• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Wilayah Studi

4.1.1 Kabupaten Subang

Kabupaten Subang terletak di bagian utara Propinsi Jawa Barat, terletak antara 107º31’-107º54’ BT dengan 6º11’-6º49’ LS. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Indramayu, sebelah barat dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta, sebelah selatan dengan Kabupaten Sumedang, dan sebelah utara dibatasi Laut Jawa.

Gambar 2. Peta Kabupaten Subang

Kabupaten Subang terdiri dari 22 kecamatan, yang 4 kecamatan di antaranya (dan terutama di 3 kecamatan pertama) merupakan kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan, Pusakanegara, Legon Kulon, dan Kecamatan Pamanukan. Jumlah areal tambak di Kecamatan Pusakanagara, Legon Kulon, dan Blanakan mencapai 8,258 ha dengan sebaran di masing-masing kecamatan adalah 806 ha, 4,595 ha, dan 2,855 ha. Jumlah populasi nelayan, petambak, dan pengolah di tiga kecamatan itu pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 3.

(2)

Tabel 3. Jumlah Nelayan, Petambak, dan Pengolah Ikan Kabupaten Subang Tahun 2003

Jumlah (org) Nama Kecamatan

Nelayan Petambak Pengolah

1. Pusakanagara 150 402 56

2. Legon Kulon 108 2,297 16

3. Blanakan 380 1,425 77

Jumlah 638 4,124 149

Konsentrasi kegiatan kelautan di Kecamatan Pusakanegara adalah di 1 desa (Patimban) dari 11 desa yang ada. Kecamatan Legon Kulon di 5 desa (dari 9 desa), yaitu Pangarengan, Tegalurung, Mayangan, Legon Wetan, dan Anggasari. Kecamatan di 5 desa (dari 9 desa), yaitu Cilamaya Girang, Rawa Meneng, Blanakan, Muara, dan Tanjung Jaya.

Komposisi RTP (Rumah Tangga Perikanan) dan RTBP (Rumah Tangga Bukan Perikanan) di tiga kecamatan itu adalah seperti yang disajikan pada Tabel 4. RTP di Kecamatan Pusakanagara dan Legon Kulon mencapai 20% dari total rumahtangga. Sedangkan di Kecamatan Blanakan mencapai 18,17%.

Tabel 4. Jumlah RTP dan RTBP Kabupaten Subang Tahun 2003 Jumlah (org) Nama Kecamatan RTP RTBP Total 1. Pusakanagara 82 328 410 2. Legon Kulon 90 360 450 3. Blanakan 430 1,937 2,367 Jumlah 602 2,625 3,227 4.1.1.1 Pelaksanaan PEMP 2001

Dana PEMP 2001 disalurkan kepada 23 kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), yang beranggotakan 130 orang di Kecamatan Blanakan (Desa Blanakan dan Tanjung Tiga) dan Legon Kulon (Desa Pengarengan). Program ini memberikan dukungan terhadap usaha produktif berikut :

ƒ Usaha dagang jelas ke tambak.

ƒ Usaha dagang sarana produksi perikanan (saprokan) . ƒ Usaha budidaya tambak.

(3)

ƒ Usaha pemasaran hasil penangkapan.

ƒ Usaha pengolahan ikan dan jenis hasil laut lainnya. 4.1.1.2 Pelaksanaan PEMP tahun 2002

Dana PEMP 2002 disalurkan kepada 35 KMP yang beranggotakan 281 orang. Lokasi penerapan PEMP 2002 adalah Kecamatan Blanakan (Desa Muara), Kematan Pamanukan (Desa Sukamaju), Kecamatan Legon Kulon (Desa Mayangan, Legon Kulon, dan Tegal Urung), Kecamatan Pusakanagara (Desa Patimban). Kegiatan usaha produktif yang didukung program ini adalah:

ƒ Tambak dan penangkapan.

ƒ Usaha budidaya tambak. Usaha dagang sarana produksi perikanan (saprokan) ƒ Usaha budidaya ikan lele dumbo.

ƒ Usaha pemasaran hasil tambak dan penangkapan. ƒ Usaha pengolahan hasil perikanan tangkap. 4.1.1.3 Pelaksanaan PEMP 2003

Berbeda dengan periode sebelumnya, PEMP 2004 ini terdiri dari dua komponen, yaitu: (i) dana pengembangan usaha ekonomi produktif masyarakat pesisir; dan (ii) Penyediaan pom solar untuk nelayan (SPDN). Kelompok sasaran penyaluran dana pengembangan usaha ekonomi produktif adalah:

ƒ Nelayan penggunakan motor tempel dengan kekuatan maksimum 15 HP. ƒ Nelayan pekerja (ABK: anak buah kapal).

ƒ Petambak yang memiliki tambak yang cukup, namun kekurangan modal usaha.

ƒ Pedagang ikan skala kecil. ƒ Pengolah ikan skala kecil.

ƒ Pengolah sarana penunjang usaha perikanan skala kecil, seperti bengkel reparasi motor tempel, kios BBM, atau kios es.

(4)

4.1.2 Kabupaten Cirebon

Kabupaten ini merupakan kabupaten di pantai utara Jawa Barat paling timur. Secara astronomik, kabupaten ini terletak di antara 108º32’-108º49’ BT dengan 6º00’-7º00’ LS. Sebelah utara dibatasi kota Cirebon dan Laut Jawa, sebelah timur dibatasi Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah, sebelah selatan dibatasi Kabupaten Kuningan, dan sebelah barat dibatasi Kabupaten Majalengka dan Indramayu.

Gambar 3. Peta Kabupaten Cirebon

Konsentrasi kegiatan kelauatan ada di 7 kecamatan: Kapetakan, Cirebon Utara, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Gebang, dan Losari. Jumlah RTP mencapai 4,602 orang (18.82%). Kecamatan Gebang memiliki jumlah RTP terbesar dan sekaligus proporsi RTP terbesar pula (Tabel. 5). Untuk kecamatan Astanajapura tidak diperoleh informasi yang pasti.

(5)

Tabel 5. Jumlah RTP dan RTBP Kabupaten Cirebon, Tahun 2003 Jumlah (org) Kecamatan RTP RTBP Total Nisbah* 1. Kapetakan 638 2,275 2,913 21.90 2. Cirebon Utara 818 3,694 4,512 18.13 3. Mundu 689 4,265 4,954 16.15 4. Astanajapura 5. Pangenan 302 1,446 1,748 20.89 6. Gebang 2,830 7,245 9,075 39.06 7. Losari 325 925 1,250 26.00 Total 4,602 19,850 24,452 18.82

Keterangan: Nisbah = persentase RTP terhadap Total

Seluruh RTP itu terlibat dalam kegiatan penangkapan. Indikasi itu ditunjukkan dengan jumlah perahu yang relatif sebanding dengan jumlah RTP (Tabel. 6). Para nelayan menggunakan alat yang beragam. Tabel. 7 menunjukkan jenis alat tangkap, produksi, dan frekuensi melaut setiap bulan. Produksi tertinggi dicapai oleh nelayan dengan alat tangkap jaring insang hanyut, dogol, dan rawai tetap. Pengumpul kerang juga berhasil mencapai tingkat produksi yang cukup tinggi.

Tabel 6. Jumlah Perahu dan Kapal Motor Kabupaten Cirebon Tahun 2004

Jumlah (unit) Kecamatan

Motor Tempel Kapal Motor Total

1. Kapetakan 677 26 703 2. Cirebon Utara 855 3 858 3. Mundu 695 2 697 4. Astanajapura 88 0 88 5. Pangenan 193 2 195 6. Gebang 1,853 8 1,863 7. Losari 325 0 325 Total 4,682 41 4,723

(6)

Tabel 7. Produktifitas Menurut Jenis Alat Tangkat Kabupaten Cirebon, Tahun 2004

Jenis Alat Jumlah (unit) Produksi (ton) Frekuensi (trip/bln) 1. Payang 401 2,178 11 2. Dogol 373 10,859 18 3. Pukat Rantai 4 219 13

4. Jaring Insang Hanyut 1,864 13,596 10

5. Jaring Lingkar 221 1,059 8

6. Jaring Insang Tetap 2,634 1,799 16

7. Trammel Net 2,204 1,430 15

8. Bagan Tancap 180 774 13

9. Rawai Tetap 185 5,250 14

10. Pengumpul Kerang 1,080 3,681 10

Total 9,100 40,850

Potensi tambak di Kabupaten cukup besar, yaitu mencapai 7,500 ha, yang baru dimanfaatkan sebesar 68.56% (Tabel. 8). Potensi yang masih tersedia dalam jumlah besar adalah di Kecamatan Losari dan Pangenan.

Tabel 8. Potensi dan Pemanfaatan Tambak Kabupaten Cirebon Tahun 2004 Pemanfaatan Kecamatan Potensi (ha) ha % 1. Losari 2,500 1,382 55.28 2. Gebang 600 491 81.83 3. Pangenan 1,834 1,074 58.56 4. Astanajapura 66 28 42.42 5. Mundu 100 71 71.00 6. Cirebon Utara 300 185 61.67 7. Kapetakan 2,100 1,911 91.00 Total 7,500 5,152 68.56

Di Kabupaten Cirebon terdapat 813 unit pengolahan ikan, yang tersebar di 9 kecamatan (Tabel. 9). Pengolah ikan itu pada umumnya berskala rumah tangga. Selain itu, terdapat 7 perusahaan pengolah hasil perikanan skala industrial, yang mengolah jenis produk sebagai berikut:

ƒ Paha kodok dan udang beku (1 perusahaan). ƒ Udang beku (1 perusahaan).

(7)

ƒ Chitin/chitosan (1 perusahaan). ƒ Teri nasi (2 perusahaan).

ƒ Daging rajungan (2 perusahaan). 4.1.2.1 Pelaksanaan PEMP 2001

PEMP 2001 disalurkan kepada 6 KMP yang beranggotakan 70 orang. Lokasi PEMP adalah Kecamatan Cirebon Utara (Desa Mertasinga, Grogol, dan Jatimerta) serta Kecamatan Kapetakan (Desa Karangreja). Jenis usaha yang dilayani adalah penangkapan ikan.

4.1.2.2 Pelaksanaan PEMP 2002

PEMP 2002 disalurkan kepada 16 KMP yang beranggotakan 181 orang. Lokasi PEM adalah Kecamatan Pangenan (Desa Pengarengan) dan Kecamatan Gebang (Desa Gebang Mekar dan Gebang Ilir). Jenis usaha yang dilayani adalah:

ƒ Budidaya bandeng. ƒ Pengolahan ikan. ƒ Galangan perahu. ƒ Penangkapan ikan.

ƒ Penangkapan keong macan. 4.1.2.3 Pelaksanaan PEMP 2003

PEMP 2003 disalurkan kepada 26 KMP yang beranggotakan 482 orang. PEMP dikonsentrasikan di Kecamatan Mundu (Desa Mundu Pesisir, Bandengan, Citemu, dan Waruduwur) dan Kecamatan Losari (Desa Tawangsari). Selain itu, dibangun juga 2 unit SPDN, yaitu di Kapetakan dan Gebang, masing-masing dengan kapasitas 8,000 liter.

4.1.2.4 Pelaksanaan PEMP 2004

PEMP 2004 disalurkan kepada perseorangan yang dinilai bankable untuk menerima dana kredit. Tercatat ada 42 debitur, yang pada umumnya berlokasi di Kecamatan Gebang dan Losari. Sebanyak 40 debitur adalah pedagang; sedangkan nelayan hanya 2 debitur.

(8)

Tabel 9. Unit Pengolahan Ikan Tradisional Kabupaten Cirebon Tahun 2004

Kecamatan/Desa Jenis Olahan Jumlah (unit)

1. Losari 77

- Ambulu Rajungan, Terasi 54

- Tawangsari Pindang bandeng 20 - Ambulu Ikan asin, Ebi, Petis 3

2. Gebang 175

- Gebang Mekar Rajungan, Teri Nasi 60 - Gebang Udik Pindang bandeng 30

- Gebang Ilir Ikan asin 20

- Gebang Kulon Abon, Terasi 50

- Playangan Baso ikan 10

Ikan segar 5

3. Pangenan 15

- Ender Ikan asin 5

- Pengarengan Ikan segar 10

4. Mundu 159

- Mundu Pesisir Rajungan 88

- Bandengan Pindang 40

- Citemu Ikan asin 14

- Waruduwur Ikan segar, Kerang 17

5. Cirebon Utara 168

- Jatimerta Rajungan 20

- Klayan Ikan asin 23

- Mertasinga Ikan kering asin 64

- Sambeng Ikan asin 10

- Sirnabaya Ikan asin 37

- Grogol Ikan asin 14

6. Kapetakan 21

- Bungko Ikan asin 1

- Bungko Lor Ikan segar 6

- Karangreja Kerupuk Kulit 13

- Purbawinangun 1

7. Waled 96

- Mekarsari Pindang 77

- Karangsari Pindang 17

- Cikulak Kidul Pindang 2

8. Klangenan 142

- Wangunharja Pindang 91

- Jemaras Lor Pindang 25

- Orimalang Pindang 26

9. Plumbon 60

- Pasanggrahan Pindang 40

- Danamulya Pindang 20

(9)

4.2 Hasil Penelitian

4.2.1 Peningkatan pendapatan

Tingkat pendapatan responden sebelum PEMP sangat bervariasi. Pendapatan awal terendah diperoleh petambak, baik di Cirebon maupun Subang. Sementara itu, pedagang merupakan kelompok dengan pendapatan awal tertinggi di seluruh lokasi studi (Tabel 10). Pendapatan nominal responden Cirebon sebelum dan sesudah program PEMP disajikan pada Gambar 4, sedangkan untuk responden Subang pada Gambar 6. Persentase peningkatan pendapatan responden Cirebon disajikan pada Gambar. 5. dan responden Subang pada Gambar. 7.

Tabel 10. Pendapatan Nominal Responden Sebelum dan Sesudah Program PEMP di Kabupaten Cirebon dan Subang

Pendapatan rata-rata (Rp) Kenaikan Uraian Responden Th 2000 2001-2006 (Rp) (%) CIREBON 45 Petambak 18 4,641,011 7,675,889 3,034,878 65.39 Nelayan 13 45,999,643 44,113,000 (1,886,643) (4.10) Pedagang 3 124,950,000 132,650,000 7,700,000 6.16 Pengolah 11 15,783,688 20,154,750 4,371,063 27.69 SUBANG 47 Petambak 19 7,811,154 18,385,000 10,573,846 135.37 Nelayan 14 14,623,000 23,916,500 9,293,500 63.55 Pedagang 14 57,702,857 123,321,429 65,618,571 113.72 Pengolah - - - - -

Ditinjau dari segi persentase pertambahan pendapatannya, maka petambak di seluruh lokasi mengalami laju peningkatan tertinggi, yaitu 135.37% di Subang dan 65.39% di Cirebon. Pedagang di Subang juga mengalami peningkatan yang besar (113.72%); sedangkan pedagang di Cirebon hanya mencapai 6.16%. Pengolah di Cirebon juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi (27.69%). Nelayan mengalami pola kenaikan yang tidak jelas. Di Cirebon mengalami penurunan sebesar 4.10%, sedangkan di Subang mengalami peningkatan sebesar 63.55%.

(10)

Gambar 4. Pendapatan Nominal Responden Cirebon Sebelum dan Sesudah Program PEMP

Gambar 5. Persentase Peningkatan Pendapatan Responden Cirebon Petambak Pengolah Nelayan Pedagang 0 20,000,000 40,000,000 60,000,000 80,000,000 100,000,000 120,000,000 140,000,000 Sebelum Sesudah

(11)

Gambar 6. Pendapatan Nominal Responden Subang Sebelum dan Sesudah Program PEMP

Gambar 7. Persentase Peningkatan Pendapatan Responden Subang 4.2.2 Kontribusi tambahan modal

Nilai yang disalurkan PEMP relatif kecil, yaitu kurang dari Rp 6,000,000/orang, yaitu berkisar antara 1.7 juta sampai dengan 5.3 juta rupiah. Nilai itu memberikan pengaruh berbeda pula kepada setiap pelaku usaha (Tabel.11).. Secara absolut, pedagang dan petambak merupakan dua kelompok penerima dana terbesar. Pengolah adalah penerima dana terkecil.

(12)

Pedagang merupakan kelompok yang paling memperoleh manfaat terbesar. Dana tambahan itu senilai 165.12% dari modal awal untuk daerah Cirebon dan 58.12% untuk Subang. Kenaikan modal para petambak relatif paling kecil, yaitu 3.80% untuk Cirebon dan 7.47% untuk Subang; karena modal awalnya termasuk sangat besar.

Bila diukur dengan nisbah antara pendapatan (sebelum proyek) dengan modal awal (sebelum proyek), seperti yang ditunjukkan pada Tabel.12, maka pedagang merupakan kelompok usaha yang mencapai nisbah tertinggi, yaitu 3,868.42% untuk Cirebon dan 857.92% untuk Subang. Hal itu disebabkan, antara lain, karena persentase tambahan modal pedagang termasuk tertinggi, karena modal awalnya relatif kecil. Nelayan dan pengolah mencapai nisbah yang sedang. Sedangkan petambak merupakan kelompok usaha yang mencapai nisbah terendah, akibat modal awal yang terlibat dalam usaha tambak adalah yang terbesar. Persentase tambahan modal responden disajikan pada Gambar 8. (Cirebon) dan Gambar. 9. (Subang)

(13)

Tabel 11. Kontribusi Tambahan Modal

Tambahan Modal Uraian Modal Awal (Rp)

(Rp) (%) CIREBON Petambak 138,830,556 5,277,778 3.80 Nelayan 55,763,333 4,466,667 8.01 Pedagang 3,230,000 5,333,333 165.12 Pengolah 40,713,509 1,936,364 4.76 SUBANG Petambak 62,727,368 4,684,211 7.47 Nelayan 9,435,714 2,785,714 29.52 Pedagang 6,725,909 3,909,091 58.12 Pengolah 7,600,000 1,666,667 21.93

Tabel 12. Nisbah Pendapatan Terhadap Modal

Nisbah Pendapatan Terhadap Modal (%) Kelompok Usaha Cirebon Subang 1. Petambak 3.34 12.45 2. Nelayan 82.49 154.98 3. Pedagang 3,868.42 857.92 4. Pengolah 38.77

(14)

4.2.3 Sebaran tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan terbesar, untuk seluruh kelompok usaha di seluruh lokasi, adalah lulusan SLP. Kelompok ini mencapai 76.60% di Cirebon dan 72.34% di Subang (Tabel.13). Petambak di kedua lokasi ada yang mencapai pendidikan tinggi; demikian juga dengan nelayan di Cirebon dan pedagang di Subang, ada yang mencapai tingkat pendidikan tinggi.

Tabel 13. Sebaran Tingkat Pendidikan

Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan (%) Uraian

SLP SLA Pernah PT Tamat PT TOTAL

CIREBON 76.60 10.64 8.51 4.26 100.00 Petambak 77.78 5.56 5.56 11.11 100.00 Nelayan 66.67 26.67 6.67 100.00 Pedagang 100 100.00 Pengolah 81.82 18.18 100.00 SUBANG 72.34 6.38 14.89 6.38 100.00 Petambak 52.63 5.26 36.84 5.26 100.00 Nelayan 92.86 7.14 100.00 Pedagang 72.73 9.09 18.18 100.00 Pengolah 100.00 100.00

4.2.4 Persepsi pada prospek usaha

Persepsi pada prospek usaha pada dasarnya merupakan jawaban atas beberapa pernyataan yang bermakna “prospek usaha yang ditekuni sekarang ini cukup bagus”. Skor yang jawaban itu adalah 5 (sangat setuju), 4 (setuju), 3 (cukup setuju), 2 (kurang setuju), dan 1 (tidak setuju). Untuk semua kelompok usaha, rata-rata memiliki persepsi antara cukup setuju sampai dengan sangat setuju. Dengan demikian, secara umum para responden itu percaya bahwa bidang usaha yang digelutinya itu benar memiliki prospek yang baik. Nilai minimum skore di bawah ‘cukup setuju’ terjadi pada kelompok nelayan di kedua lokasi serta kelompok pengolah di Cirebon.

(15)

Tabel 14. Skor Persepsi Pada Prospek Usaha

Uraian Minimum Rata-rata Maksimum

CIREBON Petambak 3.00 3.62 5.00 Nelayan 2.83 3.32 4.33 Pedagang 4.33 4.67 5.00 Pengolah 2.50 3.27 4.67 SUBANG Petambak 3.17 3.71 4.00 Nelayan 2.83 3.76 4.17 Pedagang 3.83 3.75 4.67 Pengolah 4.00 4.17 4.33

4.2.5 Persepsi pada kemampuan berbisnis

Responden secara keseluruhan berpandangan bahwa dirinya memiliki kemampuan yang baik dalam menjalankan bisnisnya. Ini ditunjukkan dengan skor rata-rata persepsi yang berkisar antara cukup setuju sampai dengan sangat setuju. Nilai minimum di bawah ‘cukup setuju’ hanya terjadi pada usaha petambak dan pengolah di Cirebon.

Tabel 15. Skor Persepsi Pada Kemampuan Berbisnis

Uraian Minimum Rata-rata Maksimum

CIREBON Petambak 2.75 3.61 4.75 Nelayan 3.00 3.45 4.50 Pedagang 3.75 4.33 4.75 Pengolah 2.75 3.34 5.00 SUBANG Petambak 3.00 3.74 4.50 Nelayan 3.25 3.82 4.25 Pedagang 3.25 3.66 4.25 Pengolah 3.75 4.08 4.25

(16)

4.2.6 Umur Proyek

Sebagian besar responden (lebih dari 70%) adalah peserta program PEMP 3-4 tahun yang lalu, yaitu PEMP 2002 dan PEMP 2003. Rincian umur partisipasi responden dalam program PEMP disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Sebaran Responden Berdasarkan Umur Partisipasi Dalam PEMP Uraian 2 th 3 th 4 th 5 th Total CIREBON 2.13 57.45 38.30 2.13 100.00 Petambak 0 22.22 77.78 0 100.00 Nelayan 6.67 86.67 0 0 100.00 Pedagang 0 100.00 0 0 100.00 Pengolah 0 63.64 36.36 0 100.00 SUBANG 0 32.61 50.00 17.39 100.00 Petambak 0 31.58 52.63 15.79 100.00 Nelayan 0 23.08 46.15 30.77 100.00 Pedagang 0 27.27 63.64 9.09 100.00 Pengolah 0 100.00 0 0 100.00

4.3. Dampak Program PEMP

Dampak program PEMP diukur berdasarkan ukuran pendapatan sebelum dan sesudah proyek: Apakah ada peningkatan, penurunan, atau malah tetap? Untuk lokasi keseluruhan, hanya dilihat dampak secara agregat. Sedangkan dampak pada masing-masing lokasi dirinci per jenis usaha yang dilayani oleh program PEMP. Alat ujinya adalah Wilcoxon signed ranktest.

4.3.1 Agregat Subang dan Cirebon

Secara agregat, program PEMP berhasil meningkatkan pendapatan di wilayah penelitian (Subang dan Cirebon) secara nyata pada taraf kesalahan <5%. Sebanyak 70.65% responden ternyata mengalami peningkatan pendapatan, 19.57% tetap, dan hanya 9.78% mengalami penurunan pendapatan (Tabel-17).

(17)

Agregat responden Subang juga mengalami peningkatan pendapatan secara nyata pada taraf kesalahan <5%. Sebanyak 82.98% mengalami peningkatan, 6.38% tetap, dan 10.64% mengalami penurunan pendapatan.

Agregat responden Cirebon juga mengalami peningkatan pendapatan secara nyata pada taraf kesalahan <5%. Namun taraf peningkatannya relatif lebih rendah dibanding dengan Subang. Hanya 57.78% yang meningkat, 33.33% tetap, dan 8.89% mengalami penurunan.

Tabel 17. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Agregat Lokasi Proyek Responden

Uraian Keadaan

Jumlah % Test Statistik

1. Subang* Menurun 5 10.64 Z -8.185 Meningkat 39 82.98 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.000

Tetap 3 6.38

Total 47 100.00

2. Cirebon* Menurun 4 8.89 Z -4.697 Meningkat 26 57.78 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.000

Tetap 15 33.33

Total 45 100.00

3. TOTAL* Menurun 9 9.78 Z -4.330

Meningkat 65 70.65 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.000

Tetap 18 19.57

Total 92 100.00

Keterangan: *Nyata pada taraf kesalahan <5%

4.3.2 Subang

Dua kelompok penerima layanan di Subang (petambak dengan pedagang) yang secara nyata (pada taraf kesalahan <5%) mengalami peningkatan pendapatan. Petambak dan pedagang yang mengalami peningkatan masing-masing sebanyak 89.47% dan 100% (Tabel.18).

Meski sebanyak 57.14%, namun proporsi peningkatan kelompok ini tidak terjadi secara nyata pada tingkat kesalahan <5% (ia hanya nyata pada taraf kesalahan 42.2%). Proporsi yang mengalami penurunan ternyata cukup besar, yaitu 35.71%; dan yang tetap adalah 7.14%.

(18)

Sementara itu, tidak ada pengolah yang terambil sebagai contoh. Dengan demikian, dampak positif program PEMP hanya dirasakan secara nyata oleh kelompok petambak dan pedagang saja.

Tabel 18. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Kabupaten Subang Responden

Uraian Keadaan

Jumlah % Test Statistik

1. Petambak* Menurun 0 0 Z -3.621

Meningkat 17 89.47 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.000

Tetap 2 10.53

Total 19 100.00

2. Nelayan Menurun 5 35.71 Z -0.804

Meningkat 8 57.14 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.422

Tetap 1 7.14

Total 14 100.00

3. Pedagang* Menurun 0 0 Z -4.330

Meningkat 14 100.00 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.000

Tetap 0 0 Total 14 100.00 4. Pengolah Menurun 0 Meningkat 0 Tetap 0 Total 0

Keterangan: *Nyata pada taraf kesalahan <5%

4.3.3 Cirebon

Kelompok yang mengalami peningkatan pendapatan secara nyata pada tingkat kesalahan <5% adalah petambak dan pengolah. Proporsi yang mengalami peningkatan pada masing-masing kelompok mencapai 77.78% dan 81.82% (Tabel.19)..

Nelayan tidak mengalami peningkatan yang nyata. Proporsi yang meningkat hanya 15.38%, menurun 7.69%, dan yang tetap mencapai 76.92%. Kelompok ini hanya nyata pada taraf kesalahan 28.5%.

Kelompok pedagang pun tidak mengalami peningkatan yang nyata pada taraf kesalahan <5% (ia hanya nyata pada taraf kesalahan 31.7%). Jumlah yang mengalami peningkatan hanya 33.33%. Sedangkan sisanya 66.67% ternyata masih tetap seperti sebelum proyek.

(19)

Dengan demikian, kelompok yang memperoleh dampak positif dari kegiatan PEMP di Cirebon adalah petambak dan pengolah. Sedangkan kelompok nelayan dan pedagang tidak mengalami dampak yang nyata.

Tabel 19. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Kabupaten Cirebon Responden

Uraian Keadaan

Jumlah % Test Statistik

1. Petambak* Menurun 3 16.67 Z -2.864

Meningkat 14 77.78 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.004

Tetap 1 5.56

Total 18 100.00

2. Nelayan Menurun 1 7.69 Z -1.069

Meningkat 2 15.38 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.285

Tetap 10 76.92

Total 13 100.00

3. Pedagang Menurun 0 0 Z -1.000

Meningkat 1 33.33 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.317

Tetap 2 66.67

Total 3 100.00

4. Pengolah* Menurun 0 0 Z -2.666

Meningkat 9 81.82 Asymp. Sig. (2-tailed) 0.008

Tetap 2 18.18

Total 11 100.00

Keterangan: *Nyata pada taraf kesalahan <5% 4.4 Faktor Determinan Pendapatan

4.4.1 Model utuh

Model yang utuh ingin melihat pengaruh seluruh variabel bebas terhadap Y (peningkatan pendapatan). Variabel bebas yang dilibatkan dalam model ini adalah: modal awal, tambahan modal, tingkat pendidikan (dummy), lokasi (biner: Subang dan Cirebon), tahun pelaksanaan, kelompok mata-pencaharian (dummy), persepsi pada prospek usaha, dan persepsi pada kecakapan berbisnis. Secara statistik, model ini tergolong handal, karena terpercaya pada taraf kesalahan <5% (Tabel. 20).

Nilai R2 model regresi ini adalah 0.523. Artinya, sebanyak 52.3% perubahan-perubahan pada variabel terikat (peningkatan pendapatan), dapat diterangkan oleh

(20)

variabel-variabel bebas yang terlibat dalam model. Sebagai model fenomena sosial, nilai R2 lebih dari 30% sudah dianggap memadai.

Tabel 20. Hasil Analisis Regresi Seluruh Variabel

Variabel Koefisien Regresi t Sig.

(Constant) 42,115,646.068 1.619 0.109 X1 Modal Awal 0.021 0.927 0.357 X2 Tambahan Modal 0.402 0.552 0.582 X31 SD (5,203,254.480) (0.550) 0.584 X32 SMP 14,044,789.393 1.166 0.247 X33 SMA (769,057.704) (0.068) 0.946 X4 Persepsi pada Prospek Usaha 5,420,456.557 1.017 0.312 X5 Lokasi (13,072,207.729) (2.434) 0.017 X6 Tahun Pelaksanaan 2,522,409.623 0.690 0.492 X7 Persepsi pada Kecakapan Berbisnis* (16,385,884.067) (3.193) 0.002 X81 Nelayan (3,667,317.391) (0.669) 0.505 X82 Pedagang* 38,393,297.202 5.312 0.000 X83 Pengolah 6,486,471.681 0.846 0.400

R Square = 0.523; Sig. 0.000; Keterangan: *Nyata pada taraf <5%

Mengacu pada Tabel.20. diketahui, bahwa hanya variabel “persepsi pada kecakapan berbisnis” dan kelompok mata pencaharian pedagang yang memberikan pengaruh nyata pada taraf <5%. Maknanya, perubahan-perubahan pada tingkat pendapatan itu secara nyata hanya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dua variabel itu.

Berangkat dari model rancangan regresi berganda dan hasil analisi regresi pada Tabel-20 itu, maka dapat dituliskan model hubungan antara variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap perubahan tingkat pendapatan sesudah mengikuti proyek PEMP. Model itu adalah sebagai berikut:

Y = 38,393,297 X82 - 16,385,884 X7

(21)

pencaharian selain pedagang, maka nilai X1 = 0. Sedangkan bila bermata-pencaharian sebagai pedagang, maka nilai X1 = 1. Dalam konstruksi model ini, data itu harus dibaca sebagai: kelompok pedagang memiliki nilai tambahan pendapatan Rp 38,393,297 dibanding dengan petambak (yang dalam model diberi nilai 0 untuk semua variabel dummy).

Sedangkan persepsi pada kecakapan berbisnis merupakan nilai interval rata-rata (skala Lickert 0 sampai 5), untuk pertanyaan-pertanyaan:

• Saya selalu berusaha agar kegiatan usaha saya menjadi lebih baik dan lebih kuat;

• Saya memiliki keterampilan yang memadai untuk membuat kegiatan usaha saya menjadi lebih baik;

• Saya memiliki semangat yang cukup untuk membuat saya bertahan dalam kegiatan usaha saya ini;

• Saya memiliki kemampuan manajamen yang cukup untuk memajukan kegiatan usaha saya ini; dan

• Saya memiliki kawan-kawan yang selalu bersedia diajak diskusi berkaitan dengan usaha-usaha untuk memajukan kegiatan usaha saya.

Dalam hal ini, terdapat kontradiksi: semakin yakin terhadap kecakapannya, maka pendapatan responden semakin rendah. Seharusnya, kecakapan bisnis itu berbanding lurus dengan kinerja. Dalam penelitian ini, persepsi terhadap kecakapan bisnis itu justru berbanding terbalik. Hal ini menggambarkan dua kemungkinan berikut:

• Para responden telah memiliki persepsi yang keliru tentang kemampuan dirinya; atau

• Persepsi responden itu lebih merujuk pada “keyakinan dirinya bahwa dirinya memiliki kecakapan bisnis yang baik” dan bukan pada “pengetahuan tentang dirinya bahwa dirinya memiliki kecakapan bisnis yang baik”.

4.4.2 Model hasil iterasi 1

(22)

“entered/removed”, yang dalam hal ini digunakan metoda “entered”. Komputer secara iteratif memilih variabel yang memiliki korelasi yang relatif tinggi, baik berkorelasi positif maupun negatif. Variabel yang terpilih adalah: konstanta, modal awal, tambahan modal, tingkat pendidikan (SMA terbuang), lokasi, jenis mata pencaharian (nelayan, pedagang), persepsi responden pada prospek usaha, dan persepsi responden pada kecakapan berbisnisnya (Tabel 21).

Tabel 21. Hasil Analisis Regresi Iterasi 1

Variabel Koefisien Regresi T Sig.

(Constant)* 50,320,606.456 2.466 0.016 X1 Modal Awal 0.027 1.402 0.165 X31 SD (4,203,188.661) (0.727) 0.469 X32 SMP 13,890,979.628 1.494 0.139 X4 Persepsi pada Prospek Usaha 5,474,394.790 1.066 0.290 X5 Lokasi* (12,921,482.273) (2.910) 0.005 X7 Persepsi pada Kecakapan Berbisnis* (15,618,789.750) (3.144) 0.002 X81 Nelayan (5,350,917.614) (1.047) 0.298 X82 Pedagang* 36,638,979.213 5.540 0.000

R Square = 0.513; Sig. 0.000; Keterangan: *Nyata pada taraf <5%

Dengan iterasi seperti itu diperoleh tiga variabel yang memberikan pengaruh nyata pada taraf <5%, yaitu: lokasi, persepsi pada kecakapan berbisnis, dan jenis mata pencaharian pedagang. Model matematiknya menjadi:

Y = 50,320,606 – 12,921,482 X5 – 15,618,790 X7 + 36,638,979 X82

dengan keterangan bahwa Y = peningkatan pendapatan sesudah mengikuti program PEMP; X5 = lokasi proyek (Subang atau Cirebon); X7 = persepsi pada kecakapan berbisnis; dan X82 = responden bermata-pencaharian pedagang. Untuk variabel lokasi, X5 = 0 jika responden berlokasi di Cirebon, dan nilai X5 = 1 jika responden berlokasi di Subang. Dengan demikian, untuk variabel lokasi, hendaknya dibaca sebagai: tingkat pendapatan lokasi Subang adalah Rp 12,921,482 lebih rendah dibanding dengan lokasi Cirebon.

(23)

model sebelumnya. Pendapatan pedagang juga Rp 36,638,979 lebih tinggi dibanding dengan pendapatan petambak.

Model ini dapat dipercaya, dengan nilai R2 sebesar 51.3%. Sebanyak 51.3% variasi-variasi perubahan tingkat pendapatan dipengaruhi dengan perubahan-perubahan variabel mata pencaharian sebagai pedagang, lokasi proyek, dan persepsi tentang kecakapan berbisnis.

4.4.3. Model hasil iterasi 2

Iterasi kedua adalah menganalisis regresi berganda, hanya dengan memasukkan variabel bebas yang pada iterasi 1 menunjukkan pengaruh nyata pada taraf <5%. Hasil analisis regresinya disajikan pada Tabel-22. Model ini dapat dipercaya pada taraf kesalahan <5%, dengan nilai R2 = 45.1% (Sebanyak 45.1% perubahan-perubahan tingkat pendapatan itu dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang terlibat dalam model).

Tabel 22. Hasil Analisis Regresi Iterasi 2

Variabel Koefisien Regresi T Sig.

(Constant)* 56,923,600.758 3.612 0.001 X5 Lokasi (11,325,433.393) (2.577) 0.012 X7 Persepsi pada Kecakapan Berbisnis* (12,787,045.429) (3.086) 0.003 X82 Pedagang* 39,394,091.934 7.007 0.000

R Square = 0.451; Sig. = 0.000; Keterangan: *Nyata pada taraf <5%

Pada Tabel-22 ditunjukkan, bahwa konstanta, persepsi pada kecakapan berbisnis, dan mata pencaharian pedagang itu berpengaruh nyata pada taraf <5%. Dengan demikian, model matematiknya adalah:

Y = 56,923,601– 12,787,045 X7 + 39,394,092 X82

dengan keterangan bahwa Y = peningkatan pendapatan akibat program PEMP; X7 = persepsi pada kecakapan berbisnis; dan X82 = mata pencaharian pedagang. Penjelasan model ini sama dengan model utuh dan model iterasi 1

(24)

4.5.1 Kelompok sasaran

Selama ini nelayan dan pembudidaya ikan belum sepenuhnya menikmati nilai tambah dari pemanfaatan potensi dan produksi perikanan . Hasil dari perhitungan rata-rata di 10 provinsi Coremap pendapatan nelayan berkisar antara Rp. 82.500 s/d Rp. 225.000,-/ bulan jumlah tersebut jauh dibawah nilai dari Upah minimum Regional (UMR) yang ditetapka pemeritah tahun 1996/1997 sebesar Rp. 3.800,-/hari (Dahuri,2002) Namun demikian lebih jauh, (Fauzi dan Satria, 2000) menyebutkan bahwa ketergantungan pada Iklim dan lingkungan menyebabkan pendapatan nelayan disetiap daerah berbeda-beda dari 10 desa pesisir yang termasuk dalam 10 provinsi Coremap pendapatan terendah dialami nelayan dari Desa Sekotong pada saat musim ikan berkisar antara Rp.50.000,- s/d Rp. 80.000,- Menurut Syaefudin (2006) rata-rata pendapatan nelayan pancing tradisional dan semi modern di Kota Sabang, Banda Aceh dan Aceh besar mencapai Rp. 70.000,- s/d Rp.120.000,- Sementara dilokasi penelitian Petambak merupakan kelompok mata pencaharian yang selalu mengalami kenaikan pendapatan secara nyata pada taraf <5%, di Subang maupun di Cirebon. Demikian juga pedagang di Subang dan pengolah di Cirebon, mengalami kenaikan yang nyata. Kondisi kegiatan usaha budidaya perikanan di dua daerah tersebut sejalan dengan trend yang terjadi saat ini, yaitu adanya kecenderungan menurunnya peran perikanan tangkap dan kedua tersedianya sumberdaya budidaya perikanan; disamping itu pemerintah juga memberikan prioritas kepada kegiatan budidaya perikanan untuk dikembangkan secara masal. (Nikkijuluw, 2005). Peluang pengembangan budidaya perikanan Indonesia tergantung pada potensi lahan budidaya yang tersedia. Secara nasional terdapat 27,6 juta ha lahan yang berpotensi untuk dikembangkan, dari jumlah tersebut baru 828 ribu ha (3%) yang sudah dimanfaatkan. Pemanfaatan ini menghasilkan secara total 1,1 juta ton pada tahun 2002, menurut lahan budidaya atau teknologi pembesaran ikan, tambak memberikan kontribusi terbesar diikuti oleh budibaya laut dan budidaya di kolam. Bila dibandingkan dengan lahan yang tersedia, penambahan pemilikan usaha budidaya yang lambat perkembangannya ini menunjukkan adanya kekurangan teknologi dan modal. Berarti bahwa masyarakat mengalami kendala pada teknologi dan modal untuk mengubah potensi yang

(25)

Sementara itu, nelayan di kedua lokasi penelitian selalu tidak mengalami peningkatan yang nyata pada taraf <5%, meski jumlah responden yang mengalami peningkatan itu relatif besar (lebih dari separuh dari nelayan di masing-masing lokasi), yaitu masing-masing 57.14% dan 76.92% untuk Subang dan Cirebon. Sementara itu (Dahuri, 2002) menyebutkan bahwa hal ini disebabkan karena biaya operasional yang meningkat 3 s/d 4 kali lipat dari sebelumnya. Sementara itu hasil ananlisis usaha perikanan tangkap (lampiran 7 dan 8) di kedual lokasi penelitian menunjukkan ketergatungan BBM terhadap biaya produksi untuk nelayan kabupaten Subang dengan alat tangkap tramel net sebesar 64,82 % dgn penghasilan rata-rata setiap bulannya Rp.840.000,-, sedangkan nelaya kab.Cirebon dengan alat tangkap jaring kejer gillnet/jaring insang diam, ketergatungan BBM terhadap biaya produksi mencapai 74,14 % dengan penghasilan rata-rata perbulan Rp. 488.000,-

Fenomena itu tidak membuktikan bahwa program PEMP tidak memberikan layanan kepada nelayan dengan mutu layanan sebaik seperti yang diberikan kepada petambak, pedagang, dan pengolah. Dengan anggapan bahwa mutu layanan itu diberikan sama baik, maka perbedaan dampak itu terjadi karena nelayan kurang responsif terhadap jasa layanan (terutama modal) PEMP. Hal itu diduga terjadi karena dana PEMP itu tidak secara langsung dapat memacu produksi. Karena skala pinjaman PEMP lazimnya digunakan untuk biaya operasional atau untuk living cost bagi keluarga yang ditinggalkan di darat. Selain itu, ruang aktifitas usaha nelayan itu relatif konstan. Peningkatan produksi yang mencolok hanya mungkin dilakukan dengan cara lompatan teknologi (frogging), misal dari penggunaan perahu layar menjadi perahu motor atau penggunaan motor kecil ditingkatkan dengan motor yang jauh lebih besar, sehingga mampu menjangkau fishing ground yang lebih luas; serta lompatan manajemen seperti mengintegrasikan nelayan dengan kegiatan pengolahan yang dikuasai oleh kelompok nelayan atau. Dikaitkan dengan soal kelimpahan sumberdaya (resources endowment) yang kian menurun, prospek usaha nelayan (jika tanpa lompatan teknologi dan manajemen) secara alamiah cenderung menurun. Kondisi ekonomi nelayan tergolong masih rendah, salah satu indikatornya adalah sampai saat ini pendapatannya masih dibawah Rp. 500.000,- (Djamaludin, 2003) tingkat pendapatan rendah sebagai akibat menurunnya sumber daya alam. Seperti diketahui Laut Jawa (pantai Utara Jawa) merupakan daerah yang telah mengalami

(26)

gejala over fishing yang ditandai; (a) menurunnya hasil tangkapan (b) terjadinya booming species tertentu, (c) penurunan ukuran ikan hasil tangkapan, (d) grafik penangkapan dalam satuan waktu berfluktuasi atau tidak menentu (erratic), (e) penurunan produksi secara nyata/signifikan (Manggabarani, 2005). Hal ini terjadi karena sumberdaya perikanan Indonesia secara formal adalah wadah bersama (common pool resources) yang dimiliki negara dan masyarakat lokal (Nikijuluw, 2005). Akan tetapi dari beberapa gejala dan kecenderungan yang terjadi di lapangan, ternyata sumberdaya perikanan Indonesia menganut dan mengikuti rezim de facto open accsess (terbuka tanpa pemilik). Dibawah rezim de facto open accsess yang terjadi adalah sumberdaya mengalami degradasi berat, turun kualitasnya, kemusnahan ikan secara total, dan pada akhirnya akan musnah peluang untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut bagi pembangunan ekonomi dan hal ini akan berdampak pada timbulnya tragedi kerusakan sumberdaya yang diikuti dengan kemiskinan nelayan (Nikijuluw, 2005)

Secara agregat semua responden Peserta Program PEMP di kedua kabupaten/kota mengalami dampak yang nyata terhadap pendapatan nominal, namun apabila dibandingkan dengan nilai rata-rata laju inflasi (7,64%) dalam tahun 2000-2006, maka kenaikan pendapatan hanya dialami oleh petambak dan pengolah di kedua lokasi serta pedangan di Kabupaten. Subang, Sedangakan Nelayan dikedua lokasi dan Pedagang di Kabupaten Cirebon kenaikan pendapatannya rata-rata hanya 4,4 % dan 6,16 % atau dibawah rata-rata-rata-rata laju inflasi dalam kurun waktu tahun 2000-2006, dimana Laju Inflasi adalah tingkat harga umum dari tahun-ketahun dan biasanya diikuti dengan kenaikan harga pada tahun tertentu dari tahun sebelumnya (Samuelson and Nordhause, 2001 dalam Murni, 2006)

4.5.2 Persepsi kecakapan berbisnis

Variabel ini bertanda negatif. Artinya memiliki hubungan terbalik dengan peningkatan pendapatan. Tatkala responden memiliki persepsi bahwa secara agregat kecakapan bisnisnya itu tinggi, maka terjadi penurunan laju peningkatan pendapatannya. Ini menjelaskan bahwa responden sebenarnya ‘hanya merasa bahwa kecakapan bisnisnya’ itu tinggi; padahal sesungguhnya mereka tidak memiliki

(27)

bisnis mereka yang sesungguhnya. Semakin merasa yakin, maka mereka semakin bertindak tidak rasional. Mekanisme itu mungkin terjadi dalam masyarakat, yang oleh Tadjudin (2000) memiliki ciri bounded rationality (rasionalitas terbelenggu).

4.5.3 Pedagang

Perniagaan lazimnya merupakan sektor yang paling responsif terhadap injeksi modal, karena hal itu akan mengangkat skala usahanya secara nyata melalui perputaran barang yang makin cepat. Sekurang-kurangnya terdapat tiga fenomena menarik dalam penelitian ini. Pertama, bahwa skala usaha pedagang tidak menjadi faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan responden. Hal itu ditunjukkan dengan variabel modal awal (Tabel.6.) yang tidak berpengaruh secara nyata pada taraf <5%. Kedua, tambahan modal juga tidak menjadi faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan pendapatan responden.

Karena laju peningkatan pendapatan responden itu tidak dipengaruhi secara nyata oleh dua faktor di atas, maka sangat mungkin bahwa para pedagang itu sangat diuntungkan akibat ‘pembinaan kelembagaan’ yang menjadi muatan program PEMP. Misalnya, dengan adanya program PEMP, maka militansi nelayan untuk mendarat di tempat pelelangan setempat itu semakin tinggi. Karena itu, para pedagang berkesempatan untuk meningkatkan perputaran barangnya, karena telah terjadi pasokan yang lebih baik. Sayang penelitian ini tidak melacak informasi itu secara lebih mendalam.

4.5.4 Koreksi inflasi terhadap pendapatan

Peningkatan pendapatan perlu dikoreksi dengan inflasi, karena hal itu akan menunjukkan nilai yang sesungguhnya (bukan nilai nominal). Laju Inflasi adalah tingkat harga umum dari tahun-ketahun dan biasanya diikuti dengan kenaikan harga pada tahun tertentu dari tahun sebelumnya (Samuelson and Nordhause, 2001 dalam Murni, 2006). Data inflasi nasional dalam kurun waktu 2000-2006 disajikan pada Tabel 23. Jika indeks tahun 2000 diasumsikan sama dengan 100, maka indeks tahun penelitian (2006) adalah 160.97. Nilai peningkatan pendapatan setelah dikoreksi dengan laju inflasi disajikan pada Tabel 24.

(28)

Tabel 23. Laju Inflasi Indonesia Tahun 2001 sampai 2006 No Tahun Angka Inflasi (%) Indeks

1. 2000 3,8 100.00 2. 2001 11,5 111.50 3. 2002 11,8 124.66 4. 2003 6,8 133.13 5. 2004 6,1 141.25 6. 2005 7,0 151.14 7. 2006 6,5 160.97 Nilai Rata-Rata 7,64 www.bps.go.id. 2007

Tabel 24. Pendapatan Nominal Responden Sebelum dan Sesudah Program PEMP di Kabupaten Cirebon dan Subang (Dikoreksi Inflasi)

Pendapatan rata-rata (Rp) Kenaikan Uraian Responden Th 2000 2001-2006 (Rp) (%) CIREBON 45 Petambak 18 4,641,011 4,768,612 127,601 2.75 Nelayan 13 45,999,643 27,405,006 (18,594,637) (40.42) Pedagang 3 124,950,000 82,408,225 (42,541,775) (34.05) Pengolah 11 15,783,688 12,521,049 (3,262,639) (20.67) SUBANG 47 Petambak 19 7,811,154 11,421,600 3,610,446 46.22 Nelayan 14 14,623,000 14,858,020 235,020 1.61 Pedagang 14 57,702,857 76,612,892 18,910,035 32.77 Pengolah - - - - -

Untuk wilayah Cirebon, secara agregat hanya petambak saja yang mengalami laju peningkatan pendapatan yang positif. Sementara itu seluruh kelompok responden di Subang mengalami peningkatan positif. Hal itu memberikan gambaran sebagai berikut:

ƒ Responden di Subang rata-rata lebih sejahtera, karena seluruhnya mengalami laju peningkatan pendapatan riil. Sedangkan di Cirebon hanya petambak saja yang mengalami laju peningkatan pendapatan riil yang positif. Dengan

(29)

demikian, responden di Cirebon memerlukan sumber pendapatan alternatif yang lebih besar dibanding dengan Subang. Secara agregat, seluruh responden di Cirebon sedang mengalami proses pemiskinan.

ƒ Di Subang, nelayan merupakan kelompok yang mengalami peningkatan pendapatan riil yang paling kecil, yaitu hanya 1.61%; sementara itu di Cirebon mengalami penurunan sebesar 40.42% (yang merupakan laju penurunan terbesar di daerahnya). Dengan demikian, nelayan ini merupakan kelompok yang paling rentan mengalami laju pemiskinan.

4.6 Implikasi Pada Kebijakan

4.6.1 Kebijakan yang afirmatif

Hasil Wilcoxon signed rank test di Subang dan Cirebon menunjukkan bahwa setiap jenis mata pencaharian itu memiliki sensitifitas yang berbeda terhadap injeksi modal. Sensitifitas itu bisa bersifat teknikal maupun sosial. Yang dimaksud teknikal adalah kemampuan suatu bidang usaha untuk menghasilkan marjinal-produk itu berbeda-beda antara satu jenis mata pencaharian satu dengan lainnya. Sedangkan secara sosial adalah bahwa setiap pelaku mata pencaharian tertentu itu memiliki kearifan dan kecakapan yang berbeda dalam memanfaatkan modal.

Hal itu menjelaskan, bahwa masyarakat pesisir bukanlah masyarakat yang homogen. Dengan demikian, mereka tidak dapat dipacu dengan suatu inisiatif program yang seragam. Program generik seperti yang dilakukan PEMP ternyata memacu pedagang secara sangat nyata, diikuti dengan petambak dan pengolah. Sedangkan nelayan tetap tertinggal dengan laju peningkatan pendapatan yang tidak nyata.

Karena itu, dibutuhkan sebuah program yang affirmatif; yaitu sebuah program yang memberikan topangan lebih intensif kepada kelompok yang memiliki respons pembinaan yang lebih rendah, dalam hal ini kepada nelayan. Gagasan penciptaan mata pencaharian alternatif, misalnya, bukanlah dioperasikan sebagai mendorong perkembangan sumber mata pencaharian yang lebih beraneka secara

(30)

acak; melainkan mata pencaharian alternatif itu dilekatkan pada kelompok nelayan, yang selama ini justru merupakan kelompok paling rawan di daerah pesisir.

Hal itu sejalan dengan prinsip pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan pada masyarakat paling tertinggal akan kehilangan maknanya apabila tidak mampu menyempitkan ketimpangan yang terjadi antar golongan dalam masyarakat. Pendapatan nelayan meningkat, akan kehilangan maknanya apabila peningkatan pendapatan kelompok lainnya terjadi dengan laju lebih tinggi; karena kenyataan itu justru menjelaskan bahwa dalam masyarakat pesisir sedang terjadi peningkatan kesenjangan antar kelompok mata pencaharian.

Nelayan memiliki daur produksi yang unik, yaitu: berproduksi pada saat peak season (Pebruari-Juli) dan libur pada saat off season yang jatuh pada musim angin barat (Agustus-Januari). Jadi masa produktif nelayan hanya 6-8 bulan setiap tahun. Karena itu, pola pemberdayaan yang diterapkan kepada kelompok ini harus mampu mengakomodasikan kenyataan ini, misalnya:

ƒ Ketika masa produktif, nelayan harus didorong untuk menabung, agar mereka memiliki cadangan dana untuk menutup kebutuhan pada musim paceklik. Perilaku nelayan umumnya adalah: konsumtif pada masa panen raya dan menjual (menggadaikan) apa saja ketika musim paceklik.

ƒ Ketika masa paceklik, nelayan sejauh mungkin mampu memanfaatkan tabungan yang mereka himpun pada masa panen raya.

ƒ Untuk mengatasi kondisi musim paceklik, nelayan perlu memiliki mata pencaharian alternatif; sehingga fluktuasi pendapatan tidak terlalu menyolok. Fluktuasi yang tajam dalam jangka panjang akan membuat nelayan tidak mampu melakukan perencanaan yang baik untuk memperbaiki kesejahteraan dirinya, karena bagi mereka “masa depan itu hanya sebuah ketidak-pastian”. Masyarakat pesisir, terutama nelayan, amat rawan karena amat bergantung pada sumberdaya kelautan. Relasi manusia dengan sumberdaya pada umumnya masih bersifat ekstraktif. Berkaitan dengan hal itu, Runge (1990) mengajukan gagasan tentang perlunya introduksi properti masyarakat bagi penduduk pedesaan di

(31)

karakteristik masyarakat pedesaan sebagai berikut: Pertama, penduduk pedesaan di negara kurang berkembang memiliki tingkat pendapatan yang rendah, dan itu merupakan indikator kemiskinan yang nyata.

Kedua, penduduk pedesaan memiliki ketergantungan yang besar pada sumberdaya alam setempat. Pendayagunaan sumberdaya alam itu sendiri pada umumnya menghasilkan nilai tambah yang rendah. Kegiatan ekonomi yang menghasilkan nilai tambah tinggi pada umumnya bukan merupakan bagian dari perekonomian lokal. Hal itu dipertajam dengan distribusi sumberdaya yang tidak merata.

Ketiga, perpaduan dua karakteristik sebelumnya menghasilkan tingkat ketidak-menentuan yang tinggi berkaitan dengan aliran pendapatan penduduk dalam kurun waktu tertentu. Hal itu antara lain karena masyarakat tidak memiliki kontrol yang jelas terhadap sumberdaya setempat, karena sumberdaya itu merupakan sumberdaya terbuka.

4.6.2 Bukan berpusat pada modal

Dalam pedoman umum PEMP selalu disebutkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir itu perlu didorong melalui tiga inisiatif: perbaikan manajemen, perbaikan teknologi, dan perbaikan akses masyarakat pada modal. Artinya, segala program pemberdayaan PEMP itu dirancang sebagai bentuk perbaikan tiga komponen di atas.

Dalam prakteknya, kebijakan permodalan masyarakat pesisir telah berkembang menjadi jiwa program PEMP. Pemberian modal ‘secara komersial’ telah menjadi penciri program PEMP.

Namun penelitian ini justru menjelaskan, bahwa peningkatan pendapatan responden itu ternyata tidak dipengaruhi secara nyata oleh variabel modal, baik modal awal maupun tambahan modal. Dengan demikian, program PEMP perlu melakukan reorientasi pelaksanaan programnya untuk lebih memberikan perhatian pada inisiatif-inisiatif non-modal.

(32)

Secara normatif, dalam setiap pemberdayaan masyarakat, sesungguhnya modal tidak pernah ditempatkan sebagai faktor utama. Ia hanya bersifat komplementer terhadap pembentukan sistem nilai unggul, tingkat kekompakan kelompok (group cohesiveness), dan unsur kelembagaan lainnya. Bank komersial juga menempatkan injeksi modal setelah mereka menilai kelayakan usaha yang dijalankan oleh pelaku usaha yang berkarakter. Bahkan dalam masyarakat pun tumbuh pemeo: Dalam bisnis, yang penting bukan modal, tapi kepercayaan. Itu semua mengisyaratkan, bahwa komponen non-modal merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam program PEMP, untuk tidak dikatakan lebih penting ketimbang faktor modal.

4.6.3 Revitalisasi program pendampingan

Peningkatan mutu Pendampingan masyarakat dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat dan penguatan kelembagaan lokal diduga merupakan alternatif yang perlu mendapat perhatian serius. Hal itu selaras dengan kenyataan sebagai berikut: Pertama, terdapat kecenderungan dampak program yang bersifat acak dengan perbedaan lokasi binaan. Cirebon menunjukkan peningkatan yang jauh lebih besar dibanding dengan Subang, seperti yang ditunjukkan dengan variabel lokasi yang nyata pada taraf <5% pada model regresi Iterasi I. Pendampingan yang lebih tangguh akan mendorong program-program yang lebih berbasis sumberdaya dan masyarakat lokal.

Kedua, adanya tanda-tanda bounded rationality, misalnya ditunjukkan dengan tanda negatif pada variabel persepsi pada kecakapan berbisnis. Hal itu lazimnya terjadi karena dua hal: (i) Proses penyadaran masyarakat belum terjadi secara intensif; dan (ii) Proses dampingan pasca pelatihan tidak terjadi secara intensif, sehingga peningkatan ekspektasi masyarakat melampaui peningkatan kecakapan aktualnya.

Ketiga, adanya kebutuhan untuk melakukan program-program secara afirmatif. Selain mendorong agar setiap kelompok masyarakat bisa memperbaiki derajat kesejahteraannya, juga dibutuhkan sebuah mekanisme partisipatif (yang

(33)

dihormati oleh masyarakat) untuk memperkecil kesenjangan kemakmuran antar kelompok masyarakat atau antar wilayah.

Untuk menjawab persoalan itu, Tadjudin (2000) memberikan solusi untuk melakukan pemaduan kelembagaan lokal. Pemerintah dan masyarakat memiliki kepentingan yang sama dalam hal pengelolaan sumberdaya. Keduanya menginginkan produktifitas, kelestarian, dan tidak ingin konflik. Jika kepentingan produksi dan ketidak-mauan konflik itu mencuat secara terbuka, maka kepentingan kelestarian relatif tersembunyi. Pada pihak pemerintah, hal itu tersembunyi dalam konsep-konep retoriknya; sedangkan pada masyarakat lokal tersembunyi dalam pengetahuan dan kearifan lokalnya.

Untuk menjembatani pemerintah dengan masyarakat lokal, masyarakat lokal dengan masyarakat luar, maupun pengetahuan dari luar dengan pengetahuan lokal, dibutuhkan sebuah komunikasi yang oleh Roy (1992) disebut sebagai billateral matching, yang memiliki makna menjembatani dua kelembagaan yang berbeda. Selanjutnya Tadjudin (2000) menyebutkan, bahwa agar perbedaan itu yang menimbulkan potensi konflik, dapat ditransformasikan menjadi potensi kolaborasi yang sinergik, diperlukan prasyarat sebagai berikut:

Pertama, dibutuhkan political will pemerintah, antara lain berupa: pengenalan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal; menaruh kepercayaan bahwa identitas, budaya, kebiasaan, tatanilai lokal, dan pengetahuan lokal itu mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap model pengelolaan sumberdaya yang produktif dan lestari; serta memahami masyarakat sebagai manusia yang memiliki harkat yang tinggi, dan dengan demikian patut didengar aspirasinya.

Kedua, setiap aturan formal termasuk sistem insentifnya disusun dengan mengakomodasikan kebutuhan masyarakat lokal. Ini merupakan model konkret yang menunjukkan bahwa pemerintah itu percaya kepada masyarakat.

Ketiga, setiap tindakan sosialisasi hukum kepada masyarakat tidak dilakukan secara koersif, meski hukum itu sendiri pada hakekatnya bersifat koersif. Sosialisasi hendaknya dipandang sebagai proses pembelajaran yang dialogik.

(34)

Keempat, agar dihasilkan organisasi pemerintah yang lebih adaptif terhadap kepentingan masyarakat lokal, diperlukan desentralisasi penanganan masalah sumberdaya dan devolusi pembuatan keputusan dari pusat ke daerah.

Kelima, prakarsa pembangunan ‘jembatan komunikasi’, seperti dituangkan dalam keempat butir pertama, hendaknya datang dari pemerintah. Prakarsa tersebut diperlukan bukan karena sepatutnya pemerintah bermurah-hati, melainkan karena masyarakat itu berhak mendapatkannya.

Gambar

Gambar 2.  Peta Kabupaten Subang
Tabel 3.  Jumlah Nelayan, Petambak, dan Pengolah Ikan Kabupaten Subang    Tahun 2003
Gambar 3. Peta Kabupaten Cirebon
Tabel 6. Jumlah Perahu dan Kapal Motor Kabupaten Cirebon     Tahun 2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

Empat jenis ternak yang umumnya dimiliki oleh keluarga petani pekarangan yaitu ternak ayam buras, kambing, sapi dan babi. Ternak yang dintegrasikan dalam usaha tani

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa peningkatan produksi keripik pare ke depan lebih menjanjikan dari pada keripik sayur lainnya, disamping pula ada

Konsultan aktif menggali informasi mengenai perkembangan proyek CCDP-IFAD di Kabupaten Yapen, khususnya perkembangan seputar kelompok masyarakat (pokmas) dan

Menurut david (Shochib:2010) mengategorikan keluarga sebagai keluarga seimbang, keluarga kuasa, keluarga protetktif, keluarga kacau, keluarga simbolis. Keluarga seimbang

Republik Indonesia, walaupun melakukan aksesi terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 tidak berarti

PERHUBUNGAN • PeMen Perhubungan No.18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam rangka Mencegah Penyebaran Virus Covid-19 • PeMen Perhubungan No.41 Tahun 2020

 Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati, pemerintah daerah dan DPRD membahas Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati, pemerintah daerah dan DPRD membahas

Pada Proyek pembangunan Bendung Bajayu Sei Padang-Kabupaten Serdang Bedagai akan dicari nilai daya dukung aksial perencanaan pondasi tiang pancang berdasarkan data SPT,