolisme yang berkaitan dengan penggunaan antipsikotik. Histamin dan muskarinik dikatakan sebagai mediator pada peningkatan berat badan dan abnormalitas dalam metabolisme glukosa. Ikatan pada reseptor histamin H-1 dapat memicu peningkatan nafsu makan dan berat badan, sedangkan ikatan pada muskarinik M3 menyebabkan kelainan pada regulasi insulin (Teff & Kim, 2011). Perbedaan kemampuan pengikatan reseptor mungkin menjadi penyebab tingkat perubahan metabolisme, berat badan, dan peningkatan asupan makanan untuk setiap antipsikotik berbeda. Clozapin dan olanzapin adalah antagonis reseptor asetilkolin muskarinik kuat dan dikaitkan dengan kenaikan berat badan. Risperidon tidak diketahui afinitas terhadap reseptor asetilkolin muskarinik namun menyebabkan beberapa kasus awitan baru diabetes bila diberikan bersamaan dengan antagonis muskarinik yang biasa diresepkan untuk mengatasi efek samping ekstrapiramidal (Lean & Pajonk, 2003). Ini merupakan bukti peran reseptor asetilkolin muskarinik dalam sindrom metabolik yang terjadi pada pasien skizofrenia yang menggunakan antipsikotik.

(39)

Jalur dopamin di otak tengah berperan dalam kontrol asupan makanan. Regulasi glukosa darah berpusat di hipotalamus. Antipsikotik yang berperan sebagai antagonis dopamin menyebabkan glukosa darah tidak terkontrol (Gianfrancesco dkk., 2003). Sebuah bukti mengenai peran dopamin ini berdasarkan studi yang menunjukkan penggunaan agonis dopamine sentral dapat meningkatkan kontrol glukosa (Lipscombe, 2009).

c. Aktivitas reseptor serotonin 5-HT1A dan 5-HT2

Reseptor tersebut juga dihubungkan dengan pengaruhnya terhadap kontrol glukosa. Walaupun mekanisme yang menghubungkan kedua reseptor ini sangat kompleks (Haupt & Newcomer, 2001). Reseptor 5-HT2c mungkin terlibat dalam kontrol asupan makanan. Jika reseptor ini diblok dapat menimbulkan kenaikan berat badan kecuali ziprasidon dan quetiapin (Lean & Pajonk, 2003).

Saat terjadi resistensi insulin, tubuh berusaha untuk mengatasinya dengan mensekresi lebih banyak lagi insulin yang menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia yang terjadi menyebabkan resistensi insulin dan keadaan yang lebih parah dapat menyebabkan kegagalan dalam regulasi reseptor insulin (Lean & Pajonk, 2003). Kelainan yang berhubungan dengan resistensi insulin termasuk intoleransi glukosa, hipertensi, dan dislipidemia (Henderson dkk., 2005). Resistensi insulin yang terjadi akibat penggunaan antipsikotik kemungkinan diakibatkan karena efek langsung dari peningkatan massa lemak di abdominal dan fungsi transport glukosa (Haupt & Newcomer, 2001).

(40)

Penggunaan antipsikotik berasosiasi dengan efek samping metabolisme termasuk penambahan berat badan, dislipidemia dan diabetes tipe 2. Walaupun sangat sulit untuk membedakan perubahan metabolisme yang terjadi karena pengobatannya ataupun karena pola hidup pasien (Chon dkk., 2006).

Abnormalitas regulasi glukosa merupakan hal yang pertama kali dilaporkan pada pasien skizofrenia pada penggunaan/pengobatan antipsikotik yaitu resistensi insulin yang tidak terobati. Namun penggunaan antipsikotik juga terkait dengan peningkatan berat badan, metabolisme glukosa, awitan baru DM tipe 2 dan diabetes ketoasidosis. Terjadinya satu atau semua metabolik sindrom ini akibat dari sindrom metabolik (Liberman, 2004).

Mengkonsumsi obat antipsikotik menyebabkan meningkatnya nafsu makan. Peningkatan nafsu makan yang tidak diseimbangi dengan penggunaan energi menyebabkan meningkatnya berat badan menuju pada taraf obesitas (BMI >30) dan peningkatan kadar glukosa, lemak dan asam amino dalam darah. Peningkatan glukosa darah memacu penghasilan insulin oleh pankreas. Keadaan yang berlanjut dalam waktu yang panjang menyebabkan rusaknya sel beta pankreas dan penurunan pengaturan reseptor insulin yang berlanjut pada resistensi dari insulin itu sendiri.

(41)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

1. Pasien skizofrenik 2. Umur

3. Jenis kelamin

4. Pengobatan Antipsikotik

(42)

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Tabel Definisi Operasional

Variabel Definisi

PPDGJ III Wawancara pasien dan

(43)
(44)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross-sectional) yaitu penelitian yang mengamati subjek dengan pendekatan suatu saat atau objek dengan pendekatan suatu saat atau objek diobservasi pada saat bersamaan. Dalam hal ini meneliti tentang perbedaan kadar glukosa darah sewaktu pada pasien skizofrenik berdasarkan umur dan jenis kelamin di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1. Waktu Penelitian

Pengumpulan data dilakukan pada bulan September 2014.

4.2.2. TempatPenelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan pada lokasi ini tersedia sampel yang memadai dan lokasinya mudah dijangkau oleh peneliti.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah pasien di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

4.3.2. Sampel Penelitian

(45)

4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Inklusi :

1. Pasien skizofrenik yang sesuai dengan kriteria PPDGJ III.

2. Pasien skizofrenik yang sudah diterapi antipsikotik ≥ 3 bulan. 3. Bersedia sebagai subjek penelitian.

Eksklusi :

1. Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus.

2. Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dalam keluarga. 3. Pasien menggunakan obat kortikosteroid.

4. Pasien menolak berpartisipasi dalam penelitian ini.

4.5. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang didapat dari sampel. Sampel pada penelitian ini adalah pasien skizofrenik di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara yang memenuhi kriteria inklusi. Dari masing-masing sampel dilakukan pengukuran kadar glukosa darah sewaktu dengan cara mengambil darah dari ujung jari sampel dan diukur dengan alat pengukur kadar gula darah.

4.6. Metode Pengolahan dan Analisa Data

(46)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Sumatera Utara adalah satu-satunya rumah sakit jiwa pemerintah yang ada di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki kemampuan pelayanan di klasifikasi kelas “A” dengan sifat kekhususannya dikategorikan dengan Tipe “B”. Selain melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa, RSJ Provinsi Sumatera Utara juga sebagai tempat pendidikan berbasis medis yang masing-masing bekerja sama dengan institusi pendidikan kesehatan se-Sumatera Utara. Dengan kemampuan yang dimiliki,saat ini RSJ Provinsi Sumatera Utara merupakan pusat rujukan kesehatan jiwa di pulau Sumatera.

5.1.2. Karakteristik Individu

(47)

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Pasien Skizofrenik Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Frekuensi (n) %

Jenis Kelamin

Laki-laki 27 67,5

Perempuan 13 32,5

Total 40 100

Kelompok Umur

15-55 tahun 33 82,5 >55 tahun 7 17,5

Total 40 100

a. Kadar Glukosa Darah Sewaktu

Dari tabel 5.2., diketahui bahwa dari 40 pasien skizofrenik yang telah diterapi antipsikotik, sebanyak 22 orang (55%) mengalami peningkatan kadar glukosa darah sewaktu. Untuk lebih jelasnya dapat dilhat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Peningkatan Kadar Glukosa Darah Sewaktu pada Pasien Skizofrenik

Kadar Glukosa Darah Sewaktu Frekuensi (n) %

Meningkat 22 55

Tidak Meningkat 18 45

(48)

b. Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sewaktu

Dari tabel 5.3, diketahui dari uji statistik pada perbandingan kadar glukosa darah sewaktu berdasarkan umur dan jenis kelamin dengan menggunakan Chi-Square Test diperoleh hasil p = 0,016 (p < 0,05) pada kelompok umur dan p = 0,333 (p > 0,05) pada jenis kelamin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.3. Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sewaktu Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Karakteristik Demografi Sampel

Kadar Glukosa Darah Sewaktu P value

Meningkat Tidak Meningkat n % N %

Kelompok Umur

15-55 Tahun 18 81,8 15 83,3

>55 Tahun 4 18,2 3 16,7 0,016

Total 22 100 18 100

Jenis Kelamin

Laki-laki 14 63,6 13 72,2

Perempuan 8 37,4 5 27,8 0,333

(49)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu

Dari tabel 5.2., diketahui bahwa dari 40 pasien skizofrenik yang telah diterapi antipsikotik, sebanyak 22 orang (55%) mengalami peningkatan kadar glukosa darah sewaktu. Hal ini sejalan dengan penelitian Roy et al. (2010) yang menunjukkan pada golongan dewasa terjadi kecenderungan meningkatnya kadar glukosa 4,8% pada 3 bulan pertama. Kemudian dalam penelitian yang dilakukan oleh Savoy dkk., (2008) memperlihatkan hasil antipsikotik tipikal dapat meningkatkan kadar glukosa plasma 100-140% dari basal, tidak berbeda jauh dengan antipsikotik atipikal.

Pengobatan antipsikotik telah dihubungkan dengan efek samping metabolik, termasuk tingkat yang bervariasi dari penambahan berat badan, dislipidemi dan kerentanan terhadap diabetes tipe 2 (Cohn, 2006). Obesitas dihubungkan dengan resistensi insulin dan merupakan faktor utama penyebab diabetes tipe 2 (Castagna, 2011). Resistensi insulin merupakan kontributor utama pada intoleransi glukosa dan kelainan lipid yang terdapat pada sindrom metabolik (Toalson, 2004). Prevalensi yang tinggi dari diabetes diantara orang-orang dengan skizofrenia dapat dihubungkan dengan prevalensi obesitas yang tinggi, karena 90% individu dengan diabetes tipe 2 adalah obese (Marder et al., 2004).

Menurut Kompoliti et al. (2010) menunjukkan penggunaan antipsikotik terhadap berat badan pada 3 bulan pemakaian pertama memperoleh perbedaan yang bermakna antara pasien yang diberi antipsikotik dengan yang tidak diberi antipsikotik. Untuk subjek yang diobati dengan antipsikotik, 68,5% mengalami obesitas. Pada dua penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Kato dkk pada tahun 2003, menggunakan kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) menemukan tingkat prevalensi sindrom metabolik sekitar 60% telah diperkirakan diantara 63 pasien skizofrenik rawat jalan

(Toalson, 2004). Littrell

(50)

di Amerika Serikat dan 27 pasien rawat inap di Taiwan yang menderita gangguan skizofrenia atau skizoafektif menemukan keadaan resistensi insulin dan sindrom metabolik dengan menggunakan laboratorium puasa dan pemeriksaan klinik, mereka mengamati tingkat prevalensi sindrom metabolik 51% di Amerika Serikat pada pasien rawat jalan dan tingkat prevalensi 22% pada kelompok pasien rawat inap di Taiwan (Toalson, 2004).

5.2.2. Perbandingan Kadar Gula Darah Sewaktu

Terdapat perbedaan bermakna kadar glukosa darah sewaktu berdasarkan kelompok umur p = 0,016 (p < 0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian Sernyak et al. (2003) yang menunjukkan prevalensi kejadian peningkatan kadar glukosa darah pada kelompok umur di bawah 40 tahun, 40-49 tahun, dan 50-59 tahun lebih tinggi daripada kelompok umur 60 ke atas. Prevalensi sindrom metabolik meningkat dengan usia, dari sekitar 7% pada mereka yang berusia 20-29 tahun sampai 40% pada mereka yang berusia lebih dari 60 tahun (Camellia, 2008). Heiskanen dkk (di Finlandia) menemukan prevalensi sindrom metabolik 37% dengan definisi NCEP ATP III, pada 35 pasien dengan usia rata-rata 45 tahun. Saari (2005) yang meneliti prevalensi sindrom metabolik pada pasien skizofrenik (pada usia awal 30-an) menurut definisi NCEP ATP III adalah 19%. Hal ini diperkuat dengan pernyataan bahwa terjadinya sindrom metabolik akan meningkat dengan bertambahnya usia (Camellia, 2008).

(51)
(52)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Terdapat 22 orang (55%) yang mengalami peningkatan kadar glukosa darah.

2. Terdapat perbedaan yang bermakna terhadap kadar glukosa darah sewaktu pada pasien skizofrenik yang sudah diterapi antipsikotik bila dilihat dari kelompok umur (p= 0,016).

3. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap kadar glukosa darah sewaktu pada pasien skizofrenik yang sudah diterapi antipsikotik bila dilihat dari jenis kelamin (p = 0,333).

6.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

1. Kepada tenaga medis perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 3 bulan sekali pada pasien skizofrenik yang telah diterapi antipsikotik, mengingat adanya peningkatan kadar glukosa darah pada pasien yang telah diterapi antipsikotik.

2. Perlu dipertimbangkan kerjasama dengan endokrinologis untuk penanganan peningkatan kadar glukosa darah yang berhubungan dengan sindrom metabolik.

(53)

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Assosiation (APA), 2013. Management of Schizophrenia. Available from :

http://www.guideline.gov/content.aspx?id=43956&search=schizophrenia, [Accessed 21 April 2014].

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI., 2007. Riset Kesehatan Dasar. Avalaible from :

(Accessed 9 April 2014).

Camellia V., 2008. Sindrom Metabolik Pada Pasien Skizofrenik Rawat Jalan. Avalaible from : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6368

Castagna, L.G., 2011. Type II Diabetes in Children, J Psycholog.

Cohn TA, Sernyak MJ., 2006. Metabolic Monitoring for Patients Treated with Antipsychotic Medications. Can J Psychiatry.

Crismon, M.L., Argo, T.R., Buckley, P.F., 2008, Schizophrenia, in Dipiro :

Pharmachoterapy a Pathophysiological Approach, 7th ed, McGraw Hill, New York.

Dawe, G.S., Hwang, E.H., & Tan, C.H., 2009, Pathophysiology and Animal Models of Schizophrenia, Ann Acad Med Singapore , 38 (5), 425-30.

(54)

Gianfrancesco, F., White, R., Wang, R., & Nasrallah, H.A., 2003, Antipsychotic-Induced Type 2 Diabetes: Evidence From a Large Health Plan

Database,Journal of Clinical Psychoparmacology, Vol 23, No 4. Halgin, R.P., Whitbourne, & Susan, K., 2010, Psikologi Abnormal: Perspektif

Kl inis pada Gangguan Psikologis, Edisi 6, Buku 2, Salemba Humanika, Jakarta.

Haupt, D.W., & Newcomer, J.W., 2001. Hyperglycemia and Antipsychotic Medication. J Clin Psychiatry.

Heiskanen T, Niskenen L, Lyytikainen R, Saarinen PI, Hintikka J., 2003. Metabolic Syndrome in Patients with Schizophrenia. J Clin Psychiatry.

Henderson, D.C., et al., 2005. Diabetes Mellitus, Hyperlipidemia, and

Cardiovascular Risks and Mortality: Results of a 10 Year Naturalistic Study, J Clin Psychiatry.

Ikawati, Z., 2011, Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat, 249-282 Bursa Ilmu, Yogyakarta.

Kompoliti K, Stebbins GT, Goetz CG, Fan W. 2010. Association Between Antipsychotic and Body Mass Index When Treating Patients With Tics. J Child and Adolescent Psychopharmacology 20: 277-281.

Lean, M.E.J., & Pajonk, F-G., 2003, Patients on Atypikal Antipsychotic Drugs: Another High-Risk Group for Type 2 Diabetes, Diabetes Care.

Lieberman, A.J., 2004. Metabolic Changes Assosiated With Antipsikotic Use. Prim Care Companion J Clin Psychiatry.

(55)

Marder SR, Essock SM, Miller Al, Buchanan RW, Casey DE, et al., 2004 Physical Health Monitoring of Patients with Schizophrenia. Am J Psychiatry 16:1334-1349.

Martins PJF, Haas M, Obici S., 2010. Central Nervous System Delivery of the Antipsychotic Olanzapine Induces Hepatic Insulin Resistance. J diabetes.

Maslim. R, 2002. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Meltzer HY, Fateni SH., 2000. Schizophrenia. Dalam: Elbert MH, Loosen PT, Nurcombe B. eds. Current Diagnosis & Treatment In Psychiatry. New York: Lange Medical Books/Mc Graw-Hill.

Mukherjee S, Decina P, and Bocola V. et al.Diabetes mellitus in schizophrenic patients.Compr Psychiatry. 1996. 37:68–73.

National Institute of Mental Health (NIMH), 2013. Schizophrenia. Avalaible at :

http://www.nimh.nih.gov/health/publications/schizophrenia/nimhschizophrenia-booklet.pdf (Accessed 10 April 2014).

Newcomer, J.W., et al. Abnormalitoes in Glucose Regulation During Antipsychotic Treatment of Schizophrenia, Arch Gen Psychiatry.

(56)

Ryan MCM, Collin P, Thakore JH., 2003. Impaired Fasting Glucose Tolerance in First-episode, Drug-Naïve Patients with Scizophrenia. Am J Psyciatry.

Saddock BJ, Saddock VA., 2007. Dalam : Kaplan & Saddock’s Synopsys of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry. Edisi Kesepuluh. Philadelphia: Lippincott William& Wilkins.

Sanjay J., et al. 2006. Weight gain with olanzapine: Drug, gender or age?. Avalaible at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2913641/

Savoy, Y.E., et al., 2010. Differential Effects of Various Typical and Atypical Antipsychotics on Plasma Glucose and Insulin Levels in the Mouse: Evidence for theInvolvement of Sympathetic Regulation Schizophrenia Bulletin vol. 36 no. 2 pp. 410–418, 2010 doi:10.1093/schbul/sbn104.

Semiun, Y., 2006. Kesehatan Mental. Kanisius, Yogyakarta.

Shen, W.W., 1999. A history of antypsychotic drug development, Comprehensive Psychiatry, 40(6):407-14.

Sernyak MJ, Gulanski B, Leslie D, Rosenheck R. Undiagnosed hyperglycemia in clozapine-treated patients with schizophrenia. J Clin Psychiatry. 2003;64:605-608.

Teff, K.L., & Kim, S.F., 2011, Atypical Antipsychotic and Neural Regulation of Food Intake and Peripheral Metabolism, Phsysiology and Behavior.

Toalson P, Ahmed S, Kabinoff G., 2004. The Metabolic Syndrome in Patients with Severe Mental Illnesses. Prim Care Companion J Clin Psychiatry 6:152-160. Veague, H.B., 2007, Psychological Disorder: Schizophrenia, Edisi 1, 75-8, Infobase

publishing, New York.

(57)

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Febryna Rizky

Tempat/Tanggal Lahir : Rantauprapat, 14 Februari 1993 Agama : Islam

Alamat : Jl. Abdul Hakim Komp. Classic 2 No. 97 Medan Riwayat Pendidikan : 1. TK Bhayangkari Rantauprapat

2. SD Negeri 112143 Rantauprapat 3. SMP Negeri 1 Tanjung Balai 4. SMA Negeri 1 Tebing Tinggi

(58)

Lampiran 2

INFORMED CONSENT

PENELITIAN PERBANDINGAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU PADA PASIEN SKIZOFRENIK BERDASARKAN UMUR DAN JENIS KELAMIN YANG

TELAH DITERAPI ANTIPSIKOTIK DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA

Selamat siang kepada Bapak/Ibu sekalian.

Peneliti : Febryna Rizky

NIM : 110100006

Fakultas : Kedokteran

Saya mahasiswi selaku peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

akan melakukan penelitian yang berjudul “Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sewaktu pada Pasien Skizofrenik Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin yang Telah Diterapi Antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara”.

Arti dari skizofrenia adalah kumpulan gejala-gejala klinik yang melibatkan kognitif,

emosi persepsi dan aspek perilaku dan bermanifestasi pada pasien dan mempengaruhi

perjalanan penyakit, biasanya berat dan berlangsung lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar glukosa darah sewaktu pada pasien skizofrenik

berdasarkan umur dan jenis kelamin yang telah diterapi antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Sumatera Utara. Sehingga penelitian ini berguna untuk meningkatkan pengetahuan

Bapak/Ibu terhadap efek samping yang terjadi setelah melakukan pengobatan antipsikotik

pada pasien skizofrenik dan juga berguna bagi rumah sakit jiwa Provinsi Sumatera Utara

untuk lebih mengoptimalkan penatalaksanaan skizofrenia.

Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan glukosa darah yang

diambil dari ujung jari pasien dengan menggunakan alat pengukur gula darah. Rekam medik

(59)

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu akan dilakukan pemilihan pasien

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, setelah ini pasien akan diukur kadar glukosa

darahnya menggunakan alat pengukur gula darah. Penelitian ini tidak di pungut biaya dan

pada akhir penelitian pasien akan diberikan tanda terima kasih berupa cendra mata.

Oleh karena itu peneliti ingin meminta kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi sampel

penelitian dan disertakan dalam data penelitian. Data individu dalam peneltian akan dijaga

kerahasiaannya dan tidak dipublikasikan.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Pekerjaan :

Dengan ini menyatakan BERSEDIA/TIDAK BERSEDIA* untuk menjadi sampel dalam penelitian “Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sewaktu pada Pasien Skizofrenik Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin yang Telah Diterapi Antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara” dan disertakan dalam data penelitian.

Medan, 2014

Yang membuat pernyataan

(……….)

(60)

Lampiran 2

INFORMED CONSENT

PENELITIAN PERBANDINGAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU PADA PASIEN SKIZOFRENIK BERDASARKAN UMUR DAN JENIS KELAMIN YANG

TELAH DITERAPI ANTIPSIKOTIK DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA

Selamat siang kepada Bapak/Ibu sekalian.

Peneliti : Febryna Rizky

NIM : 110100006

Fakultas : Kedokteran

Saya mahasiswi selaku peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

akan melakukan penelitian yang berjudul “Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sewaktu pada Pasien Skizofrenik Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin yang Telah Diterapi Antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara”.

Arti dari skizofrenia adalah kumpulan gejala-gejala klinik yang melibatkan kognitif,

emosi persepsi dan aspek perilaku dan bermanifestasi pada pasien dan mempengaruhi

perjalanan penyakit, biasanya berat dan berlangsung lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar glukosa darah sewaktu pada pasien skizofrenik

berdasarkan umur dan jenis kelamin yang telah diterapi antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Sumatera Utara. Sehingga penelitian ini berguna untuk meningkatkan pengetahuan

Bapak/Ibu terhadap efek samping yang terjadi setelah melakukan pengobatan antipsikotik

pada pasien skizofrenik dan juga berguna bagi rumah sakit jiwa Provinsi Sumatera Utara

untuk lebih mengoptimalkan penatalaksanaan skizofrenia.

Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan glukosa darah yang

diambil dari ujung jari pasien dengan menggunakan alat pengukur gula darah. Rekam medik

(61)

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu akan dilakukan pemilihan pasien

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, setelah ini pasien akan diukur kadar glukosa

darahnya menggunakan alat pengukur gula darah. Penelitian ini tidak di pungut biaya dan

pada akhir penelitian pasien akan diberikan tanda terima kasih berupa cendra mata.

Oleh karena itu peneliti ingin meminta kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi sampel

penelitian dan disertakan dalam data penelitian. Data individu dalam peneltian akan dijaga

kerahasiaannya dan tidak dipublikasikan.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Pekerjaan :

Dengan ini menyatakan BERSEDIA/TIDAK BERSEDIA* untuk menjadi sampel dalam penelitian “Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sewaktu pada Pasien Skizofrenik Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin yang Telah Diterapi Antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara” dan disertakan dalam data penelitian.

Medan, 2014

Yang membuat pernyataan

(……….)

Gambar

Gambar 2.1. Pembesaran ventrikel otak pada pasien skizofrenik (Stefan dkk., 2002)
Gambar 2.2. Algoritma terapi skizofrenia (Crismon dkk., 2008)
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Pasien Skizofrenik Berdasarkan Umur dan Jenis
Tabel 5.3.   Perbandingan Kadar Glukosa Darah Sewaktu Berdasarkan Umur   dan

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisa didapatkan bahwa seluruh variabel yaitu: penerapan teknologi pekerjaan persiapan dan subgrade (X.1), penerapan teknologi pekerjaan subbase Kls B, dan

yang dilakukan sesuai dengan visi misi lembaga serta memberikan informasi mengenai diplomasi RI hingga pemanfaatan media dalam penyebaran berbagai berita terkait

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yayat Suryati, Eni Eusyati, Witry Hastuti tahun 2015 bahwa ada hubungan tingkat pengetahuan ibu nifas tentang

Arah dan kebijakan strategis PN Sambas 2015-2019 merupakan penjabaran dari Visi dan Misi yang telah dirumuskan PN Sambas, dengan sasaran strategis yang telah ditetapkan dengan

Jenis pertemuan yang pernah diikuti dari hasil survey ini adalah yang paling tertinggi melalui pengajian dengan nilai persentase 74% yang berjumlah 2741, kedua adalah melalui Arisan

Dalam kehidupan sehari  –   –   hari kita melakukan aktivitas, baik yang telah   hari kita melakukan aktivitas, baik yang telah merupakan kebiasaan misalnya

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat hidayah-Nya serta memberikan kekuatan, ketabahan, kemudahan dan kedamaian

2017 İlkokul Sosyal Bilgiler Dersi Öğretim Programı hedeflerine ilişkin öğretmen görüşleri, Tablo 1'deki verilere bağlı olarak değerlendirildiğinde;