7
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Perpajakan
II.1.1 Pengertian Pajak
Banyaknya pengertian pajak yang disampaikan oleh para ahli menyebabkan sulitnya untuk memasukkan definisi pajak yang tepat ke dalam undang-undang perpajakan. Meskipun demikian, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian pajak yang disampaikan oleh para ahli tersebut hampir sama dan saling melengkapi.
Beberapa pengertian pajak menurut para ahli tersebut adalah sebagai berikut :
1. Menurut Prof. Rochmat Soemitro, SH :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk pengeluaran umum.”
2. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja :
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-8 barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”
3. Menurut Mr. Dr. N. J. Feldmann :
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontra prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.”
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang dan aturan pelaksanaannya.
2. Sifatnya dapat dipaksakan.
3. Tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi (imbalan secara
langsung) baik secara individual maupun pemerintah.
4. Pajak dipungut oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
II.1.2. Fungsi Pajak
Menurut Wirawan, Burton, dan Richard (2004), dilihat dari fungsinya, pajak memiliki 2 fungsi, yaitu :
9 1. Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang berlaku yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
2. Fungsi regulerend adalah suatu fungsi yang umumnya dapat dilihat di dalam sektor swasta, yaitu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.
II.1.3. Pengelompokan Pajak
a. Menurut golongannya, pajak terdiri atas :
1) Pajak langsung, yaitu pajak yang pengenaannya dipikul sendiri oleh
wajib pajak, dan tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain.
Contoh : Pajak Penghasilan.
2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pengenaannya dapat
dilimpahkan atau dibebankan kepada pihak lain.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
b. Menurut sifatnya, pajak terdiri atas :
10 arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan
2) Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada obyeknya tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
c. Menurut lembaga pemungutannya, pajak terdiri atas :
1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh : PPh, PPN & PPnBM, PBB, dan Bea Materai.
2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah
daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas :
a) Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaran di atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
b) Pajak Kabupaten / Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran,
Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan.
11 II.1.4. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam hal sistem pemungutan pajak, kita mengenal 3 (tiga) macam, yaitu :
a. Official Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang bagi wajib pajak.
b. Self Assessment System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang berdasarkan undang-undang yang berlaku.
c. With Holding System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang terutang dan membantu pemerintah memungut pajak dari wajib pajak.
II.1.5. Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak merupakan suatu batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh suatu Negara dalam melakukan pemungutan pajak agar tidak memberatkan bagi orang yang dikenakan pajak. Adapun Asas pemungutan pajak tersebut terdiri dari :
a. Asas Domisili
12 yang bertempat tinggal atau berdomisili di wilayahnya.
b. Asas Sumber
Negara berhak untuk memungut pajak atas seluruh penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan dimana wajib pajak tersebut berdomisili.
c. Asas Kebangsaan / Nasionalitas
Suatu negara berhak untuk memungut pajak terhadap setiap orang yang memiliki kebangsaan atas negara tersebut, tanpa memperhatikan tempat tinggal dari wajib pajak yang bersangkutan.
II.1.6. Hak Wajib Pajak
Dalam undang-undang perpajakan yang berlaku di Indonesia, diatur dengan tegas hak-hak dan kewajiban wajib pajak, untuk menjamin dan memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Hak-hak wajib pajak adalah :
a. Mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus.
b. Melakukan pembetulan sendiri SPT.
13
d. Hak untuk memperoleh restitusi atau kompensasi.
e. Mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
f. Mengajukan keberatan dan banding.
g. Mengajukan perpanjangan penyampaian pemasukan surat permohonan
keberatan pajak.
h. Meminta dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan pajak untuk
keperluan pengajuan keberatan.
i. Menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum diterbitkan
surat keputusan keberatan.
j. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima
telah lewat, dan Direktorat Jendral Pajak telah memberikan suatu keputusan tertulis, maka keberatan diajukan dianggap diterima.
k. Mendapat bunga dari negara karena terlambat mengembalikan kelebihan
pembayaran pajak.
l. Memilih menggunakan Norma penghitungan bagi wajib pajak yang peredaran
usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya berjumlah kurang dari Rp. 1. 800.000.000,-
m. Melakukan kompensasi kerugian dengan tahun-tahun yang lalu selama 5
14
n. Memperoleh pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak (PTKP) bagi
WP orang pribadi atau perseorangan.
o. Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang telah dikeluarkan
dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
p. Memberikan surat kuasa khusus kepada orang lain untuk menandatangani
SPT.
q. Mengkreditkan PPh yang telah dibayar termasuk pajak yang telah dipotong
atau dibayar di luar negeri.
r. Mengajukan permohonan pembetulan atas SKP yang salah tulis, salah hitung,
atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan.
s. Mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
berupa bunga denda dan kenaikan, dalam hal sanksi tersebut dikenakan kekhilafan WP atau bukan karena kesalahannya.
t. Mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang
tidak benar.
u. Mendapat jaminan kerahasiaan atas segala sesuatu yang diketahui atau
diberitahukan oleh WP kepada pejabat pajak.
v. Hak mengadukan pejabat yang membocorkan rahasia wajib pajak.
15 II.1.7. Kewajiban Wajib Pajak
a. Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
b. Mengambil sendiri formulir SPT di KPP tempat dimana WP terdaftar.
c. Menyampaikan SPT sesuai dengan batas waktu.
d. Mengisi dengan lengkap, jelas, dan benar serta menandatangani SPT dan
menyampaikan kembali SPT tersebut ke KPP setempat dimana WP terdaftar.
e. SPT yang di isi dengan ditandatangani oleh orang lain, bukan WP harus
dilampiri surat kuasa khusus.
f. Menyelenggarakan pembukuan.
g. Bagi WP yang memilih menggunakan Norma Perhitungan wajib
menyelenggarakan pencatatan tentang perdaran dan penerimaan bruto.
h. Melaporkan usahanya.
i. Membuat faktur pajak.
j. Membuat Nota Retur.
k. Mencatat jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak dalam pembukuan perusahaan.
l. Membayar atau menyetor pajak yang terutang.
16 II.1.8. Surat Pemberitahuan (SPT)
a. Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT).
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
b. Jenis Surat Pemberitahuan (SPT).
Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) yang ada dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
1) SPT Masa, adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak terutang dalam suatu masa pajak.
2) SPT Tahunan, adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak terutang dalam suatu tahun pajak.
c. Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT).
Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 3 ayat (1), fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai berikut :
1) Bagi Wajib Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk
17 pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
a) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak.
b) Penghasilan yang merupakan objek pajak dan / atau bukan
obyek pajak, harta dan kewajiban.
c) Melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang
pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan.
2) Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dan untuk melaporkan tentang :
a) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.
b) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan / atau melalui pihak lain dalam 1 (satu) masa pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
3) Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
18 dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
d. Karakteristik Surat Pemberitahuan (SPT) Manual.
Surat Pemberitahuan (SPT) Manual memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
1) Memerlukan waktu yang lama untuk merekam data SPT di KPP.
2) Sering terjadi kesalahan pada saat perekaman data di KPP, sehingga
data yang ada pada SPT Wajib Pajak seringkali tidak sama dengan data yang terdapat pada Direktorat Jenderal Pajak.
3) Pemborosan kertas.
4) Perekaman data SPT membutuhkan banyak Sumber Daya Manusia.
5) Pemborosan tempat penyimpanan dokumen SPT.
e. Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT).
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah :
1) Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua puluh) dari
setelah akhir Masa Pajak.
2) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
3) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
19 Wajib pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan untuk paling lama 2 (bulan) dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
f. Tata Cara Melaporkan SPT Secara Manual.
Dalam penggunaan Surat Pemberitahuan (SPT) secara manual, tata cara pelaporannya adalah sebagai berikut :
1) Wajib Pajak mengambil sendiri SPT di tempat yang telah ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Pajak.
2) Wajib pajak mengisi SPT dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai
dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan peraturan perpajakan.
3) Wajib pajak harus menandatangani serta menyampaikan kembali SPT
dalam batas waktu yang telah ditentukan.
g. Sanksi Terlambat atau Tidak Melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT).
Wajib pajak yang tidak menaati ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan bunga dan / atau sanksi pidana, yaitu :
1) Keterlambatan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), Wajib Pajak
20
a) Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
b) Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Masa lainnya.
c) Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
d) Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
2) Wajib Pajak yang karena kealpaan tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara yang dilakukan pertama kali tidak dikenakan sanksi pidana, tetapi dikenakan sanksi administrasi sebesar 200% dari pajak yang kurang bayar.
3) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
21 II.1.9. Surat Setoran Pajak (SSP)
a. Pengertian.
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang telah ditentukan oleh Menteri Keuangan.
b. Jenis Surat Setoran Pajak.
Jenis Surat Setoran Pajak (SSP) ada 2 (dua) macam, yaitu :
1)SSP Standar, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan atau berfungsi untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kantor Penerima Pembayaran dan digunakan sebagai bukti pembayaran.
SSP Standar digunakan untuk pembayaran semua jenis pajak, baik yang bersifat final maupun yang bukan final, kecuali Setoran Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2)SSP Khusus, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke
Kantor Penerima Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan menggunakan mesin transaksi dan atau alat lainnya yang isinya sesuai dengan ketetapan Direktorat Jenderal Pajak. Fungsi SSP Khusus dalam administrasi perpajakan sama dengan SSP Standar.
SSP Khusus dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran yang telah mengadakan kerjasama Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3)
22 dengan Direktorat Jenderal Pajak. SSP Khusus ini hanya dapat digunakan untuk pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP.
Pembayaran setoran pajak yang SSP-nya dapat berfungsi sebagai bukti potong atau bukti pungut tidak dapat menggunakan SSP Khusus. Pembayaran tersebut antara lain pembayaran PPN Impor, PPN Bendaharawan, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 22 Bendaharawan, PPh Final atas Transaksi Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan PPh Final atas Persewaan Tanah dan Bangunan.
3)Tempat Pembayaran atau Penyetoran Pajak.
Tempat pembayaran atau penyetoran pajak meliputi :
a) Bank persepsi yaitu bank pemerintah atau bank swasta yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan.
b) PT. Pos Indonesia.
c) Untuk pembayaran fiskal luar negeri dapat juga di loket pembayaran
yang telah disediakan di pelabuhan pemberangkatan ke luar negeri.
4)Batas Waktu Pembayaran Pajak.
Menurut UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ketentuan mengenai waktu pembayaran pajak adalah sebagai berikut :
23 penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak.
b) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
c) Apabila pembayaran atau pajak dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo, maka akan dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% per bulan dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
d) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
e) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu,
jangka waktu pelunasan dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
24 untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran paling lama 12 (dua belas) bulan.
II.2. Sistem Administrasi Perpajakan Modern
II.2.1. Pengertian Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Memasuki dekade 2000, “modernisasi” menjadi suatu topik yang ramai dibicarakan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Terbentuknya suatu sistem administrasi perpajakan yang modern merupakan salah satu hasil dari dilakukannya reformasi administrasi perpajakan. Sistem administrasi perpajakan modern tersebut merupakan suatu penerapan dari sistem administrasi yang menggunakan basis teknologi yang bertujuan untuk perbaikan kinerja agar lebih efisien, ekonomis, dan cepat.
Rendahnya kepatuhan dari masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, diharapkan dapat teratasi dengan diadakannya sistem administrasi perpajakan tersebut. Hal itu disebabkan karena sistem administrasi perpajakan modern merupakan suatu cara penyederhanaan sistem dan prosedur yang akan memudahkan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, sehingga tingkat kepatuhan dari masyarakat diharapkan dapat meningkat serta memudahkan aparat pajak dalam melakukan pengawasan.
25 II.2.2. Karakteristik Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Sistem administrasi perpajakan modern memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Struktur organisasi dirancang berdasarkan fungsi.
b. Di dalam organisasi KPP terdapat Account Representative (AR) yang
bertanggung jawab untuk melayani dan mengawasi kepatuhan wajib pajak.
c. Penggunaan teknologi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
d. Adanya sistem pemantauan proses administrasi perpajakan dan manajemen
kasus.
II.2.3. Tujuan Dibentuknya Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Menurut Pandiangan (2008), tujuan dari modernisasi perpajakan adalah
untuk menjawab latar belakang dilakukannya modernisasi perpajakan, yaitu :
a. Tercapainya tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) yang tinggi.
b. Tercapainya tingkat kepercayaan (trust) terhadap administrasi perpajakan yang tinggi.
26 II.2.4. Perubahan Paradigma Perpajakan
Seiring dengan diberlakukannya modernisasi perpajakan, maka terjadi perubahan paradigma dalam berbagai aspek yang berkaitan dengan perpajakan, yaitu :
a. Organisasi berubah dari berdasarkan “jenis pajak” menjadi berdasarkan
“fungsi”.
b. Sistem dan proses kerja berubah dari “manual” menjadi berdasarkan “sistem”,
yang terkait dengan pemanfaatan terknologi informatika terkini.
c. Lebih mengedepankan aspek pelayanan kepada Wajib Pajak (customer oriented) dengan adanya help desk maupun Account Representative (AR).
d. Adanya unit khusus yang menangani segala keluhan (complaint center).
e. Tuntutan profesional sumber daya manusia dalam bekerja.
f. Adanya “Kode Etik Pegawai”, yang sebelumnya tidak ada, seirama dengan
pelaksanaan “good governance” dapat berjalan dengan baik.
II.2.5. Implementasi Modernisasi
Dalam modernisasi perpajakan ini, implementasinya dilakukan melalui
organisasi Direktorat Jenderal pajak, baik di Kantor Pusat, Kantor Wilayah, maupun Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Implementasi dari masing-masing unit
27 organisasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kantor Pusat.
Dalam pembentukan Kantor Pusat DJP Modern, sebagai induk organisasi yang mengelola pajak di Indonesia, secara struktur organisasi disesuaikan dengan struktur kantor pajak di beberapa negara maju. Hal ini bertujuan agar dapat mengantisipasi serta mengikuti berjalannya era globalisasi dalam melaksanakan tugas perpajakan.
Kantor pusat hanya sebagai unit pembuat kebijakan (policy marker) dan
pengembangan organisasi juga proses kerja (transform), sehingga tidak
mengerjakan tugas dan fungsi operasional perpajakan, kecuali hal yang bersifat khusus.
b. Kantor Wilayah.
Pembenahan organisasi, tugas, dan fungsi antara Kantor Wilayah
maupun KPP sebagai unit operasional perpajakan di lapangan, dilakukan seiring dengan adanya modernisasi administrasi perpajakan.
Karakteristik dari Kantor Wilayah yang modern yaitu :
1) Paradigma struktur organisasi berdasarkan “fungsi”, bukan “jenis pajak”.
2) Menyelesaikan keberatan atas ketetapan yang dilakukan KPP, dan
penyidikan dalam hal terjadi indikasi tindak pidana.
28 Pegawai” yang mengawasi pelaksanaannya.
4) Adanya “complaint center”.
5) Adanya layanan interaktif (call center) dalam rangka pelayanan kepada
masyarakat.
6) Menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini.
7) Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.
8) Sarana dan prasarana kerja yang lebih baik.
9) Sistem penggajian dan remunerasi yang lebih baik.
Perkembangan Organisasi Kantor Wilayah DJP yang modern adalah
sebagai berikut : Tabel 1 Keputusan Menteri Keuangan No.65/KMK.01/ 2002 Keputusan Menteri Keuangan No.254/KMK.01/ 2004 Peraturan Menteri Keuangan No.132/PMK.01/ 2006
Bagian Umum Bagian Umum Bagian Umum
Bidang Analisa Data dan Bidang Dukungan Teknis dan Bidang Dukungan Teknis dan
29
Pengawasan Konsultasi Konsultasi
Bidang Pelayanan dan Penyuluhan Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat
- Bidang Kerja Sama,
Pendataan,
Penilaian, dan Pengenaan
Bidang Kerja Sama, Ekstensifikasi, dan Penilaian Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak Bidang Pemerikasaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak Bidang Pemerikasaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak Bidang Keberatan dan Banding Bidang Pengurangan, Keberatan, dan Banding Bidang Pengurangan, Keberatan, dan Banding Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok Jabatan Fungsional
Sumber : Modernisasi & Reformasi Pelayanan Perpajakan
30 dikelola, maupun wilayah kerja yang menjadi area pelayanannya, demikian juga dengan KPP yang dikoordinasi, saat ini dapat dikategorikan adanya 4 (empat) model Kantor Wilayah, yaitu :
1) Kantor Wilayah yang hanya menangani Wajib Pajak besar secara nasional.
Kantor Wilayah ini hanya ada 1 (satu) dan berkedudukan di Jakarta, disebut sebagai Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar.
2) Kantor Wilayah DJP yang menangani Wajib Pajak khusus di bidang-bidang
usaha tertentu.Kantor Wilayah ini juga hanya ada 1 (satu) dan berkedudukan di Jakarta, disebut sebagai Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus.
3) Kantor Wilayah DJP yang menangani Wajib Pajak terbesar dan menengah
ke bawah di tingkat Kantor Wilayah. Kantor pajak ini tersebar di seluruh nusantara.
4) Kantor Wilayah DJP yang menangani Wajib Pajak menengah ke bawah
tingkat Kantor Wilayah. Kantor Wilayah yang umum ini juga tersebar di seluruh nusantara.
c. Kantor Pelayanan Pajak.
Karakteristik Kantor Pelayanan Pajak, yaitu :
1) Paradigma organisasi berdasarkan “fungsi”, bukan “jenis pajak”.
2) Bertanggung jawab melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan,
31
3) Merupakan penggabungan dari KPP, KPPBB, dan Karikpa, yang melayani
semua jenis pajak (PPh, PPN, bea materai, PBB dan BPHTB).
4) Pemeriksaan pajak hanya ada di KPP, dengan konsep spesialisasi.
5) Terdapat Account Representative (AR), yang tugasnya bertanggung jawab
untuk melayani dan mengawasi kepatuhan beberapa Wajib Pajak untuk setiap AR, dan sebagai pihak yang menjembatani antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak.
6) Penerapan Kode Etik Pegawai dan Komite Kode Etik Pegawai.
7) Adanya “help desk” dengan teknologi knowledge base di TPT (service
center).
8) Menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini.
9) Sumber daya manusia yang berkualitas tinggi
10) Sarana dan prasarana yang lebih baik.
11) Sistem penggajian dan renumerasi yang lebih baik.
12) Adanya “taxpayer’s bill of rights”.
Dalam implementasinya, ada 3 (tiga) jenis KPP modern, yaitu :
1) KPP Wajib Pajak Besar (Large Taxpayers Office, LTO).
KPP ini mengelola Wajib Pajak skala besar secara nasional dengan
32 PPh, PPN, PPnBM dan Bea Materai. Jumlah Wajib Pajaknya sudah tetap sekitar 200-300, yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, sehingga dalam kantor ini tidak ada lagi kegiatan ekstensifikasi. Kedudukan kantor ini hanya ada di Jakarta, dan hingga kini hanya terdapat 3 (tiga) kantor saja.
2) KPP Madya (Medium Taxpayers Office, MTO).
KPP ini mengelola Wajib Pajak besar jenis badan dalam skala regional (Lingkup Kantor Wilayah) dan juga terbatas jumlahnya. Jenis pajak yang dikelolanya hanya PPh, PPN, PPnBM, dan Bea Materai. Jumlah Wajib Pajaknya juga telah ditetapkan sekitar 200-500, sehingga dalam kantor ini kegiatan ekstensifikasi juga tidak dilakukan. Kedudukannya berada di beberapa Kantor Wilayah DJP di Indonesia.
3) KPP Pratama (Small Taxpayers Office, STO).
KPP ini mengelola Wajib Pajak Menengah ke bawah, yaitu jenis badan di luar yang telah dikelola oleh KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Madya, serta orang pribadi. Jenis pajak yang dikelolanya mencakup semua jenis pajak, yaitu PPh, PPN, PPnBM, Bea Materai, dan PBB. Jumlah Wajib Pajaknya dapat berubah seiring dengan pertambahan orang pribadi yang memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau melakukan kegiatan usaha di wilayah kerjanya. Dengan demikian, jenis wajib pajak yang dikelola terdiri atas orang pribadi, badan, maupun sebagai pemotong atau pemungut pajak (seperti bendaharawan instansi pemerintah).
33 Kedudukannya berada di seluruh Kantor Wilayah di Indonesia, kecuali Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Wajib Pajak Khusus.
Perkembangan Organisasi Kantor Pelayanan Pajak Modern :
Tabel 2 Keputusan Menteri Keuangan No.65/KMK.01/ 2002 Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.01/ 2004 Peraturan Menteri Keuangan No.132/PMK.01/ 2006
Subbagian Umum Subbagian Umum Subbagian Umum
Seksi
Administrasi Basis Data
Seksi Pengolahan Data dan Informasi
Seksi Pengolahan
Data dan Informasi
Seksi Pelayanan Seksi Pelayanan Seksi Pelayanan
Seksi Penagihan Seksi Penagihan Seksi Penagihan
Seksi
Pemeriksaan
Seksi Pemeriksaan Seksi
Pemeriksaan
34
dan Konsultasi dan Konsultasi dan Konsultasi
Seksi Ekstensifikasi Perpajakan Seksi ekstensifikasi Perpajakan Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok Jabatan Fungsional
Sumber : Modernisasi & Reformasi Pelayanan Perpajakan
II.2.6. Fasilitas Pelayanan Dalam Modernisasi Perpajakan
a. Tempat Pelayanan Terpadu (TPT).
Tempat ini merupakan tempat pelayanan perpajakan yang terintegrasi di KPP dengan menggunakan sistem komputer, yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak. Selain itu, juga memudahkan pengawasan terhadap proses pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak.
b. Account Representative.
Account Representative (AR) memiliki tugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban Wajib Pajak dan melayani penyelesaian hak Wajib Pajak. AR juga bertugas untuk memberikan semua informasi yang diperlukan dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib
35 Pajak secara efektif dan profesional, terutama mengenai Rekening Wajib Pajak (Taxpayers Account) untuk semua jenis pajak, kemajuan proses pemeriksaan dan restitusi, interpretasi dan penegasan atas suatu peraturan (ruling), perubahan data identitas Wajib Pajak, tindakan pemeriksaan dan penagihan pajak, kemajuan proses keberatan dan banding, perubahan peraturan yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan wajib pajak. Dengan demikian, AR berfungsi untuk menjembatani antara Wajib Pajak dengan KPP. Setiap AR akan diberikan tanggung jawab untuk memantau wajib pajak dalam areal tertentu. Dengan adanya AR, diharapkan pengawasan dalam perpajakan menjadi lebih efektif.
c. Help Desk.
Help Desk ini merupakan salah satu fasilitas yang diberikan, untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang terkadang dialami oleh masyarakat bila berhubungan dengan suatu kantor pajak termasuk instansi pemerintah. Fasilitas
ini biasanya dilokasikan di lobby gedung KPP atau TPT, dengan menempatkan
petugas yang dianggap cakap dan berpengetahuan tentang perpajakan. Masyarakat dapat menggunakan fasilitas ini untuk memperoleh segala informasi yang dibutuhkan mengenai perpajakan.
d. Media Informasi Pajak.
Fasilitas ini tidak hanya disediakan di KPP, melainkan juga terdapat di beberapa tempat lain yang strategis. Media Informasi Pajak merupakan suatu media yang berbentuk touch screen, yang disediakan untuk melayani kebutuhan Wajib Pajak atas informasi-informasi mengenai peraturan pajak yang berlaku,
36 seperti misalnya bagaimana cara untuk mengajukan diri sebagai Wajib Pajak.
e. Website.
Dalam era globalisasi ini, dimana penggunaan teknologi sudah semakin marak digunakan, dibuatlah suatu website perpajakan yang dikelola oleh DJP yang memiliki fungsi yang serupa seperti fasilitas yang dijelaskan sebelumnya, yaitu untuk memberikan informasi-informasi mengenai perpajakan dan peraturan perpajakan yang berlaku saat ini.
Beberapa diantara website tersebut yaitu :
1) http://www.pajak.go.id
2) http://www.kanwilpajakbesar.go.id
3) http://www.kanwilpajakkhusus.go.id
f. Complaint Center.
Fasilitas ini merupakan bentuk keterbukaan DJP untuk melakukan
perbaikan-perbaikan tugas terutama dalam hal pelayanan terhadap Wajib Pajak. Namun, fasilitas ini tidak melayani keluhan-keluhan mengenai penyimpangan ataupun pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pegawai, melainkan hanya terbatas pada keluhan atsa segala jenis pelayanan, pemerikasaan, keberatan, dan banding. Pegawai yang melakukan pelanggaran akan ditangani secara khusus oleh unit tersendiri.
37 g. Call Center.
Fungsi utama yang ditangani oleh call center adalah menyangkut
pelayanan dan penanganan complaint Wajib Pajak. Adapun keistimewaan dari
fasilitas ini adalah :
1)Sentralisasi penerimaan complaint dengan desentralisasi penanganan
complaint.
2)Penggunaan toll free number.
3)Dilengkapi dengan complaint management service.
h. E- Registration.
E-Registration merupakan Sistem Pendaftaran Wajib Pajak secara on-line, yaitu sistem pendaftaran dan atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
dengan menggunakan suatu sistem yang terhubung langsung secara on-line
dengan Direktorat Jenderal Pajak. Tujuan utama sistem ini adalah memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak untuk mendaftar setiap saat dan dimana saja, serta memberikan fasilitas terkini bagi Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri secara on-line dengan memanfaatkan teknologi internet.
Sistem ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sistem yang dipergunakan oleh Wajib Pajak yang berfungsi sebagai sarana pendaftaran Wajib Pajak
secara on-line dan sistem yang dipergunakan oleh Petugas Pajak yang
38 Dengan adanya aplikasi ini, maka Wajib Pajak dapat menghemat waktu dan tenaga karena dapat melakukan registrasi kapan saja dan dimana saja sepanjang terdapat koneksi internet dimana Wajib Pajak tersebut berada.
i. E-Filing.
E-Filing merupakan suatu cara penyampaian Surat Pemberitahuan yang dilakukan melalui sistem on-line dan real time melalui sebuah perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) dengan menggunakan internet, yaitu perusahaan ASP yang telah ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai perusahaan
yang dapat menyalurkan penyampaian SPT secara elektronik ke DJP.
Penggunaan E-Filing dimaksudkan untuk memberikan kelancaran bagi
pelayanan kepada wajib pajak dan juga untuk mengurangi kontak antara wajib pajak dengan petugas pajak.
Tujuan dari penggunaan E-Filing ini adalah untuk memberi
kemudahan kepada para Wajib Pajak, sehingga Wajib Pajak Pribadi dapat melakukan pelaporan SPT dari rumah atau tempatnya bekerja, sedangkan Wajib Pajak Badan dapat melakukannya dari lokasi kantor atau usahanya. Selain itu, dengan cepat dan mudahnya pelaporan pajak ini berarti juga akan memberikan dukungan kepada Kantor Pajak dalam hal percepatan penerimaan laporan SPT dan perampingan kegiatan administrasi, pendataan (juga akurasi data), distribusi dan pengarsipan laporan SPT.
Langkah-langkah untuk dapat menggunakan aplikasi E-filing yaitu sebagai berikut :
39 1) Mengajukan permohonan Electronic Filer Identification Number (EFIN).
2) Mengajukan permohonan mendapatkan Digital Certificate.
3) Memeriksa status permohonan dan meng-install Digital Certificate.
j. E-SPT.
Elektronik SPT (E-SPT) merupakan suatu aplikasi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang digunakan untuk mengadministrasikan data SPT yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan SPT. E-SPT dapat berbentuk pelaporan SPT melalui perusahaan Pelayanan Jasa Aplikasi (ASP) maupun SPT beserta lampiran-lampiranya dalam bentuk digital dan dilaporkan menggunakan media penyimpanan seperti disket, CD, flashdisk ke KPP dimana Wajib Pajak terdaftar. Dengan adanya E-SPT ini, maka Wajib Pajak cukup melaporkan E-SPT induk saja, sementara lampiran-lampirannya dilaporkan dalam bentuk file-file yang disimpan di media penyimpanan.
Perbedaan antara pelaporan SPT secara manual dengan pelaporan SPT secara E-SPT, yaitu :
1) Cara Pengisian.
Dalam melakukan pengisian SPT secara manual, dilakukan dengan cara memasukkan setiap data secara manual pada formulir SPT, kemudian Wajib Pajak diharuskan untuk dapat melakukan penghitungan jumlah pajak yang terutang. Jika Wajib Pajak tidak mengerti tentang
40 bagaimana melakukan penghitungan jumlah pajak yang terutang, maka dapat menyewa jasa konsultan pajak.
Sedangkan dalam melakukan pengisian SPT secara E-SPT, pengisian dilakukan dengan menggunakan komputer yang telah terpasang sistem aplikasi E-SPT. Sistem ini memiliki kemampuan untuk menghitung jumlah pajak yang terutang berdasarkan data yang telah diinput ke dalam sistem. Dalam melakukan pengisian SPT menggunakan E-SPT ini, hanya dibutuhkan seorang operator entry untuk memasukkan data ke dalam sistem aplikasi E-SPT dan kemudian sistem inilah yang akan menghitung secara otomatis jumlah pajak terutang yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
2) Cara Pelaporan.
Dalam pelaporan SPT secara manual, Wajib Pajak diharuskan untuk melaporkan induk SPT beserta lampiran-lampiran SPT dalam
bentuk hard copy secara langsung ke KPP. Sedangkan dalam pelaporan
SPT menggunakan E-SPT, Wajib Pajak hanya perlu melaporkan induk SPT saja, sementara lampiran-lampirannya dilaporkan dalam bentuk soft copy melalui media penyimpanan seperti disket, CD, dan sebagainya.
3) Pengendalian (control).
Dalam pelaporan SPT secara manual, diperlukan pengendalian yang ketat terhadap kinerja aparat pajak. Sedangkan dalam pelaporan
41 SPT secara E-SPT, pengendalian terhadap kinerja aparat pajak lebih rendah, tetapi diperlukan pengendalian terhadap teknologi yang digunakan.
4) Risiko.
Dalam pelaporan SPT secara manual, risiko yang dimiliki lebih tinggi, karena aparat pajak harus merekam ulang SPT yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak sehingga dapat terjadi kemungkinan jumlah SPT yang direkam oleh aparat pajak tidak sama dengan jumlah SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak. Sedangkan dalam pelaporan SPT secara E-SPT, dapat mengurangi risiko karena aparat pajak tidak perlu lagi melakukan perekaman ulang tetapi langsung memindahkan data SPT Wajib Pajak yang telah disimpan dalam media penyimpanan.
Adanya aplikasi E-SPT ini bertujuan untuk memudahkan Wajib Pajak dalam melakukan pelaporan SPT. Adapun kegunaan lain dari aplikasi E-SPT yaitu:
1) Perekaman data SPT beserta lampiran-lampirannya dan pembetulan atau
koreksi.
Sistem aplikasi E-SPT ini dapat digunakan untuk merekam data SPT beserta lampirannya dan dapat melakukan perhitungan-perhitungan secara otomatis pada saat perekaman. Dengan demikian, Wajib Pajak dapat secara langsung melakukan pembetulan ataupu
42 koreksi pada SPT induk maupun lampiran apabila terdapat kesalahan pemasukan data karena sistem ini memiliki fasilitas checking.
2) Pembuatan data digital SPT.
Data SPT dalam bentuk digital dan data digital akan dihasilkan oleh program aplikasi E-SPT, yang merupakan suatu data yang akan dilaporkan kepada KPP dalam bentuk media penyimpanan seperti CD atau flashdisk.
3) Cetak SPT.
Aplikasi ini memiliki fasilitas untuk mencetak SPT induk yang akan dilaporkan ke KPP dimana Wajib Pajak terdaftar.
Sebagaimana layaknya suatu sistem yang mulai digunakan, tentu aplikasi ini memiliki beberapa kelebihan maupun kekurangan, antara lain :
1) Kelebihan E-SPT :
a) Penyampaian E-SPT dilakukan secara aman.
Wajib Pajak hanya perlu membawa SPT induk ke KPP, sementara lampiran-lampirannya tersimpan ke dalam media penyimpanan. Hal ini menyebabkan tidak ada kemungkinan adanya lampiran SPT yang tidak terbawa atau tercecer.
b) Sistem aplikasi E-SPT mengorganisasikan data perpajakan
43
Dengan menggunakan aplikasi ini, Wajib Pajak dapat
menginput data SPT secara benar dan terorganisasi dengan baik karena sistem ini telah dibuat secara sistematis. Wajib Pajak hanya perlu memasukkan data keuangan dan secara otomatis sistem ini akan dapat menghasilkan data perpajakan yang lebih baik dan sistematis, juga dapat menghitung pajak terutang yang dimiliki oleh Wajib Pajak tersebut.
c) Mempermudah perhitungan pajak.
Operator entry yang akan mengisi SPT hanya perlu untuk menginput data SPT saja, kemudian secara langsung sistem aplikasi E-SPT akan melakukan penghitungan perpajakan secara otomatis.
d) Mempermudah dalam pembuatan laporan perpajakan.
Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat laporan dengan
lampirn yang bertumpuk-tumpuk, karena sistem ini memiliki kemampuan untuk membuat SPT dalam media penyimpanan (disket/CD) dengan format tertentu sehingga memudahkan Wajib Pajak dalam melaporkan SPT ke KPP. Software yang disediakan untuk pengisian laporan memiliki fasilitas checking yang dapat mengurangi kesalahan. Wajib Pajak juga dapat mengurangi biaya cetak lembar isian SPT karena kesalahan input dapat segera diperbaiki pada saat pengisian data.
44
2) Kekurangan E-SPT, yaitu kurangnya infrastruktur yang tersedia di
lingkungan KPP. Sistem ini membutuhkan infrastruktur yang bersifat fisik, seperti komputer dengan kualifikasi yang lebih tinggi, maupun infrastruktur yang bersifat non fisik, seperti kehandalan sumber daya manusia yang dimiliki.
k. E-Payment atau Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3).
Fasilitas lainnya yang memberi kemudahan bagi Wajib Pajak dan juga berfungsi mengurangi kontak langsung antara petugas pajak dengan Wajib
Pajak adalah melalui E-Payment. Melalui sistem pembayaran dengan
E-Payment ini, Wajib Pajak selain dapat langsung ke bank persepsi, juga dapat menyetorkan pajak dengan fasilitas phone banking, internet banking, standing instruction, atau ATM.
II.3. KEPATUHAN WAJIB PAJAK
Penerapan sistem self asessment di Indonesia, fungsi pengawasan
memiliki peran yang sangat penting, karena tanpa pengawasan dalam kondisi tingkat kepatuhan masyarakat Wajib Pajak masih rendah, dapat mengakibatkan sistem tersebut tidak berjalan dengan baik. Hal ini akan menyebabkan Wajib Pajak tidak menjalankan kewajibannya dengan benar, yang akan berakibat pada sektor penerimaan pajak negara.
45 perpajakannya bukanlah suatu hal yang mudah. Seperti yang dikemukakan oleh Brotodiharjo (1995) :
“Lepas dari kesadaran kewarganegaraan dan solidaritas nasional, lepas pula dari pengertiannya tentang kewajibannya terhadap negara, pada sebagian terbesar diantara rakyat tidak akan pernah meresap kewajibannya membayar pajak sedemikian rupa, sehingga memenuhinya tanpa menggerutu. Bahkan bila ada sedikit kemungkinan saja, maka pada umumnya mereka cenderung untuk meloloskan diri dari setiap pajak. Hal ini telah ternyata disegenap negara dan sepanjang masa.”
Dari pernyataan tersebut, kita dapat melihat bahwa di negara manapun di dunia, termasuk Indonesia, Wajib Pajak akan selalu berusaha meloloskan diri dari setiap kewajiban perpajakannya, baik secara legal (tax avoidance), maupun secara ilegal (tax evasion). Itulah sebabnya sejak diterapkan sistem self assessment, tugas fiskus bukan hanya sebagai penentu besarnya pajak terutang, tetapi juga melakukan tugas-tugas penyuluhan, pembinaan, dan pengawasan.
Beberapa pengertian mengenai kepatuhan Wajib Pajak, yaitu :
1. Menurut Safri Nurmantu, Dr., drs., Msi :
“Kepatuhan Wajib Pajak didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.”
46
“Kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib
Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam membayar tunggakan.”
3. Menurut Gunadi :
“Kepatuhan Wajib Pajak adalah Wajib Pajak yang mempunyai
kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu dilakukan pemeriksaan, investigasi, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.”
Dari beberapa pengertian di atas, dapat terlihat bahwa kepatuhan
merupakan pelaksanaan atas kewajiban untuk menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perpajakan.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi kesadaran dan kepatuhan dari
Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya adalah :
1. Tarif pajak.
2. Pelaksanaan penagihan pajak.
3. Ada tidaknya sanksi bagi pelanggar.
4. Pelaksanaan sanksi secara konsisten, konsekuen dan tanpa pandang bulu.
Sementara indikator yang digunakan dalam mengukur kepatuhan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
47
1. Kepatuhan Formal, yang dapat diukur dengan menilai :
a. Kepatuhan dalam mendaftarkan diri.
b. Kepatuhan dalam meyetor.
c. Kepatuhan dalam melapor.
2. Kepatuhan material.
Kepatuhan material jauh lebih penting, karena secara formal mungkin saja Wajib Pajak memperlihatkan kepatuhan, tetapi apa yang disetorkan maupun dilaporkan oleh Wajib Pajak belum tentu sesuai dengan apa yang seharusnya. Indikator yang dapat dipakai untuk mengukur kepatuhan material adalah hasil pemeriksaan.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 192/PMK.03/2007, Wajib Pajak dimasukkan dalam kategori Wajib Pajak patuh, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Wajib pajak tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).
2. Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak
kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.
48
Dalam rangka upaya meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak,
langkah-langkah perbaikan administrasi diharapkan dapat mendorong kepatuhan Wajib Pajak melalui :
1. Wajib Pajak patuh karena mendapatkan pelayanan yang baik, cepat, dan
menyenangkan serta pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
2. Wajib pajak akan patuh karena mereka berpikir bahwa mereka akan
mendapatkan sanksi yang berat akibat pajak yang tidak mereka laporkan terdeteksi oleh sistem informasi dan administrasi perpajakan.
Menerapkan Sistem Administrasi Perpajakan Modern, salah satunya dengan penerapan E-SPT, merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Diharapkan kemudahan-kemudahan yang didapatkan oleh Wajib Pajak akan mendorong peningkatan kepatuhan dari para Wajib Pajak.
II.4. STATISTIKA
II.4.1. Penentuan Jumlah Sample
Dalam suatu penelitian, terdapat kecenderungan bahwa jumlah sampel minimun yang digunakan sebanyak 30 sampel. Hal ini terjadi karena ketika jumlah sampel mencapai 30, maka distribusi sampel yang terbentuk mendekati asumsi distribusi normal. Semakin besar jumlah sampelnya, maka akan semakin normal distribusinya.
49 Pada saat jumlah sampel 30 atau lebih, maka kurva lonceng yang terbentuk akan sempurna. Namun jika jumlah sampel kurang dari 30, maka kurva lonceng yang dihasilkan bisa bergelombang atau miring.
II.4.2. Teori McNemar
Teori McNemar digunakan dalam statistik non parametrik yang mensyaratkan adanya skala pengukuran data nominal atau kategori binary (seperti 1 untuk “tidak” dan 0 untuk “ya”). Pada umumnya McNemar menggunakan tabel kontingensi (tabel 2x2 atau tabel 2 baris dan 2 kolom). Uji McNemar sangat cocok untuk penelitian yang bersifat “before” dan “after”. Dengan kata lain,hipotesis pada penelitian merupakan perbandingan antara nilai sebelum dan sesudah diberi perlakuan.
Uji McNemar berdistribusi chi-square (X2), maka dari itu statistik uji yang digunakan adalah :
dengan derajat bebas = 1, dimana :
O1 = banyaknya kasus yang diamati