TAHUN 2004 DIHUBUNGKAN DENGAN THE VIENNA CONVENTION ON DIPLOMATIC RELATIONS 1961
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
AMALIA FERMANITA NIM: 170200388
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
NAMA : AMALIA FERMANITA
NIM : 170200388
DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL
JUDUL SKRIPSI : TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP PENGEBOMAN KEDUTAAN BESAR
AUSTRALIA DI JAKARTA TAHUN 2004
DIHUBUNGKAN DENGAN THE VIENNA
CONVENTION ON DIPLOMATIC RELATIONS 1961
Denganinimenyatakanbahwa:
1. Skripsi yang saya tulis adalah benar dan tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
Medan, Maret 2021
AMALIA FERMANITA
Dr. Rosmalinda, SH.,LLM
Hubungan diplomatik merupakan salah satu aspek penting yang dibutuhkan suatu negara. Salah satu aturan untuk perlindungan ini diatur didalam Konvensi Wina 1961 Tentang Hubungan Diplomatik.Hukum Internasional telah membebankan kewajiban kepada negara penerima untuk melindungi perwakilan diplomatik negara pengirim. Kasus ini menarik untuk diteliti karena penulis ingin mempelajari lebih lanjut tentang pertanggungjawaban negara penerima dalam perlindungan perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961.
Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah (1) Bagaimana perlindungan terhadap Kedutaan Besar di Negara Penerima, (2) Bagaimana penerapan tentang perlindungan hukum terhadap perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961 dan(3) Bagaimana bentuk tanggung jawab Indonesia terhadap kasus pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004 ditinjau dari Konvensi Wina 1961.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh dengan menganalisa Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Pasal 34 Draft Articles ILC, peraturan-peraturan internasional lainnya yang berkaitan dengan hubungan diplomatik, dan juga undang-undang.
Berdasarkan penelitian ini kesimpulan yang dapat diambil adalah (1) Perlindungan terhadap Kedutaan Besar baik perwakilannya maupun gedungnya adalah suatu hal yang harus dipenuhi oleh negara penerima agar perwakilan diplomatik yang sedang menjalankan misinya dapat menjalankan misinya dengan lancar (2)Penerapan perlindungan hukum untuk perwakilan diplomatik diatur didalam Konvensi Wina 1961pasal 29 dibagi diantaranya menjadi 3 yaitu dengan memberikan kekebalan pada kantor perwakilan diplomatik, kekebalan kediaman pejabat diplomatik, dan kekebalan pribadi pejabat diplomatik (3) Pengeboman Kedubes Australia menyebabkan rusaknya Gedung Kedubes Australia yang merupakan bagian dari sebuah misi diplomatik membuat Indonesia bertanggung jawab atas bom yang menyerang Kedutaan Besar Australia.
Bentuk tanggung jawab Indonesia sebagai negara penerima terbagi menjadi 3 yaitu restitusi, kompensasi dan kepuasan. Adapun saran yaitu (1) Perlu ada aturan yang mengatur apabila negara tidak melaksanakan tanggung jawab negara yang telah dibebankan, agar tanggung jawab negara dapat terlaksana sepenuhnya. (2) Negara penerima harus menghormati kekebalan-kekebalan dan hak istimewa diplomatik yang dimiliki oleh para Diplomat yang diutus oleh negara pengirim, (3) Indonesia seharusnya memberikan pengamanan yang lebih ketat di wilayah kawasan diplomatik, terlebih kawasan tersebut merupakan pusat kota.
Kata kunci : Tanggung Jawab Pemerintah, Pengeboman, Kedutaan Besar, Konvensi Wina 1961
KATA PENGANTAR
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
penulisan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul: “TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP PENGEBOMAN KEDUTAAN BESAR AUSTRALIA DI JAKARTA TAHUN 2004 DIHUBUNGKAN DENGAN THE VIENNA CONVENTION ON DIPLOMATIC RELATIONS 1961”.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini serta tidak lupa untuk kedua orangtua penulis, Ayahanda Awaluddin dan Ibunda Ferisia Yusni, yang telah memberikan semangat, kasih sayang, selalu mendoakan serta memberikan cinta, kesabaran, perhatian, bantuan dan pengorbanan yang tak ternilai harganya dan mengiringi setiap langkah penulis dengan doa restunya yang tulus setiap harinya.
Dalam penulisan skripsi ini juga saya mendapat dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih pada kesempatan yang berbahagia ini dengan kerendahan hati, Penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi:
1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si.,selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
7. Bapak Dr, Sutiarnoto, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen HukumInternasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I penulis. Terima kasih banyak kepada Ibu atas arahan, bimbingan dan waktu yang diberikan pada penulis demi terciptanya penelitian yang baik oleh penulis.
8. Ibu Dr. Rosmalinda, S.H., LL.M., selaku Dosen Pembimbing II penulis.Terima kasih banyak kepada Ibu atas arahan, bimbingan dan waktu yang diberikan pada penulis demi terciptanya penelitian yang baik oleh penulis.
9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta Staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama saya menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10. Seluruh staff administrasi yang turut serta membantu saya dalam proses administrasi selama berada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
11. Keluarga Besar yang selalu memberikan perhatian dan semangat dalam mendukung tidak hanya dalam menyelesaikan skripsi tetapi juga untuk banyak hal dalam hidup saya, terutama untuk Sharin Alfi Putri dan M.Kevin Khosy selaku Abang maupun Kakak kandung penulis.
12. Teman serta Sahabat di Fakultas Hukum, Romantis, Manusia Serigala, dan Persepupuan yang berperan penting bagi saya dan selalu mendukung, memberikan semangat dan selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis terimakasih banyak atas segala dukungannya.
13. Teman-teman saya BPH ILSA, Cota, Jafan, Lucky, Ara, dan Manda terimakasih atas semuanya. Dan juga teman-teman departemen HI terimakasih atas kebersamaannya, senang sekali bisa mengenal dan menjadi bagian dari ILSA.
Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang
Medan, Maret 2021 Hormat Penulis,
Amalia Fermanita NIM. 170200388
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ...v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Metode Penelitian ... 8
E. Keaslian Penulisan ... 11
F. Tinjauan Kepustakaan ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA A. Pengertian Negara ... 18
B. Pengertian Tanggung Jawab Negara ... 23
C. Perlindungan Kedutaan Besar di Negara Penerima...27
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERWAKILAN DIPLOMATIK BERDASARKAN KONVENSI WINA 1961 A. Pengertian Perlindungan Hukum ... 30
B. Pengertian Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961 ... 33
C. Hak dan Kewajiban Negara Pengirim dan Penerima Perwakilan Diplomatik ... 37
... 41 E. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perwakilan Diplomatik
Berdasarkan Konvensi Wina 1961 ... 43 BAB IV BENTUK TANGGUNG JAWAB INDONESIA TERHADAP KASUS PENGEBOMAN KEDUTAAN BESAR AUSTRALIA DI JAKARTA TAHUN 2004
A. Kronologis Pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta Tahun 2004 ... 50 B. Kewajiban Indonesia Dalam Melindungi Perwakilan Diplomatik
Pada Kasus Pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta Tahun 2004 ... 53 C. Bentuk TanggungJawab Indonesia Terhadap Kasus Pengeboman
Kedutaan Besar Australia di Jakarta Tahun 2004 ... 59 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 66 DAFTAR PUSTAKA ...68 Lampiran I
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Padaperkembangan zaman ini, suatu negara tidak lepas dari hubungan dengan negara lain. Hubungan ini dapat berupa hubungan dalam bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Saat menjalin hubungan kerjasama, suatu negara mengirimkan pejabatnya ke negara lain dan negara lain tersebut harus menerima wakil dari negara pengirim berdasarkan asas timbal balik (reciprocity) dan kesepakatan bersama (mutual content).1Diplomasi adalah suatu cara untuk menjalin hubungan diplomatik.2
Diplomasi merupakan praktek pelaksana perundingan antar negara melalui perwakilan resmi. Perwakilan resmi dipilih oleh negara itu sendiri tanpa ada campur tangan pihak lain atau negara lain. Diplomasi adalah kegiatan politik dan merupakan bagian dari kegiatan internasional yang saling berpengaruh dan kompleks, dengan melibatkan pemerintah dan organisasi internasional untuk mencapai tujuan-tujuannya, melalui perwakilan diplomatik atau organ-organ lainnya.3Diplomasi terdiri dari teknik-teknik dan prosedur-prosedur pelaksanaan hubungan antar-negara. Jadi sebenarnya merupakan alat yang normal dari pelaksanaan-hubungan internasional. Diplomasi sendiri seperti halnya dengan alat, mesin, atau instrumen lainnya adalah netral, terlepas dari nilai-nilai apakah bermoral atau tidak bermoral (immoral).4
1Konvensi Wina 1961
2Rendi Prayuda, Rio Sundari, “Diplomasi dan Power: Sebuah kajian Analisis”, Journal of Diplomacy and International Studies Vol.1 No.1, 2018, Hal. 84
3 Sumaryono Suryokusumo, Praktik Diplomasi, BP.IBLAM, Bandung, 2004, Hal.54.
4 Suwardi Wiraatmadja, Pengantar Hubungan Internasional, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1981, Hal.133
Saat menjalin diplomasi dengan negara lain harus dimulai dengan hubungan diplomatik. Hubungan diplomatik menurut KBBI ialah hubungan yang didasari atas perantaraan perwakilan antara dua negara yang melakukan suatu hubungan.5Dari penjabaran pengertian hubungan luar negeri tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan luar negeri mencakup pula pada suatu hubungan diplomatik. Dimulainya sebuah hubungan diplomatik adalah saat negara pengirim mengirim wakilnya di negara penerima. Hal ini terjadi jika sudah terjalin kesepakatan antara negara pengirim dan negara penerima.
Tujuan diadakannya hubungan diplomatik adalah untuk menjadi wakil dari negara pengirim di negara penerima, dengan begitu jika terjadi masalah antar negara, setiap perwakilan akan mengambil tindakan yang cepat. Selain itu, tujuan dari hubungan diplomatik yang lain untuk melindungi warga negara pengirim di negara penerima.6
Saat dalam rangka menjalin hubungan antar bangsa untuk merintis kerjasama dan persahabatan perlu dilakukan pertukaran misi diplomatik.
Bertujuan agar para perwakilan diplomatik dapat melakukan tugas-tugas diplomatiknya dengan efisien, mereka perlu diberikan kekebalan-kekebalan dan keistimewan yang didasarkan atas aturan-aturan hukum kebiasaan internasional yang sudah berlaku. Dengan adanya praktek-praktek kebiasaan di dalam pergaulan internasional ini, maka mulai dicari dasar-dasar teoritis dari pemberian hak-hak kekebalan diplomatik dan hak-hak istimewa ini. Pencarian dasar-dasar
5“Diplomatik” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/diplomatikdiakses pada 20 Oktober 2020 pukul 23.40 WIB
6https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/09/090000369/perwakilan-diplomatik- indonesia--fungsi-dan
tugasnya?page=all#:~:text=Berdasarkan%20Konvensi%20Wina%201961%2C%20disebutkan,yan g%20diizinkan%20oleh%20hukum%20internasional Diakses pada 8 Januari 2021 pukul 15.23 WIB
teoritis ini tidak hanya berguna bagi pembentukan suatu konstruksi, melainkan jika telah diketemukan suatu dasar hukum, akan dapat berguna di dalam kepentingan praktis.7
Sejak Kongres Wina 1815, tidak ada suatu usaha untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum diplomatik dalam suatu kodifikasi yang dapat diterima secara luas oleh masyarakat internasional. Sesuai dengan perkembangan negara- negara dalam mengadakan hubungan dengan negara lain membuat diadakannya kodifikasi hukum diplomatik, karena itu perlu dibentuk aturan-aturan dalam hubungan antar negara tentang perwakilan diplomatik.8
Untuk mengkodifikasi hukum diplomatik saat ini telah diciptakan sejumlah konvensi sebagai berikut:9
a. The Final Act of the Congress of Vienna (1815)
b. Vienna Convention on Diplomatic Relation and Optimal Protocol (1961)
c. Vienna Convention on Consular Relation and Optional Protocol (1963) d. Convention on Special Missions and Optional Protocol (1969)
e. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatic Agents (1973) f. Vienna Convention on the Representation of State in Their Relations
with International Organization of a Universal Character (1975) Konvensi Wina 1961 merupakan konvensi pertama tentang hubungan diplomatik yang terbentuk setelah berdirinya PBB pada tahun 1945. Konvensi ini
7Edy Suryono, Moenir Ari Soenada, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Angkasa, Bandung, 1991, Hal.31
8Edy Suryono SH, Perkembangan Hukum Diplomatik, Mandor Maju, Bandung, 1992, Hal.1
9Ibid, Hal.2
dibentuk oleh Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB. Konvensi ini dibentuk setelah Komisi Hukum Internasional memutuskan untuk menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional guna membahas masalah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Kini, hampir seluruh negara di dunia telah meratifikasi Konvensi Wina 1961, termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU No.1 Tahun 1982. Konvensi Wina ini sungguh merupakan kode diplomatik yang sebenarnya.10
Namun pada prakteknya, walaupun sudah dibentuk konvensi yang mengatur mengenai hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik tetap tidak menjamin keselamatan para perwakilan diplomatik. Dalam perkembangannya dewasa ini, masih banyak pula tindakan-tindakan kekerasan yang mengancam para perwakilan diplomatik dalam melaksanakan tugas diplomatiknya.
Hak untuk tidak diganggu-gugat (the right of inviolability) adalah mutlak guna melaksanakan tugas dan fungsi perwakilan asing secara layak. Hak semacam itu diberikan kepada para diplomat, gedung perwakilannya, arsip-arsip serta dokumen lainnya. Hak yang sama juga diterapkan pada tempat kediaman para diplomat termasuk juga surat-surat dan korespondensi. Negara penerima haruslah mengambil langkah-langkah untuk mencegah adanya gangguan terhadap para diplomat asing, baik kebebasan, kehormatan, gedung perwakilan maupun rumah kediaman duta besar menurut hukum internasional diperlakukan sama. Dengan demikian, keduanya berhak memperoleh perlindungan khusus dan tidak dapat
10 A.K, Syahmin, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Hal.15-17
dimasuki tanpa izin kepalaperwakilan atau duta besar kecuali jika terjadi kebakaran atau bencana lainnya yang memerlukan tindakan-tindakan yang cepat.
Pengertian tidak dapat digangggu gugat-nya perwakilan diplomatik dapat dijelaskan sebagai berikut:11
a. Mencakup asas pokok yang berisi semua kekebalan diplomatik dalam arti keseluruhan hak-hak kekebalan.
b. Untuk menunjukkan perlindungan atas kebebasan dari tindakan kekuasaan dan paksaan dari alat-alat perlengkapan negara.
c. Negara penerima melakukan segala tindakan agar wakil diplomatik terhindar dari segala macam tindakan yang tidak sah dari pihak lain, jadi negara penerima memberikan perlindungan istimewa kepada perwakilan diplomatik.
Pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menjelaskan bahwa, perwakilan diplomatik yang harus dilindungi menurut hukum internasional berhak memperoleh perlindungan khusus dari negara penerima terhadap segala bentuk kejahatan yang ditujukan kepada diri pribadinya, kebebasan dan kehormatan diri maupun yang ditujukan pada tempat kediamannya dan tempat bekerjanya.
Sehingga kelalaian dan kegagalan negara penerima dalam memberikan perlindungan terhadap kekebalan diplomatik merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan konvensi, oleh karenanya negara penerima wajib bertanggung jawab atas terjadinya hal yang tidak menyenangkan tersebut. Kelalaian dan kegagalan tersebutlah yang akhirnya memunculkan tanggung jawab tersendiri yang dikenal sebagai “pertanggungjawaban negara”.
11Edy Suryono SH, Perkembangan Hukum Diplomatik, Mandor Maju, Bandung, 1992, Hal.13
Konvensi Wina 1961 mengatur mengenai perlindungan yang harus diberikan oleh negara penerima kepada perwakilan diplomatik dari negara pengirim. Setiap negara yang telah meratifikasi Konvensi Wina 1961 memiliki kewajiban internasional untuk mematuhi semua aturan yang diatur dalam Konvensi Wina 1961, dalam kata lain jika ada negara yang melanggar aturan yang terdapat dalam Konvensi Wina 1961 berarti negara tersebut melanggar kewajiban internasional dan diharuskan untuk bertanggung jawab. Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional pada dasarnya dilatarbelakangi pemikiran bahwa tidak ada satupun negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran yang dilakukan terhadap negara lain menimbulkan suatu tindakan perbaikan atau kata lain mempertanggungjawabkannya.12
Dengan demikian sangat penting usaha untuk menjamin perlindungan, keselamatan dan pengamanan bagi perwakilan diplomatik, khususnya usaha yang dianggap penting untuk memusatkan pehatian kepada tanggung jawab bagi negara dalam melaksanakan tindakan-tindakan pencegahan, perlindungan dan menghukum para pelanggarnya.13
Pada tahun 2004 tepatnya tanggal 9 September, sebuah ledakan bom mobil terjadi didepan Kedubes Australia di Jakarta. Peristiwa ini memakan korban jiwa sebanyak 12 orang tewas dan 214 lainnya luka-luka. Peristiwa ini juga berdampak kepada gedung-gedung disekitar Jalan H.R.Rasuna Said atau yang biasa disebut sebagai kawasan Segitiga Emas Kuningan. Sepekan sebelum terjadi ledakan,
12 Huala Adolf¸ Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, Hal.173
13Edy Suryono SH, Perkembangan Hukum Diplomatik, Mandor Maju, Bandung, 1992, Hal.7
Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer ngaku telah mendapatkan peringatan tentang kemungkinan teror bom terhadap warga asing di Indonesia.
Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum dengan judul “Tanggung Jawab Pemerintah Indonesia Terhadap Pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta Tahun 2004 Dihubungkan Dengan The Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Perlindungan Terhadap Kedutaan Besar di Negara Penerima?
2. Bagaimana Penerapan Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961?
3. Bagaimana Bentuk Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Kasus Pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta Tahun 2004?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penerapan perlindungan terhadap Kedutaan Besar di negara penerima
2. Untuk mengetahui penerapan tentang perlindungan hukum terhadap perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961
3. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab Indonesia terhadap kasus pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004.
Adapun manfaat yang hendak diberikan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum internasional, yang terkhusus berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah indonesia terhadap pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004 dihubungkan dengan The Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat menjadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, maupun pihak lainnya dalam penulisan- penulisan ilmiah lainnya yang berhubungan.
b. Agar menambah pengetahuan kepada masyarakat berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah indonesia terhadap pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004 dihubungkan dengan The Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961.
c. Dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pelaksanaan tanggung jawab Indonesia terhadap pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
D. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut
diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.
Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.14Penulisan skripsi ini, menggunakan metodologi penulisan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.15 Fenomena yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai tanggung jawab Pemerintah Indonesia terhadap pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004 dihubungkan dengan The Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961. Penelitian ini juga didasarkan pada upaya untuk membangun pandangan subjek penelitian yang rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit agar dapat membantu memperjelas hasil penelitian.16
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum
14Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2014, Hal. 6-7
15Moeleong, Lexy.J, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, Hal. 5
16Ibid, Hal.6
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis (Analitical Approach).17 Pendekatan Analitis (Analitical Approach) tujuannya adalah mengetahui makna yang dikandung dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik.18 Penggunaan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan Analitis disesuaikan dengan judul penelitian ini yaitutanggung jawab pemerintah indonesia terhadap pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004 dihubungkan dengan The Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961. Metode ini digunakan untuk menyesuaikan peraturan yang ada dengan realita di lingkungan sekitar.
3. Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:19
a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat.
b. Bentuk maupun isinya data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.
c. Data sekunder tanpa terikat/dibatasi oleh waktu dan tempat.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi : a. Bahan-bahan hukum primer, yang mencakup The Vienna Convention
on Diplomatic Relations 1961, Praktik Diplomasi, Pengantar
17Amiruddin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, Hal.118
18Ibrahim,Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi), Bayu Media Publishing, Malang, 2007, Hal.303
19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1988,Hal.12
Hubungan Internasional, Aspek-Aspek Negara Dalam Hubungan Internasional, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Kekuasaannya, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis.
b. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer seperti Jurnal mengenai perdagangan manusia internasional, hasil-hasil penelitian.
c. Bahan-bahan hukum tersier, meliputi kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan beberapa Universitas yang ada di Indonesia baik secara fisik maupun online khususnya Fakultas Hukum, tidak didapati bahwa judul skripsi tanggung jawab pemerintah Indonesia terhadap pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004 dihubungkan dengan The Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961.
Sitti Yunike Allysha (2018) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian Tanggung jawab Negara Terhadap Perlindungan dan Keamanan Diplomat Ditinjau Dari Hukum Internasional (Studi Kasus Penembakan Duta Besar Rusia di Turki). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hak dan kewajiban Negara Pengirim terhadap misi Diplomatik Negara asing.
2. Tanggung jawab Negara Penerima terhadap keamanan dan keselamatan Diplomat.
3. Penyelesaian kasus penembakan duta besar Rusia untuk Turki di Turki tahun 2016 ditinjau dari Konvensi Wina 1961.
Febi Hidayat (2011) Fakultas Hukum Universitas Andalas dengan judul penelitian Pertanggungjawaban Negara Atas Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Ditinjau Dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan KBRI di Myanmar Tahun 2004). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dalam Hukum Internasional (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik).
2. Pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dalam Hukum Internasional (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik).
3. Penyelesaian kasus penyadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Myanmar tahun 2004 ditinjau dari Konvensi Wina 1961.
Michelle Gloria Mohede (2019) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan judul penelitian Pertanggungjawaban Negara Penerima Kepada Negara Pengirim Atas Kerusakan Gedung Perwakilan Diplomatik di Wilayah Konflik (Studi Kasus : Bom Kabul Afganistan Merusak Kedutaan Besar Jerman, India, Perancis, dan Jepang Tahun 2017). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penerapan peraturan mengenai perlidungan hukum terhadap gedung perwakilan diplomatik di wilayah konflik berdasarkan hukum internasional.
2. Tanggung jawab Afghanistan selaku negara penerima terhadap kerusakan gedung perwakilan diplomatik Jerman, Prancis, India dan Jepang yang berada di wilayah konflik Kabul.
F. Tinjauan Kepustakaan
Hukum Diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip- prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antarnegara yang dilakukan atas dasar prinsip persetujuan bersama secara timbal balik (reciprocity principles), dan ketentuan ataupun prinsip-prinsip tersebut dimuat dalam instrumen-instrumen hukum baik berupa piagam, statuta, maupun konvensi-konvensi sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional secara progresif.20
Untuk memahami pengertian hukum diplomatik memang tepat sekali jika membahas lebih lanjut mengenai pengertian diplomasi itu sendiri. Berdasarkan beberapa batasan mengenai pengertian diplomasi, dapat ditegaskan beberapa faktor penting mengenai diplomasi, yaitu:21
1. Adanya hubungan antarbangsa untuk merintis kerja sama dan persahabatan;
2. Hubungan tersebut dilakukan melalui pertikaian misi diplomatik, termasuk para pejabatnya;
20 A.K, Syahmin, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Hal.11
21Ibid, Hal.11
3. Para pejabat diplomatik tersebut harus diakui statusnya sebagai agen diplomatik; dan
4. Agar para diplomat itu dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan efisien mereka perlu diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang didasarkan atas aturan hukum kebiasaan internasional, konvensi-konvensi internasional, dan persetujuan lainnya yang menyangkut hubungan diplomatik antarnegara.
Untuk menunujukkan totalitas kekebalan dan keistimewaan para diplomat, terdapat tiga teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik diluar negeri.22 Pertama, exterritoriality; Berdasarkan teori ini, para diplomat dianggap tidak berada di negara penerima, tetapi berada di negara pengirim, meskipun kenyataannya di wilayah negara penerima. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya seorang wakil diplomatik itu tidak takluk oleh hukum negara penerima. Begitu pula ia tidak dikuasai oleh hukum negara penerima.23 Meskipun demikian, teori ini dianggap tidak realistis karena teori ini hanya didasarkan oleh suatu fiksi dan bukan realita sebenarnya.24
Kedua, representative character; teori ini mendasarkan pemberian kekebalan-kekebalan diplomatik dan istimewa kepada sifat perwakilan kepada seorang diplomat, yaitu karena ia mewakili kepala negara atau negaranya di luar negeri. Namun, sepertinya dengan teori exterritoriality, pemberian hak-hak
22Op Cit, Hal.11
23Edy Suryono, Moenir Ari Soenada, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Angkasa, Bandung, 1991, Hal.32
24 A.K, Syahmin, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Hal.11
istimewa dan kekebalan diplomatik ini tidak mempunyai batas yang jelas dan kebingungan hukum.25
Ketiga, functional necessity theory; teori ini mengajarkan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik dan misi diplomatik hanya didasarkan kepada kebutuhan-kebutuhan fungsional. Dengan memberikan tekanan kepada kepentingan fungsi, terbuka jalan bagi pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan sehingga dapat diciptakan keseimbangan antara kebutuhan negara pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori ini kemudian didukung untuk menjadi ketentuan dalam Konvensi Wina 1961.26
Meskipun telah terdapat ketentuan hak mengenai keistimewaan dan kekebalan diplomatik, masih banyak pula tantangan yang dihadapi dalam pelaksanannya dewasa ini. Telah banyak ketentuan-ketentuan yang cukup luas dan cukup lengkap mengatur tentang perlindungan para perwakilan diplomatik, juga telah dilengkapi dengan konvensi untuk memerangi tindak kejahatan pada perwakilan diplomatik, tetap perlunya kelengkapan-kelengkapan lagi untuk menuangkan dalam ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan tanggung jawab negara yang gagal untuk melakukan perlindungan terhadap para perwakilan diplomatik. Tanggung jawab negara terhadap tindakan yang salah yang menyebabkan terganggunya misi diplomatik seorang perwakilan diplomatik merupakan usaha yang sangat berarti dalam melengkapi hukum diplomatik.27
25Edy Suryono, Moenir Ari Soenada, Op Cit, Hal.118
26Ibid
27Op Cit, Hal.43-45
G. Sistematika Penulisan
Keseluruhan sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak terpisahkan.
Sistematika penulisan adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar di dalamnya terurai mengenai latar belakang, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan, dengan tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI
PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA
Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Pengertian Negara, Pengertian Tanggung Jawab Negara.
BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM TERHAD PERWAKILAN DIPLOMATIK BERDASAKAN KONVENSI WINA 1961
Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Pengertian Perlindungan Hukum, Pengertian Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961, Hak dan Kewajiban Negara Pengirim dan Penerima Perwakilan Diplomatik, Bentuk
Pertanggungjawaban Negara Atas Pelanggaran Kewajiban Melindungi Perwakilan Diplomatik Menurut Hukum Internasional, Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perwakilan Diplomatik Berdasarkan Konvensi Wina 1961.
BAB IV : BENTUK TANGGUNG JAWAB INDONESIA TERHADAP KASUS PENGEBOMAN KEDUTAAN BESAR AUSTRALIA DI JAKARTA TAHUN 2004
Bab ini merupakan bab yang membahas tentang Kronologis Pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta Tahun 2004, Kewajiban Indonesia dalam Melindungi Perwakilan Diplomatik Pada Kasus Pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta Tahun 2004, Bentuk Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Kasus Pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta Tahun 2004.
BAB V : PENUTUP
Berisikan tentang kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran.
NEGARA A. Pengertian Negara
Negara adalah lanjutan dari keinginan manusia hendak bergaul antara seorang dengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya.
Semakin luas pergaulan manusia dan semakin banyak kebutuhannnya, maka bertambah besar kebutuhannya kepada suatu organisasi Negara yang akan melindungi dan memelihara keselamatan hidupnya.28
Adapun istilah “Negara” yang dikenal sekarang mulai timbul pada zaman renaissance di Eropa pada abad ke-15. Pada masa itu telah mulai dipergunakan orang istilah Lo Stato yang berasal dari bahasa Italia yang kemudian telah menjelma menjadi perkataan L’Etat’ dalam bahasa Perancis, The State dalam bahasa Inggris atau Der Staat dalam bahasa Jerman dan De Staat dalam bahasa Belanda. Kata Lo Stato dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Negara” pada waktu itu diartikan sebagai suatu sistem tugas-tugas atau fungsi-fungsi publik dan alat-alat perlengkapan yang teratur di dalam wilayah (daerah) tertentu.29
Beberapa pengertian negara secara umum lainnya yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:30
28 Samidjo, Ilmu Negara, Armico, Bandung, 1986, Hal. 27
29CST Kansil dan Christine ST Kansil,Ilmu Negara (Umum dan Indonesia), Pradnya Paramita, Jakarta,2001, Hal.8-9
30 Muhammad Junaidi, Ilmu Negara “sebuah konstruksi ideal negara hukum”, Setara Press,2016, Hal.3-4
1. Roger H. Soltau
“Negara adalah alat agency atau wewenang/authority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama.”
2. Harold J. Laski
“Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.
Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat” (The state is a society which is in integrated by possesing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society. A society is a group of human beings living together and working together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society is a state when the way of life to which both individuals and associations must conform is defined by a coercive authority binding upon them all).”
3. Miriam Budiardjo
“Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dan warga negaranya ketaatan pada peraturan perundangundangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dan 4 Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum kekuasaan yang sah” .
4. Menurut Prof Sumantri
“Negara adalah suatu organisasi kekuasaan oleh karenanya dalam setiap organisasi yang bernama negara selalu kita jumpai adanya organ atau alat perlengkapan yang mempunyai kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada siapapun juga yang bertempat tinggal di dalam wilayah kekuasaannya.”
5. Menurut Prof Kranenburg
“Negara adalah suatu sistem dan tugas-tugas umum dan organisasiorganisasi yang diatur, dalam usaha negara untuk mencapai
tujuannya, yang juga menjadi tujuan rakyat masyarakat yang diliputi, maka harus ada pemerintah yang berdaulat.”
Negara merupakan suatu organisasi dalam masyarakat yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan kata lain, sesuatu organisasi masyarakat baru dapat disebut negara apabila organisasi itu telah memenuhi semua unsur yang harus ada dalam suatu negara. Menurut Konvensi Montevideo (sebuah kota di Uruguay) tahun 1933 yang merupakan konvensi hukum internasional, dimana negara harus mempunyai empat unsur konstitutif sebagai berikut:30
1. Harus ada penghuni (rakyat, penduduk, warga negara, nationalen, staatsburgers, atau bangsa-bangsa).
Yang merupakan penduduk suatu negara, dimaksudkan semua orang yang pada suatu waktu mendiami wilayah negara. Mereka itu secara sosiologis lazim dinamakan “rakyat” dari negara tersebut. Rakyat dalam hubungan ini diartikan sebagai sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.
2. Harus ada wilayah (tertentu) atau lingkungan kekuasaan.Samidjo, Ilmu Negara, Armico, Bandung, 1986, Hal.27
Wilayah merupakan unsur mutlak (unsur konstitutif) dari negara. Jika
“penduduk/warganegara” merupakan landasan personil sesuatu negara, maka “wilayah” merupakan landasan materiil atau landasan disiknya negara. Luas wilayah negara ditentukan oleh perbatasan-perbatasannya dan di dalam batas-batas itu negara menjalankan yurisdiksi teritotial atas orang
30 Samidjo, Ilmu Negara, Armico, Bandung, 1986, Hal.27
dan benda yang berada di dalam wilayah itu, kecuali beberapa golongan orang dan benda yang dibebaskan dari yurisdiksi itu, misalnya perwakilan diplomatik negara asing dengan harta benda mereka. Yang termasuk wilayah negara ialah:
a. Darat
b. Laut (perairan), laut teritorial
c. Udara (sampai tinggi yang tidak terbatas, menurut asas usque ad coelum). Dalil hukum Romawi “Cujus est Solum, Ejus est Usque Coelum”, yang artinya adalah “Barang siapa memiliki tanah, ia juga memiliki apa yang berada di dalam dan juga ruang yang berada diatasnya tanpa batas (ad infinitum/up to the sky)”.31
3. Harus ada kekuasaan tertinggi (penguasa yang berdaulat), pemerintah yang berdaulat.
Adanya suatu pemerintah yang berkuasa terhadap seluruh wilayahnya dan segenap rakyatnya merupakan syarat mutlak bagi adanya negara.
Pemerintah lain, negara lain, tidak berkuasa di wilayah itu disebut kedaulatan. Jadi kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah dan segenap rakyat negara itu.
Adapun kedaulatan itu bersifat asli, tertinggi, dan tidak dapat dibagi-bagi.
31 Saefullah Wiradipradja, “Wilayah Udara Negara Ditinjau dari Segi Hukum Internasional dan Nasional Indonesia”, Jurnal Hukum Internasional, Vol.6 No.4, 2009, Hal.499
4. Kesanggupan berhubungan dengan negara-negara lainnya.
Kesanggupan mengadakan hubungan dengan negara-negara lain, misalnya dalam bidang ekonomi, politik, keamanan, dan sebagainya.
5. Pengakuan (deklaratif).
Pengakuan negara yang satu terhadap negara yang lain adalah untuk memungkinkan hubungan atara negara-negara itu (misalnya hubungan diplomatik, hubungan perdagangan, hubungan kebudayaan, dan lain-lain).
Pengakuan ini bukanlah faktor yang menentukan mengenai ada tidaknya negara. Pengakuan ini hanyalah menerangkan bahwa negara yang telah ada itu diakui oleh negara yang mengakui itu. Pengakuan bukanlah turut mendirikan negara itu, tetapi hanyalah menerangkan saja.
Keempat unsur yaitu penghuni, wilayah, pemerintahan, dan kesanggupan berhubungan dengan negara-negara lain merupakan unsur konstitutif. Sedangkan unsur kelima yaitu “Pengakuan” merupakan unsur deklaratif.32
Negara sebagai bagian dari institusi yang terbesar memiliki fungsi yang besar pula dalam mewujudkan tatanan sistem yang dibangunnya agar berjalan maksimal.
Kemudian dalam hal ini, secara umum adanya tujuan negara merupakan landasan dasar terbentuknya negara. Baik maupun buruk, tentunya tujuan negara tersebut menjadikan dasar negara itu ada dan terbentuk.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian negara yaitu suatu daerah teritorial yang mempunyai sistem dan tugas-tugas umum dan organisasi organisasi yang diatur, dalam usaha negara untuk mencapai tujuannya. Kedutaan
32Ibid, Hal.31
Besar di negara penerima itu merupakan bentuk dari negaranya sendiri. Jadi dapat dikatakan Kedutaan Besar itu adalah sebuah bentuk negara yang berada di luar wilayahnya.
B. Pengertian Tanggung Jawab Negara
Negara yang berdaulat memiliki kedaulatan penuh atas orang, barang dan perbuatan yang ada di teritorialnya. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa negara dapat menggunakan kedaulatannya tersebut secara bebas. Hukum internasional telah mengatur bahwa negara berkewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatannya tersebut. Karena negara dapat dimintai pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakan atau kelalainnya yang melawan hukum.
Pada interaksi antara negara, besar kemungkinan adanya kesalahan ataupun pelanggaran yang merugikan negara lain, disinilah muncul pertanggungjawaban negara.33
Tanggung jawab negara (state responsibility) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin para ahli hukum internasional. Tanggung jawab negara timbul bila terdapat pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan perjanjian internasional maupun berdasarkan pada kebiasaan internasional.34
Didalam hukum internasional telah diatur bahwa kedaulatan tersebut berkaitan dengan kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan itu sendiri, karena
33 Mohamad, Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional¸ Liberty, Yogyakarta, 1990, Hal.47
34 Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo Gramedia Widiasarana, Indonesia, Hal.28
apabila suatu negara menyalahgunakan kedaulatannya, maka negara tersebut dapat dimintai suatu pertanggungjawaban atas tindakan dan kelalaiannya.35
Hingga saat ini belum terdapat ketentuan hukum internasional yang mapan tentang tanggung jawab negara. Umumnya yang dapat dikemukakan oleh para ahli hukum internasional dalam menganalisa tanggung jawab negara hanya baru pada tahap mengemukakan syarat-syarat atau karakteristik dari pertanggungjawaban suatu negara. Meskipun demikian para ahli hukum internasional telah banyak mengakui bahwa tanggung jawab negara ini merupakan suatu prinsip yang fundamental dari hukum internasional.36
Ada beberapa penyebab yang menjadi sebab bertanggungjawabnya sebuah negara terhadap kerugian yang terjadi, menurut Oppenheim penyebab timbulnyapertanggungjawaban negara dibagi menjadi dua, yaitu:37
1. Original Responsibility
Tanggung jawab suatu negara akibat dari tindakan – tindakan pemerintah atau badan – badan di bawahnya atau orang – perorangan yang bertindak atas perintah atau dengan wewenang pemerintahnya (direct responsibility).
Negara juga harus bertanggungjawab atas tindakan yang tidak dilakukannya secara langsung oleh mereka sendiri, yaitu tindakan merugikan yang dilakukan oleh agen mereka.
2. Vicarious Responsibility
Kewajiban sebuah negara untuk bertanggungjawab atas kerugian materiil dan non – materiil akibat tindakan melawan hukum internasional yang berdasarkan alasan tertentu, tindakan tersebut tidak dianggap sebagai tindakan yang dilakukan oleh negara. Tindakan – tindakan itu dilakukan oleh perwakilan yang melampaui batas kewenangannya, atau oleh warga
35 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, CV Rajawali, Jakarta, 1991, Hal.174
36Ibid
37 Agato Kevindito Josesa*, Peni Susetyorini, Kholis Roisah, Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Pejabat Diplomatik Menurut Konvensi Wina 1961(Studi Kasus Penyerangan Dubes AS di Korea Selatan), Diponegoro Law Journal Vol.5 No.3, 2016, Hal.9.
negaranya, bahkan juga oleh warga negara asing yang tinggal di wilayahnya.
Pada dasarnya, pertanggungjawaban negara itu timbul ketika ada suatu kewajiban negara yang dilanggar kemudian ada sejumlah teori yang menjadi dasar maupun alasan negara untuk mempertanggungjawabkan sesuatu. Ada dua prinsip pertanggungjawaban negara yang menentukan tanggung jawab suatu negara, sebuah negara dapat dipersalahkan atau tidak, yaitu:38
1. Prinsip Pertanggungjawaban Objektif (Teori Risiko)
Prinsip pertanggungjawaban objektif menyatakan bahwa pertanggung jawaban hukum negara bersifat mutlak. Ketika suatu negara atas tindakannya menimbulkan kerugian terhadap negara lain, maka akan timbul pertanggungjawaban kepadanya, tanpa mengindahkan itikad baik atau buruk. Prinsip ini hanya melihat adanya kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan suatu negara tanpa melihat adanya unsur kesengajaan ataupun kelalaian.
2. Prinsip pertanggungjawaban Subjektif (Teori Kesalahan)
Berbeda dengan teori risiko, prinsip pertanggungjawaban subjektif menyatakan bahwa harus ada unsur kesengajaan atau kelalaian dalam perbuatannya serta perlu melakukan pembuktian adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.
Setiap tindakan kesalahan atau kelalaian yang merugikan negara lain maka harus dipertanggungjawabkan, namun ada beberapa pengecualian mengenai tanggung jawab negara yaitu:39
1. Adanya persetujuan dari negara yang dirugikan (Consent)
Tindakan tersebut dilakukan dengan persetujuan negara yang dirugikan.
Misalkan pengiriman tentara ke negara lain atas permintaannya.
Persetujuan ini diberikan sebelum atau pada saat pelanggaran terjadi.
Persetujuan yang diberikan setelah terjadinya pelanggaran sama artinya dengan pelanggaran hak untuk mengklaim ganti rugi. Namun dalam hal
38Ibid
39 Huala Adolf, Op.Cit, Hal. 225–227
ini, persetujuan yang diberikan kemudian itu tidak dapat menghilangkan unsur pelanggaran hukum internasional.
2. Tindakan mempertahankan diri (Self Defence)
Negara dapat dibebaskan dari tanggung jawab atas suatu perbuatan apabila tindakan tersebut dilakukan untuk membela diri. Yang menjadi tolok ukur pembelaan diri adalah tindakan tersebut harus sesuai dengan piagam PBB. Jika tidak, tindakan tersebut tidak menghapus tanggung jawab negara.
3. Keadaan memaksa (Force Majeure)
Kesalahan negara dapat dihindari apabila tindakan itu disebabkan karena adanya kekuatan yang tidak dapat dihindari atau adanya kejadian yang tidak diduga di luar kontrol suatu negara yang bersangkutan. Hal ini menempatkan suatu negara yang bersangkutan tersebut tidak memungkinkan untuk memenuhi tanggung jawab internasional.
4. Keadaan yang berbahaya (Distress)
Pengecualian lain yang diperkenankan adalah apabila tindakan suatu negara tersebut karena tidak terdapat jalan lain dengan alasan yang berbahaya guna menyelamatkan jiwanya atau keselamatan jiwa lain yang berada dalam pengawasannya.
5. Keadaan yang sangat diperlukan (Necessity)
Suatu negara dapat melaukan suatu tindakan yang merupakan satu- satunya jalan untuk menyelamatkan kepentingan yang esensil terhadap bahaya yang sangat besar.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab negara (state responsibility) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin para ahli hukum internasional. Menurut Oppenheim penyebab timbulnya pertanggungjawaban negara dibagi menjadi dua, yaitu original responsibiltydan vicarious responsibility.40 Dua prinsip pertanggungjawaban negara yang menentukan tanggung jawab suatu negara dapat dipersalahkan atau tidak, yaitu Prinsip Pertanggungjawaban Objektif (Teori Risiko) dan Prinsip pertanggungjawaban
40Agato Kevindito Josesa*, Peni Susetyorini, Kholis Roisah, Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Pejabat Diplomatik Menurut Konvensi Wina 1961(Studi Kasus Penyerangan Dubes AS di Korea Selatan), Diponegoro Law Journal Vol.5 No.3, 2016, Hal.9.
Subjektif (Teori Kesalahan).41Untuk skripsi ini, pertanggungjawaban negara adalah suatu hal yang timbul akibat adanya suatu insiden di wilayah negaranya. Setiap negara penerima perwakilan diplomatik bertanggungjawab atas perlindungan perwakilan diplomatik yang ada di negaranya.
C. Perlindungan Kedutaan Besar di Negara Penerima
Negara penerima mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna melindungi gedung perwakilan diplomatik terhadap serangan atau perusakan, dan mencegah setiap gangguan ketertiban perwakilan diplomatik, perabotannya, barang-barang kantor, dan alat-alat transporatasinya kebal dari setiap bentuk pemeriksaan untuk tujuan-tujuan keamanan umum.
Negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah adanya gangguan atau kerusuhan termasuk gangguan terhadap ketenangan perwakilan atau yang dapat menurunkan harkat dan martabat perwakilan asing di suatu negara.42
Perlindungan terhadap suatu wilayah kedutaan disuatu Negara adalah salah satu bagian dari kekebalan dan keistimewaan hukum diplomatik, dari kekebalan dan keistimewaan diplomatik ini tidak hanya mengatur tentang perlindungan terhadap wilayah saja tetapi mencakup kekebalan dan keistimewaan pejabat diplomatik dan kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik. Pemberian kekebalan dan keistimewaan ini untuk memperlancar atau memudahkan pelaksanaan
41Ibid
42 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik dan Konsuler, PT.Tatanusa, Jakarta, 2013, Hal. 157
kegiatankegiatan para pejabat diplomatik dan bukan atas pertimbangan-pertimbangan lain.43
Kedutaan berfungsi sebagai kedudukan resmi yang bertugas menjalankan misi-misi perwakilan dari negara pengirim ke negara penerima. Perlindungan terhadap gedung kedutaan menjadi suatu masalah yang sangat sering dibicarakan.
Gedung kedutaan sendiri memiliki kekebalan yang telah diakui oleh negara-negara yang melakukan hubungan diplomatik. Kekebalan terhadap kedutaan sendiri meliputi gedung perwakilan, lingkungan dalam perwakilan maupun lingkungan luar perwakilan, selain itu kantor/perwakilan kedutaan di luar negeri tidak boleh dimasuki oleh pejabat-pejabat dari negara penerima secara sembarangan tanpa persetujuan dari perwakilan kedutaan. Sehingga negara penerima wajib menjaga ketentraman dari setiap pejabat-pejabat diplomatik yang berada di wilayah kedutaan tersebut.44
Kedutaan merupakan suatu wilayah ekstrateritorial negara lain yang berdiri dan tidak tunduk pada hukum yang berlaku di negara tersebut tetapi tunduk pada hukum negara dari kedutaan itu sendiri, perlindungan ini bertitik tolak pada prinsip bahwa wisma-wisma perwakilan/gedung-gedung kedutaan tidak boleh diganggu gugat dan oleh karena itu negara penerima memiliki kewajiban untuk melindunginya.45
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah adanya gangguan atau
43 Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2005, Hal 548
44 Adhitya Apris Setyawan, 2013, Perlindungan Terhadap Wilayah Kedutaan Negara Asing Sebagai Implementasi Hak Kekebalan Dan Keistimewaan Diplomatik, Hal,74.
45 Ibid, Hal.74
kerusuhan termasuk gangguan terhadap ketenangan perwakilan atau yang dapat menurunkan harkat dan martabat perwakilan asing di suatu negara.46 Perlindungan terhadap Kedutaan Besar baik perwakilannya maupun gedungnya adalah suatu hal yang harus dipenuhi oleh negara penerima agar perwakilan yang sedang menjalankan misi diplomatiknya di negara penerima dapat menjalankan misinya dengan lancar.
46 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik dan Konsuler, PT.Tatanusa, Jakarta, 2013, Hal. 157
PENGEBOMAN KEDUTAAN BESAR AUSTRALIA DI JAKARTA TAHUN 2004
A. Kronologis Pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta Tahun 2004 Kamis, 9 September 2004 sekitar pukul 10.15 WIB, bom berkekuatan besar mengguncang kawasan Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Ledakan besar terjadi di depan pintu masuk Gedung Kedutaan Besar Australia Kavling C15- 16.64Akibat peristiwa ini, sebanyak 12 orang dinyatakan tewas dan 214 orang lainnya luka-luka.65Di antara korban yang meninggal adalah satpam-satpam Kedubes, pemohon visa, staf Kedubes serta warga yang berada di sekitar tempat kejadian saat bom tersebut meledak. Tidak ada warga Australia yang meninggal dalam kejadian ini.66
Dalam hitungan detik, kaca-kaca jendela gedung di Kedubes Australia hancur berantakan. Hiruk-pikuk keramaian di kawasan Segitiga Emas Kuningan, berubah menjadi kekacauan dan kepanikan. Warga menjadi panik dan histeris melihat jasad manusia berserakan di sekitar lokasi kejadian. Tim Investigasi bom di Kedutaan Besar Australia menyebut mobil boks pembawa bom itu terekam kamera CCTV. Saat melaju dari perempatan Kuningan menuju arah Menteng dan berputar di depan Plaza
64https://www.liputan6.com/news/read/4057292/15-tahun-lalu-bom-mobil-meledak-depan- kedubes-australia-di-jakarta diakses pada 26 Oktober 2020 pukul 23.40 WIB
65 https://www.liputan6.com/news/read/4057292/15-tahun-lalu-bom-mobil-meledak-depan- kedubes-australia-di-jakarta diakses pada 26 Oktober 2020 pukul 23.40 WIB
66 https://id.wikipedia.org/wiki/Pengeboman_Kedutaan_Besar_Australia_2004 diakses pada 8 Januari 2021 pukul 15.20 WIB
Kuningan, pada pukul 10.30 WIB lebih 56 detik atau sekitar 29 detik sebelum bom meledak.66
Ledakan tersebut berasal dari bom mobil di jalur lambat didepan gedung Kedubes Australia. Bahkan, mobil yang meledak berada disekitar tiga meter di depan truk polisi yang sedang melakukan pengamanan di gedung kedubes. Sementara, di pusat ledakan yaitu didepan gedung Kedubes Australia, terdapat lubang berdiameter sekitar dua meter dengan kedalaman tak sampai satu meter. Ledakan bom pun merusak pagar besi di depan gedung Kedubes Australia serta tenda petugas keamanan dan polisi yang berjaga. Ledakan bom tersebut juga merusak beberapa gedung yang berada di sekitar lokasi yang berjarak sekitar 300 meter dari tempat kejadian.
Beberapa gedung yang turut terkena serpihan bom antara lain Plaza 89, Kantor Kementerian Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Menara Gracia, Graha Binakarsa, Sentra Mulia, dan kantor eks Bank Uppindo.67
Sebelumnya, pada Juni 2004, polisi sempat meningkatkan asistensi dan pelatihan keamanan di lingkungan lima kantor kedutaan besar asing di Jakarta.
Pelatihan ini dilakukan mengingat adanya informasi intelijen mengenai rencana kelompok yang dikabarkan akan membunuh duta besar asing dari negara Barat.
Harian Kompas,16 Juni 2004, menyebutkan, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri saat itu, Inspektur Jenderal Dadang Garnida, mengatakan, ada lima kedubes yang ditingkatkan pengamanannya. Kelima kedubes itu antara lain Inggris, Amerika Serikat, Australia, Spanyol, dan Belanda.Bahkan, Menteri Luar Negeri Australia saat
66https://www.liputan6.com/news/read/4057292/15-tahun-lalu-bom-mobil-meledak-depan- kedubes-australia-di-jakarta diakses pada 26 Oktober 2020 pukul 23.52 WIB
67Op Cit
itu, Alexander Downer mengatakan bahwa pihaknya sebenarnya telah meningkatkan pengamanan di kantor kedubesnya di Jakarta selama beberapa tahun terakhir. Downer menuturkan, sepekan sebelum ledakan bom, pihak Australia telah menerima ancaman teror bom di beberapa hotel di Indonesia. Kemudian, setelah adanya ancaman tersebut, pihaknya langsung mengeluarkan travel warning kepada warganya yang berkunjung ke Indonesia. Tak hanya Australia, peringatan bepergian ke Indonesia juga dikeluarkan oleh beberapa negara lain, antara lain, Inggris, Jepang, Yunani, Selandia Baru, dan beberapa negara lain.68
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan yaitu pengeboman yang terjadi di Kedubes Australia di Jakarta pada tanggal 9 September 2004 menimbulkan banyak kerugian dari pihak Kedubes maupun dari pihak aparat keamanan. Jumlah korban yaitu 12 orang dinyatakan tewas dan 214 orang lainnya luka-luka. Dari pihak Kedubes Australia, korban yang terdampak yaitu aparat keamanan, staf diplomatik, dan juga pemohon visa. Tidak ada staf dari Australia yang menjadi korban jiwa dalam pengeboman ini. Gedung Kedubes Australia juga terdampak pengeboman ini.
Akibat pengeboman ini, kaca jendela gedung Kedubes Australia menjadi hancur berantakan. Ledakan bom pun merusak pagar besi di depan gedung Kedubes Australia serta tenda petugas keamanan dan polisi yang berjaga.
68https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/09/060500265/hari-ini-dalam-sejarah--9- september-2004-bom-mobil-meledak-di-depan-kedubes?page=all diakses pada 27 Oktober 2020 pukul 00.14
B. Kewajiban Indonesia Dalam Melindungi Perwakilan Diplomatik Pada Kasus Pengeboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004.
Perlindungan terhadap suatu wilayah kedutaan disuatu negara adalah salah satu bagian dari kekebalan dan keistimewaan hukum diplomatik, dari kekebalan dan keistimewaan diplomatik ini tidak hanya mengatur tentang perlindungan terhadap wilayah saja tetapi mencakup kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik.
Pemberian kekebalan dan keistimewaan ini untuk memperlancar atau memudahkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan para pejabat diplomatik dan bukan atas pertimbangan- pertimbangan lain.69
Didalam Pasal 1 Konvensi Wina 1961 dijelaskan tentang pengertian anggota misi diplomatik, yaitu:70
“Untuk tujuan Konvensi ini, istilah-istilah berikut akan mempunyai arti yang disebutkan di bawah ini untuk istilah-istilah tersebut:
a) “Kepala misi” adalah orang yang diberi tugas oleh Negara pengirim dengan tegas untuk bertindak di dalam kapasitas sebagai kepala misi.
b) “Anggota misi” adalah kepala misi dan anggota-anggota staf misi.
c) “Anggota-anggota staf misi” adalah anggota-anggota staf diplomatik, anggota-anggota staf administratif dan teknik dan anggota staf pelayan dari misi.
d) “Anggota staf diplomatik” adalah anggota-anggota staf daripada misi yang mempunyai tingkatan diplomatik.
e) “Agen diplomatik” adalah kepala misi atau seorang anggota staf diplomatik dari misi.
f) “Anggota staf teknik dan administratif” adalah anggota-anggota staf misi yang dipekerjakan di dalam pelayanan teknik dan administratif dari misi.
g) “Anggota staf pelayan” adalah anggota-anggota staf misi di dalam pelayanan domestik daripada misi.
h) “Pelayan pribadi” adalah orang yang di dalam pelayanan domestik dari seorang anggota misi dan yang bukan pegawai Negara pengirim misi.
69 Boer, Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT.Alumni, Bandung, 2011, Hal.548
70Konvensi Wina 1961, Op Cit
i) “Gedung misi” adalah bangunan atau bagian dari bangunan dan tanah yang menyokongnya, tak memandang pemilikannya, dipergunakan untuk tujuan- tujuan misi termasuk tempat kediaman kepala misi.”
Jika dilihat dari kasus pengeboman yang terjadi, tidak ada korban yang termasuk didalam aturan Pasal 1 Konvensi Wina 1961. Hal ini membuat Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap korban jiwa dan luka-luka yang terkena dampak pengeboman di Kedubes Australia tersebut. Tetapi berdasarkan pasal tersebut, gedung diplomatik yang rusak akibat pengeboman Kedubes Australia menjadi tanggung jawab Indonesia sebagai negara penerima karena gedung Kedubes Australia termasuk kedalam sebuah misi diplomatik.
Dalam Konvensi Wina 1961 Pasal 29 mengatur bahwa : “The person of a diplomatic agent shall be inviolable. The receiving state shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack in his person, freedom or dignity.” Seorang agen diplomatik tidak dapat diganggu gugat. Ia tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam segala bentuk penangkapan atau penahanan.
Negara penerima harus memperlakukannya dengan penuh hormat dan harus mengambil setiap langkah yang diperlukan untuk mencegah adanya serangan terhadap diri sendiri, kemerdekaan dan martabat.71
Dalam Pasal 29 menunjukan bahwa negara penerima pun memiliki kewajiban untuk melindungi para diplomat yang ada di negaranya dengan cara sebagaimana yang dijelaskan. Hal ini juga sejalan dengan prinsip kesepakatan bersama (mutual consent) dan prinsip resiprositas atau timbal balik bahwa masing-masing negara pun
71Ibid