BAB II
KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka
1. Perpajakan a. Definisi Pajak
Menurut Rachmat Soemitro yang dikutip dalam buku Mardiasmo (2011:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestrasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran.
M.J.H. Smeets dikutip oleh Ilyas & Burton (2011:6), mendefinisikan pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Sedangkan menurut Waluyo (2013:3) mendefinisikan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Dalam Undang-Undang Perpajakan No. 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat (1) Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang – Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan definisi-definisi pajak diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pajak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupu pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dan pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak adalah suatu kewajiban dari rakyat untuk menyerahkan sebagian dari harta kekayaan ke kas Negara, sesuai dengan keadaan dan kedudukan tertentu menurut peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, yang dapat di paksakan, tanpa adanya jasa timbal balik dari pemerintah (kontraprestasi) dan digunakan untuk kesejahteraan umum.
b. Fungsi Pajak
Dalam literatur pajak sering disebutkan mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu budgeter dan regulerend. Namun dalam perkembangannya, fungsi pajak tersebut dapat dikembangkan dan ditambah 2 (dua) fungsi lagi, yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi (Ilyas & Burton, 2011:12). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tertulis secara umum ada empat fungsi pajak, yaitu:
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Fungsi yang terletak di sektor publik, yaitu untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan untuk investasi pemerintah. Sebagai sumber keuangan Negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
2. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Fungsi ini umunnya dapat dilihat pada sektor swasta.
Beberapa contoh penerapan Pajak sebagai fungsi pengatur adalah: a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Pengenaan Pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengkonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah). b. Tarif Pajak progresif dikenakan atas penghasilan, dimaksud agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapat.
c. Tarif Pajak ekspor sebesar 0% dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa Negara.
d. Pajak penghasilan dikenakan atas peneyerahan barang hasil industri tertentu seperti industri semen, industri rokok, industri baja dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut karena dapat mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan).
e. Pembebanan Pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi, dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia.
f. Pemberlakuan tax holiday dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia.
3. Fungsi Demokrasi
Pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang apabila seseorang telah melakukan kewajibannya membayar pajak kepada negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah.
4. Fungsi Redistribusi
Fungsi yang lebih menenkankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini dapat terlihat, misalnya dengan adanya tarif progresif yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih sedikit (kecil).
c. Jenis-Jenis Pajak
Terdapat berbagai jenis Pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu pengelompokkan menurut sifat, sasaran/objeknya dan lembaga pemungutnya. Menurut Siti resmi (2011;6) jenis pajak dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu menurut Golongan, Sifat dan menurut lembaga pemungutnya.
1. Menurut Golongan
Pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain atau pihak lain, serta dikenakan secara berulang-ulang pada waaktu tertentu. Contoh Pajak Penghasilan (PPh). PPh dibayar atau ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang memperoleh penghasilan.
b. Pajak tidak langsung adalah Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja. Pajak tidak langsung terjadi terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya Pajak. Contoh Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN terjadi karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang atau jasa. Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak yang
menjual barang tetapi dapat dibebankan kepada konsumen baik secara eksplisit maupun implisit (dimasukkan dalam harga jual barang atau jasa).
Untuk menentukan apakah sesuatu termasuk Pajak langsung atau tidak langsung dalam arti ekonomis yaitu dengan cara melihat ketiga unsur yang terdapat dalam kewajiban pemenuhan perpajakannya. Ketiga unsur tersebut terdiri atas:
1) Penanggungjawab Pajak adalah orang yang secara formal yuridis diharuskan melunasi Pajak.
2) Penanggung Pajak adalah orang yang dalam faktanya memikul terlebih dahulu beban Pajaknya.
3) Pemikul Pajak adalah orang yang menurut Undang-undang harus dibebani Pajak.
Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang maka pajaknya disebut pajak langsung sedangkan jika ketiga unsur tersebut terpisah atau terdapat pada lebih dari satu orang maka pajaknya disebut Pajak Tidak Langsung.
a. Menurut Sifat
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Pajak Subyektif, adalah jenis Pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (Subjeknya). Setelah diketahui keadaan
subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). Dalam PPh terdapat Subjek Pajak (Wajib Pajak) orang pribadi. Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (status perkawinan, banyaknya anak dan tanggungan lainnya). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena Pajak.
2. Pajak Objektif adalah jenis Pajak yang di kenakan pertama-tama memperhatikan atau melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar Pajak. Setelah diketahui objeknya barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
b. Menurut Lembaga Pemungutan
1. Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutan Pajak pusat dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Contoh: PPh, PPN, dan PPnBM.
2. Pajak daerah adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaanyasehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Hasil dari pemungutan Pajak daerah dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Contoh: Pajak Provinsi meliputi Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor serta Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Pajak Kabupaten/Kota meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dan Pajak Parkir.
d. Tarif Pajak
Struktur tarif yang berhubungan dengan pola perentase tarif pajak dikenal empat macam tarif, yaitu: (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2013)
1. Tarif Pajak Proporsional/Sebanding, yaitu persentase tetap terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak, contohnya tariff 10% untuk PPN.
2. Tarif Progresif, yaitu tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar.Misalnya tariff PPh.
3. Tarif Pajak Degresif, yaitu pajak yang persentasenya semakin menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar.
4. Tarif Pajak Tetap, dalam tarif ini ditetapkan tarif dengan jumlah yang tetap (sama besarmya) terhadap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contohnya tarif Bea Materai. e. Asas-Asas Pemungutan Pajak
Menurut Waluyo (2013:15) untuk mencapai tujuan pemungutan Pajak perlu memegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya, sehingga terdapat keserasian pemungutan Pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan Pajak tertentu. Asas pemungutan Pajak dapat pula dibagi dalam beberapa asas yaitu:
1. Asas menurut Falsafah Hukum
Hukum pajak harus berdasarkan pada keadilan. Selanjutnya keadilan ini sebagai asas pemungutan pajak.Untuk menyatakan keadilan kepada hak negara untuk memungut pajak, muncul beberapa teori dasar, sebagai berikut :
a. Teori Asuransi b. Teori Kepentingan c. Teori Gaya Pikul d. Teori Baksi
e. Teori Asas Daya Beli 2. Asas Yuridis
Untuk menyatakan suatu keadilan. Hukum pajak harus memberikan jaminan hukum kepada negara atau warganya.Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang.Landasan hukum pemungutan pajakdi Indonesia adalah Pasal 23A Amademen Undang-Undang Dasar 1945.
3. Asas Ekonomi
Asas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.
4. Asas Pemungutan Pajak Lainnya
Terdapat tiga asas yang digunakan untuk memungut pajak dalam pajak penghasilan, yaitu sebagai berikut :
a. Asas Tempat Tinggal b. Asas Kebangsaan c. Asas Sumber
f. Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan Pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka menurut Mardiasmo (2011:17) pemungutan Pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Pemungut Pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, Undang-Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan Pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan Pajak harus berdasarkan Undang-Undang (syarat Yuridis)
Di Indonesia, Pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik Negara maupun warganya.
1. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
Pemungutan Pajak harus efisien (syarat financial)
2. Sesuai dengan budgetier, biaya pemungutan Pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. 3. Sistem pemungutan Pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dalam mendorong masyarakat untuk memenuhi kewajiban Perpajaknnya. Syarat ini telah dipenuhi oleh Undang-Undang Perpajakan yang baru.
Contoh: Bea Materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif, Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif.
g. Sistem Pemungutan Pajak
1. Official Assessment System
Sistem ini merupakan system pemungutan pajak yang member kewenangan Pemeintah (Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
2. Self Assessment System
Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang member wewenang, kepercayaan, tanggungjawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayarnya ke Kantor Pelayanan Pajak. 3. Witholding System
Sistem ini merupakan system pemungutan pajak yang member wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
h. Hambatan Pemungutan Pajak
Mengingat betapa pentingnya peran masyarakat untuk membayar Pajak dalam peran sertanya menanggung pembiayaan negara, maka dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban kenegaraan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada sebagian masyarakat terdapat keengganan memenuhi kewajiban Perpajakan, dalaam hal demikian timbul perlawanan terhadap Pajak. Perlawanan terhadap Pajak dapat dibedakan menjadi perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Menurut
Mardiasmo (2011:17), hambatan terhadap pemungutan Pajak dapat dikelompokan menjadi:
1. Perlawanan pasif
Masyarakat tidak bersedia memenuhi kewajiban perpajaknnya sebagaimana mestinya yang dapat disebabkan antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat b. Sistem Perpajakan yaang sulit dipahami
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari Pajak. Bentuknya antara lain:
a. Penghindaran diri dari Pajak (Tax Avoidance) yaitu usaha meringankan beban Pajak dengan tidak melanggar Undang-Undang
b. Pengelakan diri dari Pajak (Tax Evasion) yaitu usaha meringankan Pajak dengan caara melanggar Undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari Pajak ataau mengurangi dasar pengenaannya, namun tidak dipungkiri bahwa sebagian masyarakat terdapat keengganan memenuhi kewajiban perpajakannya.
i. Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak NonEfektif 1. Wajib Pajak
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu (Suandy, 2008:89). Wajib pajak dibedakan menjadi empat, yaitu:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi
Wajib Pajak orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran Pajak dan pemungutan Pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Wajib Pajak Badan
Wajib Pajak badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti firma, organisasi, kongsi, dana pensiun persekutuan, perkumpulan, yayasan, massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis lembaga bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana, asosiasi, persatuan, penghimpunan,
atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
c. Wajib Pajak Bendaharawan
Wajib Pajak bendaharawan pemerintah adalah bendaharawan pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan.
d. Wajib Pajak Patuh
Wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang diterapkan oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) sebagai wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat diberikan pengambilan pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Wajib pajak patuh berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/PMK/.03/2007 adalah wajib pajak yang memenuhi persyaratan antara lain tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan, tidak
mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah persetujuan dari pihak otoritas pajak untuk menunda pembayaran pajak, laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat “Wajar Tanpa Pengecualian” selama tiga tahun berturut-turut, dan tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu lima tahun terakhir.
2. Wajib Pajak Efektif dan Wajib Pajak NonEfektif
Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-89/PJ/2009 ditegaskan bahwa agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang dapat menyulitkan administrasi maka perlu diberikan penegasan bahwa administrasi pajak hanya mengenal istilah– istilah wajib pajak efektif dan wajib pajak non efektif dengan pengertian sebagai berikut.
a. Wajib pajak efektif adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya berupa memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan atau Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sebagaimana mestinya.
b. Wajib pajak non efektif adalah wajib pajak yang tidak melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya baik berupa pembayaran maupun penyampaian SPT Masa dan atu SPT Tahunan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang–Undangan Perpajakan yang nantinya dapat diaktifkan kembali. Sebagaimana telah ditegaskan dalam surat edaran Direktorat Jendral Pajak Nomor SE-89/PJ/2009, wajib pajak non efektif adalah sebagai berikut.
1. Selama tiga tahun berturut–turut tidak pernah melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan baik berupa pembayaran pajak maupun penyampaian SPT Masa dan atau SPT Tahunan. 2. Wajib pajak yang sudah meninggal dunia/bubar
tetapi belum ada surat keterangan resminya. 3. Tidak diketahui atau ditemukan lagi alamatnya. 4. Wajib pajak secara nyata tidak menunjukan
kegiatan usahanya.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan wajib pajak efektif adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakannya yang tercermin dari pemenuhan penyampaian SPT Masa dan atau SPT Tahunan. Wajib pajak
non efektif adalah wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yang tercermin dari tidak dipenuhinya kewajiban penyampaian SPT Masa dan atau SPT Tahunan tersebut.
j. Kepatuhan Wajib Pajak
1. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi, yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai kebenarannya.
Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak (2010:138) (Moh.Zain:2004) dalam Siti Kurnia Rahayu adalah:
“Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana:
a. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar, d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.” Menurut Chaizi Nasucha, dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:139) mengatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasikan dari:
“Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk melaporkan kembali surat pemberitahuan, kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan”
Kepatuhan Wajib Pajak merupakan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh pembayar pajak dalam rangka memberikan kontribusi bagi pembangunan dewasa ini yang diharapkan di dalam pemenuhannya diberikan secara sukarela. Kepatuhan wajib pajak menjadi aspek penting mengingat sistem perpajakan Indonesia menganut sistem Self Asessment di mana dalam prosesnya secara mutlak memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melapor kewajibannya.
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 yang dikutip oleh Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006:112) , menyatakan bahwa:
“Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentun peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu Negara.”
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang sadar akan pajak, paham atas
hak dan kewajiban perpajakannya, dan diharapkan peduli pajak yaitu melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar serta tepat waktu dalam melaporkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT).
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:138), menjelaskan ada dua jenis kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material:
“Ada dua macam kepatuhan yaitu:
1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan
2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan”.
2. Surat Himbauan
a. Pengertian Surat Himbauan
Pasal 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-170/PJ/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konseling Terhadap Wajib Pajak Sebagai Tindak Lanjut Surat Himbauan menyebutkan bahwa surat himbauan adalah surat yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan hasil penelitian internal untuk meminta klarifikasi kepada wajib pajak terhadap adanya dugaan belum dipenuhinya kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sebelum Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-170/PJ/2007 dihapus, klarifikasi data dilakukan oleh Seksi Pengawasan dan Konsultasi (Waskon) melalui Account Representative (AR), dengan mengirimkan surat himbauan, kemudian konseling dan pada akhirnya kasus dinyatakan selesai dengan pembetulan oleh wajib pajak, verifikasi, serta usulan pemeriksaan maupun usulan pemeriksaan bukti permulaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Secara umum Surat Himbauan berisi uraian mengenai dugaan kewajiban perpajakan yang menurut KPP belum seutuhnya dipenuhi oleh Wajib Pajak. Uraian dugaan tersebut dapat disampaikan secara kuantitatif (perhitungan numerik) atau kualitatif (penjelasan deskriptif). Dalam hal ini Surat Himbauan memberikan uraian secara kuantitatif maka didalam Surat Himbauan tersebut disampaikan penjelasan dalam bentuk angka dan perhitungan-perhitungan dengan informasi akhir berupa potensi kewajiban pajak yang masih harus dipenuhi oleh Wajib Pajak. Perhitungan tersebut bersumber dari data yang dimiliki oleh KPP.
Sementara Surat Himbauan yang menyampaikan dugaan secara deskriptif hanya memuat informasi mengenai kewajiban perpajakan yang diduga belum dipenuhi oleh Wajib Pajak seperti: klarifikasi status
pelaporan SPT Tahunan/ Masa, klarifikasi status pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), atau klarifikasi kepemilikan NPWP.
b. Proses diterbitkannya Surat Himbauan
Berikut gambar proses diterbitkannya Surat Himbauan oleh KPP:
Gambar 2.1 Proses diterbitkannya Surat Himbauan Sumber : KPP Pratama Jakara Setiabudi Dua
Proses yang dilakukan oleh KPP adalah sebagai berikut:
1. Melakukan inventarisasi atas Profil Wajib Pajak Wajib SPT dari profil Wajib Pajak yang wajib dibuat.
2. Menyempurnakan profil Wajib Pajak Wajib SPT sesuai dengan data terbaru/terkini sebagai tambahan data yang telah diperoleh.
3. Melakukan penelitian kembali atas data permanen dalam Profil Wajib Pajak Wajib SPT sesuai dengan data dan informasi terkait dengan Wajib Pajak yang diperoleh dari berbagai pihak.
4. Menganalisis data dan informasi dari hasil pengujian data permanen, data akumulatif dan data lainnya dalam Profil Wajib Pajak Wajib SPT untuk menentukan Wajib Pajak yang akan dihimbau serta penggalian dan penghitungan potensi pajaknya.
5. Menginventarisir perbedaan data dan informasi antara SPT dengan profil Wajin Pajak, serta menghitung besarnya potensi pajak.
6. Meyakinkan kebenaran data di atas sebagai dasar penerbitan surat himbauan kepada Wajib Pajak.
8. Menetapkan jumlah Surat Himbauan yang akan diterbitkan dan dikirimkan kepada Wajib Pajak dengan jumlah paling sedikit sebagaimana target yang telah ditetapkan.
9. Mengirimkan surat konfirmasi data dan/atau himbauan melakukan pembetulan SPT kepada Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan SPT .
10. Memonitor tindak lanjut serta respon dari Wajib Pajak atas surat himbauan yang telah dikirimkan.
11. Membuat administrasi pengawasan atas surat himbauan yang telah dikirimkan dan pembetulan SPT yang disampaikan Wajib Pajak.
Setelah itu untuk menjaga dan melihat perkembangan diatas maka Kanwil DJP akan melakukan antara lain :
1. Mengawasi pembuatan profil WP yang wajib dibuat oleh setiap KPP;
2. Memberikan asistensi kepada KPP dalam menganalisis profil WP, sehingga menghasilkan data yang berkualitas sebagai dasar untuk menerbitkan Surat Himbauan;
3. Mengawasi pelaksanaan penerbitan dan pengiriman Surat Himbauan serta pembetulan SPT yang disampaikan WP;
4. Memantau pencapaian target penerbitan dan pengiriman Surat Himbauan serta pembetulan SPT yang disampaikan WP.
3. Surat Permintaan Penjelasan atas Data atau Keterangan (SP2DK) a. Pengertian Surat Permintaan Penjelasan atas Data atau
Keterangan (SP2DK)
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2015 tentang Pengawasan Wajib Pajak Dalam Bentuk Permintaan Penjelasan Atas Data dan/atau Keterangan dan Kunjungan (Visit) Kepada Wajib Pajak, menyebutkan bahwa SP2DK adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada wajib pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Data dan/atau Keterangan adalah data dan/atau informasi yang diperoleh atau dimiliki Direktur Jenderal Pajak dari sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak, Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak, alat keterangan, hasil Kunjungan (Visit), Data dan/atau Keterangan dari pihak Instansi, Lembaga, Asosiasi atau Pihak Lain (ILAP), hasil pengembangan dan analisis atas Informasi, Data, Laporan dan Pengaduan (IDLP), internet dan data dan/atau informasi lainnya. Kegiatan untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan dilaksanakan dalam bentuk Kunjungan
(Visit) kepada wajib pajak, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Account Representative (AR), Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan atau Tim Visit.
Klarifikasi data merupakan hal yang sering dilakukan KPP untuk meminta atau membuktikan data yang dimiliki KPP yang diduga belum dilaporkan WP dalam SPT Masa maupun SPT Tahunannya. Sebelum Per-170 dihapus, klarifikasi data dilakukan oleh Seksi Pengawasan dan Konsultasi (Waskon) melalui Account Representativenya, dengan mengirimkan surat himbauan, kemudian konseling dan pada akhisrnya kasus dinyatakan selesai dengan pembetulan SPT oleh WP, usulan SKPKB Verifikasi, Usulan Pemeriksaan maupun usulan pemeriksaan bukti permulaan.
b. Proses Pengawasan melalui SP2DK
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan terbaru (PMK), Nomor : 206/PMK.01/2014, Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak, tugas pengawasan WP lama diberikan kepada Seksi Waskon II, III & IV, sedangkan untuk pengawasan WP baru diberikan kepada Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan. Pengawasan yang dilakukan oleh KPP melalui seksi waskon maupun seksi ekstentifikasi dan penyuluhan sesuai SE-39/PJ/2015, perlu diketahui oleh Wajib Pajak, sehingga dapat meminimalisir risiko. Langka pengawasan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.2 Proses Pengawasan SP2DK
1. Data Internal dan Eksternal;
Data internal dan eksternal, seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, menjadi alat bagi KPP dalam mengawasi WP. Setiap data yang ada, dimasukkan dalam Profil WP.
2. Analisa Data;
Sesuai Profil WP, AR akan melakukan analisa, apakah terdapat perbedaan baik berdasarkan perbandingan data internal yang dimiliki WP maupun data eksternal yang ada. Analisa data internal maupun eksternal dibandingkan, apakah data yang dilaporkan telah sesuai dengan kegiatan usaha yang sebenarnya.
a. Profil WP;
Setiap AR diwajibkan membuat Profil WP yang berada di bawah pengawasannya, hal ini dilakukan untuk mengenal lebih mendalam sehingga dapat diketahui kegiatan usaha WP.
b. SP2DK;
Hasil Analisa data, apabila terdapat dugaan terdapat kewajiban pajak yang belum dilakukan, akan dibuat SP2DK untuk meminta klarifikasi kepada WP.
1. Melalui Pos/Jasa Kurir/Faksimili;
SP2DK dikirimkan oleh KPP melalui pos/kurir atau faksimili apabila terkendala dengan jarak dan waktu.
Tanggal yang berlaku adalah tanggal yang lebih dulu disampaikan antara tanggal stempel pos, tanggal yang tercantum pada bukti pengiriman, atau tanggal faksimili.
2. Kunjungan/Visit
SP2DK dapat dikirimkan langsung dengan melakukan kunjungan (visit) ke lokasi kegiatan usaha WP dengan tujuan:
1. meminta penjelasan atas Data dan/atau Keterangan dalam rangka penggalian potensi pajak;
2. memutakhirkan data perpajakan Wajib Pajak;
3. memberikan pembinaan berupa bimbingan penyuluhan dan konsultasi kepada Wajib Pajak; dan/atau
4. melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Tanggal yang berlaku adalah tanggal disampaikan SP2DK secara langsung oleh KPP.
3. Tanggapan;
SP2DK yang dikirimkan melalui pos/kurir/faksimili maupun langsung melalui kunjungan, memiliki batas waktu 14 hari sejak tanggal berlaku di atas, dan WP diminta untuk memberikan tanggapan baik secara langsung maupun tertulis.
a. Tanggapan Secara Langsung
Tanggapan secara langsung adalah dengan mendatangi KPP sesuai SP2Dk yang dikirimkan, apakah ke Seksi Waskon II, III atau IV maupun ke Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan.
1. WP membawa dokumen dan bukti pendukung, untuk menyanggah atau mengakui kebenaran data
2. Atas tanggapan tersebut, dituangkan dalam Berita Acara Pelaksanaan Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan kepada WP (selanjutnya disebut BA Pelaksanaan Permintaan Penjelasan). Dilakukan langkah penelitian dan analisa lebih lanjut terhadap dokumen dan bukti pendukung yang disertakan dalam tanggapan ini.
3. Apabila WP menolak menandatangani BA Pelaksanaan Permintaan Penjelasan, maka dituangkan dalam Berita Acara Penolakan Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan kepada WP (selanjutnya disebut BA Penolakan Permintaan Penjelasan).
4. Oleh AR/Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan dibuatkan LHP2DK dengan memberikan rekomendasi tindak lanjut antara lain usulan atau tindakan verifikasi, pemeriksaan, atau usulan pemeriksaan bukti permulaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
a. Tanggapan Tertulis
Tanggapan tertulis dapat berupa:
1. Wajib Pajak menyampaikan SPT atau SPT pernbetulan untuk melaporkan Data dan/atau Keterangan sesuai dengan permintaan penjelasan dalam SP2DK, atau 2. Wajib Pajak menyampaikan penjelasan tertulis yang
mengakui atau menyanggah kebenaran Data dan/atau Keterangan disertai dengan bukti dan/atau dokumen pendukung. Dilakukan langkah penelitian dan analisa lebih lanjut terhadap dokumen dan bukti pendukung yang disertakan dalam tanggapan ini
b. Tidak memberikan Tanggapan
Dalam hal SP2DK tidak ditanggapi dalam jangka waktu 14 hari, maka KPP akan melakukan:
1. memberikan perpanjangan jangka waktu permintaan penjelasan atas Data dan/atau Keterangan kepada Wajib Pajak berdasarkan pertimbangan tertentu, yaitu :
a. pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan jarak, waktu, biaya, dan lainnya; dan/atau
b. pertimbangan keadaan kahar (force majeur) yang menyebabkan WP dalam keadaan sebenarnya
nyata-nyata tidak dapat memberikan tanggapan dalam jangka waktu yang ditentukan;
2. melakukan Kunjungan (Visit) kepada Wajib Pajak; atau 3. mengusulkan agar terhadap Wajib Pajak dilakukan
verifikasi, pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
4. Dalam hal Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan setelah berakhirnya batas waktu pemberian tanggapan maka AR/Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan membuat Berita Acara Tidak Dipenuhinya Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (selanjutnya disebut BA Tidak Dipenuhinya Permintaan Penjelasan). c. Analisa Tanggapan WP, Dapat Dijawab, Dibayar,
Pembetulan
Tanggapan WP baik yang didapat secara langsung maupun tertulis, dilakukan penelitian dan analisa lebih lanjut untuk membuktikan kebenarannya.
Penelitian dan analisa dilakukan dengan membandingkan unsur-unsur sebagai berikut:
1. Data dan/atau Keterangan yang dimiliki dan/atau diperoleh DJP;
2. Data dan/atau Keterangan dalam tanggapan yang disampaikan Wajib Pajak beserta bukti atau dokumen pendukungnya; dan
3. pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilakukan Wajib Pajak.
Apabila berdasarkan penelitian dan analisis terhadap Data dan/atau Keterangan yang dimiliki dan/atau diperoleh sebagaimana KPP belum dapat menyimpulkan kebenaran Data dan/atau Keterangan serta belum dapat merekomendasikan tindak lanjut yang akan dilakukan, maka Kepala KPP berwenang meminta kembali penjelasan atas Data dan/atau Keterangan kepada WP dalamjangka waktu 14 (empat belas) hari setelah jangka waktu permintaan pertama berakhir.
Hasil penelitian dan analisa lebih lanjut terhadap tanggapan WP, dihasilkan rekomendasi yang dituangkan dalam LP2DHK sebagai berikut :
1. Usulan Kasus Selesai
a. Apabila dokumen pendukung yang diberikan saat tanggapan, telah sesuai dengan data yang diklarifikasi pada SP2DK, maka kasus dianggap selesai dan dituangkan dalam LP2DHK b. Apabila terdapat kewajiban untuk menyampaikan atau membetulkan SPT Masa/Tahunan sesuai hasil analisa, maka
dilakukan pengawasan penyampaian SPT atau SPT pembetulan terhadap WP yang bersangkutan.
2. Usulan Kasus dilakukan Verifikasi, Pemeriksaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan
Usulan ini dilakukan dengan kondisi sebagai berikut : a. Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan;
b. Wajib Pajak menyampaikan tanggapan secara langsung, namun Wajib Pajak menolak menandatangani BA Pelaksanaan Permintaan Penjelasan;
c. Wajib Pajak memberikan tanggapan secara langsung maupun tertulis, berupa penjelasan atas Data dan/atau Keterangan yang sesuai dengan simpulan hasil penelitian dan analisis, namun Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau SPT pembetulan;
d. Wajib Pajak memberikan tanggapan secara langsung maupun tertulis, dengan menyampaikan SPT atau SPT pembetulan dengan perhitungan pajak yang terutang tidak sesuai dengan simpulan hasil penelitian dan analisis;
e. Wajib Pajak memberikan tanggapan dengan penjelasan atas Data dan/atau Keterangan tidak sesuai dengan simpulan hasil penelitian dan analisis, dan Wajib Pajak tidak mengakui
kebenaran Data dan/atau Keterangan hasil penelitian dan analisis; atau
f. Pertimbangan lain berdasarkan kewenangan Direktorat Jenderal Pajak.
3. Verifikasi, Usulan Pemeriksaan atau Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Sesuai dengan penjelasan di atas, Verifikasi, Usulan Pemeriksaan dan Usulan Bukti Permulaan, menjadi langkah akhir dari kegiatan KPP dalam analisa data, karena hasil akhir dari verifikasi dan pemeriksaan adalah ketetapan pajak, dan pemeriksaan bukti permulaan dapat berupa penahanan WP karena adanya unsur pidana.
a. Verifikasi
Verifikasi dalam hal ini adalah dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Kurang Bayar (SKPKB) dan/ Tambahan (SKPKBT) sesuai PMK-146/PMK.03/2012. Penerbitan SKPKB/SKPKBT melalui verifikasi adalah apabila terdapat data konkret yang dijelaskan lebih lanjut sub bab berikut. b. Usulan Pemeriksaan atau Usulan Pemeriksaan Bukti
Permulaan
Usulan Pemeriksaan dilakukan terhadap data yang menurut analisa kurang atau tidak konkret.
Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan apabila dalam analisa terdapat indikasi penyalahgunaan terkait pidana.
4. Account Representative
Menurut Jhon Hutagaol (2007: 22) pengertian Account Representative di lingkungan Direktorat Jendral Pajak adalah:
”Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang diberi kepercayaan, wewenang, dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan, pembinaan, dan pengawasan secara langsung kepada Wajib Pajak tertentu”.
Sedangkan Menurut Ricard Burton dalam Siti Resmi (2008:239) Account Representative adalah:
”Secara khusus petugas pajak dengan sebutan AR lebih fokus pada pekerjaan berupa:
a. menganalisa dan memonitor kepatuhan pembayaran pajak setiap Wajib Pajak yang diawasinya (seperti Tax peyer profile/ company profile);
b. membantu mempercepat proses permohonan surat keterangan yang diperlukan Wajib Pajak;
c. memonitor penyelesian pemeriksaan pajak dan proses keberatannya; d. menjawab pertanyaan Wajib Pajak atas permasalahan perpajakan
Account Representative dapat disebut juga sebagai staf pendukung pelaksana dalam tiap Kantor Pelayanan Pajak Modern, bertanggung jawab dalam menganalisa dan memonitor kepatuhan Wajib Pajak melalui penyampaian SPT yang harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan pajak dan berwenang untuk memberikan respon yang efektif, tepat dan benar atas pertanyaan dan permasalahan yang disampaikan Wajib Pajak dalam pelaksanaan kewajibannya, memberikas edukasi kepada Wajib Pajak, asistensi secara langsung, serta mendorong, memofitasi dan mengawasi pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak yang menjadi tanggung jawab Account Representative.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Kinerja Account Representative adalah hasil tingkat keberhasilan dari tugas-tugas yang di lakukan oleh pegawai pajak yang ditujuk oleh Dirjen Pajak yang bekerja pada kantor pelayanan pajak yang sudah menerapkan sistem perpajakan modern.
5. Efektivitas
a. Pengertian Efektivitas
Menurut kamus besar bahasa Indonesia keefektivan adalah keadaan berpengaruh, keberhasilan tentang usaha atau tindakan. Sedangkan efektivitas menurut Jones dan Pendlebury (1996), adalah suatu ukuran keberhasilan atau kegagalan dari organisasi dalam mencapai suatu tujuan. Mardiasmo (2009:134) efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya
suatu organisasi mencapai tujuannya. Menurut Sudarmayanti (1999) dalam Imam (2003:145) mendefinisikan efektivitas adalah untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan secara tepat dalam arti target tercapai sesuai dengan waktu yang ditetapkan dengan menggunakan sumberdaya dan sarana yang ada.
Sedangkan menurut Amin Widjaja Tunggal (1997) dalam Imam (2003:145) efektivitas berhubungan dengan penentuan apakah tujuan perusahaan sudaah tercapai. Menurut Alijoyo (2000:9) dalam Eskal (2007:53) efektivitas adalah “effectiveness is a measure of succsess in meeting asset of established goal”, hal ini dapat diartikan sebagai ukuran mengenai seberapa baik atau seberapa tepat sasaran atau rencana yang telah ditetapkan dapat direalisasikan.
Pengertian efektivitas secara umum menunjukkan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal yang perlu dicatat bahwa efektivitas tidak menyatakan tentang berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut, efektivitas hanya melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas berfokus pada outcome (hasil). Suatu organisasi, program atau kegiatan dinilai efektif apabila output yang dihasilkan bisa memenuhi tujuan yang diharapkan. Untuk mengetahui apakah suatu organisasi dikatakan efektif harus diperlukan suatu indikator sebagai tolak ukur untuk mengetahui tingkat keefektivan suatu objek.
Sedangkan menurut Halim yang dikutip dalam Mala et al (2013) formula untuk mengukur efektivitas yang terkait dengan perpajakan adalah perbandingan antara realisasi pajak dengan target pajak.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah upaya suatu organisasi untuk mencapai tujuan dengan tepat waktu dan hasil sesuai dengan yang diharapkan menggunakan sumberdaya dan sarana yaang ditetapkan. Efektivitas organisasi merupakan merupakan suatu konsep yang penting untuk melihat gambar suatu organisasi karena dapat menunjukan tingkat keberhasilan organisasi dalaam mencapai sasarannya.
b. Ukuran Efektivitas
Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat sederhana karenaa efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada siapa yang menilai serta menginterprestasikannya. Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu tidak dikatakan efektif. Hal yang terpenting yang perlu dicatat bahwa efektivitas tidak menyatakan tentang berapa besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut, efektivitas haanya melihat apakah suatu
program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telaah ditetapkan. Formula untuk mengukur efektivitas yang terkait dengan perpajakan adalah perbandingan antara realisasi penerimaan pajak dengan potensi pajak.
Efektivitas adalah kemampuan untuk menentukan tujuan yang memadai, do the right things, dan efektivitas berhubungan dengan pencapaian tujuan tertentu (Molan, 2003:169). Formula untuk mengukur efektivitas yang terkait dengan perpajakan adalah perbandingan antara realisasi pajak dengan target pajak (Halim, 2001).
Berikut adalah indikator untuk tingkat efektivitas dari hasil perhitungan menggunakan formula efektivitas.
Tabel 2.1 Klasifikasi Pengukuran Efektivitas
Persentase Kriteria >100% Sangat Efektif 90-100% Efektif 80-90% Cukup Efektif 60-80% Kurang Efektif <60% Tidak Efektif
Sumber: Depdagri, Kepmendagri No. 690.900.327 tahun 1996
Pengukuran efektivitas organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda, mengasumsikan bahwa organisasi akan menugaskan input yang berasal dari lingkungannya melalui suatu proses internal menjadi outout yang akan dilemparkan
kembali ke lingkungannya. Dalam berbagai organisasi pengukuran efektivitas dilakukan melalui:
a. Pendekatan sasaran (goal approach) dalam pengukuran efektivitas memusatkan pada output yang telah direncanakan.
b. Pendekatan sumber (resources approach) lebih memusatkan perhatian pada input yaitu mengukur keberhasilan organisasi dalam mendapat sumber yang dibutuhkan untuk pencapaian performa yang baik.
c. Pendekatan proses (prosess approach) lebih memusatkan perhatian pada aspek kegiatan internal organisasi dan mengukur efektivitas melalui berbagai indikator internal.
Pengukuran kinerja yang efektif didasarkan pada kebutuhan konsumen dan fokus pada keinginan konsumen. Menurut Yuwono (2002:24) dalam eskal (2007) pengukuran kinerja yang efektif yaitu:
a. Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan karakteristik organisasi itu sendiri sesuai perspektif pelanggan.
b. Evaluasi atas berbagai aktivitas menggunakan ukuran-ukuran kinerja yang customer validated.
c. Sesuai dengan seluruh aspek kinerja yang mempengaruhi pelanggan, sehingga menghasilkan penilaian yang komprehensif. d. Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh organisasi
6. Kontribusi
Guritno dikutip dalam Hasbi et al (2014) menyatakan bahwa kontribusi adalah sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama. Kontribusi dapat berupa materi atau tindakan. Kontribusi disini dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan dari kegiatan penerbitan surat himbauan atau SP2DK terhadap penerimaan pajak. Untuk menghitung kontribusi penerimaan pajak yang berasal dari penerbitan surat himbauan atau SP2DK digunakan fomula sebagai berikut:
Untuk mengetahui kontribusi dari hasil perhitungan dengan menggunakan formula di atas digunakan klasifikasi kriteria kontribusi seperti dijabarkan dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 2.2 Klasifikasi Kriteria Kontribusi
Persentase Kriteria 0,00-10% Sangat Kurang 10,10-20% Kurang 20,10-30% Sedang 30,10-40% Cukup Baik 40,10-50% Baik >50% Sangat Baik
7. Target Penerimaan Pajak
Penerimaan pajak merupakan jumlah iuran yang dibayar oleh masyarakat dimana dipungut berdasarkan undang-undang yang berlaku, diterima oleh negara dalam suatu masa yang nantinya digunakan oleh negara untuk membayar pengeluaran negara berupa pemeliharaan berbagai fasilitas yang digunakan untuk kepentingan umum.
Definisi pajak menurut Adriani (1991:2), yaitu:
“pajak adalah iuran rakyat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”.
Pengertian penerimaan pajak menurut Suherman (2011) Penerimaan Pajak adalah penghasilan yang diperoleh oleh pemerintah yang bersumber dari pajak rakyat. Penerimaan pajak merupakan perkiraan penerimaan berdasarkan analisa makro dan mikro sebagai bahan pembagian target penerimaan kantor pelayanan pajak. Target penerimaan pajak merupakan rencana besarnya penerimaan pajak yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai dana yang dipersiapkan untuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Target penerimaan pajak dibebakan pada masing-masing Account Representative berdasarkan beban penerimaan seksi pengawasan dan konsultasi yang disusun berdasarkan realisasi penerimaan per Account Representative tahun sebelumnya. Setiap Account Representative bertanggungjawab untuk merealisasikan penerimaan pajak berdasarkan potensi wilayah kerjanya, khususnya untuk peerimaan pajak rutin.
B. Penelitian Terdahulu
Adapun hasil dari penelitian terdahulu mengenai topik yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel. 2.3
Tabel 2.3
Ringkasan Penelitian Terdahulu No. Judul Penelitian Nama
Peneliti
Hasil Penelitian 1. Optimalisasi
Penggalian Potensi Pajak Dengan Surat Himbauan Pembetulan SPT Tahunan PPh Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Sukoharjo (2014)
Susilawati Respon wajib pajak atas surat himbauan meliputi konfirmasi kebenaran data dan pembetulan SPT Tahunan PPh kurang mendapat respon. Tingkat pemenuhan
pembetulan SPT Tahunan PPh KPP Pratama Sukoharjo tahun 2011-2013 telah mencapai target.
2. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Wajib Pajak Dalam Merespon Surat Himbauan Terhadap Kepatuhan
Penyampaian Surat Himbauan SPT Tahunan (Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu) (2014)
Subagiyo, Rahayu, Jauhari
Respon wajib pajak terhadap surat himbauan SPT Tahunan yang diterbitkan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan penyampaian surat himbauan SPT tahunan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu
3. Efektivitas Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak Melalui Kegiatan Canvassing, Sosialisasi, dan Surat Himbauan dalam Rangka
Meningkatkan Jumlah Wajib Pajak)
(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Malang Utara)
Refi Cintya Hayuningt yas
Terdapat pengaruh signifikan pada kegiatan penyampaian surat himbauan pendaftaran NPWP terhadap jumlah Wajib Pajak terdaftar, sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan
meningkatkan kegiatan penyampaian Surat Himbauan pendaftaran NPWP maka jumlah Wajib Pajak terdaftar akan mengalami peningkatan secara nyata.
4. Pengaruh Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Pajak Terhadap
Efektivitas Penerimaan Pajak (Studi Kasus Pada KPP Pratama Surakarta)
Rizki Yuslam Primerdo
Pemeriksaan Pajak berpengaruh terhadap efektivitas penerimaan pajak, penagihan pajak berpengaruh terhadap efektivitas penerimaan Pajak
5. Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak Badan dan Penelitian Pajak terhadap Tingkat Pencapaian Penerimaan Pajak pada KPP Pratama Surabaya Sawahan Hesti Rahayu Pramitani ngrum
Terdapat pengaruh yang signifikan antara kepatuhan wajib pajak badan dan STP yang diterbitkan terhadap tingkat pencapaian penerimaan PPh pasal 25 wajib pajak badan,
Sedangkan jumlah surat himbauan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pencapaian penerimaan PPh pasal 25
6. Pengaruh Edukasi, Sosialisasi, dan Himbauan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Melaporkan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan (Studi pada Wajib Pajak Orang Pribadi yang Terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Malang Utara)
Adetya Erlian Adiatma
Hasil penelitian menunjukan bahwa edukasi, sosialisasi, dan himbauan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Secara parsial menunjukkan variabel edukasi dan himbauan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, variabel yang dominan adalah variabel himbauan
C. Rerangka Pemikiran
Untuk memperjelas pelaksanaan penelitian dan sekaligus untuk mempermudah dalam pemahaman, maka diperlukan suatu kerangka pemikiran sebagai landasan dalam pemahaman. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam Gambar 2.3
Gambar 2.3 Rerangka Pemikiran
Sistem Perpajakan
Self Assessment System With Holding System Official Assessment System Kendala/Hambatan
Ditemui harta Wajib Pajak yang tidak pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pertambahan nilai bangunan yang
cukup signifikan sehingga berpotensi terutang PPN
Penerimaan Pajak belum optimal
Ekstensifikasi
Intensifikasi Realisasi Penerimaan Pajak
Memaksimalkan data profil Wajib Pajak seperti data pelaporan SPT,
pembayaran Pajak
Mengoptimalkan data hasil pengamatan dilapangan
Account Representative (AR)
Surat Himbauan atau Surat Permintaan Penjelasan atas Data
atau Keterangan (SP2DK)