• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDUAN TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DEWASA (PJBD)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PANDUAN TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DEWASA (PJBD)"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

KELOMPOK KERJA KARDIOLOGI PEDIATRIK

DAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS

KARDIOVASKULAR INDONESIA

PANDUAN TATALAKSANA

(2)
(3)

TIM PENYUSUN

PANDUAN TATALAKSANA

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DEWASA (PJBD)

Ketua : Anna Ulfah Rahajoe Sekretaris : Yovi Kurniawati

Damba Dwisepto Aulia Sakti Editor : Anna Ulfah Rahajoe

Poppy Surwianti Roebiono Ganesja Mulia Harimurti Kontributor : Abdullah Afif Siregar

Aditya Agita Sembiring Andi Alief Armyn

Anna Ulfah Rahajoe Ali Nafiah Nasution Benny T.M. Togatorop Charlotte Johanna Cool Damba Dwisepto Aulia Sakti Heny Martini

Indriwanto Sakidjan Atmosudigdo Kino

Oktavia Lilyasari Olfi Lelya

Radityo Prakoso Sisca Natalia Siagian

Valerinna Yogibuana Swastika Putri Yovi Kurniawati

(4)

KATA SAMBUTAN

Ketua PP PERKI

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, maka buku PANDUAN TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DEWASA edisi pertama tahun 2020 yang disusun oleh Kelompok Kerja Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia ini dapat terselesaikan dengan baik. Kami mengharapkan panduan ini dapat di pergunakan sebagai acuan khususnya bagi seluruh Dokter SpJP dan umumnya bagi sejawat para Dokter di Indonesia, dalam memberikan pelayanan kesehatan jantung dan pembuluh darah pada berbagai tingkat fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia.

Kami sampaikan penghargaan yang setinggi tingginya kepada tim penyusun, yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan keahliannya untuk menyelesaikan penyusunan panduan ini hingga dapat diterbitkan.

Sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kardiovaskuler, panduan ini akan selalu dievaluasi dan disempurnakan agar dapat digunakan untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan berkualitas. Semoga panduan ini ini bermanfaat untuk kita semua.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 24 Oktober 2020

PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia Dr. dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA

(5)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk kita semua.

Ilmu tentang penyakit jantung bawaan dewasa (PJBD) kini semakin berkembang pesat. Hal ini didorong oleh cepatnya akumulasi pasien PJBD, baik yang belum maupun yang sudah diintervensi bedah atau non bedah (trans-kateter). Kemajuan ilmu dan teknologi penanganan PJB memang telah berhasil menyelamatkan banyak kasus PJB, yang kompleks sekalipun. Namun, ternyata banyak di antaranya yang membutuhkan perawatan lanjutan jangka panjang, walaupun intervensi awal sukses. Agar mereka terhindar dari penurunan kualitas hidup atau kematian dini, maka diperlukan penanganan yang terstruktur dan evaluasi yang terprogram, setidaknya menyamai penanganan sebelumnya. Hal inilah yang mendorong Kelompok Kerja (POKJA) Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan - Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), untuk menerbitkan panduan khusus PJBD.

Setelah melalui beberapa kali diskusi dengan para anggota POKJA Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan - PERKI, akhirnya buku PANDUAN TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DEWASA edisi pertama dapat diterbitkan.

Panduan ini disusun berdasarkan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir di bidang PJB, yang terus menerus berkembang dari tahun ke tahun. Sebagai acuan utama diguna Guideline European Society of

Cardiology (ESC): The Management of Adult Congenital Heart Disease 2020, karena merangkum banyak bukti ilmiah sahih terkini serta

pengalaman yang luas dari para pakar, dengan memperhatikan kesesuaiannya untuk kondisi di Indonesia.

(6)

sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya disertai ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas waktu, tenaga dan pikiran yang telah disumbangkan untuk terbitnya panduan ini.

Memang, kalau ditelaah lebih mendalam, kondisi pelayanan PJBD di Indonesia masih jauh dari sempurna, diharapkan panduan ini akan mengarahkan pada upaya perbaikan yang mendasar. Panduan ini secara periodik akan dikaji untuk penyempurnaan lebih lanjut, agar pelayanan kita kepada pasien PJBD tidak jauh tertinggal dari negara negara maju dan pasien mendapat manfaat sebesar-besarnya.

Semoga panduan ini bermanfaat, khususnya bagi seluruh Dokter SpJP dan umumnya bagi sejawat para Dokter di Indonesia dalam memberikan pelayanan yang profesional, cepat, berkualitas, dan berorientasi pada kebutuhan pasien PJBD.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jakarta, Oktober 2020

Kelompok Kerja Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan dr. Yovi Kurniawati, SpJP(K), FIHA

(7)

DAFTAR ISI

Tim Penyusun……….. i

Sambutan Ketua PERKI………. ii

Kata Pengantar……… iii

Daftar Isi………... v

Daftar Tabel……….……… xi

Daftar Gambar………. xii

Daftar Singkatan………. xiii

International Classification of Diseases 10 (ICD-10)-WHO version 2016, kelainan bawaan sistem sirkulasi (Q20-Q28)………. xiv

International Classification of Diseases 9CM (ICD-9CM)-WHO version 2015, Operasi pada penyakit jantung bawaan…... xvii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar belakang 1 1.2 Ketentuan klasifikasi rekomendasi 2 BAB II ASPEK UMUM PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DEWASA (PJBD)……….. 3

2.1 Epidemiologi 3

2.2 Klasifikasi penyakit jantung bawaan 4

2.3 Pengorganisasian pelayanan 5

2.4 Diagnostik 8

2.4.1 Ekokardiografi 9

2.4.2 Cardiovascular magnetic resonance (CMR) 10 2.4.3 Cardiovascular computed tomography (CCT) 11

2.4.4 Uji latih kardiopulmoner (cardiopulmonary

exercise testing = CPET) 12

2.4.5 Kateterisasi jantung 12

2.4.6 Biomarker 13

2.5 Pertimbangan Terapi 14

2.5.1 Gagal Jantung 14

2.5.2 2 Aritmia dan henti jantung mendadak16

2.5.2.1 Substrat aritmia 16

2.5.2.2 Penilaian dan tatalaksana pasien diduga

atau terdokumentasi aritmia 18

2.5.2.3 Disfungsi SAN, blok AV dan keterlambatan konduksi

infra His 19

2.5.2.4 Henti jantung mendadak dan stratifikasi risiko 19 2.5.3 Hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension = PH) 22

2.5.3.1 Definisi dan klasifikasi 22

2.5.3.2 Diagnosis 24

2.5.3.2.1 Pemeriksaan diagnostik PH pada PJBD 24

2.5.3.2.2 Penilaian risiko 25

(8)

2.5.3.3.1 Tim pakar 25 2.5.3.3.2 Penanganan umum 25 2.5.3.3.3 Antikoagulan 25 2.5.3.3.4 Penutupan pirau 26 2.5.3.3.5 Terapi PAH 26 2.5.4 Terapi bedah 28 2.5.5 Intervensi trans-kateter 29

2.5.6 Endokarditis Infektif (infective endocarditis = IE) 29

2.5.7 Terapi antitrombotik 30

2.5.8 Tatalaksana pasien sianotik 30

2.5.8.1 Mekanisme adaptasi 31

2.5.8.2 Gangguan multisistem 31

2.5.8.3 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 32

2.5.8.4 Komplikasi lanjut 32

2.5.8.5 Aspek diagnostic 33

2.5.8.6 Perhatian khusus pada laboratorium 34

2.5.8.7 Indikasi dan intervensi 34

2.5.8.8 Terapi medis 34

2.5.8.9 Rekomendasi tindak lanjut 35

2.5.8.10 Rekomendasi tambahan 35

2.6 Rekomendasi tambahan 37

2.6.1 Perbedaan jenis kelamin 37

2.6.2 PJBD pada usia yang lebih tua 37

2.6.3 Rencana perawatan lanjutan dan akhir kehidupan 38

2.6.4 Asuransi dan pekerjaan 38

2.6.5 Latihan dan olahraga 39

2.6.6 Operasi non-kardiak 39

2.6.7 Kehamilan, kontrasepsi, dan konseling genetik 40

2.6.7.1 Kehamilan dan kontrasepsi 40

2.6.7.2 Konseling genetik dan risiko menurun 43 BAB III PANDUAN TATALAKSANA LESI SPESIFIK PJBD……… 44 3.1 Defek septum atrium (atrial septal defect = ASD dan

anomali koneksi vena pulmonalis (anomalous pulmonary

venous connection = APVC 44

3.1.1 Introduksi 44

3.1.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 45

3.1.3 Diagnostik 45

3.1.4 Intervensi 46

3.1.5 Aspek spesifik isolated anomalous pulmonary

venous connections = APVC 49

3.1.6 Tindak lanjut 49

3.1.7 Perhatian khusus 50

3.2 Defek septum ventrikel (ventricular septal defect = VSD) 50

3.2.1 Introduksi 50

3.2.2 Presentasii klinis dan perjalanan penyakit 51

3.2.3 Diagnotik 52

3.2.4 Intervensi 52

(9)

3.2.6 Perhatian khusus 55

3.3 Defek septum atrioventricular (atrioventricular septal

defect = AVSD) 55

3.3.1 Introduksi 55

3.3.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 56

3.3.3 Diagnostik 56

3.3.4 Intervensi 56

3.3.5 Tindak lanjut 58

3.3.6 Perhatian khusus 58

3.4 Duktus arteriosus persisten (Patent ductus arteriosus = PDA 58

3.4.1 Introduksi 58

3.4.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 59

3.4.3 Diagnostik 59

3.4.4 Intervensi 59

3.4.5 Tindak lanjut 61

3.4.6 Perhatian khusus 61

3.5 Obstruksi alur keluar ventrikel kiri (Left ventricular outflow tract obstruction =

LVOTO) 61

3.5.1 Stenosis katup aorta (aortic valve stenosis = AS valvular) 61

3.5.1.1 Introduksi 61

3.5.1.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 61

3.5.1.3 Diagnostik 62

3.5.1.4 Terapi 63

3.5.1.5 Intervensi 63

3.5.1.6 Tindak lanjut 65

3.5.1.7 Perhatian khusus 65

3.5.2 Stenosis aorta (aortic stenosis = AS) supravalvular 65

3.5.2.1 Introduksi 65

3.5.2.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 66

3.5.2.3 Diagnostik 66

3.5.2.4 Intervensi 67

3.5.2.5 Tindak lanjut 67

3.5.2.6 Perhatian khusus 67

3.5.3 Stenosis subaortik (aortic stenosis = AS) subvalvular 68

3.5.3.1 Introduksi 68

3.5.3.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 68

3.5.3.3 Diagnostik 68

3.5.3.4 Intervensi 69

3.5.3.5 Tindak lanjut 70

3.5.3.6 Perhatian khusus 71

3.6 Koartasio Aorta (coarctatio aorta = CoA) 71

3.6.1 Introduksi 71

3.6.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 71

3.6.3 Diagnostik 72

3.6.4 Intervensi 73

3.6.5 Tindak lanjut 74

3.6.6 Perhatian khusus 75

3.7 Aortopati 76

(10)

diseases (HTAD) 76

3.7.1.1 Introduksi 76

3.7.1.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 76

3.7.1.3 Diagnostik 77

3.7.1.4 Terapi medikamentosa 78

3.7.1.5 Intervensi 78

3.7.1.6 Tindak lanjut 79

3.7.1.7 Perhatian khusus 79

3.7.2 Penyakit katup aorta bikuspid (bicuspid aortic valve = BAV) 79

3.7.3 Sindrom Turner 80

3.8 Obstruksi alur keluar ventrikel kanan (right ventricular

outflow tract obstruction = RVOTO) 82

3.8.1 Introduksi 82

3.8.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 83

3.8.3 Diagnostik 84 3.8.4 Intervensi 85 3.8.5 Tindak lanjut 85 3.8.6 Perhatian khusus 87 3.9 Anomali Ebstein 88 3.9.1 Introduksi 88

3.9.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 88

3.9.3 Diagnostik 88

3.9.4 Intervensi 89

3.9.5 Tindak lanjut 91

3.9.6 Perhatian khusus 91

3.10 Tetralogy of Fallot (TOF) pasca bedah koreksi 91

3.10.1 Introduksi 91

3.10.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 92

3.10.3 Diagnostik 93

3.10.4 Intervensi 94

3.10.5 Tindak lanjut 97

3.10.6 Perhatian khusus 97

3.11 Atresia pulmonal (pulmonary atresia = PA) dengan VSD 98

3.11.1 Introduksi 98

3.11.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 98

3.11.3 Diagnostik 99

3.11.4 Intervensi 99

3.11.5 Tindak lanjut 100

3.11.6 Perhatian khusus 100

3.12 Transposisi arteri besar (Transposition of the great arteries = TGA) 101

3.12.1 Introduksi 101

3.12.2 Operasi Atrial Switch 101

3.12.2.1 Presentasi klinis pasca operasi 101

3.12.2.2 Diagnostik 103

3.12.2.3 Tatalaksana medis 104

3.12.2.4 Intervensi 104

3.12.3 Operasi pertukaran arteri (arterial switch operation = ASO) 106 3.12.3.1 Presentasi klinis pasca ASO 106

(11)

3.12.3.3 Intervensi 107

3.12.4 Operasi Rastelli 107

3.12.4.1 Presentasi klinis setelah operasi Rastelli 107

3.12.4.2 Diagnostik 108

3.12.4.3 Intervensi 109

3.12.5 Tindak lanjut 109

3.12.6 Perhatian khusus 109

3.13 Transposisi arteri besar kongenital terkoreksi (congenitally corrected

transposition of the great arteries = ccTGA) 109

3.13.1 Introduksi 109

3.13.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 109

3.13.3 Diagnostik 110

3.13.4 Terapi medis 111

3.13.5 Intervensi 111

3.13.6 Tindak lanjut 112

3.13.7 Perhatian khusus 112

3.14 Conduit RV - arteri pulmonalis 113

3.14.1 Introduksi 113

3.14.2 Diagnostik 113

3.14.3 Intervensi 114

3.14.4 Tindak lanjut 114

3.14.5 Perhatian khusus 115

3.15 Jantung univentrikel/ Univentricular Heart (UVH) yang tidak dioperasi

(paliatif) 115

3.15.1 Introduksi 115

3.15.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 117

3.15.3 Diagnostik 117

3.15.4 Tatalaksana konservatif 120

3.15.5 Tindak lanjut 120

3.15.6 Perhatian khusus 120

3.16 Pasien pasca operasi Fontan

3.16.1 Introduksi 120

3.16.2 Presentasi klinis dan perjalanan penyakit 121

3.16.3 Diagnostik 122

3.16.4 Terapi medikamentosa 123

3.16.5 Intervensi 124

3.16.6 Tindak lanjut 124

3.16.7 Rekomendasi tambahan 126

3.17. Anomali arteri Koroner 126

3.17.1 Introduksi 126

3.17.1.1. Anomali arteri koroner berasal dari arteri pulmonal (anomalous

coronary artery from the pulmonary artery = ACAPA) 126

3.17.1.2. Anomali arteri koroner dari aorta

(anomalous aortic origin of a coronary artery = AAOCA) 127

3.17.1.3. Fistula arteri koroner 127

3.17.2 Diagnostik 128

3.17.3 Intervensi bedah 128

(12)

4.1 Pesan kunci 130

4.1.1 Secara Umum 130

4.1.1.1 Pelayanan dan evaluasi pasien 130

4.1.1.2 Gagal jantung 130

4.1.1.3 Aritmia 131

4.1.1.4 Hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension = PH) 131

4.1.1.5 Sianosis 131

4.1.2 Lesi khusus 132

4.1.2.1 Lesi pirau 132

4.1.2.2 Obstruksi alur keluar LV (left ventricle

outflow tract obstruction = LVOTO) 132

4.1.2.3 Koartasio aorta (coarctasio aorta = CoA) 132

4.1.2.4 Aortopati 133

4.1.2.5 Obstruksi alur keluar RV (right ventricle outflow tract

obstruction = RVOTO) 133

4.1.2.6 Anomali Ebstein 133

4.1.2.7 Tetralogi Fallot (tetralogy of Fallot = TOF) 133

4.1.2.8 Transposisi arteri besar (transposition of

the great arteries = TGA) 134

4.1.2.9 Transposisi arteri besar kongenital

terkoreksi (congenitally corrected transposition

of the great arteries = ccTGA) 134

4.1.2.10 Jantung ventrikel tunggal dan operasi Fontan 135

4.1.2.11 Anomali koroner 135

4.2 Hal-hal yang harus dilakukan dan yang harus dihindari

pada pasien PJB dewasa 136

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Klasifikasi rekomendasi tatalaksana PJBD………. 2

Tabel 2.1. Klasifikasi PJB berdasarkan kompleksitasnya……….. 4

Tabel 2.2. Staf dan akses pelayanan yang dibutuhan Unit Khusus PJBD di Indonesia……… 6

Tabel 2.3. Indikasi cardiovascular magnetic resonance (CMR) pada pasien PJBD………. 11

Tabel 2.4. Estimasi risiko untuk kejadian aritmia dan bradikardia pada PJB dewasa………. 17

Tabel 2.5. Rekomendasi terapi aritmia pada penyakit jantung bawaan dewasa (PJBD)…………..……… 20

Tabel 2.6. Definisi subtipe PH dan kejadiannya pada PJB dewasa (PJBD)……….. 23

Tabel 2.7. Rekomendasi tatalaksana PAH pada pasien PJBD.. 28

Tabel 2.8. Strategi menurunkan risiko pada pasien dengan PJB sianotik………. 36

Tabel 2.9. PJB dengan risiko tinggi dan risiko sangat tinggi…….. 41

Tabel 2.10. Tingkat rekurensi untuk berbagai PJB……….. 43

Tabel 3.1. Rekomendasi untuk intervensi pada ASD (native atau residual)………... 47

Tabel 3.2. Rekomendasi tatalaksana VSD……… 53

Tabel 3.3. Rekomendasi intervensi AVSD……… 57

Tabel 3.4. Rekomendasi intervensi PDA………... 60

Tabel 3.5. Kriteria diagnostik untuk menilai derajat keparahan AS valvular……….. 63

Tabel 3.6. Rekomendasi untuk intervensi pada AS valvular……. 64

Tabel 3.7. Rekomendasi untuk intervensi pada AS supravalvular………... 67

Tabel 3.8. Rekomendasi untuk intervensi pada AS subvalvular… 69 Tabel 3.9. Rekomendasi untuk intervensi pada CoA dan re-CoA.. 73

Tabel 3.10. Rekomendasi untuk operasi aorta pada aortopati….. 81

Tabel 3.11. Rekomendasi intervensi pada RVOTO………. 86

Tabel 3.12. Rekomendasi intervensi pada anomali Ebstein……. 90

Tabel 3.13. Rekomendasi untuk intervensi setelah perbaikan tetralogi Fallot……… 96

Tabel 3.14. Rekomendasi intervensi pasca atrial switch pada TGA……….. 105

Tabel 3.15. Rekomendasi Intervensi pada pasca operasi arterial switch pada TGA………. 107

Tabel 3.16. Rekomendasi untuk intervensi pada ccTGA………… 112

(14)

Tabel 3.18. Pertimbangan dan rekomendasi khusus untuk

intervensi pada jantung univentrikel……….. 119

Tabel 3.19. Pertimbangan dan rekomendasi pasca operasi Fontan 125 Tabel 3.20. Rekomendasi tatalaksana anomali arteri koroner ……. 128

DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1. Tatalaksana ASD………. 48

Gambar 3.2. Tatalaksana VSD………..……….. 54

Gambar 3.3. Tatalaksana PDA……… 60

Gambar 3.4. Tatalaksana LVOTO berat………. 70

Gambar 3.5. Manajemen CoA dan re-CoA……… 76

(15)

DAFTAR SINGKATAN

3D 6MWT AAOCA AAOLCA ACAPA ACE AF ALCAPA AR ARB ARCAPA AS ASD AT AV AVA AVAi AVNRT AVRT AVSD BAV BNP CABG CCT ccTGA CMR CoA CPET CRT DCRV ECG EF EP ERA HLHS HTAD IART ICD IE IMT INR IVC LA L - R LV LVEF LVESD LVH LVOT Three-dimensional 6-minute walk test

Anomalous aortic origin of a coronary artery

Anomalous aortic origin of the left coronary artery

Anomalous coronary artery from the pulmonary Artery

Angiotensin-converting enzyme Atrial fibrillation

Anomalous left coronary artery from the pulmonary artery

Aortic regurgitation

Angiotensin II receptor blocker

Anomalous right coronary artery from the pulmonary artery

Aortic stenosis Atrial septal defect Atrial tachycardia Atrioventricular Aortic valve area

Indexed aortic valve area

Atrioventricular node reentrant tachycardia Atrioventricular reentrant tachycardia Atrioventricular septal defect Bicuspid aortic valve

B-type natriuretic peptide Coronary artery bypass graft

Cardiovascular computed tomography Congenitally corrected transposition of the great arteries

Cardiovascular magnetic resonance Coarctation of the aorta

Cardiopulmonary exercise testing Cardiac resynchronization therapy Double-chambered right ventricle Electrocardiogram

Ejection fraction Electrophysiology

Endothelin receptor antagonist Hypoplastic left heart syndrome Heritable thoracic aortic disease Intraatrial reentrant tachycardia Implantable cardioverter defibrillator Indeks massa tubuh

Infective endocarditis International normalized ratio Inferior vena cava

Left atrium/atrial Left-to-right Left ventricle

Left ventricular ejection fraction Left ventricular end systolic diameter Left ventricular hypertrophy

Left ventricular outflow tract

LVOTO MAPCAs MCV mWHO NOAC NT-pro-BNP NYHA PA PAH PJB PAP PDA PDE-5 PES PFO PH PJB(D) PM PR PS PVD PVR Qp:Qs RA R - L RV RVEDVi RVEF RVESVi RVH RVOT RVOTO SVT TGA TEE TOF TPVI TR TTE TV UVH VCS VCI VE/VCO2 VF VKA Vmax VSD VT WHO WU

Left ventricular outflow tract obstruction Major aortic pulmonary collaterals Mean corpuscular volume

Modified World Health Organization Novel oral anticoagulant

N-terminal-pro-B-type natriuretic peptide New York Heart Association

Pulmonal atresia

Pulmonary arterial hypertension Penyakit jantung bawaan Pulmonary artery pressure Patent ductus arteriosus Phosphodiesterase type 5

Programmed electrical stimulation Patent foramen ovale

Pulmonary hypertension

Penyakit jantung bawaan (dewasa) Pacemaker

Pulmonary regurgitation Pulmonary stenosis

Pulmonary vascular disease Pulmonary vascular resistance Pulmonary to systemic flow ratio Right atrium

Right-to-left Right ventricle

Right ventricular end diastolic volume indexed

Right ventricular ejection fraction Right ventricular end systolic volume indexed

Right ventricular hypertrophy Right ventricular outflow tract Right ventricular outflow tract obstruction

Supraventricular tachycardia Transposition of the great arteries Trans-esophageal echocardiography Tetralogy of Fallot

Transcatheter pulmonary valve implantation

Tricuspid regurgitation Transthoracic echocardiography Tricuspid valve

Univentricular heart Vena cava superior Vena cafa inferior

Ventilation to carbon dioxide output Ventricular fibrillation

(16)

Kode Jenis penyakit jantung bawaan

International Classification of Diseases 10 (ICD-10)-WHO Version 2016

Kelainan bawaan sistem sirkulasi (Q20-Q28)

Q20 Malformasi bawaan ruang jantung dan koneksinya Q20.0 Truncus arteriosus

Q20.1 Double outlet right ventricle (DORV) Q20.2 Double outlet left ventricle (DOLV) Q20.3 Transposition of great vessels (TGA) Q20.4 Univentrikel

Q20.5 Congenitally Corrected transposition of great vessels (ccTGA) Q20.6 Situs ambiguous right atrial (RA)/left atrial (LA) isomerism Q20.8 Malformasi bawaan lain ruang jantung dan koneksinya

Q20.9 Malformasi bawaan ruang jantung dan koneksinya tidak dispesifikasi Q21 Malformasi septum jantung bawaan

Q21.0 Ventricular septal defect (VSD)

Q21.1 Patent foramen ovale (PFO), atrial septal defect (ASD) secundum, unroofed coronary sinus, sinus venosus defect (SVD)

Q21.2 Atrioventricular septal defect (AVSD), atrial septal defect (ASD) primum

Q21.3 Tetralogi Fallot (TF), pulmonal atresia dengan ventricular septal defect (PA/VSD) Q21.4 Aortopulmonary window (APW)

Q21.8 Malformasi bawaan lain dari septum jantung: Eisenmenger defect, Pentalogy of

Fallot. Kecuali: sindrom Eisenmenger (I27.8)

Q21.9 Malformasi bawaan septum jantung yang tidak dispesifikasi Q22 Malformasi bawaan katup pulmonal dan katup trikuspid

Q22.0 Pulmonal atresia intact ventricular septum (PA/IVS) Q22.1 Pulmonal stenosis (PS) valvular

Q22.2 Pulmonal regurgitasi (PR) bawaan

Q22.3 Malformasi bawaan katup pulmonal (PV) lainnya/tidak dispesifikasi Q22.4 Tricuspid atresia (TA)

Q22.5 Anomali Ebstein

Q22.6 Hypoplastic right heart syndrome (HRHS)

Q22.8 Malformasi bawaan katup trikuspid (TV) lainnya

Q22.9 Malformasi bawaan katup trikuspid (TV), tidak dispesifikasi Q23 Malformasi bawaan katup aorta dan katup mitral

Q23.0 Stenosis katup aorta (AS) valvular/atresia katup aorta bawaan

Kecuali : AS subvalvar (Q24.4)/ AS pada hypoplastic left heart syndrome (Q23.4) Q23.1 Regurgitasi katup aorta (AR) bawaan / bicuspid aortic valve (BAV)

Q23.2 Mitral stenosis (MS)/mitral atresia (MA) bawaan Q23.3 Mitral regurgitasi (MR) bawaan

(17)

Q23.9 Malformasi bawaan katup aorta dan katup mitral tidak dispesifikasi Q24 Malformasi bawaan lainnya pada jantung

Q24.0 Dextrocardia.

Kecuali: mirror-image (dextrocardia + situs inversus )(Q89.3), RA/LA isomerism (Q20.6),

Q24.1 Laevocardia : lokasi di hemitoraks kiri dengan apeks mengarah ke kiri tetapi visceral lainnya situs inversus dan corrected transposition of great vessels (ccTGA)

Q24.2 Cor triatriatum

Q24.3 PS infundibular/sub-infundibular Q24.4 AS subvalvar bawaan

Q24.5 Malformasi pembuluh koroner: anomalous origin, aneurisma arteri koroner Q24.6 Blok jantung bawaan

Q24.8 Malformasi jantung bawaan lainnya: diverticulum LV, malformasi miokardium/perikardium bawaan, malposisi jantung, penyakit Uhl Q24.9 Malformasi jantung bawaan, tidak dispesifikasi

Q25 Malformasi bawaan arteri besar Q25.0 Patent ductus arteriosus (PDA)

Q25.1 Coarctation of aorta (CoA) (preductal/postductal) Q25.2 Atresia aorta

Q25.3 Aortic stenosis (AS) supravalvular. Kecuali: AS valvular bawaan (Q23.0) Q25.4 Malformasi bawaan aorta: aplasia/aneurisma/dilatasi aorta, aneurism (rupture)

sinus Valsalva, double aortic arch (vascular ring aorta), hipoplasia aorta, persistent convolutions aortic arch, right aortic arch

Kecuali: hipoplasia aorta pada hypoplastic left heart syndrome (Q23.4) Q25.5 Atresia arteri pulmonalis

Q25.6 Stenosis arteri pulmonalis; PS supravalvular Q25.7 Malformasi bawaan arteri pulmonalis

• Aberrant arteri pulmonalis bawaan: agenesis, aneurism, anomali, hypoplasia • Aneurisma arteriovenous pulmoner

Q25.8 Malformasi bawaan lain arteri besar

Q25.9 Malformasi bawaan lain arteri besar tidak dispesifikasi Q26 Malformasi bawaan vena besar

Q26.0 Stenisis vena cava bawaan: superior/inferior Q26.1 Persistent left superior vena cava

Q26.2 Total anomalous pulmonary venous connection (TAPVC) Q26.3 Partial anomalous pulmonary venous connection (PAPVC) Q26.4 Anomalous pulmonary venous connection, tidak dispesifikasi Q26.5 Anomalous portal venous connection

Q26.6 Portal vein-hepatic artery fistula

Q26.8 Malformasi bawaan vena besar lainnya: absence of vena cava inferior/superior,

(18)

Q26.9 Malformasi bawaan vena besar tidak dispesifikasi: Anomaly of VCS/VCI NOS Q27 Malformasi bawaan sistem vaskular sistemik lainnya :

Kecuali: anomaly pembuluh darah serebral (Q28.0-Q28.3);koroner (Q24.5);

pulmonal (Q25.5-Q25.7); retinal aneurysm (Q14.1); haemangioma lymphangioma (D18.-)

Q27.0 Tidak terbentuk atau hipoplasi bawaan arteri umbilicalis Q27.1 Stenosis arteri renalis bawaan

Q27.2 Malformasi bawaan arteri renalis lain / tidak disebut di tempat lain/multiple Q27.3 Malformasi bawaan arterivena perifer : Arteriovenous aneurysm

Kecuali: acquired arteriovenous aneurysm (I77.0) Q27.4 Congenital phlebectasia

Q27.8 Malformasi bawaan sistem vascular perifer lain: Aberrant subclavian artery:

tidak terbentuk/atresia arteri/vena NEC; bawaan aneurysm (peripheral), stricture, artery, varix

Q27.9 Malformasi bawaan sistem vascular perifer, tidak dispesifikasi: Anomali arteri/vena tidak ada spesifikasi lain

Q28 Malformasi bawaan sistem sirkulasi

Kecuali : aneurisma bawaan NOS (Q27.8), coronary (Q24.5), peripheral

(Q27.8); pulmonary (Q25.7); retinal (Q14.1) dan ruptured: cerebral

arteriovenous malformation (I60.8); malformation of precerebral vessels (I72.-)

Q28.0 Malformasi arteriovenous pembuluh precerebral;arteriovenous aneurysm (nonruptured)

Q28.1 Malformasi arteriovenous pembuluh precerebral: malformation of precerebral

vessels NOS; precerebral aneurysm (nonruptured)

Q28.2 Malformasi arteriovenous pembuluh cerebral: arteriovenous malformation otak, Congenital arteriovenous cerebral aneurysm (nonruptured)

Q28.3 Malformasi bawaan pembuluh cerebral: cerebral aneurysm (nonruptured) Malformasi pembeluh sereebral tanpa spesifikasi lain

Q28.8 Malformasi arteriovenous bawaan sistem sirkulasi: aneurysm bawaan, specified site NEC

Q28.9 Malformasi arteriovenous bawaan system sirkulasi tanpa spesifikasi lain ARITMIA DAN GANGGUAN KONDUKSI

I44.0 Atrioventricular block, first degree

I44.1 Atrioventricular block, second degree Atrioventricular block, type I and II, Möbitz block, type I and II, Second-degree block, type I and II, Wenckebach block I44.2 Atrioventricular block, complete Third-degree block

I44.4 Left anterior fascicular block

I44.5 Left posterior fascicular block

I44.7 Left bundle-branch block, unspecified

I45.0 Right fascicular block

I45.1 unspecified right bundle-branch block

I45.2 Bifascicular block

(19)

Kode Jenis penyakit jantung bawaan I46.1 Kematian mendadak jantung

I47.0 Re-entry ventricular arrhythmia

I47.1 Supraventricular tachycardia

I47.2 Ventricular tachycardia

I48.0 Paroxysmal atrial fibrillation

I48.1 Persistent atrial fibrillation

I48.2 Chronic atrial fibrillation

I48.3 Typical atrial flutter

I48.4 Atypical atrial flutter

I48.9 Atrial fibrillation and atrial flutter, unspecified

I49.0 Ventricular fibrillation and flutter

I49.1 Atrial premature beats/ depolarization

I49.2 Junctional premature depolarization

I49.3 Ventricular premature depolarization

I49.5 Sick sinus syndrome Lain-lain

I25.41 Coronary artery fistulae

I27 Pulmonary hypertension, unspecified I50.0 Gagal jantung kanan/kongestif I50.1 Gagal jantung kiri

I50.9 Gagal jantung Q87.1 Sindrom Noonan Q87.40 Sindrom Marfan

Q93.82 Sindrom Williams (Beuren) Q96 Sindrom Turner

Z86.74 Kematian mendadak / henti jantung mendadak

International Classification of Diseases 9CM (ICD-9CM)-WHO version 2015

Operasi pada penyakit jantung bawaan

35 Operasi katup dan septum jantung

35.03 Closed Pulmonal valvotomy (Brock procedure) 35.1 Operasi reparasi katup

35.11 Reparasi katup aorta 35.12 Reparasi katup mitral 35.13 Reparasi katup pulmonal 35.14 Reparasi katup tricuspid 35.2 Operasi penggantian katup

35.21 Penggantian katup aorta dengan tissue graft

(20)

35.27 Penggantian katup tricuspid dengan tissue graft 35.28 Penggantian katup tricuspid

35.24 Penggantian katup mitral 35.26 Penggantian katup pulmonal 35.3 Operasi di sekitar katup

35.31 Operasi pada muskulus papilaris 35.32 Operasi pada Chordae Tendineae 35.34 Operasi infundibulektomi

35.35 Operasi pada trabecula Carneae cordis 35.4 Operasi pada defek septum

35.41 Memperbesar PFO/ASD (septectomy) 35.42 Membuat septal defek di jantung

35.5 Operasi reparasi defek septum dengan prostesa 35.50 Menutup ASD dengan prostesa (terbuka)

35.53 Menutup VSD dengan prostesa (terbuka) 35.54 Menutup AVSD dengan prostesa (terbula) 35.61 Menutup ASD dengan tissue graft

35.62 Menutup VSD dengan tissue graft 35.63 Menutup AVSD dengan tissue graft 35.71 Menutup ASD

35.72 Menutup VSD 35.73 Menutup AVSD

35.8 Operasi reparasi PJB tertentu 35.81 Reparasi tetralogi Fallot (TF)

35.82 Reparasi total anomalous pulmonary venous connection (TAPVC) 35.83 Reparasi truncus arteriosus

35.84 Operasi arterial switch (Jatene)

35.90 Operasi katup dan septum jantung 35.91 Operasi atrial switch (Mustard/Senning) 35.92 Operasi pemasangan conduit RV-PA (Rastelli) 35.94 Operasi Fontan

35.95 Operasi revisi koreksi sebelumnya (penggantian conduit, reparsi lesi residual) 35.96 Percutaneous (balloon) valvuloplasty

39.0 Operasi pada pembuluh darah

39.00 Systemic To Pulmonary Artery Shunt (BT shunt)

39.21 Caval-Pulmonary Artery Anastomosis (BCPS)

39.53 Reparasi fistula arteriovenous

39.59 Ligasi PDA, Reparasi AP window (+ 39,61)

39.65 Extracorporeal Membrane Oxygenation (Ecmo)

39.61 Bedah jantung terbuka dengan cardiopulmonary bypass machine (kode ini perlu ditambahkan pada setiap prosedur yang menggunakan mesin jantung paru (bedah jantung terbuka)

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah kelainan pada struktur dan fungsi jantung yang sudah ada sejak lahir. PJB merupakan kelainan bawaan yang paling sering menyebabkan kematian pada bayi. Dengan berkembangnya penanganan PJB, lebih dari 90% pasien dapat mencapai usia dewasa (>18 tahun), sehingga di negara maju populasinya kini mencapai dua kali lipat PJB bayi dan anak.

Tatalaksana PJB dewasa (PJBD) memerlukan diagnosis yang akurat, pemahaman tentang waktu intervensi, penilaian risiko dan pemilihan jenis intervensi yang paling sesuai. Selain itu, juga dibutuhkan pemahaman tentang aspek perawatan medis khusus, seperti gagal jantung, hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension = PH), dan pemakaian antikoagulan. Hingga saat ini, belum ada panduan tatalaksana PJBD di Indonesia. Panduan ini merupakan edisi pertama, disusun oleh Kelompok Kerja Kardiologi Pediatrik dan Penyakit Jantung Bawaan - Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Guideline European Society of Cardiology (ESC): The

Management of Adult Congenital Heart Disease 2020 ditetapkan

sebagai acuan, karena merangkum banyak bukti ilmiah sahih terkini serta pengalaman yang luas dari para pakar, dengan memperhatikan kesesuaiannya untuk kondisi di Indonesia.

(22)

Bukti dan/atau kesepakatan bersama menyatakan bahwa, suatu pengobatan/tindakan bermanfaat dan efektif, sehingga direkomendasikan

Bukti dan/atau pendapat yang berbeda tentang manfaat suatu pengobatan/tindakan

Bukti dan/atau pendapat lebih mengarah pada manfaat suatu pengobatan/tindakan sehingga beralasan untuk dilakukan, dengan demikian maka sebaiknya dipertimbangkan

Manfaat suatu pengobatan/tindakan kurang didukung bukti/pendapat, namun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan

Bukti dan/atau kesepakatan bersama menyatakan bahwa suatu pengobatan/tindakan tidak bermanfaat, pada beberapa kasus kemungkinan membahayakan, sehingga tidak direkomendasikan.

Kelas III Kelas IIb Kelas IIa Kelas II Kelas I

1.2 Ketentuan klasifikasi rekomedasi

Sebagaimana pada tiap panduan tatalaksana pelayanan kedokteran, rekomendasi dalam panduan ini didasarkan pada klasifikasi seperti tercantum dalam Tabel 1.1

Tabel 1.1 Klasifikasi rekomendasi tatalaksana PJBD.

Level/Tingkat bukti :

A. Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda atau meta-analisis terkait PJBD

B. Data berasal dari satu penelitian acak berganda/beberapa penelitian tidak acak terkait PJBD

(23)

BAB II

ASPEK UMUM

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DEWASA (PJBD)

2.1 Epidemiologi

Berdasarkan studi terakhir, insidens PJB di kawasan Asia mencapai 9,3/1000 bayi lahir hidup. Dengan demikian, maka diperkirakan tidak kurang dari 40 ribu bayi lahir dengan PJB setiap tahun di Indonesia.

Di negara maju, bayi yang lahir dengan PJB sangat kompleks sekarang justru berkurang, karena adanya skrining janin dan terminasi kehamilan; tidak demikian halnya di negara berkembang.

Prevalensi PJBD dikatakan mencapai 6/1000 penduduk, bertambah 5% pertahun, pertumbuhan pasien penyakit jantung yang paling cepat saat ini. Diperkirakan ada 50 juta pasien PJBD di seluruh dunia, dan mungkin sekitar 1,5 juta di antaranya hidup di Indonesia.

Populasi PJBD terdiri dari pasien dengan:

• lesi sederhana (contohnya ventricular septal defect = VSD kecil) atau lesi kompleks yang bertahan hidup dan datang untuk pertama kali (contohnya tetralogy of Fallot = TOF),

• status pasca prosedur paliatif sebelumnya, menunggu intervensi bedah paliatif atau korektif berikutnya (contohnya pasca bedah

bidirectional cavopulmonary shunt = BCPS),

• status mengantisipasi prosedur operasi ulang (contohnya penggantian katup prostetik atau conduit penghubung ventrikel kanan dan arteri pulmonalis),

• status untuk perbaikan lesi residual setelah operasi terdahulu (contohnya regurgitasi katup pulmonal pasca reparasi TOF), • status terdapat kelainan residual setelah operasi terdahulu yang

tidak dapat diperbaiki lagi (contohnya penyakit vaskular paru yang menetap),

• status dalam terapi penyakit jantung didapat (contohnya penyakit jantung koroner),

(24)

2.2 Klasifikasi penyakit jantung bawaan

Penyakit jantung bawaan banyak jenisnya dengan kompleksitas yang bervariasi. Berdasarkan kompleksitasnya, PJB dapat diklasifikasikan sebagai ringan, sedang, dan berat (lihat Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Klasifikasi PJB berdasarkan kompleksitasnya

Ringan : • penyakit katup aorta bawaan tanpa kelainan lain dan katup aorta bikuspid

• penyakit katup mitral bawaan tanpa kelainan lain (kecuali katup parasut, celah/cleft daun katup)

• PS (infundibular, valvular, supravalvular)

• ASD, VSD, atau PDA kecil tanpa kelainan lain

• ASD sekundum, SVD, VSD, PDA yang telah ditutup tanpa residual/sequelae (misalnya dilatasi ruang jantung, disfungsi ventrikel) atau PVD/PH

Sedang : • Anomali koneksi vena pulmonalis (parsial atau total) • Anomali arteri koroner keluar dari arteri pulmonalis

• Anomali arteri koroner keluar dari sinus yang berlawanan/berseberangan

• AS subvalvular atau supravalvular

• AVSD parsial/komplit, termasuk ASD primum (tanpa PH) • SVD

• ASD sekundum atau PDA ukuran sedang/besar yang belum ditutup (tanpa PH)

• Koartasio aorta

• Double chambered right ventricle • Anomali Ebstein

• Sindroma Marfan dan HTAD, sindrom Turner • Stenosis pulmonal perifer

• PS (infundibular, valvular, supravalvular) sedang/berat • Aneurisma/fistula sinus valsalva

• Tetralogy of Fallot yang belum/sudah dioperasi reparasi • TGA pasca operasi switch arterial

(25)

ASD = atrial septal defect; SVD = sinus venosus defect, VSD = ventricular septal defect, AVSD = atrioventricular septal defect, PDA = patent ductus arteriosus, AS = aortic strnosis; PS = pulmonary stenosis; PH = pulmonary hypertension; PVD = pulmonary vascular disease; TGA = transposition of the great arteries; ToF = tetralogy of Fallot; PA = pulmonal atresia; HTAD = heritable thoracic aortic disease; AV = atrioventricular; PJB = penyakit jantung bawaan; HLHS = hypoplastic left heart syndrome

2.3 Pengorganisasian pelayanan

Di negara maju, ketika pasien PJB menginjak usia dewasa, mereka akan ditransfer ke unit pelayanan PJBD. Pengalihan ini harus diawali dengan fase transisi sebagai persiapan, yang mungkin berlanjut hingga dewasa sesuai kebutuhan pasien. Keberadaan pelayanan transisi ini sangat penting, agar pasien mendapat pelayanan sebaik sebelumnya. Pelayanan transisi membutuhkan pengorganisasian pelayanan yang khusus, termasuk ketersediaan perawat spesialis, psikolog, dan pekerja sosial, mengingat kecemasan dan depresi sering muncul pada pasien PJBD. Aspek yang harus ditangani umumnya terkait kesehatan mental, menumbuhkan rasa aman dan menjaga kualitas hidup agar tetap baik. Unit PJBD dipersiapkan sesuai kebutuhan pasien, termasuk pelatihan bagi para tenaga dokter, perawat dan teknisi. Untuk dokter spesialis jantung atau dokter spesialis anak konsultan kardiologi pediatrik diperlukan pelatihan subspesialistik di bidang PJBD minimal

Berat : • Semua jenis PJB (yang sudah atau belum direparasi) dengan PVD (termasuk sindroma Eisenmenger)

• Semua jenis PJB sianotik (yang belum dioperasi atau telah dioperasi paliatif)

• Ventrikel alur keluar ganda (Double-outlet ventricle) • Sirkulasi Fontan

• Interrupted aortic arch (arkus aorta yang terputus) • Pulmonal atresia (berbagai macam bentuk)

• TGA (kecuali yang sudah dioperasi arterial switch)

• Univentrikel (termasuk double inlet ventrikel kiri/kanan, atresia mitral/trikuspid, HLHS, kelainan anatomi lainnya dengan fungsional ventrikel tunggal)

• Trunkus arteriosus

• Kelainan katup AV dan koneksi AV yang kompleks lainnya (antara lain jantung criss-cross, sindrom

(26)

1 tahun, di senter yang memiliki unit pelayanan tersier PJB pediatrik dan PJBD lengkap, dengan jumlah kasus yang memadai. Paling sedikit dibutuhkan 1 senter tersier PJBD untuk setiap 10 juta penduduk, berarti minimal perlu ada 27 pusat pelayanan PJBD di Indonesia.

Tabel 2.2. Staf dan akses pelayanan yang dibutuhan Unit Khusus PJBD

Jenis staf Jumlah

Dokter Sp.JP/Spesialis lain bersertifikat kompeten memberi >2 pelayanan PJBD dengan kemampuan melakukan dan

menginterpretasi TTE, TEE, CT, CMR pada PJB

Dokter Sp.JP Intervensionis PJB >2

Dokter Sp.JP Subspesialis elektrofisologi pengalaman PJB >2

Dokter Sp.BTKV Subspesialis PJB >2

Dokter Sp.An dengan pengalaman anestesi PJB >2 Akses ke layanan

• Dokter Sp.KJ

• Dokter Sp.OG pengalaman PJB • Dokter Sp.PD konsultan hematologi • Dokter Sp.PD subspesialis nefrologi

• Dokter Sp.P berpengalaman penyakit vaskular paru • Dokter Sp.S

• Dokter Sp.BS

• Dokter Sp.Genetika

Perawat spesialis jantung dengan subspesilisasi PJBD >2

Pekerja sosial >1

Tim perawatan paliatif >1

CMR = cardiovascular magnetic resonance; CCT = cardiovascular computed tomography; TEE = transesophageal echocardiography; TTE = transthoracic echocardiography; PJB = penyakit jantung bawaan, SpJP = spesialis jantung dan pembuluh darah; SpBTKV = spesialis bedah toraks kardiovaskular; SpP = spesialis paru;SpOG = spesialis obstetric ginekologi, SpPD = spesialis penyakit dalam; SpS = spesialis saraf, SpBS = spesialis bedah saraf

(27)

pasien dan jenis kelainannya.Berbagai masalah yang mungkin terjadi antara lain lesi residual atau sequalae yang memerlukan operasi ulang, lesi yang memerlukan operasi paliatif atau korektif, hipertensi, aritmia, stroke, gagal jantung, hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension = PH), endokarditis, intoleransi aktifitas fisik, depresi, penurunan kualitas hidup, masalah kehamilan yang dapat mengancam hidup maternal maupun janin, komplikasi koroner, sindrom aortik, kematian mendadak, kebutuhan obat jangka panjang, penurunan harapan hidup, penurunan fungsi ginjal, hati, dan paru. Mengingat banyaknya permasalahan yang mungkin terjadi, maka penanganan multidisiplin mutlak diperlukan.

Pelayanan PJBD terbagi atas 3 tingkat berdasarkan kebutuhan/ kondisi pasien, yaitu:

• pasien yang harus ditangani oleh dokter subspesialis di pusat PJBD di rumah sakit tersier

• pasien yang bisa ditangani oleh dokter spesialis jantung di rumah sakit sekunder

• pasien yang bisa dikelola di klinik non-spesialis (dengan kemudahan akses ke pusat PJBD).

Kompleksitas PJB bukan satu-satunya kriteria untuk menetapkan pasien PJBD perlu mendapat penanganan di tingkat pelayanan subspesialis. Pasien dengan PJB anatomis sederhana, dalam keadaan tertentu mungkin memerlukan perawatan subspesialistik (contohnya pasien ASD dengan PH), kemudahan akses pelayanan perlu diupayakan. Karena itu, dianjurkan agar setiap pasien PJBD mendapat kesempatan minimal sekali dievaluasi di pusat PJBD rumah sakit tersier, untuk kemudian ditentukan tingkat perawatan dan interval tindak lanjut yang tepat.

(28)

berbagai perencanaan strategi perawatan, termasuk perawatan paliatif untuk akhir kehidupan.

2.4 Diagnostik

Riwayat kesehatan pasien termasuk informasi rinci tentang operasi paliatif/reparatif dan intervensi trans-kateter yang pernah dilakukan, sangat penting dalam pemeriksaan pasien PJBD. Tujuan menganalisis riwayat kesehatan pasien adalah untuk menilai gejala sekarang dan masa lalu, serta untuk mencari kekambuhan masalah jantung dan perubahan terapi yang dilakukan.

Gejala yang paling sering dikeluhkan yaitu intoleransi aktifitas fisik/olahraga dan palpitasi. Kapasitas fisik yang dinilai sendiri oleh pasien, terbukti kurang sesuai dengan pengukuran obyektif. Oleh karena itu, untuk tujuan penilaian intoleransi olahraga baik pada pasien yang asimtomatik maupun simtomatik, uji latih kardiopulmoner (cardiopulmonary exercise test = CPET) atau minimal uji latih jantung (ULJ) penting dilakukan. Selain itu, pasien perlu dimintai keterangan tentang gaya hidupnya, untuk mendeteksi perubahan progresif dalam aktivitas sehari-hari guna membatasi subjektivitas analisis gejala. Pada pasien yang simtomatik, penyebab alternatif seperti anemia, depresi, kenaikan berat badan dan penyebab penurunan kondisi fisik lainnya yang tidak terkait dengan defek jantungnya, juga harus ditelusuri dan segera diatasi.

Pemeriksaan klinis berperan penting, mencakup evaluasi cermat terhadap setiap perubahan auskultasi, tekanan darah, atau timbulnya tanda tanda gagal jantung. Elektrokardiogram (EKG) dan pengukuran saturasi oksigen dengan oksimetri nadi rutin dilakukan, bersamaan dengan pemeriksaan klinis. Foto Rontgen dada memberikan informasi tentang perubahan ukuran dan konfigurasi jantung, serta vaskularisasi paru; pencitraan yang juga rutin dilakukan adalah transthoracal

echocardiography (TTE). Transesophageal echocardiography (TEE), cardiovascular magnetic resonance (CMR) atau cardiovascular computed tomography (CCT) hanya dilakukan atas indikasi.

(29)

sistemik, serta penilaian fibrosis miokardium. CCT dengan pemindai modern bersumber tunggal atau ganda yang dilakukan dengan protokol hemat dosis, mungkin diperlukan pada indikasi khusus (Tabel 2.3). Kolaborasi antar pakar multidisipliner penting, pakar pencitraan PJB harus mendapat umpan balik dari dokter bedah PJB dan intervensionis PJB atau elektrofisiologis, guna meningkatkan dan mengoptimalkan kontribusi pencitraan dalam talaksana kasus kasus PJB. Pencitraan multimodalitas lanjutan ini sebaiknya dilakukan di pusat PJBD, untuk menghindari pemeriksaan berulang.

2.4.1 Ekokardiografi

Hingga saat ini, ekokardiografi tetap menjadi modalitas pencitraan lini pertama. Ekokardiografi M-mode, dua dimensi (2D), dan tiga dimensi (3D) digunakan untuk pencitraan struktur, sedangkan tissue Doppler dan pencitraan deformasi seperti longitudinal strain dan strain rate digunakan untuk penilaian fungsi.

Ekokardiografi memberikan informasi tentang anatomi jantung, situs (termasuk orientasi dan posisi jantung), koneksi atrioventrikular (AV), katup jantung, dan koneksi ventriculo-arterial (VA). Untuk menilai morfologi dan fungsi katup jantung, TTE dan jika perlu, TEE merupakan modalitas pencitraan utama. Juga dalam menilai lesi pirau, seperti ASD/VSD; ekokardiografi (sering dilengkapi 3D) memungkinkan tampilan kasat mata, yang memudahkan penilaian ukuran dan bentuk lesi, serta hubungan dengan struktur sekitarnya.

Ukuran, bentuk, volume dan EF ventrikel dapat diukur dengan TTE. Tanda-tanda kelebihan beban volume (seperti pada kasus pirau atau regurgitasi katup), atau kelebihan beban tekanan (jika terjadi peningkatan beban akhir/afterload), juga mudah dideteksi dengan TTE. Teknik lama M-mode masih terus digunakan, terutama untuk mengukur ekskursi sistolik bidang annulus katup trikuspid dan mitral, guna menilai fungsi sistolik ventrikel. Dalam penilaian fungsi sistolik ventrikel kiri (left

ventricle = LV), ekokardiografi 3D, tissue Doppler dan pencitraan

(30)

2.4.2 Cardiovascular magnetic resonance (CMR)

CMR merupakan modalitas penting untuk rekonstruksi anatomi dalam tiga dimensi, tanpa dibatasi oleh ukuran tubuh atau jendela akustik, dan dengan cepat meningkatkan resolusi spasial dan temporal. Agar diperoleh kualitas gambar yang optimal, CMR membutuhkan irama jantung yang teratur. Namun, pemeriksaan CMR tetap dapat dilakukan walaupun irama jantung tidak teratur (sering ektopi atau fibrilasi atrial (atrial fibrillation = AF) dan adanya artefak logam.

CMR adalah metode pencitraan baku emas untuk kuantifikasi volume dan menjadi alternatif pemeriksaan pada saat ekokardiografi tidak mendapatkan kualitas yang memadai, atau ketika pengukuran ekokardiografi di ambang batas/meragukan. Selain itu, kurangnya radiasi menjadikan alat ini berguna ketika evaluasi serial diperlukan (misalnya untuk memantau dimensi aorta). CMR memungkinkan penghitungan aliran darah sistemik dan aliran darah paru dari beberapa sumber suplai; dengan kombinasi kateterisasi dapat ditentukan tinggi resistensi vaskular paru (pulmonary vascular resistance = PVR).

Kemampuan mengenali karakteristik fibrosis miokardium merupakan keunikan CMR, late gadolinium enhancement dapat mengenali fibrosis fokal dan pencitraan pemetaan T1 untuk fibrosis interstisial. Modalitas ini semakin banyak dipakai pada PJBD, karena mempunyai nilai diagnostik dan prognostik. Untuk mengurangi risiko fibrosis sistemik nefrogenik, gadolinium harus dihindari pada pasien dengan filtrasi glomerulus rendah (<30 mL/menit/1,73 m2). Oleh karena itu, kadar kreatinin plasma perlu diperiksa sebelum CMR dilakukan. Meski dampak klinis belum terlihat, akumulasi gadolinium jangka panjang di otak terlepas dari bagaimana fungsi ginjalnya, menimbulkan kekhawatiran dosis kumulatif seumur hidup pada pasien PJB yang menjalani CMR serial sejak usia muda. Pemeriksaan dengan gadolinium sebaiknya sangat selektif dan dilakukan di pusat PJBD yang menggunakan kontras gadolinium makrosiklik yang efek sampingnya lebih rendah dibanding gadolinium linier chelated.

(31)

Tabel 2.3. Indikasi cardiovascular magnetic resonance (CMR)

• Pengukuran volume dan EF ventrikel (RV subpulmonar/ infundibular, sistemik dan univentrikel)

• Evaluasi obstruksi alur keluar RV (right ventricle outflow tract = RVOT) dan conduit (saluran penghubung) RV - arteri pulmonalis • Evaluasi regurgitasi pulmonal (pulmonary regurgitation = PR) • Evaluasi arteri pulmonalis (stenosis, aneurisma) dan aorta

(aneurisma/diseksi/koarktasio)

• Evaluasi vena sistemik dan vena pulmonalis (anomali koneksi, obstruksi, anatomi vena koroner pra-prosedur, dll.)

• Evaluasi kolateral dan malformasi arterio-venous (CCT mungkin lebih superior)

• Evaluasi anomali dan stenosis arteri koroner (CCT lebih superior untuk mengevaluasi arteri koroner: intramural, menikung tajam,

myocardial bridging dll. serta penilaian plak)

• Deteksi dan kualifikasi iskemia miokard (CMR stress perfusion) • Evaluasi massa intra- dan ekstrakardiak

• Kuantifikasi massa miokard (LV dan RV)

• Deteksi dan kuantifikasi fibrosis/jaringan parut miokardium (late

gadolinium enhancement, T1 mapping) serta karakteristik

miokardium (fibrosis, perlemakan, deposisi zat besi, dll.)

• Kuantifikasi aliran darah paru dan sistemik (menghitung Qp:Qs) • Kuantifikasi distribusi perfusi paru kanan/kiri

• Pengukuran aliran darah paru yang berasal dari beberapa sumber (contohnya pada MAPCAs)

CMR = cardiovascular magnetic resonance; CCT = cardiovascular computed tomography; EF = ejection fraction; LV = left ventricle; RV = right ventricle PA = pulmonary artery; PR = pulmonary regurgitation; Qp:Qs = pulmonary to systemic flow ratio; RVOTO = right ventricular outflow tract obstruction, major aorto-pulmonary collateral arteries = MAPCAs 2.4.3 Cardiovascular computed tomography (CCT)

(32)

dosis radiasi. Oleh karena itu, CCT tidak digunakan serial untuk indikasi ini. Perkembangan teknologi peralatan CCT secara substantial telah dapat mengurangi jumlah paparan radiasi hingga <5 mSv untuk gabungan angiogram CCT koroner, paru dan aorta. Keunggulan ini membuat CCT lebih menarik untuk pasien PJBD, misalnya pada penilaian patologi arteri koroner dan penilaian kolateral.

CCT sangat berguna dalam keadaan emergensi, misalnya pada kasus diseksi aorta, emboli paru, dan abses paravalvular pada endokarditis, karena keunggulannya dibandingkan ekokardiografi dan CMR yang kurang rentan terhadap artefak katup prostetik. Pada pasien dengan katup prostetik (in situ > 3 bulan), fluorine-18-fluorodeoxy-

glucose positron emission tomography berguna untuk diagnosis dini

inflamasi dan infeksi pada katup dan sekitarnya.

2.4.4 Uji latih kardiopulmoner (cardiopulmonary exercise testing = CPET)

Uji latih jantung (ULJ) berperan penting pada populasi PJBD, di mana kualitas hidup dan kapasitas fungsional merupakan ukuran kunci keberhasilan intervensi. CPET dapat menilai kapasitas latihan (VO2max),

efisiensi ventilasi melalui kemiringan rasio ventilasi terhadap luaran karbon dioksida (VE/VCO2), respon kronotropik dan tekanan darah, serta aritmia dan desaturasi akibat uji latih, sehingga mampu memberikan evaluasi kapasitas fungsional dan kebugaran fisik yang lebih luas. Disamping itu, CPET terbukti memiliki titik akhir yang berkorelasi baik dengan morbiditas dan mortalitas pasien PJBD. Oleh karena itu, CPET seharusnya menjadi bagian dari protokol tindak lanjut jangka panjang. Hasil CPET penting untuk menentukan waktu intervensi dan intervensi ulangan secara akurat. CPET juga merupakan alat yang berguna untuk merekomendasikan intensitas aktivitas fisik berdasarkan resep latihan secara individual.

Tes berjalan 6 menit (6 minute walk test = 6MWT) adalah tes sederhana lainnya untuk mengukur kapasitas latihan. Pada pasien PJBD, tes ini berkaitan dengan prognosis pasien.

2.4.5 Kateterisasi jantung

(33)

fungsi diastolik ventrikel (termasuk fisiologi konstriktif dan restriktif), gradien tekanan, kuantifikasi besarnya pirau, angiografi koroner, dan evaluasi pembuluh darah ekstra-kardiak seperti major aorto-pulmonary

collateral arteries (MAPCAs).

Pada lesi pirau dengan gambaran ekokardiografi Doppler memperlihatkan PH, kateterisasi termasuk uji vasoreaktivitas, penting dilakukan untuk membuat keputusan apakah pirau masih bisa ditutup atau tidak. Inhalasi nitrit oksida paling banyak digunakan untuk tujuan ini, namun di negara berkembang, oksigen lebih banyak dipakai. Estimasi PVR pada lesi pirau membutuhkan perhitungan aliran darah paru yang akurat, menggunakan prinsip Fick. Metode ini dengan pengukuran konsumsi oksigen merupakan cara penghitungan curah jantung yang paling akurat.

Sebelum operasi, arteri koroner perlu dievaluasi dengan CCT atau angiografi koroner pada lelaki usia > 40 tahun atau perempuan pasca- menopause, dan pada pasien dengan gejala penyakit jantung koroner atau dengan lebih dari satu faktor risikonya.

2.4.6 Biomarker

Berbagai biomarker telah dilaporkan dalam kaitannya dengan kejadian buruk pada populasi PJB, termasuk neurohormon dan penanda cedera miokardium (high-sensitivity troponin) atau peradangan (high-sensitivity

C-reactive protein). Di antara neuro-hormon tersebut, peptida natriuretik

(34)

2.5 Pertimbangan Terapi 2.5.1 Gagal Jantung

Gagal jantung merupakan masalah yang sering ditemukan pada populasi PJBD (20-50%), dan merupakan penyebab utama kematian. Insidensnya terus meningkat dan seringkali tidak terdeteksi. Pasien dengan risiko tinggi gagal jantung, membutuhkan tatalaksana jangka panjang yang sistematis dan penyaringan diagnosis yang baik, karena gejala gagal jantung sering muncul terlambat. Setiap kelainan hemodinamik (termasuk aritmia yang berpotensi menyebabkan gagal jantung dan dapat diatasi dengan intervensi atau pembedahan) harus dicari terlebih dahulu, jika memungkinkan diobati lebih awal.

Karena tidak ada panduan tatalaksana khusus, maka untuk terapi medis gagal jantung dengan penyakit penyerta seperti diabetes mellitus, AF, defisiensi zat besi dan kakeksia, digunakan panduan tatalaksana seperti pada penyakit jantung didapat. Namun perlu diingat bahwa, pada pasien PJB, patofisiologi disfungsi kardiorespirasi seringkali berbeda dengan penyakit jantung didapat, khususnya pada pasien dengan RV sistemik, disfungsi ventrikel subpulmonal, atau fisiologi univentrikel. Patofisiologi gagal jantung pada PJBD dengan disfungsi sistolik ventrikel memiliki spektrum penyebab yang luas.

Ventrikel sistemik maupun ventrikel subpulmonik baik morfologi RV atau LV, atau fisiologi univentrikel, dapat mengalami beban volume ataupun beban tekanan berlebihan secara kronis, sehingga terjadi disfungsi ventrikel yang progresif. Perubahan struktur miokardium (non-

compaction) dan saling ketergantungan antar ventrikel, dapat

(35)

Pada sirkulasi biventrikuler, pasien dengan disfungsi LV atau RV sistemik umumnya diatasi dengan terapi gagal jantung konvensional. Diuretik dapat diberikan untuk meringankan gejala. Apakah penggunaan penghambat sistem renin-angiotensin aldosteron atau penghambat beta (beta blocker) jangka panjang mempengaruhi luaran klinis, masih belum diketahui pasti. Tatalaksana pasien simtomatik pada disfungsi univentrikuler (contohnya pada sirkulasi Fontan), atau pada kasus pirau kanan ke kiri (right to left = R-L) yang menetap, harus dimulai dengan hati-hati, perhatikan dengan seksama keseimbangan antara beban awal (preload) dengan beban akhir (afterload) sistemik. Pada PJBD dengan gagal jantung, penggunaan sacubitril/valsartan belum dapat diberikan sebagai rekomendasi, walaupun berdasarkan pedoman ESC dipakai sebagai terapi gagal jantung kronis dan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas. Gagal jantung dengan fungsi EF yang baik, juga sering ditemukan pada pasien PJBD. Rekomendasi terapi mengikuti panduan tatalaksana gagal jantung yang dikeluarkan oleh PERKI secara umum. Selain terapi medikamentosa, terapi resinkronisasi jantung (Cardiac Resynchronization Therapy = CRT) semakin diminati untuk penanganan pasien PJBD dengan gagal jantung, meskipun bukti ilmiah masih sedikit dalam hal indikasi dan luaran. Manfaat CRT pada PJB dapat beragam, bergantung pada substrat struktural dan fungsi yang mendasari, seperti anatomi dari ventrikel sistemik (RV/LV, atau univentrikuler), keberadaan dan derajat regurgitasi katup AV pada ventrikel sistemik, penyakit miokardium primer atau jaringan parut, dan tipe gangguan konduksi pada pasien.

Insidens gagal jantung akut pada PJBD diperkirakan akan meningkat seiring waktu, karena bertambahnya usia dan penyakit penyerta yang lebih rumit. Pengetahuan tentang penggunaan inotropik yang tepat, ketersediaan extra-corporal membrane oxygenation (ECMO), dan teknik bridging lanjutan, adalah syarat minimal yang diperlukan untuk secara adekuat mendukung proses merujuk pasien ke pusat PJBD di negara maju; hal semacam ini agaknya sulit diterapkan di negara berkembang.

(36)

jantung sebelumnya, anatomi dan fisiologi yang kompleks, dan penyakit penyerta. Meningkatnya penggunaan alat bantu ventrikel (ventricular

assist device = VAD) dapat menjembatani beberapa kasus ke

transplantasi jantung. Pada pasien dengan anatomi yang sangat rumit atau memiliki kadar antibodi yang tinggi terhadap human leucocyte

antigen tidak dapat dilakukan transplantasi, maka VAD dapat menjadi

pilihan terapi akhir. Pada beberapa pasien, transplantasi multi-organ diperlukan, misalnya transplantasi jantung-paru pada PJBD dengan PH yang ireversibel (sindrom Eissenmenger). Transplantasi jantung-hati secara simultan dapat dilakukan pada pasien Fontan dengan kegagalan fungsi hati atau pada pasien dengan peningkatan tekanan vena hepatika kronis akibat gagal jantung kanan (contohnya pada anomali Ebstein). Namun, kurangnya donor organ menjadi keterbatasan utama. Pada semua kasus transplantasi jantung direkomendasikan untuk menjalani evaluasi tepat waktu, yang dilakukan oleh praktisi di pusat rujukan transplantasi. Perencanaan tatalaksana lebih lanjut, termasuk tatalaksana paliatif, harus ditawarkan pada semua pasien dengan gagal jantung berat.

2.5.2 Aritmia dan henti jantung mendadak 2.5.2.1 Substrat aritmia

Berbagai spektrum aritmia dapat ditemui pada PJBD. Namun, beberapa substrat aritmia bawaan berhubungan dengan malformasi jantung (Tabel 2.4). Harapan hidup yang lebih lama (sehubungan dengan paparan faktor risiko untuk substrat aritmogenik) meningkatkan angka kejadian aritmia terkait remodeling struktural (contohnya AF), yang mungkin terjadi pada usia lebih muda dibandingkan populasi normal.

Aritmia lain berhubungan dengan jenis dan waktu reparasi PJB. Insisi atrium kanan (right atrium = RA) dan remodeling sekunder akibat beban hemodinamik yang berlebihan, berkontribusi pada tingginya prevalensi takikardia atrial (atrial tachycardia = AT). Paling sering ditemui adalah intra-atrial reentrant tachycardia (IART), khususnya

cavotricuspid isthmus-dependent AF. Laju atrial antara 150-250x/menit

dapat menyebabkan konduksi AV yang cepat, gangguan hemodinamik, dan kematian mendadak. Timbulnya takikardia ventrikel (ventricle

tachycardia = VT) monomorfik juga ditentukan oleh jenis PJB dan tipe

(37)

Tabel 2.4. Estimasi risiko untuk kejadian aritmia dan bradikardia.

AF = atrial fibrillation; ASD = atrial septal defect; AV = atrioventricular; AVRT = atrioventricular reentrant tachycardia; AVSD = atrioventricular septal defect; ccTGA = congenitally corrected transposition of the great arteries; CHD = congenital heart disease; EAT = ectopic atrial tachycardia; IART = intraatrial reentrant tachycardia; SCD = sudden cardiac death; SND = sinus node dysfunction; TGA = transposition of the great arteries; TOF = tetralogy of Fallot; VSD = ventricular septal defect; VT = ventricular tachycardia.

aMempertimbangkan prevalensi VSD yang tinggi, maka risiko keseluruhan pada pasien

VSD yang tidak diseleksi dinyatakan minimal.

bKematian mendadak mungkin akibat aritmia supraventrikuler dengan konduksi AV cepat

cEstimasi risiko VT lebih tinggi pada TGA kompleks

dNon-aritmik.

(38)

yang menyebabkan aritmia berbeda, termasuk VT polimorfik dan fibrilasi ventrikel (ventricle fibrillation = VF).

2.5.2.2 Penilaian dan tatalaksana pasien yang diduga atau terdokumentasi aritmia

Pada pasien simtomatik yang tidak terdokumentasi aritmia saat datang, evaluasi bergantung pada frekuensi gejala dan kondisi lain (misalnya hasil CPET).

Pada pasien yang asimtomatik, manfaat evaluasi berkala selain EKG (seperti Holter berkala) diragukan; karena meskipun prevalensi aritmia cukup tinggi, namun jarang mengubah tatalaksana pasien.

Pada semua pasien, evaluasi untuk mencari penyebab aritmia yang reversibel (contohnya hipertiroid, proses inflamasi) dan gangguan hemodinamik baik baru maupun residual sangat penting. Aritmia yang menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik perlu ditangani segera, tanpa peduli durasi aritmia/antikoagulasi sesuai rekomendasi. Pasca konversi, sinus arrest/bradikardia dapat terjadi, kesiapan pacu jantung perlu dipertimbangkan pada pasien dengan risiko disfungsi nodus sino- atrial (SA node = SAN) (Tabel 2.4).

Jika IART/AF ditoleransi dan berlangsung 48 jam, maka sebelum kardioversi dilakukan, kemungkinan adanya trombus intrakardiak perlu disingkirkan (dengan TEE) dan/atau pemberian antikoagulan yang sesuai perlu dimulai (untuk >3 minggu) disertai pemberian obat kontrol laju nadi seperti beta blocker atau penghambat kanal kalsium (calcium

channel blocker = CCB) bila fungsi ventrikel sistemik normal dan tidak

ada pre-eksitasi.

(39)

badan rendah, penyakit hati, gangguan tiroid, atau paru, atau interval QT yang memanjang. Terapi amiodaron jangka panjang tidak disarankan pada pasien PJB usia muda. Untuk tatalaksana aritmia kronis yang optimal, direkomendasikan merujuk pasien ke pusat PJBD yang memiliki tim multidisiplin, khususnya pakar aritmia terkait PJB. 2.5.2.3 Disfungsi SAN, blok AV dan kelambatan konduksi infra His Holter berkala untuk pasien asimtomatik yang berisiko mengalami disfungsi SAN dan blok AV sebaiknya dipertimbangkan. Disfungsi SAN/ bradikardi kronis dengan hemodinamik atrium yang tidak efektif, dapat memengaruhi remodeling atrium dan memfasilitasi terjadinya IART. Pasien dengan blok AV pasca operasi merupakan kelompok risiko tinggi henti jantung mendadak. Oleh karena itu, disarankan indikasi yang lebih luas untuk implantasi pacu jantung dibandingkan pasien dengan struktural jantung yang normal.

Pada pasien PJBD sirkulasi biventrikel dengan LV sistemik, indikasi pemasangan CRT mengikuti kriteria standar. Sebagai catatan, pacu jantung ventrikel konvensional adalah penyebab utama disfungsi ventrikel sistemik bukan blok cabang berkas His. Oleh karena itu, untuk pasien PJBD, CRT direkomendasikan bila EF sistemik 35% dan QRS sempit, perlu diantisipasi kebutuhan pacing yang signifikan dan penggantian CRT di masa yang akan datang. Sebagai alternatif, pacing pada berkas His dapat dipertimbangkan.

Manfaat CRT pada PJB bervariasi bergantung pada jenis defek dan mungkin anatominya, serta penyebab disinkroni (misalnya RV sistemik atau univentrikel, regurgitasi katup AV, jaringan parut). Secara umum, durasi QRS saja mungkin tidak cukup sebagai prediktor, data tindak lanjut masih terbatas. Selain itu, torakotomi atau implantasi lead secara hibrid sering diperlukan, data tentang seberapa lama CRT dapat bertahan masih kurang.

2.5.2.4 Henti jantung mendadak dan stratifikasi risiko

(40)

faktor risiko (Tabel 2.4). Mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami henti jantung mendadak tetap menjadi tantangan.

Penggunaan ICD untuk pencegahan primer dan sekunder henti jantung mendadak pada pasien fisiologi biventrikel dengan LV sistemik, mengikuti kriteria standar. Obat antiaritmia dapat digunakan sebagai tambahan, untuk mengurangi beban aritmia ventrikel. Namun, manfaat ICD dalam pencegahan primer pada RV sistemik atau univentrikel belum banyak diketahui.

Dengan demikian, kecuali untuk pasien tetralogy of Fallot (TOF), pedoman khusus mengenai pemakaian ICD sebagai pencegahan primer pada PJB tetap sulit disimpulkan. Pemasangan ICD trans-vena telah banyak digunakan, tetapi pada pasien dengan akses vena yang terbatas atau pirau intrakardiak, ICD subkutan dapat menjadi alternatif. Namun perlu diingat bahwa, tidak semua pasien memenuhi syarat, ada risiko sensing yang tidak tepat dan kurangnya pacing anti-takikardia/ antibradikardia.

Kegunaan programmed electrical stimulation (PES) pada pasien asimtomatik dengan PJB masih belum jelas. Namun, cukup beralasan bila digunakan pada pasien dengan insisi ventrikel dan/atau substrat untuk re-entry ventrikel (misalnya pada TOF yang sudah direparasi). Penting untuk mengenali penyebab lain dari henti jantung mendadak, apakah karena bradikardi/blok AV total, aritmia ventrikel yang diinduksi bradikardia dengan atau tanpa QT yang memanjang, atau karena IART/ AF dengan konduksi cepat.

Tabel 2.5. Rekomendasi terapi aritmia pada PJBD

Rekomendasi Kelas Level

Pasien PJBD sedang/berat (Tabel 2.1) terdokumentasi aritmia, direkomendasikan untuk dirujuk ke pusat PJBD yang memiliki tim multidisiplin, termasuk pakar PJBD dan pakar aritmia pada PJBD.

I C

Pasien PJBD terdokumentasi aritmia/berisiko tinggi aritmia bila diintervensi (contoh pasien ASD usia lebih tua yang akan ditutup trans-kateter/bedah), direkomendasikan untuk dirujuk ke pusat PJBD yang memiliki tim multidisiplin, termasuk pakar intervensi dan pakar aritmia pada PJB.

Gambar

Tabel 1.1 Klasifikasi rekomendasi tatalaksana PJBD.
Tabel 2.2. Staf dan akses pelayanan yang dibutuhan Unit Khusus PJBD
Tabel 2.4. Estimasi risiko untuk kejadian aritmia dan bradikardia.
Tabel 2.5. Rekomendasi terapi aritmia pada PJBD
+7

Referensi

Dokumen terkait