• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengorganisasian pelayanan

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DEWASA (PJBD)

2.3 Pengorganisasian pelayanan

Di negara maju, ketika pasien PJB menginjak usia dewasa, mereka akan ditransfer ke unit pelayanan PJBD. Pengalihan ini harus diawali dengan fase transisi sebagai persiapan, yang mungkin berlanjut hingga dewasa sesuai kebutuhan pasien. Keberadaan pelayanan transisi ini sangat penting, agar pasien mendapat pelayanan sebaik sebelumnya. Pelayanan transisi membutuhkan pengorganisasian pelayanan yang khusus, termasuk ketersediaan perawat spesialis, psikolog, dan pekerja sosial, mengingat kecemasan dan depresi sering muncul pada pasien PJBD. Aspek yang harus ditangani umumnya terkait kesehatan mental, menumbuhkan rasa aman dan menjaga kualitas hidup agar tetap baik. Unit PJBD dipersiapkan sesuai kebutuhan pasien, termasuk pelatihan bagi para tenaga dokter, perawat dan teknisi. Untuk dokter spesialis jantung atau dokter spesialis anak konsultan kardiologi pediatrik diperlukan pelatihan subspesialistik di bidang PJBD minimal

Berat : • Semua jenis PJB (yang sudah atau belum direparasi) dengan PVD (termasuk sindroma Eisenmenger)

• Semua jenis PJB sianotik (yang belum dioperasi atau telah dioperasi paliatif)

• Ventrikel alur keluar ganda (Double-outlet ventricle) • Sirkulasi Fontan

• Interrupted aortic arch (arkus aorta yang terputus) • Pulmonal atresia (berbagai macam bentuk)

• TGA (kecuali yang sudah dioperasi arterial switch)

• Univentrikel (termasuk double inlet ventrikel kiri/kanan, atresia mitral/trikuspid, HLHS, kelainan anatomi lainnya dengan fungsional ventrikel tunggal)

• Trunkus arteriosus

• Kelainan katup AV dan koneksi AV yang kompleks lainnya (antara lain jantung criss-cross, sindrom

1 tahun, di senter yang memiliki unit pelayanan tersier PJB pediatrik dan PJBD lengkap, dengan jumlah kasus yang memadai. Paling sedikit dibutuhkan 1 senter tersier PJBD untuk setiap 10 juta penduduk, berarti minimal perlu ada 27 pusat pelayanan PJBD di Indonesia.

Tabel 2.2. Staf dan akses pelayanan yang dibutuhan Unit Khusus PJBD

Jenis staf Jumlah

Dokter Sp.JP/Spesialis lain bersertifikat kompeten memberi >2 pelayanan PJBD dengan kemampuan melakukan dan

menginterpretasi TTE, TEE, CT, CMR pada PJB

Dokter Sp.JP Intervensionis PJB >2

Dokter Sp.JP Subspesialis elektrofisologi pengalaman PJB >2

Dokter Sp.BTKV Subspesialis PJB >2

Dokter Sp.An dengan pengalaman anestesi PJB >2 Akses ke layanan

• Dokter Sp.KJ

• Dokter Sp.OG pengalaman PJB • Dokter Sp.PD konsultan hematologi • Dokter Sp.PD subspesialis nefrologi

• Dokter Sp.P berpengalaman penyakit vaskular paru • Dokter Sp.S

• Dokter Sp.BS

• Dokter Sp.Genetika

Perawat spesialis jantung dengan subspesilisasi PJBD >2

Pekerja sosial >1

Tim perawatan paliatif >1

CMR = cardiovascular magnetic resonance; CCT = cardiovascular computed tomography; TEE = transesophageal echocardiography; TTE = transthoracic echocardiography; PJB = penyakit jantung bawaan, SpJP = spesialis jantung dan pembuluh darah; SpBTKV = spesialis bedah toraks kardiovaskular; SpP = spesialis paru;SpOG = spesialis obstetric ginekologi, SpPD = spesialis penyakit dalam; SpS = spesialis saraf, SpBS = spesialis bedah saraf

Hal yang penting diingat adalah, perawatan pasien PJB merupakan proses yang berlangsung seumur hidup dan kualitas pelayanannya harus sebaik pelayanan PJB yang mereka terima di masa kanak kanak. Untuk itu, perlu disusun perencanaan strategi penanganan jangka panjang secara individual bagi setiap pasien PJBD, sesuai kondisi

pasien dan jenis kelainannya.Berbagai masalah yang mungkin terjadi antara lain lesi residual atau sequalae yang memerlukan operasi ulang, lesi yang memerlukan operasi paliatif atau korektif, hipertensi, aritmia, stroke, gagal jantung, hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension = PH), endokarditis, intoleransi aktifitas fisik, depresi, penurunan kualitas hidup, masalah kehamilan yang dapat mengancam hidup maternal maupun janin, komplikasi koroner, sindrom aortik, kematian mendadak, kebutuhan obat jangka panjang, penurunan harapan hidup, penurunan fungsi ginjal, hati, dan paru. Mengingat banyaknya permasalahan yang mungkin terjadi, maka penanganan multidisiplin mutlak diperlukan.

Pelayanan PJBD terbagi atas 3 tingkat berdasarkan kebutuhan/ kondisi pasien, yaitu:

• pasien yang harus ditangani oleh dokter subspesialis di pusat PJBD di rumah sakit tersier

• pasien yang bisa ditangani oleh dokter spesialis jantung di rumah sakit sekunder

• pasien yang bisa dikelola di klinik non-spesialis (dengan kemudahan akses ke pusat PJBD).

Kompleksitas PJB bukan satu-satunya kriteria untuk menetapkan pasien PJBD perlu mendapat penanganan di tingkat pelayanan subspesialis. Pasien dengan PJB anatomis sederhana, dalam keadaan tertentu mungkin memerlukan perawatan subspesialistik (contohnya pasien ASD dengan PH), kemudahan akses pelayanan perlu diupayakan. Karena itu, dianjurkan agar setiap pasien PJBD mendapat kesempatan minimal sekali dievaluasi di pusat PJBD rumah sakit tersier, untuk kemudian ditentukan tingkat perawatan dan interval tindak lanjut yang tepat.

Jejaring layanan PJBD perlu dibangun antara layanan pusat PJBD dengan layanan spesialis jantung yang seyogyanya ada di setiap rumah sakit sekunder. Dengan semakin meningkatnya populasi PJBD, akan lebih banyak pasien yang datang ke spesialis jantung untuk kondisi akut, seperti aritmia, gagal jantung, atau endokarditis. Pada beberapa kasus, terapi tidak bisa ditunda, karena kondisi hemodinamik pasien yang tidak stabil (contohnya pasien pasca operasi Fontan dengan aritmia supraventrikular yang tidak dapat ditoleransi dengan baik). Kemudahan untuk berkonsultasi dengan dokter pakar di pusat PJBD untuk mendiskusikan strategi terapi atau transfer pasien, sangat dibutuhkan. Sepanjang perjalanan hidup pasien PJBD, membutuhkan

berbagai perencanaan strategi perawatan, termasuk perawatan paliatif untuk akhir kehidupan.

2.4 Diagnostik

Riwayat kesehatan pasien termasuk informasi rinci tentang operasi paliatif/reparatif dan intervensi trans-kateter yang pernah dilakukan, sangat penting dalam pemeriksaan pasien PJBD. Tujuan menganalisis riwayat kesehatan pasien adalah untuk menilai gejala sekarang dan masa lalu, serta untuk mencari kekambuhan masalah jantung dan perubahan terapi yang dilakukan.

Gejala yang paling sering dikeluhkan yaitu intoleransi aktifitas fisik/olahraga dan palpitasi. Kapasitas fisik yang dinilai sendiri oleh pasien, terbukti kurang sesuai dengan pengukuran obyektif. Oleh karena itu, untuk tujuan penilaian intoleransi olahraga baik pada pasien yang asimtomatik maupun simtomatik, uji latih kardiopulmoner (cardiopulmonary exercise test = CPET) atau minimal uji latih jantung (ULJ) penting dilakukan. Selain itu, pasien perlu dimintai keterangan tentang gaya hidupnya, untuk mendeteksi perubahan progresif dalam aktivitas sehari-hari guna membatasi subjektivitas analisis gejala. Pada pasien yang simtomatik, penyebab alternatif seperti anemia, depresi, kenaikan berat badan dan penyebab penurunan kondisi fisik lainnya yang tidak terkait dengan defek jantungnya, juga harus ditelusuri dan segera diatasi.

Pemeriksaan klinis berperan penting, mencakup evaluasi cermat terhadap setiap perubahan auskultasi, tekanan darah, atau timbulnya tanda tanda gagal jantung. Elektrokardiogram (EKG) dan pengukuran saturasi oksigen dengan oksimetri nadi rutin dilakukan, bersamaan dengan pemeriksaan klinis. Foto Rontgen dada memberikan informasi tentang perubahan ukuran dan konfigurasi jantung, serta vaskularisasi paru; pencitraan yang juga rutin dilakukan adalah transthoracal

echocardiography (TTE). Transesophageal echocardiography (TEE), cardiovascular magnetic resonance (CMR) atau cardiovascular computed tomography (CCT) hanya dilakukan atas indikasi.

Ekokardiografi lebih unggul dari CMR dalam menilai gradien tekanan dan tekanan arteri pulmonalis (pulmonary artery pressure = PAP) atau pendeteksian struktur kecil yang mudah bergerak (contohnya vegetasi). CMR sangat akurat untuk mengukur volume ventrikel, fraksi ejeksi (ejection fraction = EF), regurgitasi katup, besar aliran darah paru dan

sistemik, serta penilaian fibrosis miokardium. CCT dengan pemindai modern bersumber tunggal atau ganda yang dilakukan dengan protokol hemat dosis, mungkin diperlukan pada indikasi khusus (Tabel 2.3). Kolaborasi antar pakar multidisipliner penting, pakar pencitraan PJB harus mendapat umpan balik dari dokter bedah PJB dan intervensionis PJB atau elektrofisiologis, guna meningkatkan dan mengoptimalkan kontribusi pencitraan dalam talaksana kasus kasus PJB. Pencitraan multimodalitas lanjutan ini sebaiknya dilakukan di pusat PJBD, untuk menghindari pemeriksaan berulang.

2.4.1 Ekokardiografi

Hingga saat ini, ekokardiografi tetap menjadi modalitas pencitraan lini pertama. Ekokardiografi M-mode, dua dimensi (2D), dan tiga dimensi (3D) digunakan untuk pencitraan struktur, sedangkan tissue Doppler dan pencitraan deformasi seperti longitudinal strain dan strain rate digunakan untuk penilaian fungsi.

Ekokardiografi memberikan informasi tentang anatomi jantung, situs (termasuk orientasi dan posisi jantung), koneksi atrioventrikular (AV), katup jantung, dan koneksi ventriculo-arterial (VA). Untuk menilai morfologi dan fungsi katup jantung, TTE dan jika perlu, TEE merupakan modalitas pencitraan utama. Juga dalam menilai lesi pirau, seperti ASD/VSD; ekokardiografi (sering dilengkapi 3D) memungkinkan tampilan kasat mata, yang memudahkan penilaian ukuran dan bentuk lesi, serta hubungan dengan struktur sekitarnya.

Ukuran, bentuk, volume dan EF ventrikel dapat diukur dengan TTE. Tanda-tanda kelebihan beban volume (seperti pada kasus pirau atau regurgitasi katup), atau kelebihan beban tekanan (jika terjadi peningkatan beban akhir/afterload), juga mudah dideteksi dengan TTE. Teknik lama M-mode masih terus digunakan, terutama untuk mengukur ekskursi sistolik bidang annulus katup trikuspid dan mitral, guna menilai fungsi sistolik ventrikel. Dalam penilaian fungsi sistolik ventrikel kiri (left

ventricle = LV), ekokardiografi 3D, tissue Doppler dan pencitraan

deformasi 2D terbukti bermanfaat dan layak diintegrasikan dalam praktik klinik. Meskipun muncul modalitas yang lebih baru, ekokardiografi masih tetap memegang peran kunci, khususnya dalam tindak lanjut jangka panjang penilaian fungsi sistolik ventrikel kanan (right ventricle = RV) atau ventrikel tunggal (univentrikel), akan tetapi, untuk pengukuran yang lebih akurat CMR lebih unggul.

2.4.2 Cardiovascular magnetic resonance (CMR)

CMR merupakan modalitas penting untuk rekonstruksi anatomi dalam tiga dimensi, tanpa dibatasi oleh ukuran tubuh atau jendela akustik, dan dengan cepat meningkatkan resolusi spasial dan temporal. Agar diperoleh kualitas gambar yang optimal, CMR membutuhkan irama jantung yang teratur. Namun, pemeriksaan CMR tetap dapat dilakukan walaupun irama jantung tidak teratur (sering ektopi atau fibrilasi atrial (atrial fibrillation = AF) dan adanya artefak logam.

CMR adalah metode pencitraan baku emas untuk kuantifikasi volume dan menjadi alternatif pemeriksaan pada saat ekokardiografi tidak mendapatkan kualitas yang memadai, atau ketika pengukuran ekokardiografi di ambang batas/meragukan. Selain itu, kurangnya radiasi menjadikan alat ini berguna ketika evaluasi serial diperlukan (misalnya untuk memantau dimensi aorta). CMR memungkinkan penghitungan aliran darah sistemik dan aliran darah paru dari beberapa sumber suplai; dengan kombinasi kateterisasi dapat ditentukan tinggi resistensi vaskular paru (pulmonary vascular resistance = PVR).

Kemampuan mengenali karakteristik fibrosis miokardium merupakan keunikan CMR, late gadolinium enhancement dapat mengenali fibrosis fokal dan pencitraan pemetaan T1 untuk fibrosis interstisial. Modalitas ini semakin banyak dipakai pada PJBD, karena mempunyai nilai diagnostik dan prognostik. Untuk mengurangi risiko fibrosis sistemik nefrogenik, gadolinium harus dihindari pada pasien dengan filtrasi glomerulus rendah (<30 mL/menit/1,73 m2). Oleh karena itu, kadar kreatinin plasma perlu diperiksa sebelum CMR dilakukan. Meski dampak klinis belum terlihat, akumulasi gadolinium jangka panjang di otak terlepas dari bagaimana fungsi ginjalnya, menimbulkan kekhawatiran dosis kumulatif seumur hidup pada pasien PJB yang menjalani CMR serial sejak usia muda. Pemeriksaan dengan gadolinium sebaiknya sangat selektif dan dilakukan di pusat PJBD yang menggunakan kontras gadolinium makrosiklik yang efek sampingnya lebih rendah dibanding gadolinium linier chelated.

Pasien PJBD yang menggunakan alat pacu jantung dan defibrillator (implantable cardioverter defibrillator = ICD) dapat menjalani pemeriksaan CMR sesuai pedoman, di mana tersedia dukungan lokal. Pencitraan CMR 3D dapat diintegrasikan ke dalam prosedur elektrofisiologi (EP) dan intervensi.

Tabel 2.3. Indikasi cardiovascular magnetic resonance (CMR)

• Pengukuran volume dan EF ventrikel (RV subpulmonar/ infundibular, sistemik dan univentrikel)

• Evaluasi obstruksi alur keluar RV (right ventricle outflow tract = RVOT) dan conduit (saluran penghubung) RV - arteri pulmonalis • Evaluasi regurgitasi pulmonal (pulmonary regurgitation = PR) • Evaluasi arteri pulmonalis (stenosis, aneurisma) dan aorta

(aneurisma/diseksi/koarktasio)

• Evaluasi vena sistemik dan vena pulmonalis (anomali koneksi, obstruksi, anatomi vena koroner pra-prosedur, dll.)

• Evaluasi kolateral dan malformasi arterio-venous (CCT mungkin lebih superior)

• Evaluasi anomali dan stenosis arteri koroner (CCT lebih superior untuk mengevaluasi arteri koroner: intramural, menikung tajam,

myocardial bridging dll. serta penilaian plak)

• Deteksi dan kualifikasi iskemia miokard (CMR stress perfusion) • Evaluasi massa intra- dan ekstrakardiak

• Kuantifikasi massa miokard (LV dan RV)

• Deteksi dan kuantifikasi fibrosis/jaringan parut miokardium (late

gadolinium enhancement, T1 mapping) serta karakteristik

miokardium (fibrosis, perlemakan, deposisi zat besi, dll.)

• Kuantifikasi aliran darah paru dan sistemik (menghitung Qp:Qs) • Kuantifikasi distribusi perfusi paru kanan/kiri

• Pengukuran aliran darah paru yang berasal dari beberapa sumber (contohnya pada MAPCAs)

CMR = cardiovascular magnetic resonance; CCT = cardiovascular computed tomography; EF = ejection fraction; LV = left ventricle; RV = right ventricle PA = pulmonary artery; PR = pulmonary regurgitation; Qp:Qs = pulmonary to systemic flow ratio; RVOTO = right ventricular outflow tract obstruction, major aorto-pulmonary collateral arteries = MAPCAs 2.4.3 Cardiovascular computed tomography (CCT)

CCT memiliki resolusi spasial yang tinggi dan waktu akuisisi yang cepat, sehingga sangat relevan untuk pencitraan pembuluh darah besar, arteri koroner dan arteri kolateral, serta untuk pencitraan penyakit parenkim paru. Di banyak senter, CCT merupakan modalitas pencitraan yang disukai dalam perencanaan implantasi katup trans-kateter. Ukuran dan fungsi ventrikel bisa dinilai, tetapi dengan resolusi temporal yang lebih rendah dibandingkan CMR, dan biasanya dengan meningkatkan

dosis radiasi. Oleh karena itu, CCT tidak digunakan serial untuk indikasi ini. Perkembangan teknologi peralatan CCT secara substantial telah dapat mengurangi jumlah paparan radiasi hingga <5 mSv untuk gabungan angiogram CCT koroner, paru dan aorta. Keunggulan ini membuat CCT lebih menarik untuk pasien PJBD, misalnya pada penilaian patologi arteri koroner dan penilaian kolateral.

CCT sangat berguna dalam keadaan emergensi, misalnya pada kasus diseksi aorta, emboli paru, dan abses paravalvular pada endokarditis, karena keunggulannya dibandingkan ekokardiografi dan CMR yang kurang rentan terhadap artefak katup prostetik. Pada pasien dengan katup prostetik (in situ > 3 bulan), fluorine-18-fluorodeoxy-

glucose positron emission tomography berguna untuk diagnosis dini

inflamasi dan infeksi pada katup dan sekitarnya.

2.4.4 Uji latih kardiopulmoner (cardiopulmonary exercise testing = CPET)

Uji latih jantung (ULJ) berperan penting pada populasi PJBD, di mana kualitas hidup dan kapasitas fungsional merupakan ukuran kunci keberhasilan intervensi. CPET dapat menilai kapasitas latihan (VO2max), efisiensi ventilasi melalui kemiringan rasio ventilasi terhadap luaran karbon dioksida (VE/VCO2), respon kronotropik dan tekanan darah, serta aritmia dan desaturasi akibat uji latih, sehingga mampu memberikan evaluasi kapasitas fungsional dan kebugaran fisik yang lebih luas. Disamping itu, CPET terbukti memiliki titik akhir yang berkorelasi baik dengan morbiditas dan mortalitas pasien PJBD. Oleh karena itu, CPET seharusnya menjadi bagian dari protokol tindak lanjut jangka panjang. Hasil CPET penting untuk menentukan waktu intervensi dan intervensi ulangan secara akurat. CPET juga merupakan alat yang berguna untuk merekomendasikan intensitas aktivitas fisik berdasarkan resep latihan secara individual.

Tes berjalan 6 menit (6 minute walk test = 6MWT) adalah tes sederhana lainnya untuk mengukur kapasitas latihan. Pada pasien PJBD, tes ini berkaitan dengan prognosis pasien.

2.4.5 Kateterisasi jantung

Kateterisasi jantung t erutama disiapkan untuk menjawab pertanyaan spesifik tentang anatomi dan fisiologi yang meragukan dari evaluasi non-invasif atau untuk intervensi. Indikasinya meliputi penilaian PVR,

fungsi diastolik ventrikel (termasuk fisiologi konstriktif dan restriktif), gradien tekanan, kuantifikasi besarnya pirau, angiografi koroner, dan evaluasi pembuluh darah ekstra-kardiak seperti major aorto-pulmonary

collateral arteries (MAPCAs).

Pada lesi pirau dengan gambaran ekokardiografi Doppler memperlihatkan PH, kateterisasi termasuk uji vasoreaktivitas, penting dilakukan untuk membuat keputusan apakah pirau masih bisa ditutup atau tidak. Inhalasi nitrit oksida paling banyak digunakan untuk tujuan ini, namun di negara berkembang, oksigen lebih banyak dipakai. Estimasi PVR pada lesi pirau membutuhkan perhitungan aliran darah paru yang akurat, menggunakan prinsip Fick. Metode ini dengan pengukuran konsumsi oksigen merupakan cara penghitungan curah jantung yang paling akurat.

Sebelum operasi, arteri koroner perlu dievaluasi dengan CCT atau angiografi koroner pada lelaki usia > 40 tahun atau perempuan pasca- menopause, dan pada pasien dengan gejala penyakit jantung koroner atau dengan lebih dari satu faktor risikonya.

2.4.6 Biomarker

Berbagai biomarker telah dilaporkan dalam kaitannya dengan kejadian buruk pada populasi PJB, termasuk neurohormon dan penanda cedera miokardium (high-sensitivity troponin) atau peradangan (high-sensitivity

C-reactive protein). Di antara neuro-hormon tersebut, peptida natriuretik

(B-type natriuretic peptide= BNP) dan N-terminal-pro-BNP/NT-pro-BNP) adalah yang terpenting bagi pasien PJBD, karena membawa informasi prognostik. Tetapi kurang berguna untuk mendiagnosis gagal jantung pada berbagai jenis PJB, karena variabilitas ambang batas bergantung pada lesi yang mendasarinya dan jenis operasi reparasi yang dilakukan. Kegunaannya lebih jelas pada pasien dengan sirkulasi biventrikel, tidak pada sirkulasi Fontan. Pemeriksaan serial peptida natriuretik berguna dalam mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami perburukan. Tetapi pada PJB sianotik, peptida natriuretik dapat meningkat karena efek hipoksia sekresi peptida.

2.5 Pertimbangan Terapi