• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Stakeholders terhadap pengembangan ekowisata di Taman Nasional Teluk Cendrawasih Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Stakeholders terhadap pengembangan ekowisata di Taman Nasional Teluk Cendrawasih Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat"

Copied!
243
0
0

Teks penuh

(1)

DI TAMAN NASIONAL TELUK CENDERAWASIH

KABUPATEN TELUK WONDAMA

PROVINSI PAPUA BARAT

MANEREP SIREGAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Peranan Stakeholders Terhadap Pengembangan Ekowisata Di Taman Nasional Teluk Cenderawasih Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

Development At Teluk Cendrawasih National Park Teluk Wondama Regency West Papua Province. Supervised by HARINI MUNTASIB and RINEKSO SOEKMADI.

Teluk Cendrawasih National Park (TCNP) is one of nature conservation areas which has a high tourism attraction both in marine or terrestrial. Development of TCNP ecotourism can not be done by only one single institution, but it needs to be supported by every part of other institutions. Role of stakeholders expected to be able to construct a directional and measured ecotourism development based on interest, concern, desire and personal anxiety. The aim of this research is to formulate the role of stakeholders related with the development of ecotourism at TCNP. In order to achieve this aim, there are some following steps that should be done: 1) analyze of stakeholders involvement; 2) analyze of stakeholders needs; 3) analyze of policy/regulation related to ecotourism development at TCNP Teluk Wondama Regency. The results showed that there are 20 (twenty) stakeholders which involved in ecotourism development at TCNP Teluk Wondama Regency. There are two stakeholders as subject position; 14 (fourteen) as key player; three stakeholders as context setter, and YALHIMO as Crowd. Activities dealing, the stakeholder has along with ecotourism development at TCNP. The policy of ecotourism development at TCNP Teluk Wondama Regency has already referred to Centre and West Papua Province Policy also Teluk Wondama Regency Policy. Generally, the identified stakeholder has its own role accord with their main tasks and function, however, ecotourism development program still needs to be synchronized among others stakeholders in order to make it more directionally.

(4)

RINGKASAN

MANEREP SIREGAR. Peranan stakeholders terhadap pengembangan ekowisata di Taman Nasional Teluk Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan RINEKSO SOEKMADI.

Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) salah satu kawasan pelestarian alam memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata dengan obyek daya tarik wisata yang tinggi baik di perairan maupun di daratan. Pengembangan ekowisata tidak bisa dilaksanakan oleh satu organisasi atau institusi saja namun harus didukung oleh para pihak (stakeholders) yang terkait, baik langsung maupun tidak langsung. Pengembangan ekowisata di TNTC tidak cukup hanya memetakan potensi dan menawarkan obyek daya tarik wisata yang ada, namun diperlukan peran aktif dari stakeholders secara nyata dilapangan. Untuk mengoptimalkan pengembangan ekowisata di TNTC perlu menganalisis bagaimana peranan stakeholders terhadap pengembangan ekowisata. Peranan stakeholders di TNTC berkaitan erat dengan kebijakan pusat dan daerah serta kepentingan dan pengaruh stakeholders terhadap pengembangan ekowisata di TNTC Kabupaten Teluk Wondama. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan utama penelitian adalah untuk merumuskan peranan stakeholders terkait pengembangan ekowisata di TNTC Kabupaten Teluk Wondama. Untuk mencapai tujuan utama tersebut dilakukan berbagai analisis terhadap : 1) Stakeholders yang terlibat dalam pengembangan ekowisata di TNTC, 2) Kebutuhan stakeholders terkait dengan pengembangan ekowisata di TNTC dan 3) Kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata di TNTC.

Penelitian lapangan dilakukan mulai bulan Januari sampai Maret 2011. Teknik pengambil contoh dilakukan secara purposive sampling, selanjutnya dilakukan Wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan sesuai topik penelitian. Observasi dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang lokasi, keadaan kawasan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan stakeholders terkait dengan pengembangan ekowisata di TNTC. Data penunjang diperoleh dari instansi terkait melalui penelusuran dokumen, studi pustaka, laporan dan peraturan perundang-undangan. Data yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1) kepentingan dan pengaruh stakeholders terkait pengembangan ekowisata di TNTC; 2) Kebutuhan stakeholders terkait dengan pengembangan ekowisata di TNTC; 3) Kebijakan/peraturan yang terkait dengan pengembangan ekowisata di TNTC.

Analisis stakeholders dilakukan dengan matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders terkait pengembangan ekowisata TNTC dengan menggunakan stakeholders grid dengan bantuan Microsoft Exel. Analisis kebutuhan dilakukan secara deskriptif dengan mengelompokkan menurut jenis kebutuhan terkait pengembangan ekowisata di TNTC. Analisis kebijakan dilakukan dengan mengidentifikasi peraturan perundang-undangan selanjutnya dilakukan dengan content analysis (analisis isi). Untuk mendapatkan rumusan peranan stakeholders terkait pengembangan ekowisata di TNTC dilakukan sintesis hasil analisis stakeholders dan analisis kebijakan dengan metode deskriptif

(5)

Barat, Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Teluk Wondama, Badan Perencanaan Pengendalian Pembangunan Daerah (BP3D) Kabupaten Teluk Wondama, DKP Kabupaten Teluk Wondama, Distrik Roswar, Distrik Roon, Distrik Rumberpon, Kampung Yende, Kampung Isenebuay, Tokoh Adat Isenebuay, Kampung Waprak dan WWF. Keempat belas stakeholders tersebut memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi dan untuk pengembangan ekowisata di TNTC perlu dibina kerjasama pada stakeholders tersebut. Posisi sebagai Context Setter ada tiga stakeholders yaitu Konsorsium Mitra Bahari, Pengusaha Transportasi Laut dan UNIPA. Posisi sebagai Crowd adalah YALHIMO (Yayasan Lingkungan Hidup Manokwari).

Hasil analisis Kebutuhan stakeholders terhadap pengembangan ekowisata di TNTC secara umum sudah sinergis dengan pengembangan ekowisata. Kebutuhan stakeholders terkait pengembangan ekowisata di TNTC meliputi: 1) Inventarisasi dan identifikasi ODTW; 2) Perlindungan dan pengamanan ODTWA; 3) Pengembangan sarana dan prasarana ekowisata; 4) Promosi dan publikasi Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW); 5) Penyusunan paket-paket wisata; 6) Studi analisis pasar ekowisata; 7) Peningkatan penyuluhan sadar wisata kepada masyarakat; 8) Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM bidang ekowisata; 9) Pelatihan pemandu wisata (guide) kepada masyarakat dalam TNTC; 10) Pengembangan pendidikan lingkungan hidup; 11) Pemberdayaan masyarakat berkaitan dengan program ekowisata; 12) Pengelolaan KP3K berbasis ekowisata 13) Penyusunan Rencana Induk Pengembangan ekowisata TNTC.

Kebijakan BBTNTC terkait dalam pengembangan ekowisata di TNTC Kabupaten Teluk Wondama adalah tercapainya pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam melalui pengembangan ekowisata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan Kabupaten Teluk Wondama yaitu membuat program kawasan TNTC sebagai zona pengembangan pariwisata bahari yang berpusat di Kampung Aisandami sesuai Perda Nomor 11 Tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Teluk Wondama. Kebijakan Provinsi Papua Barat yaitu membuat program kawasan TNTC masuk dalam Wilayah Pengembangan Pariwisata zona II dengan obyek daya tariknya adalah wisata bahari sesuai dengan RIPPDA Provinsi Papua

Pada umumnya stakeholders sudah berperan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, namun program pengembangan ekowisata yang dibuat belum sepenuhnya sinkron dengan stakeholders lainnya. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa ada 7 (tujuh) stakeholders yang berperan dalam proses perencanann, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan program ekowisata. Ada 5 (lima) kelompok stakeholders yang berperan sebagai mitra dalam pelaksanaan program pengembangan ekowisata di TNTC. Sedangkan BP3D Kabupaten Teluk Wondama berperan sebagai perencanaan dan pengendalian pembangunan yang merencanakan pengembangan pariwisata menjadi salah satu program prioritas di Kabupaten Teluk Wondam.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

DI TAMAN NASIONAL TELUK CENDERAWASIH

KABUPATEN TELUK WONDAMA

PROVINSI PAPUA BARAT

MANEREP SIREGAR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

(9)

Nama : Manerep Siregar

NRP : E352090081

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(10)

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Januari sampai Maret 2011 adalah Peranan Stakeholders Terhadap Pengembangan Ekowisata Di Taman Nasional Teluk Cenderawasih Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat.

Penghargaan dan ucapan rasa terimakasih penulis sampaikan dengan tulus kepada:

1. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan dan Kepala Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB.

2. Prof. Dr.E.K.S. Harini Muntasib selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat berguna.

3. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, MSc selaku penguji Luar Komisi dan Ir Rachmad Hermawan, MSi selaku pimpinan sidang pada ujian tesis.

4. Orang tua, istri dan anak-anakku, atas segala doa dan kasih sayangnya yang selalu memberikan semangat dalam penulisan tesis ini.

5. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB Angkatan Tahun 2009 yang ikut memberikan dukungan moril selama dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, namun demikian semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2011

(11)

Penulis dilahirkan di Sosor Bagot Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 12 April 1973 dari Firman Siregar (alm.) dan Ibu Mutiara Sianturi. Penulis merupakan putra keenam dari delapan bersaudara. Pada tahun 1999 menikah dengan Lisbet Handayani, AMKeb dan dikaruniai dua orang anak yaitu Cantika Siregar (lahir 8 September 2000) dan Zefanya Siregar (lahir 9 Agustus 2004).

Pada tahun 1990 lulus dari SMA Negeri Lintongnihuta Kabupaten Tapanuli Utara dan tahun 1991 penulis melanjutkan studi ke Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Manokwari Provinsi Papua Barat. Penulis memilih Jurusan Budi Daya Pertanian dengan Program Studi Agronomi dan lulus tahun 1996. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi pada program studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa Kementerian Kehutanan.

(12)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata di TNTC tidak bisa dilaksanakan oleh satu organisasi atau institusi saja, namun harus dilakukan oleh semua para pihak yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan ekowisata. Para pihak (stakeholders) yang terkait harus memiliki kepedulian dan komitmen untuk melaksanakan pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata di TNTC bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tetapi memerlukan peran aktif dari seluruh stakeholders. Menurut Freeman (1984) dalam Reed et al. (2009) bahwa stakeholders adalah orang-orang yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan atau tindakan. Pengembangan ekowisata memiliki beberapa komponen penting antara lain yaitu aspek potensi sumberdaya alam yang berkelanjutan, sumber pembiayaan, aspek pengelolaan teknis maupun non teknis serta pengaturan kewenangan. Di dalam aspek pengelolaan maupun pengaturan kewenangan pengembangan ekowisata terlibat banyak pihak yang berkepentingan. Para Pihak tersebut adalah pemerintah, swasta, LSM dan masyarakat. Kondisi saat ini di TNTC bahwa keterlibatan stakeholders belum dilakukan secara menyeluruh bahkan beberapa pihak tertentu saja yang terlibat dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan penting, ataupun dalam aspek pengelolaan berkaitan dengan pengembangan ekowisata di TNTC. Peran dari setiap stakeholders diharapkan mampu untuk menciptakan pengembangan ekowisata di TNTC secara teratur (BBTNTC, 2009a).

(13)

legislatif), masyarakat setempat, LSM, BUMN, BUD, swasta nasional, perorangan maupun masyarakat internasional,Perguruan Tinggi/Universitas/Lembaga Pendidikan/Lembaga Ilmiah. Peran serta para pihak meliputi kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para pihak yang timbul atas minat, kepedulian, kehendak dan atas keinginan sendiri untuk bertindak dan membantu dalam mendukung pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (Dephut, 2004).

TNTC mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Taman Nasional dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam (UU RI No. 5 Tahun 1990). Kawasan TNTC ditunjuk sebagai Taman Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:472/Kpts-II/1993 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 8009/Kpts-II/2002 tanggal 29 Agustus 2002 dengan luas 1.453.500 ha yang terdiri dari 1.385.300 ha (95,31%) laut/perairan dan 68.200 (4,69 % ) daratan. Secara administratif TNTC terletak di dua kabupaten dan dua propinsi yaitu 30,98 % di Kabupaten Nabire Provinsi Papua dan 69,02 % di Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat (BBTNTC, 2009a).

TNTC memiliki 5 tipe ekosistem yaitu: ekosistem hutan tropis daratan/pulau, ekosistem hutan pantai, ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang. Keragaman ekosistem tersebut menjadikan TNTC memiliki potensi keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Potensi flora meliputi: potensi flora laut (algae dan rumput laut), potensi flora pantai dan pulau didominasi vegetasi pepohonan (Baringtonia asiatica, Terminalia cattapa, Casuarina equisetifolia dan Calophyllum inophyllum). Sedangkan potensi fauna meliputi terumbu karang (coral reef) terdapat ± 460 jenis, ikan (fish) 718 jenis, moluska ± 201 jenis, mamalia 14 jenis, reptil 7 jenis, dan burung (aves) seperti junai mas (Chaloenas nicobarica), dara laut (Ducula sp), camar laut (Stema sp), dan lain-lain (BBTNTC, 2009a).

(14)

3

pantai/pesisir, obyek wisata sejarah dan obyek wisata budaya. Adanya potensi obyek daya tarik wisata TNTC maka kawasan ini sejak tahun 2004 menjadi salah satu daerah tujuan wisata bagi wisatawan domestik maupun wisata mancanegara. Kegiatan wisata yang ada di TNTC meliputi diving, snorkeling, birds watching, pengamatan paus, pengamatan ikan lumba-lumba, menikmati sumber air panas, wisata pantai, pengamatan goa bersejarah dan pengamatan budaya. Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW) tersebut bisa ditemukan di beberapa lokasi di kawasan TNTC seperti di Pulau Rumberpon, Pulau Roswar, Pulau Yoop, Pulau Roon, Pulau Anggromeos, Pulau Papaya, Tanjung Mangguar, Napan Yaur, Pulau Nusambier dan Teluk Wondama. (BBTNC, 2009a).

Menurut Wiratno et al. (2004) menjelaskan bahwa beberapa kendala yang masih dihadapi dalam pengelolaan Taman Nasional di Indonesia antara lain: (1) keterbatasan anggaran, (2) sumberdaya pengelola masih belum memadai, (3) kelemahan infrastruktur, (4) hubungan yang belum harmonis dengan masyarakat di sekitar kawasan. Untuk mewujudkan fungsi pengelolaan TNTC terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam melalui pengembangan ekowisata perlu dukungan dari berbagai pihak, khusus pengelolaan zona pariwisata diperlukan jaringan kerja dan komitmen para pihak yang berkepentingan terkait dalam pengembangan ekowisata di TNTC.

Atas dasar pemikiran tersebut diatas, untuk mengoptimalkan pengembangan kegiatan ekowisata di TNTC perlu dilakukan analisis peranan stakeholders dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengembangan ekowisata di kawasan TNTC Kabupaten Teluk Wondama.

1.2. Rumusan masalah

(15)

TNTC sejak tahun 2004 telah menjadi daerah tujuan wisata bagi wisatawan mancanegara maupun wisata nusantara. Berdasarkan data tahun 2004-2009 bahwa pengunjung TNTC sebanyak 401 orang yang terdiri dari wisatawan domestik 87 orang; wisatawan mancanegara 227 orang dan peneliti 87 orang. Jumlah pengunjung pertahunnya selama 6 (enam) tahun terakhir sifatnya berfluktuasi bahkan cenderung menurun dari tahun 2007 ke tahun 2008 dan tahun 2009 (BBTNTC, 2010). Perkembangan ekowisata di TNTC terkesan lambat secara umum diindikasikan dapat terjadi karena: 1) Aksesibilitas ke obyek daya tarik wisata masih sulit; (2) Sarana prasarana belum memadai; (3) Jumlah dan kualitas sumberdaya manusia masih terbatas; (4) Kebijakan pemerintah pusat dan Pemerintah Teluk Wondama belum sinergis; (5) Peranan stakeholders terhadap pengembangan ekowisata belum terarah/belum sinergis dengan program ekowisata.

Pengembangan ekowisata di TNTC saat ini seolah-olah hanya tanggungjawab pemerintah pusat (Balai Besar TNTC) sehingga berkesan kurang berkembang. Pada hal untuk pengembangannya diperlukan peranan dari semua stakeholders dan dukungan kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang jelas. Untuk meningkatkan pengelolaan TNTC dan mengakomodir berbagai kepentingan bahwa TNTC dikelola dalam 6 (enam) zona. Salah satu diantaranya adalah zona pariwisata yang dapat digunakan untuk pengembangan ekowisata. Zona pariwisata ini telah di rumuskan dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) jangka waktu 20 tahun yaitu periode tahun 2010-2029 (BBTNTC, 2009a). Namun terkait pengembangan ekowisata di TNTC bahwa implementasi peranan dari masing-masing stakeholder belum nyata dilapangan sehingga pengembangan ekowisata belum optimal. Untuk mendukung keberhasilan pengembangan ekowisata di TNTC khususnya di Kabupaten Teluk Wondama sangat ditentukan oleh berbagai faktor seperti: eksistensi Taman Nasional Teluk Cenderawasih, jumlah dan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai, sarana dan prasarana yang memadai, dukungan pemerintah dan para pihak serta potensi sumberdaya alam TNTC (BBTNTC, 2009a).

(16)

5

stakeholders secara nyata dilapangan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang muncul dalam pengembangan ekowisata di TNTC Kabupaten Teluk Wondama adalah belum diketahui bagaimana peranan stakeholders dan dukungan kebijakan terhadap pengembangan ekowisata di TNTC Kabupaten Teluk Wondama. Untuk dapat menjawab permasalahan tersebut maka pertanyaan penelitian adalah:

1. Siapa saja stakeholders yang terlibat dalam pengembangan ekowisata di TNTC?

2. Apa saja kebutuhan masing-masing stakeholders terkait dengan pengembangan ekowisata di TNTC?

3. Apa saja instrumen kebijakan Balai Besar TNTC dan Kebijakan Pemda Teluk Wondama yang sudah ada berkaitan dengan pengembangan ekowisata di TNTC ?.

4. Bagaimana implementasi peranan stakeholders terhadap pengembangan ekowisata di TNTC?.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan utama penelitian adalah untuk merumuskan peranan stakeholders terkait pengembangan ekowisata di TNTC Kabupaten Teluk Wondama. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai analisis terhadap :

1) Stakeholders yang terlibat dalam pengembangan ekowisata di TNTC. 2) Kebutuhan stakeholders terkait dengan pengembangan ekowisata di TNTC. 3) Kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata di TNTC. 4) Merumuskan peranan stakeholders terkait pengembangan ekowisata di

TNTC Kabupaten Teluk Wondama.

Manfaat penelitian yakni (1) Sebagai sumber informasi bagi stakeholders berkaitan dengan pengembangan ekowisata di TNTC; (2) masukan kepada pengambil keputusan dalam pengembangan ekowisata di TNTC Kabupaten Teluk Wondama; dan (3) sebagai pedoman pengembangan ekowisata secara khusus di TNTC Kabupaten Teluk Wondama dan secara umum di Indonesia. 1.4. Kerangka Pemikiran

(17)

perundang-undangan dan aspek kepentingan, pengaruh. Aspek kebijakan dilakukan dengan analisis kebijakan sedangkan aspek kepentingan, pengaruh dilakukan dengan analisis stakeholders. Hasil analisis kebijakan dan analisis stakeholders selanjutnya disintesiskan sehingga menghasilkan rumusan peranan

stakeholders terhadap pengembangan ekowisata di TNTC. Kerangka pemikiran peranan stakeholders terhadap pengembangan ekowisata di TNTC Kabupaten Teluk Wondama secara rinci dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Stakeholders

Peraturan perundang-undangan

Stakeholders Terhadap Pengembangan Ekowisata di TN. Teluk Cenderawasih

Kebijakan

Kepentingan

Rumusan Peranan Stakeholders Terhadap Pengembangan Ekowisata di TNTC Kabupaten Teluk Wondama Pemerintah Pusat

(BBTNTC)

Masyarakat, Swasta, LSM, PT

Pemda Kab. Teluk Wondama & Pemda Prov. Papua Barat

Analisis

Pengaruh

(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Prinsip Ekowisata

Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggungjawab dengan cara mengonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (responsible travel to natural area that conserves the environment and improves the well-being of local people) (TIES, 2000 dalam Damanik dan Weber, 2006).

Dari definisi ini ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni: pertama, ekowisata sebagai produk; kedua, ekowisata sebagai pasar; ketiga, ekowisata sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Akhirnya sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Disini kegiatan wisata yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan ciri khas ekowisata. Pihak yang berperan penting dalam ekowisata bukan hanya wisatawan tetapi juga pelaku wisata lain (tour operator) yang memfasilitasi wisatawan untuk menunjukkan tanggungjawab tersebut (Damanik dan Weber, 2006).

Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang membedakan dengan bentuk wisata lain. Didalam praktik hal ini terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang; a) secara aktif menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya; b) melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan wisata serta memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan mereka; dan c) dilakukan dalam bentuk wisata independen atau diorganisasi dalam bentuk kelompk kecil (UNEP, 2000; Heher, 2003 dalam Damanik dan Weber, 2006).

(19)

Pertama, Perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Dalam wisata ini orang biasanya menggunakan sumberdaya hemat energi, seperti tenaga surya, bangunan kayu, bahan daur ulang, dan mata air. Sebaliknya kegiatan tersebut tidak mengorbankan flora dan fauna, tidak mengubah topografi lahan dan lingkungan dengan mendirikan bangunan yang asing bagi lingkungan dan budaya masyarakat setempat.

Kedua, wisata ini mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang diciptakan dan dikelola masyarakat kawasan itu. Prinsipnya, akomodasi yang tersedia bukanlah perpanjangan tangan hotel internasional dan makanan yang ditawarkan juga bukan makanan berbahan baku impor, melainkan semuanya berbasis produk lokal. Oleh sebab itu wisata ini memberikan keuntungan langsung bagi masyarakat lokal.

Ketiga, perjalanan wisata ini menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal. Para wisatawan biasanya banyak belajar dari masyarakt lokal bukan sebaliknya mengurangi mereka. Wisatawan tidak menuntut masyarakat lokal agar menciptakan pertunjukan dan hiburan ektra, tetapi mendorong mereka agar diberi peluang untuk menyaksikan upacara dan pertunjukan yang sudah dimiliki oleh masyarakat setempat.

Dari definisi di atas dapat diidentifikasi beberapa prinsip ekowisata (TIES, 2000 dalam Damanik dan Weber, 2006), yakni sebagai berikut:

a). Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata.

b). Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisata lainnya.

c). Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjsama dalam pemeliharaan atau konservasi obyek daya tarik wisata.

d). Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan. e). Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal

(20)

9

f). Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di daerah tujuan wisata.

g). Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti memberikan kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak azasi, serta tunduk pada aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam pelaksanaan transaksi-transaksi wisata.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 bahwa prinsip pengembangan ekowisata meliputi: (1) kesesuaian antara jenis dan karakteristik ekowisata; (2) konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan, dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam yang digunakan untuk ekowisata; (3) ekonomis, yaitu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan; (4) edukasi, yaitu mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab, dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya; (5) memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung; (6) partisipasi masyarakat, yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan keagamaan masyarakat di sekitar kawasan; dan (7) menampung kearifan lokal.

Menurut Yulianda (2007), konsep pembangunan ekowisata hendaknya dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi :

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan; Mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan; Retribusi atau pajak konservasi (conservation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; Merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.

(21)

6. Menjaga keharmonisan dengan alam; Kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam.

7. Daya dukung sebagai batasan pemanfaatan; Daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

8. Konstribusi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat).

Menurut Yulianda (2007) Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut dengan memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut. Pengelolaan ekowisata bahari merupakan suatu konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelestarian dan memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya masyarakat. Konsep pengelolaan ekowisata tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi juga mempertahankan nilai sumberdaya alam dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan fisikologis penunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan menjual filosofi. Hal inilah yang membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar.

2.2 Pengembangan Ekowisata Dalam Kawasan konservasi

Kawasan hutan yang dapat berfungsi sebagai kawasan wisata yang berbasis lingkungan adalah kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan raya, Taman wisata Alam), kawasan suaka alam (Suaka Margasatwa) dan hutan lindung melalui kegiatan wisata alam terbatas serta Hutan produksi yang berfungsi sebagai Wana Wisata (Ridwan, 2000).

(22)

11

konservasi lingkungan; (3) Pendapatan langsung untuk kawasan; (3) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; (4) Meningkatkan penghasilan masyarakat; (5) Menjaga keharmonisan dengan alam; (6) Menjaga daya dukung lingkungan; (7) Meningkatkan devisa buat pemerintah.

Menurut Ridwan (2000) bahwa pengembangan ekowisata harus melibatkan berbagai unsur seperti: pengunjung atau ekowisatawan, sumber daya alam, pengelola, masyarakat setempat, kalangan bisnis termasuk tour operator, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Pada prinsipnya pengembangan ekowisata yang baik merupakan simbiosis antara konservasi dan pembangunan, namun kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara pelaku ekowisata bisa terjadi.

Perencanaan pengembangan ekowisata diantaranya mengacu pada perencanaan perlindungan dan pelestarian lingkungan, perencanaan penggunaan lahan dan tata ruang. Perencanaan ekowisata merupakan bagian dari proses pemanfaatan dari sumberdaya dan berkelanjutan yang terkoordinasi dan interaktif berdasarkan aspek pelestarian ekologis kawasan, biodiversitas, dan nilai sosial dalam keterlibatan wisatawan bersama masyarakat lokal. Daerah pesisir adalah merupakan sumberdaya alam yang cukup penting bagi kehidupan. Berbagai aktifitas sosial dan ekonomi membutuhkan lokasi pesisir yang memiliki nilai lansekap, habitat alam dan sejarah yang tinggi, yang harus dijaga dari kerusakan secara sengaja maupun tidak sengaja. Perencanaan tata ruang (zonasi) wilayah pesisir, berperan untuk menyerasikan kebutuhan pembangunan dengan kebutuhan untuk melindungi, melestarikan, dan meningkatkan kualitas lansekap, lingkungan serta habitat flora dan fauna (Darwanto 1998). Rencana zonasi wilayah pesisir diperlukan untuk menjaga kelestarian pantai dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(23)

adalah menetapkan jenis dan besaran aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan lingkungan untuk menampungnya. Artinya, setiap aktifitas pembangunan disuatu wilayah harus didasarkan pada analisis kesuaian lingkungan.

Selanjutnya menurut Bengen (2005), analisis kesesuaian lingkungan harus mencakup aspek ekologis, sosial dan ekonomis yaitu:

1). Aspek ekologis; dapat didekati dengan menganalisis:

a. Potensi maksimum sumberdaya berkelanjutan. Berdasarkan analisis ilmiah dan teoritis, dihitung potensial atau kapasitas maksimum sumberdaya untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) dalam jangka waktu tertentu.

b. Kapasitas daya dukung (carrying capacity). Daya dukung didefinisikan sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya.

c. Kapasitas penyerapan limbah (assimilative capacity). Kapasitas penyerapan limbah adalah kemampuan sumberdaya alam dapat pulih (misalnya air, udara, tanah) untuk menyerap limbah aktifitas manusia. Kapasitas ini bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca, temperature dan aktifitas manusia.

2). Aspek Sosial

Aspek sosial dapat ditilik dari penerimaan masyarakat terhadap aktifitas yang akan dilakukan, mencakup dukungan sosial/terhindar dari konflik pemanfaatan, terjaganya kesehatan masyarakat dari akibat pencemaran, budaya, estetika,keamanan dan kompatibilitas.

3). Aspek Ekonomi

Aspek ekonomi dapat ditinjau dari kelayakan usaha dari aktifitas yang akan dilaksanakan. Analisisnya meliputi : revenue cost ratio (R/C), net present value (NPV), net benefit cost ratio (net B/C), internal rate return (IRR) dan analisis sensitivitas (sensitivy analysis).

2.3. Konsep Pengelolaan Taman Nasional

(24)

13

dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman nasional mempunyai fungsi pokok sebagai berikut:

1. Sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;

2. Sebagai pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya;

3. Untuk pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pengelolaan taman nasional dalam mencapai tujuan, fungsi dan peranannya dilakukan sistem zonasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, bahwa zona taman nasional terdiri dari:

1. Zona inti

2. Zona rimba; zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan 3. Zona pemanfaatan

4. Zona lain, antara lain; zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus.

Berdasarkan Peraturan pemerintah No 28 Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada pasal 8 menyebutkan bahwa suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan Taman Nasional apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Memiliki sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;

2. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

3. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan

4. Merupakan wilayah yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.

(25)

1. Sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu wahana kegiatan penelitian biologi dan konservasi in-situ.

2. Sebagai wahana pendidikan lingkungan, yaitu wahana untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat di sekitar kawasan taman nasional dan pengunjung atau masyarakat luas tentang konservasi.

3. Mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa dalam rangka mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

4. Sebagai wahana kegiatan wisata alam dalam rangka mendukung pertumbuhan industri pariwisata alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

5. Sumber plasma nutfah dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa sekaligus untuk mendukung upaya pelestarian kekayaan keanekaragaman hayati asli.

6. Untuk melestarikan ekosistem hutan sebagai pengatur tata air dan iklim mikro serta sumber mata air bagi masyarakat di sekitar taman nasional.

2.4. Manajemen Kolaboratif

Istilah manajemen kolaboratif dipakai secara luas dan meliputi berbagai aktifitas seperti pengelolaan hutan partisipatif, kehutanan masyarakat atau sosial, pengelolaan hutan bersama dan proyek-proyek pembangunan konservasi (Fisher 1995). Manajemen kolaboratif diterapkan pada lahan dan hutan adat, swasta, Negara dan pada pengelolaan kawasan lindung. Petheram et al. (2004) mengemukakan bahwa kolaborasi adalah suatu proses yang melibatkan orang-orang yang secara konstruktif mengeksplorasi perbedaan dan tujuan mereka kemudian mencari dan mengembangkan rencana mereka untuk merubah manajemen yang menyenangkan untuk semua pihak.

(26)

15

kebutuhan untuk menggunakan dan mengelola sumberdaya untuk menjamin kesinambungan ekologis. Berkaitan dengan keyakinan ini, masih ada peluang untuk menemukan cara mencapai tujuan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan hidup.

Pengelolaan hutan secara kolaboratif dapat dipandang sebagai pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada masyarakat lokal dan pengakuan otoritas manajemen mereka secara formal. Semakin lama, masyarakat menuntut manajemen kolaboratif sebagai bagian dari gerakan politik masyarakat akar rumput, tidak peduli bagiamana kolaborasi itu diprakarsai atau dibangun, akhirnya mau tidak mau konflik harus dihadapi.

Manajemen kolaborasi yang diharapkan sebagaimana adalah posisi ditengah dimana terjadi pembagian tugas dan tanggungjawab yang berimbang antara pemerintah dengan stakeholders lainnya. Ada negosiasi dalam mengambil keputusan dan mengembangkan kesepakatan-kesepakatan khusus dalam pengelolaan kawasan lindung. Manajemen kolaboratif meliputi sejumlah proses untuk membantu membangun dan memelihara seperangkat prinsip dan praktek yang sama-sama disetujui dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pentingnya pengelolaan konflik dalam kerangka manajemen kolaboratif bervariasi dari stuasi kesituasi lain bergantung pada derajat dan skala konflik yang ada atau yang berpotensi ada.

(27)

minat, kepedulian, kehendak dan atas keinginan sendiri untuk bertindak dan membantu dalam mendukung pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (Dephut, 2004b).

Kassa (2009) mengemukakan setidaknya ada tujuh faktor kunci yang menentukan keberhasilan konsep kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu yaitu : (1) partipasi stakeholders, (2) negosiasi, (3) konsensus, (4) batas teritori, (5) kejelasan hak dan tanggungjawab stakeholders, (6) pengakuan terhadap hak lahan adat, (7) penerapan sanksi adat.

2.5. Analisis Stakeholders

Stakeholders mencakup semua aktor atau kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah proyek. Stakeholders juga mencakup kategori yang lebih samar dari ‘generasi masa

depan’, ‘ketertarikan nasional’, dan ‘masyarakat yang lebih luas’. Stakeholders menyajikan suatu sistem dengan tujuan, sumber dan sensitivitas yang berasal dari mereka sendiri. Istilah lain yang digunakan untuk menggantikan istilah

stakeholders’ dalam bahasa sehari-hari dan perbedaan konotasi yang sangat tipis

diantaranya adalah ‘aktor’, ‘aktor kunci,’ ‘kelompok aktor’, ‘aktor sosial’, dan ‘partai’ (Groenendijk, 2003).

Menurut Reed et al. (2009), analisis stakeholders dilakukan dengan cara: (1) Melakukan identifikasi stakeholders; (2) mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders; dan (3) menyelidiki hubungan antar stakeholders. Identifikasi stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga

ditetapkan stakeholders yang benar-benar mengetahui permasalahan. Jika pembatasan telah ditetapkan sejak awal, maka stakeholders memang dapat lebih mudah terindetifikasi. Namun hal ini mengandung resiko bahwa beberapa stakeholders akan terabaikan, dan tentu saja identifikasi ini tidak relevan lagi. Menurut Colfer et al. (1999) untuk mengidentifikasi stakeholders dilakukan melalui pemberian skor 1 (tinggi), 2 (sedang), dan 3 (rendah) terhadap dimensi antara lain kedekatan dengan kawasan, hak-hak yang sudah ada, ketergantungan, kemiskinan, pengetahuan lokal, dan intergrasi budaya.

(28)

17

Ackermann (1998) yang dikutif oleh Bryson (2004) dan Reed et al. (2009) metode analisis yang digunakan yaitu menggunakan matriks pengaruh dan kepentingan dengan mengklasifikasikan stakeholder ke dalam Key players, context setters, subjects, dan crowd. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan

(power) yang dimiliki stakeholders untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan stakeholders di dalam pencapaian output dan tujuan (Reed et al. 2009).

Key player merupakan stakeholders yang aktif karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek. Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi resiko yang signifikan untuk harus dipantau. Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasistasnya terhadap dampak mungkin tidak ada. Namun mereka dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan stakeholders lainnya. Crowd merupakan stakeholders yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan.

Penyusunan matriks pengaruh dan kepentingan dilakukan atas dasar pada deskripsi pertanyaan responden yang dinyatakan dalam ukuran kuantitatif (skor) dan selanjutnya dikelompokkan menurut krieteria. Analisis stakeholders dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders terhadap pengembangan ekowisata di TNTC dengan menggunakan stakeholders grid dengan bantuan microssoft Excel. Untuk menentukan angka pada setiap indikatornya, kemudian disandingkan sehingga membentuk koordinat.

(29)

2.6. Analisis Kebijakan

Kebijakan merupakan serangkaian kegiatan/tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah agar dapat mencapai tujuan yang dimaksud (Carl F, 1969:79 dalam Agustino L, 2008). Menurut Dunn (2003), analisis kebijakan (Policy Analisys) adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian multiple dalam konteks argumentasi dan debat politik untuk menciptakan secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahapan proses pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan secara kritis penilaian dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahapan proses pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan dapat juga didefinisikan sebagai pengkomunikasian, atau penciptaan dan penilaian kritis, pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.

Dalam analisis kebijakan, prosedur umumnya yaitu (1) pemantauan, (2) peramalan (prediksi), (3) evaluasi, (4) rekomendasi (preskripsi), dan (5) perumusan masalah. Proses analisis kebijakan merupakan serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut sering sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasi sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilakan informasi yang relevan dengan kebijakan pada suatu, beberapa atau seluruh tahapan dari proses kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapi dalam sebuah permasalahan.

(30)

19

Ilmu kebijakan dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perannya dalam upaya meningkatkan kualitas keputusan, yang diperoleh dari proses perumusan tujuan kebijakan, mengenali permasalahan kebijakan, dan mencari jalan pemecahan masalah kebijakan. Pengetahuan analisis kebijakan berkembang pesat, apabila: 1) Terjadi keterpaduan antara praktisi dan akademisi atas dasar pengalaman, hasil-hasil renungan, dan hasil-hasil penelitian, 2) Menyatukan peranan sistem nilai kedalam studi kebijakan, 3) Peningkatan kualitas proses refleksi dan pengambilan keputusan, 4) Kemampuan mengaitkan berbagai bidang kajian dengan praktik kebijakan, 5) Kemampuan membuat kerangka permasalahan kebijakan, 6) Kemampuan meningkatkan kredibilitas pelaksana studi kebijakan (Eriyatno, 1989).

Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan.

Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2003) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu:

(31)

kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.

2. Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analisis yang berorientasi pada disiplin, analisis yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.

(32)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Manokwari (BBTNTC, DKP Provinsi Papua Barat, Dinas Pariwisata Provinsi Papua Barat) dan Kabupaten Teluk Wondama (Wasior, Distrik Roswar, Distrik Roon dan Distrik Rumberpon). Lokasi penelitian disajikan pada gambar 2. Penelitian lapangan dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari Januari sampai Maret 2011.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Alat tulis menulis, alat perekam dan kamera. Sedangkan bahan yang diperlukan adalah daftar pertanyaan (panduan wawancara).

3.3. Jenis dan Sumber Data.

Dalam penelitian ini jenis data yang diperoleh dikelompokkan menjadi dua yaitu data utama dan data penunjang. Data utama diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan (observasi) dan hasil wawancara mendalam (indepth

: Lokasi Penelitian

(33)

interview) dengan stakeholders. Jenis dan sumber data utama berdasarkan tujuan penelitian disajikan pada tabel 1.

(34)

23

Data penunjang diperoleh dari dokumen yang dipublikasikan oleh pihak-pihak terkait baik berupa buku, laporan hasil penelitian, dan laporan lainnya serta peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan dan pengembangan Ekowisata Taman Nasional Cenderawasih. Secara rinci jenis dan sumber data penunjang yang dibutuhkan dalam penelitian ini disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Penujang yang Digunakan Dalam Penelitian

No Jenis Data Sumber Data Teknik

Pengumpulan data

1. Kondisi umum lokasi penelitian (Kondisi fisik, biologi dan kondisi sosial ekonomi dan budaya) dan potensi Keanekaragam hayati serta potensi ODTWA Kabupaten Teluk Wondama dan RIPDA Kab. Teluk Wondama.

(35)

3.4.1. Studi Pustaka

Studi pustaka yang dimaksud untuk mengetahui keadaan umum lokasi penelitian, data kunjungan ke TNTC, peta potensi ODTW, peta pariwisata Kabupaten Teluk Wondama, kebijakan serta peraturan perundang-undangan terkait dengan pengembangan pariwisata dan ekowisata di TNTC.

3.4.2. Pengamatan lapangan

Pengamatan lapangan dilakukan untuk melihat dan mengetahui potensi ODTWA, infrastruktur, fasilitas dan pelayanan, akomodasi. Selain itu pengamatan dilapangan untuk melakukan verifikasi dari pengelola, LSM, masyarakat dan Pemda Kabupaten Teluk Wondama terkait dengan pengembangan ekowisata di TNTC Kabupaten Teluk Wondama.

3.4.3. Wawancara

(36)

25

Tabel 3. Sumber informan dalam penelitian

No. Stakeholders Sumber Informasi (instansi)

1. Pemerintah Pusat Balai Besar TNTC

2. Pemerintah Prov. Papua Barat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Papua Barat

DKP Provinsi Papua Barat

3. Pemerintah Kab. Teluk Wondama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, BP3D Dinas Kelautan dan perikanan, Kantor Lingkungan Hidup, Dinas Perhubungan, Distrik Roswar, Distrik Roon dan Distrik Rumberpon. 4. Perguruan Tinggi Universitas Negeri Papua

5. Lembaga Swadaya Masyarakat WWF, Konsorsium Mitra Bahari, YALIMO

6. Masyarakat Tokoh Masyarakat Isenebuay Kepala kampung Isenebuay Kepala kampung Yende Kampung Waprak

7. Swasta Pengusaha transportasi laut

3.5. Prosedur Pengukuran dan Pengolahan Data

Data yang diamati adalah: (1) Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders terhadap pengembangan ekowisata TNTC; (2) Kebutuhan stakeholders tentang implementasi pengembangan ekowisata; (3) Bentuk-bentuk

peranan stakeholders terkait pengembangan ekowisata di TNTC.

Jawaban informan yang diperoleh ditranformasikan menjadi data kuantitatif (skoring) dengan membuat kriteria kepentingan dan kriteria pengaruh stakeholders terhadap pengembangan ekowisata TNTC. Penetapan skoring menggunakan pertanyaan untuk mengukur tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders adalah modifikasi dari model yang dikembangkan oleh Abbas (2005) yaitu pengukuran data berjenjang lima yang disajikan pada tabel 4. Nilai skor dari lima pertanyaan dijumlahkan dan nilainya dipetakan ke dalam bentuk matriks kepentingan dan pengaruh.

Tabel 4. Ukuran Kuantitatif terhadap Kepentingan dan Pengaruh stakeholders

Skor Nilai Kriteria Keterangan

Kepentingan Stakeholders

(37)

Lanjutan tabel 4.

Pengaruh Stakeholders

5 20-25 Sangat tinggi Sangat mempengaruhi pengembangan ekowisata 4 16-20 Tinggi Mempengaruhi pengembangan ekowisata 3 11-15 Cukup tinggi Cukup mempengaruhi pengembangan ekowisata 2 6-10 Kurang tinggi Kurang mempengaruhi pengembangan ekowisata 1 0-5 Rendah Tidak mempengaruhi pengembangan ekowisata

Pengukuran tingkat kepentingan stakeholders terhadap pengembangan ekowisata TNTC di Kabupaten Teluk Wondama berdasarkan 5 (lima) pertanyaan pokok yakni:

Kepentingan Pertama (K1) : Bagaimana keterlibatan stakeholders terkait dengan pengembangan ekowisata TNTC?

Jika keterlibatan stakeholders meliputi perencanaan, pengorganisasaian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pengembangan ekowisata diberi skor 5; jika keterlibatan hanya ada empat diberi skor 4; jika keterlibatan hanya ada tiga diberi skor 3; jika keterlibatan hanya ada dua diberi skor 2; jika keterlibatannya hanya satu diberi skor 1.

Kepentingan Kedua (K2): Bagaimana manfaat pengembangan ekowisata terhadap stakeholders ?

Jika manfaatnya ekowisata sebagai sumber penerimaan Negara/mata pencaharian; sebagai perlindungan sumberdaya alam; membuka akses/keramaian; Menciptakan lapangan kerja; berinterkasi dengan masyarakat luar diberi skor 5; jika manfaat ekowisata ada empat diberi skor 4; jika manfaat ekowisata ada tiga diberi skor 3; jika manfaat ekowisata ada tiga diberi skor 2; jika manfaat ekowisata hanya satu diberi skor 1.

Kepentingan Ketiga (K3) : Bagaimana kewenangan stakeholders terkait pengembangan ekowisata di TNTC?

(38)

27

Kepentingan Keempat (K4): Apakah pengembangan ekowisata di TNTC merupakan program prioritas dalam tupoksi stakeholders?

Jika pengembangan ekowisata merupakan 81-100 % dalam tupoksi stakeholders diberi skor 5; jika pengembangan ekowisata 61-80 % dalam

tupoksi stakeholders diberi skor 4; jika pengembangan ekowisata 41-60 % dalam tupoksi stakeholders diberi skor 3; jika pengembangan ekowisata 21-40 % dalam tupoksi stakeholders diberi skor 2; jika pengembangan ekowisata ≤ 20 % dalam tupoksi stakeholders diberi skor 1.

Kepentingan Kelima (K5): Bagaimana ketergantungan stakeholders terkait dalam pengembangan ekowisata di TNTC?

Jika ketergantungan stakeholders 81-100 % ekowisata sebagai sumber pendapatan diberi skor 5; jika ekowisata 61-80 % sebagai sumber pendapatan diberi skor 4; jika ekowisata 41-60 % sebagai sumber pendapatan diberi skor 3; jika ekowisata 21-40 % sebagai sumber

pendapatan diberi skor 2 dan ≤ 20 % diberi skor 1 .

Pengukuran tingkat pengaruh stakeholders terhadap pengembangan ekowisata TNTC di Kabupaten Teluk Wondama berdasarkan 5 (lima) pertanyaan pokok yakni:

Pengaruh Pertama (P1): Berapa besar kemampuan stakeholders dalam memperjuangkan aspirasi pengembangan ekowisata TNTC di kabupaten Teluk Wondama?

Jika 76-100 % usulan pengembangan ekowisata diterima diberi skor 5; Jika 51-75 % usulan pengembangan ekowisata diterima diberi skor 4; jika 26-50 % usulan diterima diberi skor 3; jika 25 % usulan diterima diberi skor 2; jika usulan tidak ada diterima diberi skor 1.

(39)

Pengaruh ketiga (P3): Berapa besar kapasitas SDM yang disediakan stakeholders untuk ikut aktif dalam pengembangan ekowisata TNTC di Kabupaten Teluk Wondama?

Jika yang aktif adalah top manajer atau setingkat eselon II atau pimpinan atau kepala kampung atau kepala suku atau pimpinan perusahaan diberi skor 5; jika middle manajer atau setingkat eselon III atau sekretaris kampung diberi skor 4; Jika yang aktif adalah eselon IV atau kaur kampung diberi skor 3; jika yang aktif staf atau anggota masyarakat diberi skor 2; jika tidak ada yang aktif diberi skor 1.

Pengaruh Keempat (P4): Berapa besar dukungan anggaran stakeholders yang digunakan untuk pengembangan ekowisata TNTC di Kabupaten Teluk Wondama?

Jika 81-100 % untuk ekowisata di beri skor 5; jika 61-80 % untuk ekowisata diberi skor 4; jika 41-60 % untuk ekowisata diberi skor 3; jika 21-40 % untuk ekowisata diberi skor 2; jika ≤ 20 % untuk ekowisata diberi skor 1.

Pengaruh Kelima (P5): Berapa besar kemampuan stakeholders dalam pelaksanaan pengembangan ekowisata TNTC di Kabupaten Teluk Wondama?

Jika stakeholders memiliki kemampuan untuk pengamanan potensi ODTWA, memiliki fasilitas pengamanan potensi ODTW, memiliki kemampuan untuk promosi potensi ODTW; kemampuan menjalin hubungan sesame stakeholders dan Kemampuan menarik wisatawan diberi skor 5; jika stakeholders kemampuan hanya empat diberi skor 4; jika kemampuan hanya tiga diberi skor 3; jika kemampuan hanya dua diberi skor 2; jika kemampuan hanya 1 diberi skor 1.

(40)

29

3.6. Metode Analisis Data

Data utama dan data penujang yang diperoleh akan dianalisis dengan 3 (tiga) tahap alat analisis sesuai dengan karakteristik tujuan analisis data yaitu: 3.6.1. Analisis Stakeholders

Untuk mengetahui peranan stakeholders terhadap pengembangan ekowisata di TNTC dilakukan analisis stakeholders dari aspek pengaruh dan kepentingannya. Menurut Groenendjik, (2003); Bryson JM, (2004); Reed et al. (2009) Analisis stakeholders dilakukan dengan cara: 1) melakukan identifikasi stakeholders dan kepentingannya; 2) mengelompokkan dan mengkategorikan stakeholders.

Analisis stakeholders dilakukan dengan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders terhadap pengembangan ekowisata TNTC dengan menggunakan stakeholder grid dengan bantuan Microsoft exel. Hasil analisis stakeholders dikategorikan menurut tingkat kepentingan dan pengaruh yang diilustrasikan pada gambar 3. Hasil skoring terhadap tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholders dikelompokkan menurut jenis indikatornya dan kemudian disandingkan sehingga membentuk koordinat.

Gambar 3. Matriks Pengaruh dan Kepentingan Hasil Analisis Stakeholders (Reed et al. 2009)

Posisi kuadaran dapat menggambarkan ilustrasi posisi dan peranan yang dimainkan oleh masing-masing stakeholders terkait dengan pengembangan ekowisata TNTC di Kabupaten Teluk Wondama yaitu: (1) Subjects (kepentingan

R

enda

h

Tingg

i

KEPENT

IN

GA

N

Rendah

PENGARUH

Tinggi

Context setters

Kuadran III

Subjects

Kuadran I

Crowd

Kuadran IV

Key player

(41)

tinggi tetapi pengaruh rendah); (2) Key Players (kepentingan dan pengaruh tinggi); (3) Context setters (kepentingan rendah tetapi pengaruh tinggi) dan (4) Crowd (kepentingan dan pengaruh rendah);

3.6.2. Analisis Kebutuhan Stakeholders

Analisis kebutuhan dikelompokkan menurut kemiripannya berdasarkan kebutuhan sinergis dari masing-masing stakeholders dengan metode deskriptif. Jika kebutuhan antara stakeholders saling mendukung terhadap pengembangan ekowisata maka sinergis dan sebaliknya jika saling bertentangan maka tidak sinergis. Hasil analisis kebutuhan dijadikan salah satu acuan dasar dalam merumuskan peranan stakeholders terkait pengembangan ekowisata di TNTC. Analisis kebutuhan dilakukan untuk pencermatan terhadap faktor-faktor yang menjadi kebutuhan stakeholders (Abidin, Z. 2007).

3.6.3. Analisis kebijakan.

Analisis kebijakan dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengembangan ekowisata dengan metode content analysis (Subiakto dalam Bungin B, 2007) dan analisis terhadap fakta berkaitan dengan pengembangan ekowisata dilakukan metode deskriptif. Analisis kebijakan ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengembangan ekowisata di TNTC. Analisis dititik beratkan pada peraturan bidang pariwisata dan ekowisata di Taman Nasional, Peraturan terkait dengan zonasi Taman Nasional, dan kebijakan Pemda Teluk Wondama berkaitan dengan kepariwisataan daerah serta kebijakan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Teluk Wondama.

3.7. Sintesis

(42)

IV. GAMBARAN UMUM TAMAN NASIONAL TELUK CENDERAWASIH

4.1. Sejarah Kawasan

Kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) awalnya ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam Laut melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:58/Kpts-II/1990 pada tanggal 3 Februari 1990 dengan luas ± 1.450.500 hektar. Kemudian dinyatakan sebagai Taman Nasional melalui pernyataan Menteri kehutanan pada acara Pekan Konservasi Alam Nasional di Mataram Nusa Tenggara Barat. Pernyataan ini tertuang dalam Surat Pernyataan Nomor 448/Kpts-II/1990 pada tanggal 6 Maret 1990. Selanjutnya, kawasan Teluk Cenderawasih di Tunjuk Sebagai Taman Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 472/Kpts-II/1993 pada tanggal 2 september 1993 dengan luas 1.453.500 hektar dan ditetapkan berdasarkan Kepmenhut Nomor: 8009/Kpts-II/2002 tanggal 29 Agustus 2002 (BBTNTC, 2009a).

Pengelolaan Taman Nasional Teluk Cenderawasih dimulai pada Tahun anggaran 1991/1992 dalam bentuk Proyek Pengembangan Taman Nasional Teluk Cenderawasih dibawah pengawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam VIII Maluku-Irian Jaya sampai dengan Tahun Anggaran 1994/1995. Selanjutnya, pada Tahun Anggaran 1995/1996 sampai dengan Tahun Anggaran 1997/1998 Proyek Pengembangan TNTC berada di bawah pengawasan Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Irian Jaya I Sorong (BBTNTC, 2009a).

Penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 tentang Organisasi dan Tata kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional, maka pengelolaan Taman Nasional Teluk Cenderawasih selanjutnya berada dibawah wewenang dan tanggungjawab Balai TNTC di Manokwari.

(43)

4.2. Letak, Batas dan Luas Kawasan

Kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) terletak di tepi Samudara Pasifik dan merupakan daerah pertemuan antara lempeng Benua Australia dan lempeng samudra Pasifik yang secara geografis terletak pada koordinat 134⁰06’-135⁰10’ BT dan 01⁰43’-03⁰22’LS, posisi ini menyebabkan kawasan konservasi ini kaya akan potensi sumberdaya alam khususnya sumber daya alam perairan.

Kawasan ini berdasarkan administrasi pemerintahan, berada dalam wilayah Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Nabire Provinsi Papua. Kabupaten Teluk Wondama meliputi 13 Distrik yaitu Distrik Wasior, Distrik Wondiboi, Distrik Rasiei, Distrik Naikere, Distrik Pesisir kuri, Distrik Teluk Duairi, Distrik Roon, Distrik Rumberpoon, Distrik Soug Wepu, Distrik Windesi,Distrik dataran Wamesa dan Distrik Roswar. Sedangkan kabupaten Nabire meliputi 2 distrik Distrik Yaur dan Distrik Teluk Umar.

Batas-batas alam Kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih terdiri dari :

 Sebelah Utara, perpotongan lurus dari arah Barat desa Manci Distrik Ransiki Kabupaten Manokwari mengarah ke sebelah Timur yang berbatasan langsung dengan titik perpotongan batasan Timur (Selatan-Utara) dengan perairan Laut Kabupaten Yapen Waropen.

 Sebelah Selatan, berbatasan langsung dengan daratan Pulau Induk Papua.  Sebelah Barat, berbatasan daratan pulau induk Papua.

 Sebelah Timur, tegak lurus dari Selatan Kampung Sima Distrik Yaur kabupaten Nabire mengarah ke pantai yang berbatasan langsung dengan wilayah laut Kabupaten Yapen Waropen sampai pada titik pertemuan perpotongan lurus kearah Barat.

(44)

33

pulau-pulau, 80.000 Ha (5,5 %) terumbu karang dan luas lautan 1.305.500 Ha (89,8 %).

4.3. Topografi, Geologi, Oseanografi dan Tanah

Daerah pesisir pantai pulau induk dari TNTC pada umumnya berbukit-bukit dan bergunung-gunung yang bersisi curam. Sepanjang sisi Baratnya sederetan puncak yang tingginya hingga mencapai 915 meter dpl. Topografi kawasan TNTC pada beberapa tempat tertentu seperti di Tanjung Kwatisore dan tanjung Wandamen yang kedua puncaknya mencapai ketinggian lebih dari 1000 meter dpl. Pulau Roswar bukit tertingginya mencapai 467 meter dpl, sedangkan Pulau Rumberpon dan Pulau Roon titik tertingginya masing-masing 173 meter dpl dan 380 meter dpl.

Daerah daratan rendah yang utama adalah daratan sekitar Sungai Wosimi dibagian Selatan Teluk Wondamen, daerah ini ditandai dengan hutan mangrove, nipah, rawa sagu dan membentang sampai ke pedalaman sekitar 20-25 km pada ketinggian kurang dari 1000 meter. Tofografi kawasan TNTC di bawah laut memiliki empat bentuk pertumbuhan utama terumbu karang yaitu:

 Terumbu karang tepi pantai (Frigging Reef)  Terumbu karang potongan (Patch Reef)

 Terumbu karang penghalang (Barier Reef), tridacna atol dan  Terumbu karang perairan dangkal (Shallow Water Reef)

Topografi gugusan kepulauan Auri dan pulau lainnya di dalam kawasan TNTC bervariasi dari yang bertevi landai sampai terjal dengan kelerengan 90⁰, pulau-pulau bertipe terjal dan landai dapat pula dijumpai di pesisir pantai pulau induk dan pulau Rumberpon, pulau Roswar dan pulau Roon.

(45)

Bagian tengah Pulau Roswar terbentuk dari batu tulis hitam dan kwarsit dari Zaman Jurassik, sedangkan P.Rumberpon terdiri dari bukit-bukit karang yang tinggi terbentuk dari batuan kapur endapan/kalkarius dari Zaman Silurian, yang diapit oleh batuan quarter pada bagian timur. Tanjung Wandamen dan P. Roon terbentuk dari batuan metamorfosa anomalia berkadar ambifolit (BBTNTC, 2009a).

Suhu permukaan laut merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan, kesehatan dan penyebaran organism laut. Umumnya organisme di daerah terumbu beradaptasi dengan kisaran suhu yang normal dimana mereka tinggal dan apabila suhu air menjadi lebih dingin atau lebih panas dari suhu normal, organisma yang hidup disitu akan menderita atau bahkan mati. Khususnya organisma seperti koral yang tidak dapat berpindah keperairan yang lebih dingin atau lebih hangat seperti ikan, perubahan suhu yang cukup besar dapat menyebabkan meluasnya pemutihan karang dan menyebabkan kematian bagi karang tersebut.

Pemantauan suhu permukaan laut di kawasan Kepala Burung Papua termasuk kawasan TNTC telah dilakukan oleh CI-Indonesia, TNTC dan WWF mulai dari tahun 2005 hingga 2008 untuk memperoleh informasi mengenai pola permukaan laut dan kondisi oceanografi dari suatu kawasan terumbu karang dengan variasi yang lebih luas disepanjang kawasan bentang laut kepala burung. Untuk pemantauan di kawasan Teluk Cenderawasih dipasang 16 alat pengumpul data suhu. Hasil pemantauan suhu ini diperoleh bahwa rata-rata suhu 29,5⁰C dengan kisaran antara 24,94⁰-31,59⁰C. Temuan lain menunjukkan Teluk Cenderawasih dapat dilihat sebagai sebuah danau air asin yang sangat besar dengan lingkungan yang relative stabil tetapi secara genetik dan oceanografi populasinya terisolasi yang dalam berbagai hal terjadi dari lintasan evolusinya.

Kawasan TNTC terbentuk atas kelompok tanah (peta tanah berdasarkan Brookfield dan Slast, (1971) dalam Ronal Petocs, (1987) sebagai berikut:

1. Latosol dan Tanah Liat

Gambar

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data Utama Berdasarkan Tujuan Penelitian.
Tabel  2. Jenis dan Sumber  Data  Penujang  yang Digunakan Dalam Penelitian
Tabel 3. Sumber informan dalam penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian penelitian ini dilakukan pada resort Teluk Banyuwedang Taman Nasional Bali Barat dengan luasan 52 Ha yang dilaksanakan pada bulan Desember 2008.. Metode

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis-jenis mangrove, jenis yang mendominasi dan indek nilai penting vegetasi mangrove serta mengetahui pola zonasi Teluk Gilimanuk

Ekowisata Taman Nasional Batang Gadis merupakan daerah tujuan wisata yang memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan dalam dan luar negri, sebab Taman Nasional Batang

Manfaat dari penelitian Pengembangan Ekowisata Umbul Songo di Taman Nasional Gunung Merbabu diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi kawasan Umbul Songo dan

Pengamatan dilakukan di sepanjang kawasan Ekowisata Taman Nasional Tesso Nilo Kabupaten Pelalawan yaitu Desa Teluk Kembang Bungo dan Desa Air Hitam, Kecamatan Ukui

Keanekaragaman Reptil Untuk Pengembangan Ekowisata Pada Hutan Pegunungan Bawah Di Kompleks Gunung Bulusaraung Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.. Dibawah bimbingan

Untuk mensinkronkan pengembangan ekowisata di TNBK dengan tata ruang pembangunan Kabupaten Kapuas Hulu maka Bappeda, Disbudpar, BBTNBKDS, Kompakh dan WWF kerjasama

Untuk dapat melihat pengembangan aktualisasi potensi ekowisata pada kawasan konservasi maka penelitian ini dilakukan pada kawasan Taman Nasional Manusela (TNM)