• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.56390/PP/M.XIA/13/2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.56390/PP/M.XIA/13/2014"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.56390/PP/M.XIA/13/2014

Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26 Tahun Pajak : 2003

Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap koreksi objek Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar Rp58.521.759.433,00, (DPP menurut Terbanding sebesar Rp62.187.013.765,00, sedangkan menurut Pemohon Banding sebesar Rp3.665.254.332,00);

Menurut Terbanding

: bahwa menanggapi permintaan Majelis untuk menanggapi peraturan yang digunakan oleh Pemohon Banding, Terbanding menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 telah dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 yang terdapat perbedaan yang cukup signifikan.

Pada Pasal 1 PP Nomor 73 Tahun 1996 menyatakan bahwa “atas penghasilan Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi dan Wajib Pajak badan yang bergerak di bidang usaha jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi dan/atau jasa konsultan, kecuali konsultan hukum dan konsultan pajak, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final” sementara pada PP Nomor 140 Tahun 2000 Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan” dan pada ayat (2) menyatakan bahwa “atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final”. Sehingga perbedaan diantara PP Nomor 73 Tahun 1996 dan PP Nomor 140 Tahun 2000 adalah pada PP Nomor 73 Tahun 1996 semua penghasilan yang bergerak di bidang usaha jasa kontruksi dikenakan PPh Final sedangkan pada PP Nomor 140 Tahun 2000 hanya yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000,00 atau usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang yang dikenakan PPh Final. Oleh karena itu, Terbanding harus melakukan pengecekan kembali terhadap tanggapan tertulis Pemohon Banding bahwa tidak terdapat sengketa pajak final dan pajak non final;

Menurut Pemohon : bahwa menjawab pertanyaan Majelis dalam persidangan perihal jenis pajak final dan tidak final, Pemohon Banding menyatakan bahwa berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE- 13/PJ.42/2002 pada angka 5 yang menyebutkan bahwa ”Terhadap kontrak pekerjaan jasa konstruksi yang telah berjalan sebelum tanggal 1 januari 2001, tetap berlaku ketentuan lama (dikenakan PPh Final) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 704/KMK.04/1996 tanggal 30 Desember 1996 hingga selesainya kontrak/proyek”.

Terbanding menyatakan bahwa terdapat perbedaan perhitungan antara perhitungan PPh Badan dengan PPh Pasal 26 ayat (4), sedangkan ketika merujuk pada Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh yang menyatakan bahwa “Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” dan Penghasilan Kena Pajak dari suatu bentuk usaha tetap berdasarkan Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang PPh dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) sedangkan mengenai PPh Final diatur pada Pasal 4 ayat (2), menurut Terbanding perhitungan penghasilan kena pajak yang dihitung menurut pembukuan laporan keuangan dikurangi dengan pajak yang final, penghasilan kena pajak dalam laporan keuangan menggunakan tarif Pasal 17 dan sisanya akan digunakan sebagai dasar menghitung PPh Pasal 26 ayat (4). Sedangkan menurut Pemohon Banding ketika terdapat pajak final, maka penghasilan kena pajak harus dilakukan perhitungan kembali penghasilan mana yang termasuk final kemudian jika sudah diketahui penghasilan mana yang dikenai pajak final maka total penghasilan dikurangi dengan penghasilan final hasilnya adalah penghasilan yang digunakan sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 26 ayat (4);

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(2)

Menurut Majelis : bahwa berdasarkan Pemeriksaan Majelis atas Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) Nomor: Lap- 018/WPJ.07/KP.1005/2011 tanggal 11 Maret 2011 Tahun pajak 2003 diketahui alasan koreksi obyek PPh Pasal 26 ayat (4) sebesar Rp58.521.759.433,00 adalah sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;

bahwa berdasarkan Pemeriksaan Majelis atas Laporan Penelitian Keberatan Nomor LAP- 663/WPJ.07/2012 tanggal 16 April 2011 diketahui hal-hal sebagai berikut:

bahwa berkenaan dengan alasan Pemohon Banding bahwa penentuan Penghasilan Kena Pajak yang menjadi dasar perhitungan PPh Pasal 26 (4) harus merujuk ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU PPh, namun dengan berlakunya PP Nomor 73 Tahun 1996 pengenaan PPh Badan Wajib Pajak menjadi Final maka Penghasilan Kena Pajak yang menjadi dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) tersebut harus dihitung berdasarkan Deemed Profit, Tim Peneliti tidak sependapat dengan Pemohon Banding dengan alasan sebagai berikut:

Pasal 16 UU PPh mengatur tentang ketentuan umum mengenai cara menghitung Penghasilan Kena Pajak terkait dengan dasar penerapan tarif yang selanjutnya diatur dalam Pasal 17 UU PPh.

Adapun, Pasal 16 ayat (3) UU PPh mengatur tentang cara menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak BUT yang pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dimana karena BUT berkewajiban menyelenggarakan pembukuan maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara biasa.

Dengan demikian, ketentuan tersebut tidak mengatur mengenai cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari BUT yang penghasilannya dikenakan PPh Final yang secara khusus diatur dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh Jo. Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 113/KMK.03/2002;

Adapun PP Nomor 73 Tahun 1996 mengatur mengenai pengenaan PPh Final atas Jasa Konstruksi dimana dalam Pasal 2 disebutkan bahwa pelaksana Jasa Konstruksi (bidang usaha Pemohon Banding) dikenakan PPh Final sebesar 2% dari jumlah imbalan bruto. PP ini merupakan amanat Pasal 4 ayat (2) UU PPh dimana untuk jenis usaha tertentu dengan pertimbangan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Pemohon Banding maupun Terbanding, maka pengenaan pajaknya dapat bersifat final;

Dalam PP ini tidak diatur secara eksplisit mengenai Demed Profit sebesar 6,67% yang menjadi argumen Pemohon Banding. Selain itu PP tersebut juga tidak mengatur mengenai cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari BUT yang penghasilannya dikenakan PPh Final yang secara khusus diatur dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh Jo. Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 113/KMK.03/2002;

bahwa menanggapi pendapat Pemohon Banding (tersebut dalam bukti pendukung keberatan berupa Putusan Banding terkait sengketa sejenis yaitu atas SKPKB PPh Pasal 26 Masa Pajak Januari s.d.

Desember 2004) bahwa Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 113/KMK.03/2002 seharusnya hanya mengatur lebih lanjut mengenai definisi dan kualifikasi atas penghasilan yang ditanamkan kembali di Indonesia oleh suatu bentuk usaha tetap agar dapat dibebaskan dari pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4), sebagaimana diwenangkan oleh Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh beserta penjelasannya, Tim Peneliti tidak sependapat dengan Pemohon Banding dengan alasan sebagai sebagai berikut:

Dengan menafsirkan bahwa Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 113/KMK.03/2002 seharusnya hanya mengatur lebih lanjut mengenai definisi dan kualifikasi atas penghasilan yang ditanamkan kembali di Indonesia, Wajib Pajak telah secara parsial menafsirkan Penjelasan Pasal 26 ayat (4) berdasarkan penggalan kalimat dalam contoh perhitungan PPh Pasal 26 ayat (4).

Adapun, secara lengkap Penjelasan Pasal 26 ayat (4) UU PPh berbunyi sebagai berikut:

atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen);

Contoh :

Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia

Rp 17.500.000.000

Pajak Penghasilan:

10% x Rp 50.000.000.00 15% x Rp 50.000.000.00 30% x Rp 17.400.000.000.00

Rp 5.000.000 Rp 7.500.000 Rp 5.220.000.000

Rp 5.232.500.000 Penghasilan Kena Pajak

setelah dikurangi pajak

Rp12.267.500.000 Pajak Penghasilan Pasal

26 yang terutang 20% X 12.267.500.000

Rp 2.453.500.000

Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak sebesar Rp12.267.500,000,00 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak;

Selain daripada itu, berdasarkan bunyi kalimat Pasal 26 ayat (4) telah jelas dinyatakan sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan;

Adanya dua tanda koma yang mengapit kalimat "kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia" menunjukkan bahwa anak kalimat yang berbunyi "yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan" bukan diperuntukkan khusus menerangkan kalimat tersebut. Akan tetapi, lebih tepat bahwa anak kalimat tersebut menerangkan induk kalimat yang berbunyi "Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen)."

Penjelasan di atas sesuai dengan judul Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 113/KMK.03/2002 yang disebut "KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN tentang PERLAKUAN PERPAJAKAN atas PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK dari SUATU BENTUK USAHA TETAP";

bahwa berkenaan dengan alasan Pemohon Banding bahwa perhitungan PPh Pasal 26 Ayat (4) harus dilakukan dengan menggunakan metode "deemed profif' karena akan terdapat ketidakkonsistenan apabila terdapat PPh Badan yang harus dibayar berdasarkan pengenaan PPh Badan sebesar 2% dari penghasilan bruto Wajib Pajak, namun demikian berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tidak ada PPh Pasal 26 ayat (4) terutang karena "Laba Bersih" berada dalam posisi rugi, Tim Peneliti tidak sependapat dengan Pemohon Banding dengan penjelasan sebagai berikut:

Secara substansi PPh Pasal 26 ayat (4) dikenakan atas Laba setelah Pajak dari BUT (Branch Profit Tax), sehingga tidak tepat apabila dengan alasan konsistensi terkait PPh Badan yang dikenakan PPh Final berdasarkan Demed Profit maka Wajib Pajak yang menurut pembukuan setelah koreksi fiskal mengalami Lost (Rugi) tetap harus dikenakan PPh Pasal 26 ayat (4), karena dengan Deemed Profit tidak mengenal istilah "Rugi";

Secara filosofis, pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) atas Laba setelah Pajak dari BUT (Branch Profit Tax) identik dengan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran piden untuk Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang menjalankan usaha di Indonesia melalui penyertaan saham dalam anak perusahaan (PMA), sehingga dalam Tax Treaty-pun pengaturan mengenai Branch Profit Tax diatur dalam Article mengenai "Dividend". Dengan sistem pemajakan atas Laba setelah Pajak dari BUT (Branch Profit Tax) tersebut setiap usaha yang dijalankan oleh WPLN apakah melalui anak perusahaan (PMA) ataupun cabang (BUT) dikenakan pajak secara netral. Lebih lanjut, untuk mendorong reinvestasi laba tersebut di Indonesia, sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (4) pengenaan pajak tersebut dapat dikecualikan. Dengan demikian, tidak tepat apabila berdasarkan alasan konsistensi dengan dasar perhitungan PPh Badan, jumlah laba setelah pajak yang ditanamkan kembali yang dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) ataupun tidak ditanamkan kembali sehingga dikenakan PPh Pasal 26 ayat (4) bukan berdasarkan perhitungan sebenarnya menurut pembukuan melainkan dihitung berdasarkan Perkiraan Penghasilan Netto (Deemed Profit);

Pengenaan PPh Final atas Jasa Konstruksi sebagaimana diatur dalam PP Nomor 73 Tahun 1996 memiliki landasan filosofis dan dasar hukum yang berbeda dibanding dengan pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) sebagaimana tersebut di atas. Pengenaan PPh Final atas Jasa Konstruksi yang diatur dalam PP tersebut merupakan amanat Pasal 4 ayat (2) dimana untuk jenis usaha tertentu dengan pertimbangan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan ini dapat bersifat final yang ketentuannya lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, atas hal yang berbeda ini, tidak tepat apabila disamakan cara penghitungan pajaknya. Lebih lanjut, istilah deemed profit atas PPh Final 2% atas Jasa Konstruksi serta perhitungannya sebesar 6,67% sebagaimana disebutkan Wajib Pajak tidak ditemukan dalam PP Nomor 73 Tahun 1996 tersebut;

bahwa dengan demikian, Tim Peneliti tidak dapat menerima alasan keberatan Pemohon Banding atas koreksi dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) sehingga koreksi atas DPP PPh Pasal 26 sebesar Rp 58.521.759.433 diusulkan untuk tetap dipertahankan;

bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Nomor : 00014/204/03/081/11 tanggal 16 Maret 2011 Masa Pajak Januari s.d. Desember 2003 Jenis Pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 sudah tepat. Dengan demikian diusulkan untuk menolak permohonan Wajib Pajak, dan perhitungan dalam Surat Ketetapan Pajak tetap mempertahankan sebagai berikut :

Uraian Cfm Wajib Pajak

(Rp)

Cfm Pemeriksa (Rp)

Cfm Peneliti (Rp) Dasar

Pengenaan Pajak

3.665.254.332 62.187.013.765 62.187.013.765

PPh Pasal 26 yang terutang

549.788 150 9.328.052.065 9.328.052.065 Kredit Pajak 549.788.150 549.788.150 549 788.150 Pajak Yang

Tidak / Kurang Bayar

- 8.778 263.915 8.778 263 915

Sanksi Administrasi

- 4.213.566.679 4.213.566.679 PPh yang

masih harus (lebih) dibayar

- 12.991.830.594 12.991.830.594

bahwa menurut Terbanding, koreksi fiskal tersebut dilakukan sesuai dengan Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap yang menyatakan sebagai berikut:

"Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final”.

Dengan diberlakukannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor 602/KMK.04/1994 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap Yang Ditanam Kembali di Indonesia dinyatakan tidak berlaku.

bahwa Pemohon Banding sebagai BUT di Indonesia adalah terkait dengan proyek “Boiler Island Works”

dimana berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tanggal 15 September 1995, Pemohon Banding akan menyediakan jasa konstruksi yang meliputi penyediaan peralatan, material dan jasa di dalam wilayah Indonesia sehubungan dengan pelaksanaan proyek tersebut kepada Pemilik Proyek.

bahwa penghasilan dari usaha Jasa Konstuksi yang diterima oleh Pemohon Banding dikenaan PPh Final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh jis. PP Nomor 73 Tahun 1996 sebaimana telah diubah dengan PP Nomor 140 Tahun 2000, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000, Surat Edaran Nomor SE-13/PJ.42/2002 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. Terkait dengan PPh Final tersebut, tidak ada sengketa antara Pemohon Banding dan Terbanding (Pihak Terbanding setuju dengan perhitungan PPh Badan Pemohon Banding);

bahwa beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan terkait dengan yang disengketakan dalam banding ini antara lain adalah sebagai berikut :

Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan bahwa:

"Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen) kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan."

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultasi menyatakan bahwa:

“atas penghasilan Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi dan Wajib Pajak badan yang bergerak dibidang usaha jasa perencanaan kontruksi, jasa pengawasan kontruksi dan/atau jasa konsultan, kecuali konsultan hukum dan konsultan pajak, dikenakan Pajak penghasilan yang bersifat final.”

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultasi menyatakan bahwa:

“(1) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.

(2) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 704/KMK.04/1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultasi menyatakan bahwa:

“(1) atas penghasilan berupa imbalan yang diterima oleh Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi dan Wajib Pajak Badan yang bergerak di bidang usaha jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi dan/atau jasa konsultan dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

(2) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

a. atas imbalan jasa pelaksanaan konstruksi adalah 2% (dua persen);

b. atas imbalan jasa perencanaan konstruksi adalah 4% (empat persen);

c. atas imbalan jasa pengawasan konstruksi adalah 4% (empat persen);

d. atas imbalan jasa konsultan adalah 4% (empat persen).

(3) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap jumlah Imbalan bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 559/KMK.04/2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi menyatakan bahwa:

(1) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan.

(2) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang, dan yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.”

Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final.”

Angka 5 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.42/2002 tanggal 22 Juli 2002 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi menyatakan bahwa:

Terhadap kontrak pekerjaan jasa konstruksi yang telah berjalan sebelum tanggal 1 Januari 2001, tetap berlaku ketentuan lama (dikenakan PPh final) sebagaimana diatur dalam Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 704/KMK.04/1996 tanggal 30 Desember 1996 hingga selesainya kontrak/proyek tersebut. atas PPh Pasal 23 yang telah dipotong dan PPh Pasal 25 yang telah disetor sendiri serta dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan Tahun pajak 2000 yang berakhir setelah tanggal 31 Desember 2000 dan atau SPT Tahunan PPh Badan Tahun pajak 2001, dapat ditempuh prosedur pemindahbukuan (Pbk) ke PPh final dan prosedur pembetulan SPT Tahunan sesuai ketentuan umum yang berlaku.

bahwa sengketa antara Pemohon Banding dengan Terbanding adalah terkait dengan perbedaan metode perhitungan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak untuk suatu Bentuk Usaha Tetap, dimana Pemohon Banding menggunakan metode “deemed profit” setelah pajak sebagai dasar pengenaan tarif pajak atas laba suatu BUT yang penghasilannya dikenakan pajak secara final, sedangkan Terbanding menggunakan metode “Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final”;

bahwa menurut Pemohon Banding cara penghitungan Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 26 ayat (4) bagi BUT adalah Pemohon Banding dikenakan PPh Final sebesar 2% sehingga kalau dihitung deemed profitnya adalah 6,67 % dari peredaran usaha;

bahwa menurut Pemohon Banding penghitungan PPh Pasal 26 ayat (4) menggunakan Deemed Profit karena PPh Badan telah dikenakan PPh Final, sedangkan Terbanding berpendapat cara penghitungan Pasal 26 ayat (4) tetap menggunakan cara penghitungan biasa walaupun PPh Badan dihitung berdasarkan penghitungan final;

bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Pemohon Banding merupakan BUT yang memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Sehingga menurut Terbanding berdasarkan Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, Penghasilan Kena Pajak-nya dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final”;

bahwa sehubungan dengan adanya pertanyaan-pertanyaan mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 Terbanding menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.42/2002 tanggal 22 Juli 2002 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi memberikan penegasan sebagai berikut:

1. Pengertian dan ruang lingkup usaha jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000, adalah mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang relevan mengenai usaha jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000.

2. Pekerjaan perawatan berupa pembersihan dan pengecetan bangunan atau bentuk fisik lainnya yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, pekerjaan pemasangan dan pemeliharaan/perbaikan mesin dan peralatan mekanik atau elektrik serta komponen-komponen bangunan siap pasang (prefabricated) sebagai pelayanan purna jual (after sales services) yang dilakukan langsung oleh pabrikan atau pemasok mesin dan peralatan tersebut, serta pekerjaan jasa teknik, disain interior dan pertamanan yang dilakukan oleh bukan pengusaha jasa konstruksi, tidak termasuk dalam pengertian pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu atas penghasilan yang diterima/diperoleh para pengusaha dimaksud tidak berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000, melainkan berlaku ketentuan umum Undang- undang Pajak Penghasilan.

3. Perlakuan PPh final (Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000) atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang diterima/diperoleh Wajib Pajak pengusaha kecil hanya berlaku sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan dapat memberikan fotokopi sertifikat kualifikasi sebagai usaha kecil yang masih berlaku dan dilegalisir dan sepanjang jumlah nilai kontrak per proyek yang dikerjakan olehnya tidak lebih dari Rp.1.000.000.000,00 (sesuai ketentuan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000). Fotokopi sertifikat dimaksud diberikan kepada pemotong pajak atau dilampirkan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam hal tidak dilakukan pemotongan pajak. Apabila salah satu persyaratan tidak dipenuhi, maka atas penghasilan dari kontrak/proyek yang tidak memenuhi persyaratan tersebut berlaku ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000.

4. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000, baru efektif berlaku terhadap:

a. Kontrak pekerjaan jasa konstruksi yang ditandatangani setelah tanggal 31 Desember 2000; dan/atau

b. Kontrak pekerjaan jasa konstruksi yang telah ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2001, yang pelaksanaan pekerjaannya baru dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2000.

bahwa atas PPh final yang telah dipotong atau disetor sendiri atas penerimaan uang muka kontrak yang belum berjalan hingga tanggal 31 Desember 2000, dapat ditempuh prosedur pemindahbukuan (Pbk) ke PPh Pasal 23 sesuai ketentuan umum yang berlaku.

5. Terhadap kontrak pekerjaan jasa konstruksi yang telah berjalan sebelum tanggal 1 Januari 2001, tetap berlaku ketentuan lama (dikenakan PPh final) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 704/KMK.04/1996 tanggal 30 Desember 1996 hingga selesainya kontrak/proyek tersebut. atas PPh Pasal 23 yang telah dipotong dan PPh Pasal 25 yang telah disetor sendiri serta dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan Tahun pajak 2000 yang berakhir setelah tanggal 31 Desember 2000 dan atau SPT Tahunan PPh Badan Tahun pajak 2001, dapat ditempuh prosedur pemindahbukuan (Pbk) ke PPh final dan prosedur pembetulan SPT Tahunan sesuai ketentuan umum yang berlaku.

bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 mengatur secara umum tentang perlakuan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap, artinya meliputi semua jenis usaha;

2. Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi diatur secara khusus semula dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 704/KMK.04/1996 tanggal 30 Desember 1996 yang kemudian diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 559/KMK.04/2000;

3. Usaha jasa konstruksi yang dilakukan oleh Pemohon Banding terkait dengan proyek “Boiler Island Works” berdasarkan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 15 September 1995, sehingga sesuai dengan penegasan Terbading pada angka 4 dan 5 SE-13/PJ.42/2002 tanggal 22 Juli 2002 tentang Pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi kepada Pemohon Banding tetap diberlakukan ketentuan lama (dikenakan PPh final) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 704/KMK.04/1996 tanggal 30 Desember 1996;

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, maka Majelis berpendapat bahwa karena metode penghitungan pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(3)

Menimbang : bahwa terhadap sengketa banding ini, Hakim Arif Subekti berbeda pendapat (dissenting opinions) mengenai hasil Pemeriksaan atas materi sengketa pengajuan banding, dengan pertimbangan sebagai berikut :

Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan bahwa:

"Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen) kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan."

Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, maka dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final.”

bahwa Hakim AAA berpendapat bahwa ketentuan Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap sudah sejalan dengan Pasal 26 ayat (4) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 2000;

bahwa Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan menyatakan :

“Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut : a. atas imbalan jasa pelaksanaan konstruksi adalah 2% (dua persen);

bahwa ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan tersebut di atas merupakan pelaksanaan dari Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yang menyatakan :

“atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah”

bahwa Hakim AAA berpendapat ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan tersebut di atas bukan pelaksanaan atau berhubungan dengan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000;

bahwa dengan demikian ketentuan tersebut tidak dapat digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan Pasal 26;

bahwa berdasarkan hasil Pemeriksaan dan pertimbangan tersebut di atas Hakim AAA berkesimpulan tetap mempertahankan Koreksi Positif Objek Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar Rp58.521.759.433,00 Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Kredit Pajak;

Menimbang : bahwa bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif pajak;

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(4)

Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;

bahwa Pasal 79 Undang-undang Nomor 14 tentang Pengadilan Pajak menyatakan :

(1) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, putusan Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara terbanyak.

(2) Apabila Majelis di dalam mengambil putusan dengan cara musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan sehingga putusan diambil dengan suara terbanyak, pendapat Hakim Anggota yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan Pengadilan Pajak.”

Menimbang : bahwa berdasarkan hasil Pemeriksaan atas fakta-fakta, bukti-bukti, penjelasan Pemohon Banding dan Terbanding yang terungkap dalam persidangan, penelitian terhadap berkas banding tersebut di atas Majelis dengan suara terbanyak berdasarkan Pasal 79 Undang-undang Nomor 14 tentang Pengadilan Pajak berkesimpulan mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding, sehingga obyek PPh Pasal 26 Pemohon untuk Masa Januari s.d Desember 2003 dihitung kembali sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak

menurut Terbanding Rp. 62.187.013.765,00 - Koreksi Positif yang

tidak dipertahankan oleh Majelis

Rp. 58.521.759.433,00 Dasar Pengenaan Pajak

menurut Majelis Rp 3.665.254.332,00

Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;

(5)

Memutuskan : Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-733/WPJ.07/2012 tanggal 16 April 2012, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil Pajak Penghasilan Pasal 26, Nomor 00014/204/03/081/11 tanggal 16 Maret 2011 Masa Pajak Januari s.d Desember 2003 atas nama: XXX, sehingga besarnya Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 26 Masa Pajak Januari s.d Desember 2003 dihitung kembali dengan perhitungan menjadi sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak Rp 3.665.254.332,00 Pajak Penghasilan Pasal

26 yang terutang Rp 549.788.150,00 Kredit Pajak Rp 549.788.150,00 Pajak Penghasilan Pasal

26 kurang bayar Rp 0,00 Sanksi administrasi:

- Bunga Pasal 13 ayat

(2) UU KUP Rp 0,00 Jumlah yang masih harus

dibayar Rp 0,00

Demikian diputus di Jakarta pada hari Senin tanggal 07 Oktober 2013 berdasarkan suara terbanyak Majelis XI A Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

BBB sebagai Hakim Ketua,

CCC sebagai Hakim Anggota,

DDD sebagai Hakim Anggota,

FFF sebagai Panitera Pengganti.

Putusan Nomor: Put-56390/PP/M.XIA/13/2014 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Senin tanggal 27 Oktober 2014, dengan dihadiri oleh Para Hakim Anggota dan Panitera Pengganti, dengan susunan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

GGG sebagai Hakim Ketua,

CCC sebagai Hakim Anggota,

HHH sebagai Hakim Anggota,

KKK sebagai Panitera Pengganti.

serta dihadiri oleh Terbanding namun tidak dihadiri oleh Pemohon Banding

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

Referensi

Dokumen terkait

bahwa adapun pembahasan koreksi di Pajak Penghasilan Badan adalah sebagai berikut : bahwa menurut Terbanding Koreksi atas Management Services Fee dilakukan karena pemeriksaan PPN

bahwa berdasarkan SPT tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2012 dan fakta yang terungkap dalam persidangan CTP adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang memiliki hubungan istimewa dengan

bahwa menurut Pemohon Banding, kekeliruan tersebut merupakan simple error, bahwa dari pemeriksaan awal Terbanding telah memberikan rincian objek Pajak Penghasilan Pasal 23, dari

bahwa adapun pembahasan koreksi di Pajak Penghasilan Badan adalah sebagai berikut : bahwa menurut Terbanding Koreksi atas Management Services Fee dilakukan karena pemeriksaan PPN

bahwa Terbanding berpendapat Beban Angkut yang menjadi komponen Harga Pokok Penjualan sejalan dengan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

bahwa Terbanding berpendapat Beban Angkut yang menjadi komponen Harga Pokok Penjualan sejalan dengan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

bahwa dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000

11 Pebruari 2008 dan koreksi tambahan dari Keputusan keberatan untuk Masa Pajak Januari 2007 yang pokok Pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 dan sanksi bunganya