• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil Konsep Wisata Bahari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil Konsep Wisata Bahari"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1. Konsep Wisata Bahari

Salah satu pemanfaatan pulau kecil yang berpotensi dikembangkan adalah pemanfaatan untuk pariwisata. Agar ekosistem pulau-pulau kecil dapat terjaga ekosistemnya sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, maka dikembangkan pula konsep ekowisata. Ekowisata sendiri pertama kali diperkenalkan pada tahun l990 oleh organisasi The ecotourism Society, sebagai perjalanan ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat mengkonservasi lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat setempat ( Lingberg dan Hawkins l993, dalam Yulianda 2007).

Ekowisata bahari merupakan ekowisata yang memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut. Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu pada pemanfaatan wisata. Menurut Meta (2002) dalam Yulianda (2007), bahwa ekowisata (Ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.

Berdasarkan paradigma lama, pariwisata yang lebih mengutamakan pariwisata massal (mass tourism), yaitu yang bercirikan jumlah wisatawan yang besar/berkelompok dan paket wisata yang seragam. Saat ini bentuk wisata bergerak menjadi pariwisata baru (Baldwin dan Brodess 1993), yaitu wisatawan yang lebih moderen, berpengalaman dan mandiri, yang bertujuan tunggal mencari liburan fleksibel, keragaman dan minat khusus pada lingkungan alam dan pengalaman asli. Usaha pengembangannya wajib memperhatikan dampak-dampak yang ditimbulkan, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah sektor ekowisata dan pariwisata alternatif yang diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para pelakunya. Ekowisata (eco-tourism) disebutkan di UU Nomor 9 tahun 1990 pasal 16 sebagai kelompok-kelompok obyek dan daya tarik wisata, yang diperkuat oleh perpu No. 18 tahun 1994, sebagai perjalanan untuk

(2)

menikmati gejala keunikan alam di taman nasional, hutan raya, dan taman wisata alam.

Berbagai pendapat tentang ekowisata adalah lebih menekankan pada faktor daerah alami, sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi (termasuk pendidikan lingkungan) dan meningkatkan kesejateraan penduduk (ekonomi) setempat (Brandon, 1996). Ziffer (1989) menekankan pada sektor sejarah dan budaya, pada faktor etnis (Hudman and Donald, 1989). Silver (1997) memberikan batasan-batasan berikut: (1) Menginginkan pengalaman asli, (2) Layak dijalani secara pribadi maupun sosial, (3) Tak ada rencana perjalanan yang ketat, (4) Tantangan fisik dan mental, (5) Interaksi dengan budaya dan penduduk setempat, (6) Toleran pada ketidaknyamanan, (7) Bersikap aktif dan terlibat, (8) Lebih suka petualangan daripada pengalaman. Choy et al. (1996) memberikan batasan lima faktor pokok yang mendasar yaitu: lingkungan, masyarakat, pendidikan dan pengalaman, keberlanjutan dan manajemen.

Ecoturism Research Group (1996) membatasi tentang wisata bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang terkait dengan : (1) mendidik tentang fungsi dan manfaat lingkungan, (2) meningkatkan kesadaran lingkungan, (3) bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi, (3) menyumbang langsung pada keberkelanjutan. Ekowisata tidak setara dengan wisata alam oleh karena tidak semua wisata alam akan dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus (Goodwin 1997; Wyasa 2001). Menurut The Ecotourism Society (TES), ecotourism adalah perjalanan wisata ke wilayah-wilayah alami dalam rangka mengkonservasi atau menyelamatkan lingkungan dan memberi penghidupan penduduk lokal (Sørensen et al., 2002). Wood (2002) mendefinisikan ecotourism sebagai bentuk usaha atau sektor ekonomi wisata alam yang dirumuskan sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan.

Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut (Yulianda, 2007). Meta (2002), ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk

(3)

menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Ekowisata bahari dengan kesan penuh makna bukan semata-mata memperoleh hiburan dari berbagai suguhan atraksi dan suguhan alami lingkungan pesisir dan lautan tetapi juga diharapkan wisatawan dapat berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi lingkungan sekaligus pemahaman yang mendalam tentang seluk beluk ekosistem pesisir sehingga membentuk kesadaran bagaimana harus bersikap untuk melestarikan wilayah pesisir dan dimasa kini dan masa yang akan datang. Jenis wisata yang memanfaatkan wilayah pesisir dan lautan secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan langsung diantaranya berperahu, berenang, snorkeling, diving, pancing. Kegiatan tidak langsung seperti kegiatan olahraga pantai, piknik menikmati atmosfer laut (Nurisyah, 1998). Konsep wisata bahari didasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karaktersitik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. META (2002) merumuskan tujuh prinsip utama pengelolaan ekowisata bahari berkelanjutan, yaitu :

1. Partisipasi masyarakat lokal; ekotourism harus memberikan manfaat ekologi, social dan ekonomi langsung kepada masyarakat.

2. Proteksi lingkungan; ecotourism bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang relative belum tercemar atau terganggu

3. Pendekatan keseimbangan; sub prinsipnya meliputi maksimum profit, bagaimana ekotourism memberikan manfaat, comitment industri pariwisata dan lainnya.

4. Pendidikan dan pengalaman; ekotourism harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki

5. Pendekatan kolaboratif; ekotourism dapat memberikan sumbangan positip bagi keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang.

6. Tanggungjawab pasar; diperlukan interdependent kegiatan, demand – supply side dan lain sebagainya.

(4)

7. Kontinuitas manajemen; ekotourism harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan sekarang maupun generasai mendatang.

2.1.2. Konsep Dasar Pariwisata Berkelanjutan

Pariwisata diartikan sebagai seluruh kegiatan orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud lain (Agenda 21, 1992). Pariwisata di Indonesia menurut UU Kepariwisataan No. 9 tahun 1990 pasal 1 (5) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidangnya. Indonesia memiliki sumber daya wisata yang amat kaya dengan aset alam, budaya, flora dan fauna dengan ciri khas Asia dan Australia di setiap wilayah perairan dan pulau di Indonesia (Gunawan, 1997).

Pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat didunia (WTO, 2000), melibatkan 657 juta kunjungan wisata di tahun 1999 dengan penerimaan US $455 Milyar seluruh dunia. Apabila kondisi tetap stabil, pada tahun 2010 jumlah kunjungan antar negara ini diperkirakan meningkat mencapai 937 juta orang. Di Indonesia pariwisata merupakan penghasil devisa nomor tiga setelah minyak dan produk tekstil, Ini berarti sektor pariwisata mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian. Menurut data dari Departemen Pariwisata Seni dan Budaya perkembangan jumlah kunjungan wisatawan di Indonesia sejak lima tahun terakhir mengalami fluktuasi. Pada tahun 2001 jumlah wisatawan sebanyak 5.153.260 orang dan terus menurun sampai tahun 2003 sebanyak 4.467.020 wisatawan. Namun pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi 5.321.160 orang kemudian turun lagi menjadi 5.006.790 orang pada tahun 2005. Target dari pembangunan pariwisata pada tahun 2006 adalah dapat menghasilkan devisa US $ 5,5 juta dengan jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 5,5 juta orang, serta dapat menciptakan lapangan kerja sebanyak 900 ribu pekerja.

Untuk mengelola kegiatan kepariwisataan dan pembangunan kepariwasataan, berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan, diantaranya dinyatakan bahwa penyelenggaraan pariwisata

(5)

bertujuan untuk: memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, serta mendorong pendayagunaan produksi nasional. Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) juga telah dijelaskan bahwa pembangunan pariwisata perlu ditingkatkan untuk memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan penerimaan devisa serta memperkenalkan alam dan kebudayaan Indonesia. Perlu pula diambil langkah-langkah dan peraturan yang lebih terarah berdasarkan kebijaksanaan terpadu. Pendekatan pariwisata berkelanjutan dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2. Ekowisata sebagai suatu Strategi Wisata dan Pembangunan Berkelanjutan (France, 1997 dalam Beeler, 2000)

Pariwisata berkelanjutan adalah penyelenggaraan pariwisata bertanggung jawab yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini, tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang, dengan menerapkan prinsip-prinsip, layak secara ekonomi (economically feasible) dan lingkungan (environmentally vi-able). cinema secara

Memelihara ekologi Ekowisata Pembangunan Lingkungan Pembangunan Ekonomi Pembangunan Sosial

(6)

social (socially acceptable) dan tepat guna secara teknologi (technologically appropriate).

Saling keterkaitan yang dijelaskan pada Gambar dapat diuraikan sebagai berikut (France, 1997 dalam Beeler, 2000):

(1) menunjukkan sejumlah wisatawan yang berkunjung pada suatu lingkungan alami. Agen perjalanan biasanya elit lokal atau multinasional, dimana profit usaha wisata rasanya sulit masuk ke masyarakat lokal.

(2) Biasanya wisma tamu skala kecil setempat memberikan kenyamanan di bawah standar dalam. Pemukiman penduduk lokal biasanya memperoleh manfaat langsung dari dampak lingkungan yang buruk.

(3) Banyak usaha wisata mempekerjakan penduduk lokal sebagai tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled labor). Secara ekonomi dapat memberikan manfaat abgi masyarakat, akan tetapi selalu dengan dampak lingkungan yang tinggi.

(4) Titik keseimbangan yang memungkinkan antara ketiga aspek yang secara lokal dapat dikelola dan manfaatnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan saat ini dengan tetap menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan kebutuhan di masa yang akan datang. Pernbangunan pariwisata berkelanjutan dicitrakan menjadi patokan dalam pengaturan sumber daya sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetik tercapai, dengan tetap menjaga integritas budaya, proses-proses dan keanekaragaman hayati. Prinsip pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil tidak dapat dilepaskan dari konsep pembangunan kepariwisataan nasional. Pada hakekatnya pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus berlandaskan pada agama dan budaya lokal, dengan memperhatikan dan menghormati hak-hak ulayat masyarakat di sekitarnya. Pulau untuk kepentingan kepariwisataan adalah pulau dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km2

Penyelenggaraan pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus menggunakan prinsip berkelanjutan di mana secara ekonomi memberikan keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumber daya alam,

(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002).

(7)

serta sensitif terhadap budaya masyakat lokal. Oleh karena itu pengembangan pariwisata di pulau-pulau harus berpegang pada prinsip-prinsip dasar sebagai berikut (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004):

- Prinsip Keseimbangan; Pengelolaan pariwisata dipulau-pulau kecil harus didasarkan pada komitmen pola keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial budaya dan konservasi.

- Prinsip Partisipasi Masyarakat; proses pelibatan masyarakat, baik secara aktif maupun pasif, harus dimulai sejak tahap perencanaan hingga tahap pengelolaan dan pengembangan. Hal ini akan menumbuhkan tanggung jawab dan rasa memiliki yang akan menentukan keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil tersebut.

- Prinsip Konservasi; Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan (alam dan budaya). Pengembangan harus diselenggarakan secara bertanggung jawab dan mengikuti kaidah-kaidah ekologi serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat. Dalam upaya meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pernbangunan pariwisata, beberapa langkah dapat ditempuh, sepertl: penentuan ambang batas (carrying capacity), baik secara sosial (tourism social carrying capacity) dan ekologi (tourism ecological carrying capacity). - Prinsip Keterpaduan; Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil harus

direncanakan secara terpadu dengan memperhatikan ekosistem pulau dan disinerjikan dengan pembangunan berbagai sektor. Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus disesuaikan dengan dinamika sosial budaya masyarakat setempat, dinamika ekologi di pulau tersebut dan daerah sekitarnya. Disamping itu pengembangan pariwisata sebagai salah satu bagian dari pembangunan, harus disesuaikan dengan kerangka dan rencana pembangunan daerah.

Dilihat dari daya tariknya, keanekaragaman daya tarik wisata di pulau-putau kecil dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, daya tarik wisata yang berbasis sumber daya alam daratan (seperti hutan, gunung, sungai, danau maupun pantai) dan sumber daya laut (seperti: terumbu karang, gua dan gunung api bawah laut). Kedua, daya tarik wisata yang berbasis warisan maupun pusaka budaya (cultural heritage) baik yang bersifat nyata (tangible) seperti situs, makam, istana,

(8)

maupun yang bersifat tidak nyata (intangible) seperti pertunjukan budaya atau tradisi budaya masyarakat. Selain kedua jenis pariwisata yang memanfaatkan langsung potensi sumber daya (alam dan budaya) diatas, juga terdapat wisata buatan yang pada intinya juga memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Wisata buatan pada hakikatnya merupakan hasil karya cipta manusia yang sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung dapat menjadi objek dan daya tarik wisata tertentu seperti wisata belanja, pendidikan, olahraga, atau taman rekreasi (theme park).

Kegiatan wisata alam daratan diantaranya kegiatan menikmati bentang alam, olah raga pantai, pengamatan satwa, Jelajah hutan, mendaki gunung dan lain sebagainya. Sementara kegiatan wisata bahari mencakup snorkeling, menyelam (diving). selancar angin (parasalling), selancar (surfing), memancing (fishing), ski-air, berperahu (canoewing), berperahu kayak (sea kayaking) dan lain sebagainya. Sedangkan kegiatan wisata yang berbasis budaya seperti kegiatan menangkap ikan, mengolah ikan, mengamati kebiasaan hidup para nelayan sehari-hari, melihat adat istiadat yang berlaku di perkampungan nelayan, melihat bangunan rumah-rumah nelayan, melihat upacara adat yang biasa dilakukan para nelayan, dan lain sebagainya.

Berdasarkan tujuannya kegiatan wisata dapat dibedakan menjadi wisata minat khusus dan wisata umum (rekreasi). Wisata minat khusus merupakan suatu bentuk perialanan dimana wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat atau tujuan khusus mengenai suatu jenis objek atau kegiatan yang dapat ditemui atau dilakukan dilokasi atau daerah tujuan wisata tersebut. Dalam wisata minat khusus, wisatawan terlibat secara aktif pada berbagai kegiatan di lingkungan fisik atau komunitas yang dikunjunginya. Sementara itu kegiatan wisata umum atau kegiatan rekreasi dapat dikatakan sebagai kegiatan yang dilaksanakan pada waktu luang secara bebas dan menyenangkan. Dalam kegiatan rekreasi tidak ada tujuan khusus yang ingin dicapai dan memang untuk bersenang-senang. Pengembangan kegiatan rekreasi saat ini diarahkan pada kegiatan rekreasi edukatif, yang juga bertujuan agar wisatawan mendapatkan tambahan pengataman atau pengetahuan yang bermanfaat.

(9)

Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus memperhatikan (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004):

a) Terjaminnya keberlanjutan sumber daya pendukung pembangunan pariwisata di pulau-pulau kecil sebagai satu syarat penting bagi terciptanya manajemen pariwisata yang memadai dan handal.

b) Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan dan diintegrasikan dengan lingkungan alam, budaya, dan manusia. kegiatan pariwisata harus menjamin perubahan yang dapat diterima sehubungan dengan pengaruhnya terhadap sumber daya alam, keanekaragaman hayati dan kapasitas untuk mengelola berbagai dampak dan residu yang ditimbulkan.

Dalam upaya mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, maka pengelolaan lingkungan di pulau-pulau kecil dilakukan dengan langkah penerapan sebagai berikut :

a) Pengelolaan limbah: (1) melaksanakan pengelolaan limbah padat dan cair yang berasal dari kegiatan pariwisata agar tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan, (2) Pengelolaan limbah padat dan cair dilakukan dengan menerapkan prinsip 3R yaitu Reduce (reduksi), Reuse (penggunaan kembati), dan Recycle (daur ulang), (3) Pada daerah dengan kawasan gugusan pulau, dapat menetapkan satu pulau kosong yang memungkinkan untuk tempat pengolahan limbah, sesuai kapan AMDAL.

b) Air Tawar: (1) penggunaan air tawar dilakukan dengan memperhatikan konservasi air yang tersedia di pulau, serta akses masyarakat terhadap kebutuhan air tawar, (2) Dianjurkan agar mengembangkan sistem pengolahan air laut menjadi air tawar.

c) Pelestarian Flora dan Fauna: Melakukan upaya menjaga dan memelihara flora, fauna serta terumbu karang, disekitar pulau dengan: (1) Pengawasan dan pengamanan sumber daya kelautan sekitar pulau dari kegiatan yang dapat merusak dan mengurangi populasinya, (2) Merencanakan dan melaksanakan program perlindungan dan pemeliharaan flora, fauna dan terumbu karang, 3) Tidak memasukkan jenis flora dan fauna yang berasal dari luar pulau tanpa

(10)

seijin instansi yang berwenang, (4) Tidak mengunakan karang, sebagai bahan bangunan untuk sarana dan prasarana di pulau.

d) Pelestarian Pesisir: (1) Tidak melakukan pengerukan, reklamasi dan atau melakukan kegiatan yang dapat merubah kondisi pantai dan pola arus laut, (2) Tidak melakukan pengambilan atau pengerukan pasir baik di daratan maupun di perairan pulau, (3) Semua pembangunan di pesisir harus didasarkan pada studi AMDAL/UPL/UKL.

Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal sekaligus melihatkan peran aktif masyarakat sejak awal prows pengembangan pariwisata. Hal ini sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism Development). Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan antara lain dengan:

a) Memprioritaskan petuang kerja dan usaha bagi masyarakat lokal.

b) Membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat antara lain melalui program pelatihan untuk menunjang usaha par iwisata.

c) Membangun hubungan kemitraan antara pengusaha dan masyarakat dalam rangka pemanfaatan hasil-hasil produk lokal.

d) Mewujudkan sikap saling menghargai dan menghormati di antara pengusaha dan masyarakat.

e) Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menanamkan modal melalui kepemilikan saham perusahaan.

Agar supaya wisata bahari dapat berkelanjutan maka produk pariwisata bahari yang ditampilkan harus harmonis dengan lingkungan lokal spesifik. Dengan demikian masyarakat akan peduli terhadap sumberadaya wisata karena memberikan manfaat sehingga masyarakat merasakan kegiatan wisata sebagai suatu kesatuan dalam kehidupannya. Cernea (1991) dalam Lindberg and Hawkins (1995) mengemukakan bahwa partisipasi lokal memberikan banyak peluang secara efektif dalam kegiatan pembangunan dimana hal ini berarti bahwa memberi wewenang atau kekuasaan pada masyarakat sebagai pemeran social dan bukan subjek pasif untuk mengelola sumberdaya membuat keputusan dan melakukan

(11)

control terhadap kegiatan-kegiatan yang mempengaruh kehidupan sesuai dengan kemampuan mereka.

2.1.3. Wisata Bahari di Kawasan Konservasi

Umumnya, penutupan suatu kawasan laut menjadi kawasan konservasi akan merugikan kegiatan ekonomi lainnya. Padahal, kawasan konservasi dapat juga dijadikan sebagai instrumen pengendalian kegiatan pariwisata dan kegiatan lain termasuk perikanan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan. Awal tahun 1990, mulai diperkenalkan suatu instrumen yang didesain langsung pada pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam, yaitu berupa penentuan suatu kawasan konservasi laut (KKL) atau marine reserve atau Marine Protected Area (MPA). Tujuannya adalah agar input dan output produksi perikanan dan wisata bahari berbasis konservasi diatur dengan menutup sebagian kawasan untuk daerah perlindungan.

Banyak dukungan empiris yang menyatakan KKL akan dapat meningkatkan dan memperbaiki ekologi yang mencakup peningkatan komposisi umur dan tingkat stok yang lebih tinggi untuk perbaikan habitat. Manfaat tambahan yang diperoleh dari adanya kawasan konservasi ini adalah untuk keperluan pariwisata, pendidikan, dan konservasi biodiversitas laut (Bohnsack, 1993 dalam Sanchirico et al., 2002). Li (2000) menguraikan manfaat kawasan konservasi laut adalah sebagai biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan produksi di wilayah sekitarnya, perlindungan pemijahan, penelitian, ekowisata, pembatasan hasil sampingan ikan-ikan juvenil dan peningkatann produktivitas perairan. Pemanfaatan suatu kawasan konservasi menjadi kawasan wisata dan kegiatan perikanan harus dapat memberikan manfaat ekonomi yang tinggi. Cesar (1996), hasil studi White dan Cruz Trinidad di Apo Island Philipina menunjukkan bahwa KKL mampu memberikan nilai ekonomi hampir US$ 400 ribu dari sektor wisata bahari dan perikanan.

Masalah utama dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas ekologis yang dapat digunakan untuk mencapai suatu kawasan konservasi. Selama ini batas kawasan konservasi didasarkan pada karakteristik geologis kawasan (batas daratan dan lautan), batas administrasi (nasional, propinsi

(12)

dan kabupaten), atau biaya (lokasi yang lebih kecil akan memerlukan biaya yang kecil untuk melindungi atau mempertahankan keberadaannya. Kawasan konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda serta tidak merusak semua kawasan konservasi secara bersamaan bila terjadi bencana. Kawasan konservasi yang berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan yang efektif bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Adanya zonasi maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan konservasi. Berdasarkan arah pengembangan pariwisata, kawasan PPK jenis-jenis zonasi yang umum digunakan dalam pengembangan pariwisata adalah (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004):

1. Zona Intensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk dapat menerima kunjungan dan tingkat kegiatan yang tinggi dengan memberikan ruang yang luas untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung. Dalam zona ini dapat dikembangkan sarana dan prasarana fisik untuk pelayanan pariwisata yang umumnya tidak melebihi 60% luas kawasan zonasi intensif dan memperhatikan daya dukung lingkungan.

2. Zona Ekstensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk menerima kunjungan dan tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas karakter sumber daya alam. Dalam zona ini kegiatan pengunjung harus dapat dikontrol dan pembangunan sarana dan prasarana terbatas hanya untuk pengunjung kegiatan, seperti jalan setapak, tempat istirahat, menara pandang, papan penunjuk dan informasi.

3. Zona Perlindungan, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk tidak menerima kunjungan dan kegiatan pariwisata. Kawasan ini biasanya merupakan kawasan yang menjadi sumber air bagi kawasan seluruh pulau, atau memiliki kerentanan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.

2.2. Karakteristik Pulau-Pulau Kecil

Defenisi pulau menurut UNCLOS (1982, Bab VIII pasal 121 ayat 1), bahwa “pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tertinggi” (IHO, 1993

(13)

dalam Bengen dan Retraubun, 2006). Pulau-Pulau Kecil (PPK) adalah kumpulan pulau-pulau (gugusan pulau) yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individuial maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Berdasarkan luasnya, PPK (small island) memiliki luas daratan beserta kesatuan ekosistemnya yakni lebih kecil dari atau sama dengan 2.000 km2 (Undang-undang No. 27 Tahun 2007) 10.000 km2

Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu (1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insulat; (2) sumber air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil; (3) peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia; (4) memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi. Karakteristik lingkungan yang berkaitan erat dengan proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara geologi pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur yang berbeda dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan memiliki kondisi yang spesifik (Bengen dan Retraubun, 2006). Dari segi budaya, masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan (Beller et al., 1990). Interaksi manusia dengan lingkungan terjadi dalam suatu bentuk pola tingkah laku yang terlembagakan, kemudian menghasilkan sistem adaptasi yang terpola dan merupakan bagian dari sistem yang lebih luas yakni budaya. Selanjutnya budaya terkait dengan adaptasi manusia terhadap lingkungannya melalui sistem teknologi matapencaharian dan pola pemukiman, yang keduanya disebut juga sebagai cultural core (Bengen dan Retraubun, 2006).

(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002; Brookfield 1990 dalam Dahuri, 2003) dan berpenduduk di bawah 500.000 orang (Hess, 1990 dalam Bengen dan Retraubun, 2006) atau lebih kecil dari 200.000 jiwa (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002).

Pulau-pulau kecil sebagai bagian dari pembangunan kelautan memiliki potensi yang sangat besar untuk dikelola dengan baik. Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu (1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insulat; (2) sumber air tawar terbatas, dimana

(14)

daerah tangkapan airnya relatif kecil; (3) peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia; (4) memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi (Bengen, 2002). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pulau-pulau kecil memiliki satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir bersifat alamiah ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami pulau-pulau kecil, antara lain; terumbu karang (coral reef), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan, antara lain; kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan permukiman (Bengen, 2000).

Pulau-pulau kecil mempunyai keunikan, baik fisik, geografis, sumberdaya alam maupun masyarakatnya. Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang sangat rentan terhadap berbagai pengaruh eksternal dan aktivitas pembangunan, serta mempunyai keterbatasan baik sumberdaya alamnya maupun sumberdaya manusianya. Selain itu, wilayah ini memiliki keterkaitan ekologis, sosial ekonomi dan sosial budaya dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan alokasi ruang yang didasarkan pada daya dukung ekologis, jaringan sosial budaya antara masyarakat dan integrasi kegiatan sosial ekonomi yang sudah berlangsung selama ini, akan memberikan pilihan investasi yang tepat (Dahuri, 1998).

Beberapa karakteristik yang dijumpai di pulau-pulau kecil dapat dikategorikan ke dalam aspek lingkungan hidup dan sosial-ekonomi-budaya. Karakteristik yang berkaitan dengan lingkungan hidup menurut Brookfield (1990) dalam Dahuri (2003) antara lain:

1. Pulau-pulau kecil memiliki daerah resapan (catchment area) yang sempit, sehingga sumber air tanah yang tersedia sangat rentan terhadap pengaruh intrusi air laut, terkontaminasi akibat nitrifikasi dan kekeringan.

2. Pulau-pulau kecil memiliki daerah pesisir yang sangat terbuka, sehingga lingkungannya sangat mudah dipengaruhi oleh gelombang yang berasal dari badai cyclone dan tsunami.

3. Spesies organisme yang hidup di pulau-pulau kecil pada umumnya bersifat endemik dan perkembangannya lambat, sehingga mudah tersaingi oleh organisme tertentu yang datang dari luas pulau.

(15)

4. Pulau-pulau kecil memiliki sumberdaya alam terrestrial yang sangat terbatas, baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam mineral, air tawar maupun kehutanan dan pertanian.

Karateristik yang berkaitan dengan faktor sosial-ekonomi-budaya menurut Hein (1990) dalam Dahuri (2003) antara lain adalah: memiliki infrastruktur yang terbatas, pasar domestikdan sumberdaya alam kecil sehingga iklim usahanya kurang kompetitif, kegiatan ekonomi sangat terspesialisasi, tergantung pada bantuan luar meskipun memiliki potensi sebagai tempat yang posisinya bernilai strategis dan jumlah penduduk tidak banyak dan biasanya saling mengenal satu sama lain serta terikat dengan hubungan persaudaraan.

Selama ini pulau-pulau kecil kurang mendapat sentuhan pembangunan sehingga sebagian masyarakatnya relatif hidup dalam kemiskinan. Menurut Retraubun (2000), rendahnya sentuhan pembangunan ini didasarkan atas:

1. Kebanyakan pulau-pulau kecil tidak berpenghuni karena ukurannya relatif sangat kecil.

2. Kalaupun berpenghuni, jumlah penduduknya sangat sedikit sehingga tidak menjadi prioritas utama.

3. Kawasan ini cenderung terisolasi sehingga diperlukan investasi yang besar untuk membangun prasarana perhubungan laut.

4. Kurangnya kepastian perlindungan hak dan kepastian berusaha. 5. Pembangunan nasional yang selama ini lebih berorientasi ke darat.

Meskipun demikian, pulau-pulau kecil memiliki potensi ekonomi yang tinggi namun mempunyai karakteristik yang sangat rentan terhadap aktivitas ekonomi. Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau kecil di dunia. Daya dukung sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang sangat terbatas. Aktivitas sosial dan ekonomi pulau-pulau kecil merupakan interaksi kawasan daratan (terrestrial) dengan lingkungan laut, sehingga hampir semua bentuk aktivitas pembangunan akan berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan. Potensi kerusakan sumberdaya alam yang sangat tinggi seperti kenaikan permukaan laut, badai tsunami, dapat dengan mudah terjadi apabila kualitas

(16)

lingkungan sudah menurun. Pendekatan ekosistem dalam penataan ruang wilayah pulau dan gugus pulau harus berdasarkan daya dukung ekologis, jaringan sosial budaya dan integrasi kegiatan sosial ekonomi (Dahuri, 2003).

2.3. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.

Beller et al. (1990) mendefinisikan Pulau Kecil sebagai pulau dengan luas < 10.000 km2 dan mempunyai penduduk < 500.000 jiwa. Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 2000 km2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 km, sedangkan definisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 100 km2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km

dan lebar tidak lebih dari 3 km ( UNESCO 1991).

2

beserta kesatuan ekosistemnya. Selanjutnya yang dimaksud dengan Pulau-Pulau Kecil atau Gugusan Pulau-Pulau Kecil adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya (DKP-RI, 2001). Towle (1979) dalam Debance (1999) menggunakan definisi pulau kecil menurut The Commonwealth Secretary yaitu pulau yang memiliki luas kurang dari 10.000 km2 dan penduduk kurang dai 500.000 jiwa. Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2

Arahan pengelolaan PPK diperuntukan bagi kegiatan berbasis konservasi, artinya pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak diperkenankan, karena PPK memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pulau besar (mainland). Atas dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukan dan pemanfaatannya berupa kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya PPK, seperti perikanan tangkap, budidaya laut, dan pariwisata (Bengen 2002 dalam Maanema 2003). Kebijakan pengelolaan PPK harus berbasis kondisi dan karakteristik biogeofisik serta sosial ekonomi, mengingat peran dan fungsi kawasan sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem laut maupun ekosistem daratan (mainland) Fauzi dan Anna (2002). Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan

(17)

Laut (DPL), dengan maksud melindungi sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam (Salm et al. 2000 dalam Maanema 2003).

Tabel 1. Kriteria Umum Untuk Penentuan Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil

No Kriteria Uraian

1. Sosial a. Diterimanya secara sosial, berarti : didukung oleh masyarakat lokal, adanya nilai-nilai lokal untuk melakukan konservasi SDA, adanya kebijakan pemerintah setempat untuk menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL).

b. Kesehatan masyarakat, berarti : mengurangi pencemaran dan berbagai penyakit, mencegah terjadinya area kontaminasi.

c. Rekreasi, berarti : dapat digunakan untuk kegiatan rekreasi, masyarakat lokal dapat memanfaatkan manfaat dengan berkembangnya kegiatan rekreasi.

d. Budaya, berarti : adanya nilai-nilai agama, sejarah dan budaya lainnya yang mendukung adanya DPL.

e. Estetika, berarti : adanya bentang laut dan bentang alam yang indah, keindahan ekosistem dan keanekaragaman jenis memberikan nilai tambah untuk rekreasi.

f. Konflik kepentingan, berarti :pengembangan DPL akan membawa efek positif pada masyarakat lokal.

g. Keamanan, berarti : dapat melindungi masyarakat dari berbagai kemungkinan bahaya badai, ombak, arus, dan bencana lainnya.

h. Aksesibilitas, berarti : memiliki akses dari daratan dan lautan.

i. Penelitian dan pendidikan, berarti : memiliki berbagai ekosistem yang dapat dijadikan objek penelitain dan pendidikan.

j. Kepedulian masyarakat, berarti : masyarakat ikut berperan aktif dalam melakukan kegiatan konservasi.

2. Ekonomi a. Memiliki spesies penting, berarti : area yang dilindungi memiliki spesies yang bernilai ekonomi, misalnya terumbu karang, mangrove, dan estuaria.

b. Memiliki nilai penting untuk kegiatan perikanan, berarti : area perlindungan dapat dijadikan untuk menggantungkan hidup para nelayan, area perlindungan merupakan daerah tangkapan.

c. Ancaman terhadap alam, berarti : adanya ancaman dari aktifitas manusia, adanya ancaman dari kegiatan merusak seperti pengeboman, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, daerah yang perlu dikelola untuk menjaga kelestariannya.

(18)

d. Keuntungan ekonomi, berarti : adanya dampak positif bagi ekonomi setempat.

e. Pariwisata, berarti : merupakan area yang potensial dikembangkan untuk pariwisata.

3. Ekologi a. Keanekaragaman hayati, berarti : memiliki kekayaan keanekaragaman ekosistem spesies.

b. Kealamiahan, berarti : tidak mengalami kerusakan, masih dalam keadaan alami.

c. Ketergantungan, berarti : berbagai spesies sangat tergantung pada area ini, proses-proses ekologi sangat bergantung pada daerah ini.

d. Keterwakilan, berarti : area yang akan ditentukan mewakili berbagai tipe habitat, ekosistem, geologikal, dan berbagai karakteristik alam lainnya.

e. Keunukan, berarti : memiliki spesies yang unik, memiliki spesies yang endemik, memiliki spesies yang hampir punah.

f. Produktifitas, berarti : produktifitas area akan memberikan kontribusi untuk berbagai spesies dan manusia.

g. Vulnerabilitas, berarti : area ini memiliki fungsi perlindungan dari berbagai ancaman bencana.

4. Regional a. Tingkat kepentingan regional, berarti : mewakili karakteristik regional setempat baik itu alamnya, proses ekologi, maupun budayanya, merupakan daerah migrasi beberapa spesies, memberikan kontribusi untuk pemeliharaan berbagai spesies.

b. Tingkat kepentingan sub-regional, berarti : memiliki dampak positif terhadap subregional, dapat dijadikan perbandingan dengan subregional yang tidak dijadikan DPL.

Sumber : Bengen (2002)

Beberapa persoalan ekologi yang terjadi di kawasan pesisir pulau-pulau kecil merupakan akibat terlampauinya daya dukung karena eksploitasi sumberdaya, seperti penebangan mangrove akan menyebabkan hilangnya fungsi ekologis, walaupun memberikan kontribusi secara ekonomi tetapi hanya dalam waktu tertentu. Alrasjid 1988 dalam Dahuri et al 1998, bahwa ekosistem mangrove mampu menghasilkan sekitar 9m3

Adanya keterbatasan PPK, maka pengelolaannya berdasarkan penzonasian dan berbasis daya dukung. Penzonasian dilakukan berdasarkan kriteria yang terkait satu sama lain sehingga pengelolaannya dilakukan secara terpadu. Kriteria zonasi pulau kecil (Bengen 2002) yaitu :

(19)

1) Ekologi meliputi : keanekaragaman hayati, didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota; kealamian, didasarkan pada tingkat degradasi; ketergantungan, didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi atau tingkat dimana ekosistem bergantung pada proses-proses ekologi yang berlangsung dilokasi; keunikan, didasarkan pada keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah; integritas, didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologis; produktivitas, didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif dilokasi memberikan manfaat bagi biota atau manusia; kerentanan, didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi oleh pengaruh alam maupun aktivitas manusia.

2) Ekonomi meliputi : spesies penting, didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi; kepentingan perikanan, didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan; bentuk ancaman, didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia; manfaat ekonomi, didasarkan pada tingkat perlindungan lokasi berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang; pariwisata, didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata.

3) Sosial-budaya meliputi : penerimaan sosial, didasarkan pada tingkat dukungan masyarakat; kesehatan masyarakat, didasarkan pada keberadaan kawasan dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat; budaya, didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain di lokasi; estetika, didasarkan pada nilai keindahan lokasi; konflik kepentingan, didasarkan dimana kawasan dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakat lokal; keamanan, didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya; aksesibilitas, didasarkan pada tingkat kemudahan mencapai lokasi; apresiasi masyarakat, didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian, pendidikan, atau pelatihan dapat berkontribusi pada pengetahuan nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi.

(20)

2.4. Kawasan Konservasi

Kawasan yang dilindungi (protected area) adalah suatu areal yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya, dikelola melalui upaya yang legal atau upaya efektif lainnya IUCN (1994). Definisi Kawasan Konservasi di Indonesia tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, mengadopsi dari World Conservation Strategy (IUCN 1980), yakni konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.

Dalam penentuan suatu ekosistem menjadi daerah perlindungan dan pelestarian ditentukan oleh kebutuhan untuk melindungi ekosistem. Berdasarkan pendekatan ekologis, apabila ekologis tidak terpenuhi maka akan menyebabkan kerusakan kawasan yang dijadikan sebagai daerah perlindungan. Ada dua konsep dasar dalam menentukan batasan ekologis dalam upaya perlindungan kawasan terumbu karang, yaitu (1) Habitat yang harus dimasukkan kedalam kawasan perlindungan dan (2) Luas daerah yang harus dilindungi (Salm and Clark 1982). Menurut Westmacott et al 2000, bahwa konservasi memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang, dengan cara : (a) melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak dan sebagai sumber larva serta alat untuk membantu pemulihan, (b) melindungi daerah bebas dari dampak manusia dan sesuai sebagai substrat karang dan pertumbuhan kembali, (c) memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang keberlangsungan kebutuhan masyarakat sekitar termasuk untuk kegiatan perikanan dan wisata.

Alcala (1988) dan Roberts (1995), bahwa pengembangan kawasan konservasi laut dalam luasan kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti pada produktivitas perikanan disekitarnya, seperti pada tiga pulau di Philipina, diperoleh produksi perikanan antara 10.94 – 24 metrik ton (mt)/km2/tahun sebelum dibangun KKL. White (1989) di Pulau Sumilon hasil produksi perikanan sebesar 14-24 mt/km2/tahun sebelum ada KKL, setelah dibangun KKL hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km2/tahun. Produksi KKL kembali menurun 20 mt/km2/tahun ketika pengelolaan KKL mengalami masalah. White (1989), bahwa KKL merupakan area recruitment bagi ikan karang

(21)

yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan diluar KKL. Hutomo dan Suharti (1998) melaporkan bahwa terumbu karang dapat memberikan manfaat langsung berupa hasil laut sebanyak 25 ton/ha/tahun.

Keanekaragaman species digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan. Selain itu, species itu sendiri penting karena fungsinya bertindak dalam menimbulkan jasa ekologis yang bernilai ekonomis. Keanekaragaman secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al 1996). Jumlah species dan komposisi species ikan merupakan indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr 2002).

Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dalam DKP (2002) terdapat 4 (empat) kategori kawasan lindung yaitu :

(1) Kawasan yang memberikan Perlindungan bagi kawasan bawahannya meliputi: Kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan yang terletak di pesisir dan telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung (Perda RTRW); Kawasan bergambut yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang berfungsi mengendalikan faktor hidrologi wilayah dan melindungi ekosistem yang khas; dan Kawasan resapan air atau sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS)

(2) Kawasan perlindungan setempat meliputi: Kawasan sempadan pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 meter dari pasang tertinggi ke arah darat; Kawasan sekitar mata air atau DAS. Pada daerah pesisir, kawasan mata air yang perlu dilindungi terutama yang terdapat di pulau-pulau kecil;

(3) Kawasan suaka alam dan cagar budaya, Kawasan Perlindungan terhadap kawasan suaka alam dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, ekosistem tertentu, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya adalah Kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman Wisata Alam yang dapat ditemukan di wilayah daratan dan perairan pesisir.

(22)

(4) Kawasan rawan bencana alam, perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia.

Kawasan konservasi didasarkan atas kategori IUCN (1980): Strict Nature Reserve/Wilderness Area (kawasan cadangan alam/hutan belantara); National Park (Taman Nasional); Natural Monument Area (Kawasan Monumen Alam); Kawasan yang dilindungi untuk komponen alami tertentu yang khas dan unik karena kelangkaan wilayah dan jenis biotanya, kualitas estetikanya atau kepentingan budaya; Habitat/Species Management Area (kawasan pengelolaan habitat/ species tertentu); Kawasan lindung yang dikelola untuk kegiatan konservasi. Pada kawasan ini terdapat unsur intervensi manusia; Landscape/Seascape Protected Area (kawasan perlindungan bentang alam/ bentang laut), kawasan yang dilindungi dengan tujuan konservasi bentang alam dan bentang laut; Managed Resources Protected Area (kawasan perlindungan bagi pengelolaan sumberdaya); dan Kawasan lindung yang dikelola untuk keberlanjutan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya pesisir. Kawasan konservasi di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil memiliki fungsi (Agardy 1997; Barr et al. 1997 dalam Bengen 2002):

(1) Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; dapat berkonstribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trophik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem.

(2) Meningkatkan hasil perikanan; dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.

(3) Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata; dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi yang bernilai ekologis dan estetika.

(4) Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

(23)

2.5.Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Bahari Pulau-Pulau Kecil 2.5.1. Kriteria Umum Pemanfaatan untuk Pariwisata

Keberadaan PPK yang nampaknya cukup potensial namun pada dasarnya memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai banyak dilirik untuk dimanfaatkan seoptimalmungkin. Kondisi keterpencilan, terbatasnya luasan lahan, terbatasnya sumberdaya manusia dan keterbatasan lainnya bukanlah halangan bagi kita untuk dapat memanfaatkan potensi-potensi yang cukup dapat diharapkan, minimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat penghuninya. Kebijakan pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan menghasilkan dampak negatif. Di satu pihak, tidak berkembangnya kawasan PPK akibat kebijakan yang terlalu protektif. Di pihak lain, rusaknya kawasan PPK akibat tekanan pemanfaatan berlebihan. Untuk itu perlu kebijakan yang berimbang, dimana usaha pemanfaatan PPK ditingkatkan, sementara keseimbangan ekologis kawasan masih terjaga (Bengen 2002).

Terkait dengan konteks arahan pengelolaan PPK, kegiatan pemanfaatannya hanya diperuntukkan bagi kegiatan berbasis konservasi. Artinya, pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak disarankan untuk dilaksanakan. Hal ini mengingat bahwa PPK memiliki sejumlah kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pengelolaan pulau besar (mainland). Atas dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukkan dan pemanfaatan pariwisata memiliki kriteria sebagai berikut (Bengen 2002):

1. Berjarak aman dari kawasan perikanan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut tidak menyebar/mencapai kawasan wisata. 2. Berjarak aman dengan kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang

ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung.

3. Sirkulasi massa air di kawasan pariwisata harus lancar.

4. Pembangunan sarana dan prasarana wisata tidak mengubah kondisi pantai dan daya dukung PPK, sehingga proses erosi atau sedimentasi dapat dihindari.

Lebih jauh Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa kebijakan menyangkut PPK pada dasarnya haruslah berbasiskan kondisi dan karakteristik bio-geo-fisik serta sosial ekonomi masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem perairan laut

(24)

maupun bagi kehidupan ekosistem daratan (mainland). Maksudnya agar sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan maksud: perlindungan sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam.

Kriteria wilayah yang diperlukan untuk menentukan zona kegiatan pariwisata:

1. Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati sehingga membawa kepuasan dan kenangan manis serta memberikan rasa rileksasi dan memulihkan semangat daya produktifnya;

2. Keaslian panorama alam dan keaslian budaya; 3. Keunikan ekosistemnya;

4. Di dalam lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin kencang, dan topografi dasar laut yang curam; dan

5. Tersedia sarana dan prasarana yang mudah dijangkau, baik melalui darat maupun laut (dekat restoran, penjualan cinderamata, penginapan dan air bersih).

Pendekatan lain bahwa wisata bahari harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut:

1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan;

2) Melindungi keanekaragaman hayati;

3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya;

Di dalam pemanfaatan areal alam untuk wisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini jangan justru dibalik. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Bahkan Eplerwood (1999) yang diacu dalam Fandeli dan Mukhlison (2000) memberikan konsep bahwa salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur conservation tax untuk

(25)

membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal. Konsep ini lebih mudah dilaksanakan karena tidak perlu melalui mekanisme seperti layaknya sebagai suatu proyek pemerintah serta dalam keadaan tertentu segera dapat dilaksanakan upaya-upaya konservasi.

Pelaku konservasi alam melihat ekowisata sebagai kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi serta meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi alam, sementara ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi, serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana, 2001).

Ekowisata tidak setara dengan wisata alam. Tidak semua wisata alam akan dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu untuk menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus.

Secara keseluruhan ekowisata merupakan perjalanan menikmati alam berbasiskan lingkungan sehingga membuat orang memiliki ketertarikan untuk mempelajari tentang sejarah dan kultur dari wilayah yang dikunjungi, serta memberikan manfaat ekonomi dan sosial pada masyarakat setempat sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan mendukung konservasi sumber daya alam melalui interpretasi dan pendidikan lingkungan.

Untuk itu, ada beberapa aspek teknis yang perlu diperhitungkan demi keberhasilan ekowisata menurut Adhikerana (2001), meliputi :

1) Adanya konservasi sumber daya alam yang sedang berlangsung;

2) Tersedianya semua informasi yang diperoleh dari berbagai kegiatan penelitian di kawasan, serta penerapan hasil-hasil penelitian dalam pengelolaan kawasan; 3) Tersedianya pemandu wisata yang benar-benar memahami seluk beluk

ekosistem kawasan;

4) Tersedianya panduan yang membatasi penggunaan kawasan sebagai arena ekowisata, misalnya panduan tentang kegiatan yang dapat dilakukan, tentang zonasi kawasan sesuai dengan ekosistemnya, jalur-jalur yang dapat dilalui dalam kawasan, dan daya tampung kawasan;

(26)

5) Tersedianya program-program kegiatan ekowisata yang sesuai kondisi sumber daya alam di dalam kawasan; dan tersedianya fasilitas pendukung yang memadai, terutama sarana dan prasarana wisata.

2.5.2. Parameter Kesesuaian Pemanfaatan untuk Wisata Bahari

Kesesuaian pemanfaatan wisata bahari berbeda untuk setiap kategori wisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan atas wisata bahari dan wisata pantai. Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya laut dan dinamika air laut. Sedangkan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai (Hutabarat dkk. 2009). Berdasarkan kondisi daerah kajian penelitian, setiap kegiatan wisata bahari dibagi dua kategori yakni kategori wisata selam dan wisata snorkeling (kegiatan wisata bahari), dan kategori wisata mangrove dan rekreasi pantai (kegiatan wisata pantai).

Potensi utama untuk menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang, pantai berpasir putih atau bersih, dan lokasi-lokasi perairan pantai yang baik untuk berselancar. Keragaman spesies pada terumbu karang dan ikan hias merupakan obyek utama yang menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar biasa bagi para penyelam dan para wisatawan yang melakukan snorkeling (Dahuri 2003).

Secara umum, jenis dan nilai setiap parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori wisata selam dan wisata snorkeling hampir sama. Parameter yang dipertimbangkan dalam menilai tingkat kesesuaian pemanfaatan kedua kategori kegiatan wisata bahari tersebut adalah:

1. Kondisi kawasan penyelaman yakni menyangkut keadaan permukaan air (gelombang) dan arus. Gelombang besar dan arus yang kuat dapat membawa para penyelam ke luar kawasan wisata. Kekuatan arus yang aman bagi wisatawan maksimum 1 knot (0.51 m/detik), sesuai sampai sangat sesuai yakni di bawah 0.34 m/detik (Davis and Tisdell 1995).

2. “Kualitas” daerah penyelaman yakni menyangkut jarak pandang yang layak (sesuai) di bawah permukaan air (underwater visibility), dalam hal ini tergantung tingkat kecerahan dan kedalaman perairan, dan tutupan komunitas

(27)

karang dan life form (marine life) (Davis and Tisdell 1995; Davis Tisdell 1996). Jarak pandang yang layak untuk wisata bahari >10-20 m. Hal ini terkait dengan penetrasi matahari terhadap biota dasar permukaan air maksimum 25 m. Marine National Park Division (2001) menyatakan bahwa kedalaman 2-5 m sangat sesuai untuk melakukan wisata snorkeling, sementara wisata selam biasanya dilakukan pada kedalaman 5-10 m. Di atas kedalaman air tersebut, pengaruh gelombang juga semakin besar dan kemungkinan keberadaan hewan berbahaya sangat besar sehingga dapat mengancam para penyelam dan snorkeler.

Davis and Tisdell (1995), alasan orang berpartisipasi dalam melakukan kegiatan Scuba (Self Contained Underwater Breathing Apparatus)-Diving adalah karena hasrat untuk mencari “pengalaman di belantara laut”, ketertarikan terhadap ekologi perairan laut, sebagai sarana olahraga yang ‘berbeda dan spesial’ dengan olahraga lainnya, pesona bawah laut (formasi geologi) dan kehidupan laut (terumbu karang, hiu, dan spesies ikan lainnya), untuk tujuan hobi fotografi bawah laut, dan petualang dengan resiko tertentu. Dahuri (2003), sumberdaya hayati pesisir dan lautan seperti populasi ikan hias, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, dan berbagai benteng alam pesisir (coastal landscape) unik lainnya, membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan untuk kegiatan wisata bahari. Luas kawasan terumbu karang di Indonesia diperkirakan mencapai 85 000 km2

Selain kawasan terumbu karang, Indonesia merupakan tempat komunitas mangrove terluas di dunia (4.25 juta ha) yang mewakili 25 % dari luas mangrove dunia (75 % dari luas mangrove di Asia Tenggara). Diperkirakan dalam ekosistem ini dijumpai 202 jenis vegetasi mangrove. Areal mangrove yang luas tidak hanya berperan dalam menyediakan habitat untuk berbagai macam biota, tetapi juga menciptakan keindahan, kenyamanan, dan kesegaran lingkungan atmosfir di wilayah pesisir dan laut. Hutan mangrove sering dijadikan hutan wisata yang dapat berfungsi sebagai tempat rekreasi memancing, lintas alam, dan koleksi flora

dengan keanekaragaman spesies terumbu karang mencapai 335-362 spesies karang scleractinian (kepulauan Togean 262 spesies) dan 263 spesies ikan hias, umumnya berada di Kawasan Timur Indonesia.

(28)

maupun fauna untuk ilmu pengetahuan (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata bahari kategori wisata mangrove, meliputi (Ayob 2004):

1. Apa yang diharapkan seseorang dengan berkunjung ke kawasan hutan mangrove, tergantung kepentingan dan tingkat pendidikannya. Ada yang ber-kepentingan melihat sejumlah dan jenis burung (migrasi dan atau menetap), melihat lebih dekat mangrove, dan bagaimana nira diambil langsung dari nipah.

2. Selain itu, beberapa pengunjung lebih suka melakukan ‘trekking’ di jembatan bakau sambil mendengarkan burung berkicau, dan menggunakan boat untuk menjelajahi setiap bagian hutan mangrove, serta menikmati makanan laut yang diperoleh dari kawasan mangrove (Marine National Park Division 2001).

3. Ketebalan dan kerapatan mangrove dapat mempengaruhi sistem ekologi pada kawasan tersebut, termasuk keberadaan hewan lain seperti burung, kadal, ular, monyet, kepiting, udang dan beberapa moluska (Hutabarat dkk. 2009). Bengen dan Retraubun (2006), jenis dan pertumbuhan hutan mangrove di PPK dibatasi oleh ketersediaan air tawar, pasokan sedimen (bahan organik) dari daratan dan jenis substrat pasir, sehingga jenis mangrove yang dominan adalah dari genus Avicennia (api-api) dan Sonneratia.

Obyek wisata bahari lain yang berpotensi besar adalah wilayah pantai. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat permandian yang bersih, serta tempat melakukan kegiatan berselancar air (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata bahari kategori rekreasi pantai, meliputi (Hutabarat dkk. 2009):

1. Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar, kemiringan pantai (idealnya <25o

2. Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km) (Wong 1991).

) dan material dasar perairan pantai (idealnya berpasir) (Wong 1991).

(29)

3. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan).

2.6. Daya Dukung Wisata Bahari

Daya dukung didefinisikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam. Bengen dan Retraubun (2006), mendefenisikan daya dukung sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik (mahluk hidup) yang terkandung di dalamnya, dengan juga memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya yang berperan di alam. Besarnya daya dukung ekosistem tersebut sangat bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia. Kemampuan daya dukung setiap kawasan berbeda-beda sehingga perencanaan pariwisata di pulau-pulau kecil secara spatial akan bermakna dan menjadi penting (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004). Pengetahuan daya dukung lahan atau lingkungan, harus memperhitungkan semua potensi yang ada di wilayah yang bersangkutan dan faktor kendala apa saja yang mempengaruhi potensi tersebut dalam jangka panjang. Tanda-tanda dilampauinya daya dukung lingkungan adalah adanya kerusakan lingkungan.

Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Batasan daya dukung bagi populasi manusia adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu satuan luas sumberdaya dan lingkungan dalam keadaan sejahtera (Tantrigama, 1998). Jadi daya dukung adalah ultimate constraint yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijah, atau penyakit, siklus predator, temperatur, cahaya matahari, atau salinitas. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993).

(30)

Daya dukung lingkungan terbagi atas dua yakni, daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomis (economic carrying capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentuka n oleh faktor-faktor lingkungan. Hal ini sejalan dengan Tantrigama (1998), analisis dukung difokuskan pada aspek ekologi, fisik dan lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan paremeter-parameter kelayakan usaha secara ekonomi.

Mengacu pada batasan-batasan konsep daya dukung sebelumnya, maka ada beberapa daya dukung yang perlu diperhatikan dalam rangka kegiatan pengelolaan PPK, selengkapnya diuraikan pada sub bab berikut.

2.6.1. Daya Dukung Ekologis

Daya dukung ekologis, menurut MacLeod and Cooper (2005) dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem agar tetap lestari, baik dalam jumlah populasi maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis ekosistem tersebut. Christensen dan Pauly (1998), menyusun defenisi daya dukung berdasarkan teori Odum, yang menyatakan bahwa batas maksimum biomas yang dapat mendukung seperangkat produksi primer dan satu variabel struktur jaringan makanan yang diperoleh ketika total sistem respirasi sama dengan jumlah produksi primer dan impor detritus.

Daya dukung ekologis merupakan tingkat maksimal penggunaan suatu pulau. Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang akan ditunjang oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu/kualitas perairan (deteriorasi). Daya dukung yang terkait dengan pariwisata menunjukkan jumlah maksimum wisatawan (104 orang) yang melakukan penyelaman atau berenang tanpa merusak terumbu karang atau kehidupan laut (Tantrigama, 1998).

(31)

Jika input nutrien yang masuk dalam jumlah yang besar (melebihi kapasitas asimilasi atau daya dukung ekosistem pesisir), maka akan menimbulkan masalah eutrofikasi. Dengan masuknya limbah organik ke dalam perairan pesisir berarti akan meningkatkan jumlah biomasa bakteri. Karena bakteri merupakan komponen utama dalam salah satu rantai makanan (food chain), maka pada tingkat tertentu pembuangan limbah organik dapat meningkatkan kesuburan dan produktivitas perairan. Namun, bila laju pembuangan limbah organik lebih besar laju penguraiannya oleh bakteri, maka terjadilah akumulasi limbah organik yang menimbulkan pencemaran, sampai terjadi kondisi deoxygenation. Eksistensi nutrien yang berasal dari daratan maupun perairan laut sendiri selanjutnya akan menentukan kuantitas dan kualitas fisik dan kimia perairan di daerah pesisir, termasuk intensitas cahaya. Unsur hara yang masuk ke perairan pesisir dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan produktivitas terganggu. Konsentrasi nutrien terkait produksi primer dan pertumbuhan alga, seperti Sargassum baccularia, Dityota dan Acanthopora, kelimpahan Green algae (Fucus vesicolus dan Gracilaria spp

Pencemaran perairan pesisir akibat meningkatnya berbagai kegiatan pemanfaatan merupakan indikator terlampauinya daya dukung perairan. Dampak yang timbul akibat pencemaran oleh berbagai jenis polutan dapat langsung meracuni kehidupan biologis dan menyerap banyak jumlah oksigen selama proses dekomposisi. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Hal ini mempunyai pengaruh yang luas terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di perairan (Sumadhiharga, 1995). Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh terhadap reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan, dengan sendirinya dapat menurunkan produksi ikan. Proses emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada lingkungan tercemar. Proses ini merupakan penyebab terkontaminasinya sejumlah flora dan fauna di wilayah tercemar.

(32)

Pemanfaatan wilayah pesisir untuk kegiatan pariwisata, disamping dampak yang terjadi yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan/ruang ini, dampak negatif lanjutan lainnya dapat terjadi misalnya menurunnya spesies biota di suatu kawasan.

2.6.2 Daya Dukung Fisik

Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan atau areal tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik (MacLeod and Cooper, 2005). Daya dukung fisik, yang merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas. Daya fisik diperlukan untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung. Daya dukung fisik dapat dikaji melalui berapa besar kapasitas dan ruang yang tersedia untuk membangun infrastruktur pariwisata guna kenyamanan wisatawan (Tantrigama, 1998; MacLeod and Cooper, 2005).

Pada kasus pariwisata, terlampauinya daya dukung fisik akibat meningkatnya jumlah infrastruktur (dermaga melalui reklamasi, hotel, dan lainnya) maupun pemukiman penduduk, menyebabkan hilangnya beberapa vegetasi daratan dan ekosistem perairan laut, misalnya terumbu karang, sumberdaya ikan dan non ikan. Peningkatan infrastruktur dan jumlah penduduk secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas air, akan tetapi melalui peningkatan jumlah limbah (padat dan air) (MacLeod and Cooper, 2005).

2.6.3 Daya Dukung Sosial

Konsep daya dukung sosial pada suatu kawasan merupakan gambaran dari presepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau presepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat confortability atau kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu kawasan.

Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan, dalam suatu kawasan dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan

(33)

penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Daya dukung sosial di bidang pariwisata dipengaruhi oleh keberadaan infrastruktur wisata, attitude pengunjung (wisatawan) dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat suatu kawasan wisata (MacLeod and Cooper. 2005). Daya dukung sosial, yang merupakan batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan yang akan menimbulkan penurunan dalam tingkat kualitas pengalaman atau kepuasan pengunjung di pulau-pulau kecil.

Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya manusia (indvidu, kelompok) pemakai ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut. Pada kegiatan pariwisata, terlampauinya daya dukung menyebabkan dampak yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan/ruang ini.

2.7. Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari

Undang Undang No. 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan menjelaskan bahwa keadaan alam, flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan,dimana mempunyai peranan penting untuk memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar pendapatan nasionaluntuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta memupuk rasa cinta tanah air, memperkaya kebudayaan nasional dan memantapkan pembinaannya dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa dan mempererat persahabatan antar bangsa, sehingga diperlukan langkah-langkah pengaturan yang semakin mampu mewujudkan keterpaduan dalam kegiatan penyelenggaraan kepariwisataan, serta memelihara kelestarian dan mendorong upaya peningkatan mutu lingkungan hidup serta objek dan daya tarik wisata.

Lebih lanjut di uraikan dalam pasal 3 dijelaskan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan untuk (1) Memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata; (2). Memupuk

(34)

rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa; (3). Memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja; (4). Meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Isu pengelolaan wilayah pesisir saat ini telah menjadi isu strategis nasional, karena tiga alasan, yaitu (a) sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dan memiliki ketergantungan dan kelangsungan hidup pada sumberdaya pesisir tersebut; (b) sebagian besar dari masyarakat pesisir merupakan kelompok masyarakat ‘termiskin’ di Bumi Nusantara ini; dan (c) sumberdaya pesisisir saat ini telah mengalami tingkat eksploitasi yang tinggi dan sebagian berada pada level yang overeksploitasi serta berbagai permasalahan lain yang akan mengancam keberlanjutan sumberdaya dan kehidupan masyarakat pesisir. Oleh karena itu, wilayah pesisir memiliki nilai dan arti yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia, lebih-lebih saat bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan. Nilai dan arti penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia paling tidak dapat dilihat dari tiga aspek, salah satunya adalah secara sosial ekonomi wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena (a) sekitar 140 juta (60 %) penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan rata-rata 2 % per tahun); (b) sebagian besar kota (kota propinsi dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir; (c) kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,06 %; dan (d) industri kelautan (termasuk coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja secara langsung (Kusumastanto, 2004).

Fokus utama dalam kebijakan pengembangan parawisata bahari menurut Kusumastanto (2004) adalah :

a. Meningkatkan ketersediaan prasarana dan sarana publik yang menciptakan pelayanan dan kenyamanan hakiki bagi wisatawan mancanegara dan domestic yang akan memanfaatkan sumberdaya parawisata bahari;

b. Meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia yang berkiprah dalam mengelola dan parawisata bahari;

c. Mengembangkan system pendataan dan informasi yang lengkap dengan memanfaatkan teknologi yang modern, sehingga memudahkan wisatawan mendapatkan informasi dan akses yang cepat, mudah serta murah.

Gambar

Gambar  2.  Ekowisata sebagai suatu Strategi Wisata dan Pembangunan  Berkelanjutan (France, 1997 dalam Beeler, 2000)
Tabel 1.  Kriteria Umum Untuk Penentuan Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil

Referensi

Dokumen terkait

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak)

Apabila ketepatan pengukuran suhu permukaan laut melaui satelit adalah sempurna maka pasangan data satelit dan in situ pada waktu dan tempat yang sama, jika

1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 1 angka 2, yaitu pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan

Saya menginginkan materi membaca (reading) yang diawali dengan teori seperti jenis teks, tujuan dan struktur teks.. Saya menginginkan materi membaca (reading) yang

Judul Penelitian : Komposisi Serasah dan Lumpur sebagai Media Tanam Bibit Rhizophora apiculata di Secanang Belawan.. Budi

Terlihat dari gambar tersebut bahwa kegiatan konseling dan tes HIV di lapas/rutan pada tahun 2014 sudah dilakukan pada 146 lapas/rutan dan sudah melebihi dari jumlah

Current experim ent w as carried out undert akes t o st udy and provide addit ional inform at ion for rabbit husbandry part icularly, on m icroclim at e and

Peristiwa yang terjadi pada masa lampau akan memberi kita gambaran tentang kehidupan manusia dan kebudayaannya di masa lampau sehingga dapat merumuskan hubungan sebab dan