• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBENTUKAN IDENTITAS SLANKERS MELALUI PEMAKNAAN TERHADAP SIMBOL-SIMBOL BUDAYA MUSIK SLANK. Oleh: ADISTY DWI ANGGRAINI A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBENTUKAN IDENTITAS SLANKERS MELALUI PEMAKNAAN TERHADAP SIMBOL-SIMBOL BUDAYA MUSIK SLANK. Oleh: ADISTY DWI ANGGRAINI A"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

ADISTY DWI ANGGRAINI A 14204011

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

SLANK (Di bawah Bimbingan SARWITITI S. AGUNG).

Persoalan identitas penting untuk dipelajari, karena di era globalisasi ini berbagai budaya dengan bebas masuk dan dapat mengaburkan identitas suatu bangsa. Hal ini mengancam terjadinya krisis identitas bangsa Indonesia, terutama kaum muda yang sedang berada dalam masa pencarian identitas. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa harus mampu menjawab tantangan globalisasi sambil membentuk dan menguatkan identitas dirinya agar tidak terjerumus ke dalam upaya pengaburan identitas. Proses pembentukan identitas penting untuk dipelajari, karena dengan mengetahui langkah-langkah seseorang atau suatu komunitas mengalami perubahan identitas, akan membantu menilai kemungkinan dari pengembangan individu atau komunitas itu sendiri. Melalui penelusuran proses pembentukan identitas, seorang individu, sebuah komunitas, atau masyarakat, akan terungkap sejauh mana usaha seseorang memperoleh kesadaran baru akan dirinya sendiri dan pandangannya.

Musik adalah salah satu media yang dapat digunakan untuk membentuk identitas seseorang. Musik populer, sebagai salah satu produk budaya populer memiliki peran serta makna di dalamnya yang dapat membentuk identitas seseorang. Slankers adalah komunitas penggemar musik Slank yang terkenal dengan gaya

slengean dan semboyan PLUR (Peace, Love, Unity, Respect). Hal yang kemudian menarik untuk diteliti adalah bagaimanakah identitas komunitas Slankers terbentuk dan apakah identitas tersebut berubah dari waktu ke waktu.

(3)

pandang Slankers dan mendapatkan pandangan mereka mengenai dunia mereka. Penelitian etnografi bersifat fleksibel dan akan berkembang secara kontekstual sebagai reaksi dari realita sosial yang ditemukan secara tidak sengaja di lapangan. Komunitas sosial yang diteliti dalam penelitian ini adalah Slankers, kebudayaan yang dimaksud disini adalah budaya musik Slank, dan gejala sosial yang akan diteliti adalah proses pembentukan identitas komunitas Slankers melalui proses interaksionisme simbolik. Metode yang dilakukan adalah pengamatan berperan serta terhadap berbagai peristiwa simbolik yang dilakukan oleh para Slankers, dan wawancara mendalam yang dilakukan untuk mendapatkan interpretasi subjektif Slankers terhadap simbol-simbol budaya Slank yang dimaknai di dalam kegiatan simbolik tersebut.

Hasil penelitian mengungkap bahwa Slankers membentuk identitasnya sebagai hasil pemaknaan terhadap simbol-simbol yang terdapat di dalam budaya musik Slank melalui proses interaksi simbolik. Simbol-simbol yang dimaksud adalah simbol-simbol yang ada dalam peristiwa pembuatan video clip Seperti Para Koruptor , pengambilan gambar acara Warung Slankers , dan konser Ngejinggo Bareng Slank di Cianjur. Simbol-simbol signifikan yang ada di dalam budaya musik Slank dari ketiga peristiwa tersebut dapat dirangkum menjadi: lagu-lagu Slank, gaya berpakaian (slengean), gaya bicara (sapaan Peace , sapaan Bro ), dan ritual khusus Slankers (berkumpul bersama).

Lagu-lagu Slank yang memiliki lirik di dalamnya menjadi simbol signifikan yang dimaknai Slank untuk membantu memberikan referensi dalam memandang

(4)

dan apa adanya (sesuai dengan diri sendiri). Gaya slengean diterjemahkan oleh Slankers sebagai gaya yang cuek dan tidak formil. Biasanya para Slanker menggunakan celana jeans dan kausoblong, dengan rambut tidak tertata dengan rapi dan sandal jepit atau sepatu santai. Gaya berpakaian yang sama membuat para Slanker merasa telah menunjukkan ideologi Slankersnya, yaitu hidup sederhana dan apa adanya. Gaya bicara Slankers yang khas, dengan sapaan Peace dan panggilan Bro kepada sesama Slankers adalah simbol yang dimaknai sebagai perdamaian, saling menyayangi dan menghormati diantara sesama Slankers. Sapaan ini adalah sebuah identitas yang dengannya orang dapat mengetahui seseorang adalah anggota komunitas Slankers.

Selain itu, Slankers memiliki kegiatan khusus seperti ritual yang selalu dilakukan, yaitu berkumpul bersama ataunongkrong. Kegiatan ini dilakukan biasanya di markas mereka, baik markas Potlot atau markas di SFC masing-masing cabang. Selain di markas, Slankers selalu berkumpul di sebelum atau setelah menghadiri acara Slank, misalnya konser atau pembuatan video clip. Hal ini dilakukan untuk menjalin silaturahmi, dengan begitu tumbuh perasaan satu komunitas dan satu kelompok. Perasaan sebagai satu komunitas ini akan menumbuhkan solidaritas diantara mereka. Markas Slankers juga dijadikan sebagai tempat untuk menguatkan identitas Slankers melalui interaksi yang terjadi di dalamnya. Slankers dapat dengan mudah dikenali oleh seseorang dengan kehadirannya di markas Slankers.

Bentukan identitas Slank tidak dapat dilepaskan dari bentukan identitas Slank yang terkandung di dalam ajaran Slankissme dan disederhanakan menjadi semboyan

(5)

menampilkan identitas yang sama dengan idolanya, yaitu Slank. Meskipun tidak seluruh ajaran Slankissme dan PLUR berhasil ditularkan kepada Slankers oleh Slank, namun Slankers sepenuhnya memahami maksud dari ajaran dan semboyan itu.

Slankers senantiasa mengalami perubahan identitas selama hidupnya. Perubahan terjadi karena pemaknaan yang mereka lakukan mengalami perubahan. Cara mereka memandang sesuatu dan memaknainya berbeda ketika masih menjadi Slankers Muda dan beralih menjadi Slankers Dewasa. Perubahan yang dialami Slankers terjadi karena mereka melihat Slank mengalami perubahan. Sementara itu, perubahahan identitas yang dialami Slank tidak terlepas dari peran Bunda Ifet sebagai

significant others mereka. Kesimpulannya yaitu Slank dan Bunda Ifet adalah

significant others yang turut membentuk identitas Slankers serta mendorong perubahannya.

Persoalan identitas subkultur merupakan tema yang sangat menarik untuk diteliti. Adanya misi perlawanan dan ideologi pemberontakan di balik musik yang diusung Slank merupakan hal yang perlu dikaji lebih dalam. Penelitian ini kurang dalam mengkaji hal tersebut karena terfokus kepada teori interaksionisme simbolik. Untuk itu, sebagai saran untuk penelitian berikutnya mengenai identitas subkultur penggemar musik, lebih baik apabila mengungkap persoalan ini lebih mendalam, misalnya dengan perspektifCultural Studies.

(6)

Oleh:

Adisty Dwi Anggraini (A14204011)

SKRIPSI

Sebagai Bagan Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Pertanian pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(7)

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama : Adisty Dwi Anggraini

NRP : A14204011

Judul : Pembentukan Identitas Slankers Melalui Pemaknaan Tehadap Simbol-Simbol Budaya Musik Slank

Dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS. NIP: 131 879 331

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019

(8)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL PEMBENTUKAN IDENTITAS SLANKERS MELALUI PEMAKNAAN TERHADAP SIMBOL-SIMBOL BUDAYA MUSIK SLANK INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERNYATAN INI.

Bogor, September 2008

Adisty Dwi Anggraini A14204011

(9)

Penulis lahir di Bogor pada tanggal 22 Juni 1986. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara, merupakan anak dari pasangan Asrul Kahar dan Rahmawati. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Akbar Bogor pada tahun 1992, SD Negeri Gunung Gede Bogor pada tahun 1998, SLTP Negeri 1 Bogor pada tahun 2001, dan SMA Negeri 3 Bogor pada tahun 2004.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur USMI. Penulis memilih Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. Selain berkuliah, penulis bekerja menjadi penyiar di Radio Lesmana 100,1 FM Bogor sejak tahun 2005 sampai saat ini. Penulis juga berprofesi sebagai pembawa acara (MC) pada berbagai acara di Kota Bogor dan sekitarnya.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan Skripsi yang berjudul Pembentukan Identitas Slankers Melalui Pemaknaan Terhadap Simbol-Simbol Budaya Musik Slank , ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kegiatan skripsi ini berupa penelitian yang mengungkap proses pembentukan identitas komunitas penggemar musik Slank yang disebut Slankers. Melalui skripsi ini diungkap bahwa Slankers membentuk identitasnya melalui interaksi simbolik. Interaksi simbolik memungkinkan Slankers memaknai simbol-simbol budaya musik Slank selama peristiwa simbolik tertentu berlangsung. Penelitian ini juga mendeskripsikan perubahan identitas Slankers yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Demikianlah skripsi ini disusun dengan suatu tema tulisan yang dipandang relevan untuk ditelaah lebih lanjut saat ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Bogor, Agustus 2008

(11)

Selama masa penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari dorongan dan dukungan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat, karunia, dan hidayah yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sekaligus ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Sarwititi S. Agung MS, selaku dosen pembimbing penulis. Terima kasih

atas bimbingan kepada penulis selama proses penulisan skripsi.

2. Ivanovich Agusta SP. Msi, selaku dosen penguji utama ujian skripsi penulis.

3. Ir. Dwi Sadono Msi, selaku dosen pembimbing akademik penulis dan dosen penguji wakil departemen.

4. Keluarga tercinta, my lifetime motivator. Papa dan Mama, Asrul Kahar dan Rahmawati. My Siblings: Arie Wahyu Perdana, Marsha Nurul Septiani, dan Adeandra Tegar Anugerah. Terima kasih atas segala dukungan materi dan moral yang sudah, sedang, dan akan selalu diberikan kepada penulis.

5. Slank dan Slank Fans Club. Manajemen: Bunda Iffet, Mas Andre, Mas Adri, Mas Budi Ace. Terima kasih untuk kerja sama selama penulis melakukan penelitian. Personil Slank: Mas Bimbim, Mas Kaka, Mas Abdee, Mas Ivan, Mas Ridho.

Thanks for the inspiration. Seluruh Slankers di Indonesia: Keep rock n roll dan SalamPLUR!

6. Aryastianto Seno Prakoso. Sahabat dan rekan seperjuangan dalam hidup. Terima kasih atas dukungan langsung dan tidak langsung kepada penulis, terutama dalam berdiskusi dan mencari literatur di kampus UI Depok.

7. Sahabat sepanjang usia: Vanessa Meirdiana SP, Yunda Witaradya Skg, Rizky Amelia BIAM Hons, Rahma Natalia Skg, Fahriza Sri Wahyuningsih S.Sos, Yuni Pattinasari SH, Aini Aqsa Arafah SP, Rizka Gita Miranti S.Psi. Terima kasih atas dukungan dan do a yang selalu diberikan kepada penulis selama penulisan skripsi. 8. Blocnoot Crew: Fitri Gayatri SP, Renny Yusniati SP. Terima kasih sudah

memberikan semangat selama menulis skripsi dan membantu proses kelahiran The Holy SKL .

(12)

10. Teman-teman kelompok diskusi di KPM dan sekitar IPB: Refi Prafitri SP, Fritamia Saraswati SP, Restu Diresika SP, Intan Kusumawardhani SP, Sushane Sharita SP, Rizky Suci Lestari SP, Tigia Eloka Kailaku Ssi. Terima kasih untuk semua dukungan dan bantuan kepada penulis dalam masadeadline sidang.

11. Lesmana 100,1 Crew, yang sudah menggantikan penulis untuk siaran selama penelitian sampai sidang skripsi.

12. Seluruh teman-teman satu angkatan, senior dan junior di KPM. Selamat dan sukses selalu untuk kita semua!

(13)

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 6

2.1 Budaya Musik Populer ... 6

2.2 Kaum Muda ... 9

2.3 Penggemar Musik ... 9

2.4 Konsep Identitas ... 10

2.5 Pembentukan Identitas Diri ... 13

2.6 Simbol dan Komunikasi ... 18

2.7 Kerangka Pemikiran ... 20

2.8 Definisi Konseptual ... 23

BAB III METODOLOGI ... 25

3.1 Metode Penelitian ... 26

3.2 Penentuan Subjek Penelitian dan Sumber Data ... 25

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 28

3.4 Teknik Analisis Data ... 30

BAB IV ORGANISASI SLANK DAN SLANKERS ... 33

4.1 Biografi Slank ... 33

4.2 Pesan di Dalam Lirik Lagu Slank ... 43

4.2.1 Lagu Bertema ”PEACE” ... 44

4.2.2 Lagu Bertema ”LOVE” ... 46

4.2.3 Lagu Bertema ”UNITY” ... 53

4.2.4 Lagu Bertena ”RESPECT” ... 55

4.3 Slankers dan Slank Fans Club (SFC) ... 63

BAB V PEMAKNAAN SIMBOL-SIMBOL BUDAYA MUSIK SLANK OLEH SLANKERS ... 70

5.1 Potret Sederhana dan Kekeluargaan dalam Peristiwa Pembuatan Video Clip ”Seperti Para Koruptor” ... 67

5.2 Potret Kebersamaan dalam Peristiwa Pengambilan Gambar8 ”Warung Slankers” di TVRI ... 77

(14)

Slankers” dan Konser ”Ngejinggo Bareng Slank” ... 91

BAB VI PERUBAHAN IDENTITAS SLANKERS DAN PENYEBABNYA ... 98

6.1 Rohbet: Slankers Kota yang Cinta Keluarga ... 98

6.2 Agil: Slankers Daerah yang Hijarah ke Kota ... 103

6.3 Andre: Sekjen Slankers Pembawa Misi Mulia ... 108

6.4 Gapher: Penggagas SFC Puncak ... 114

6.5 Hilda: Mahasiswi “Slanky” ... 118

6.6 Analisis Perubahan Identitas Slankers ... 122

BAB VII BENTUKAN IDENTITAS SLANKERS HASIL INTERAKSI SIMBOLIK ... 131

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 139

8.1 Kesimpulan ... 139

8.2 Saran ... 141

DAFTAR PUSTAKA ... 143

(15)

Tabel 1. Album Slank 1990-2008 ... 38 Tabel 2. Biodata Subjek Penelitian ... 123

(16)

Gambar 1. Hubungan Antara Simbol/Lambang, Interpretasi dan Makna ... 15

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pembentukan Identitas Komunitas Slankers Melalui Pemaknaan Terhadap Simbol-Simbol Budaya Musik SLank ... 22

Gambar 3. Matriks Analisis Pesan Dibalik Lagu-Lagu Slank ... 59

Gambar 4. Warung Slank (Setting Pengambilan GambarVideo Clip ”Warung Slankers” ... 68

Gambar 5. Gaya Berpakaian Slank dan Seorang Slanker ... 73

Gambar 6. Poster ”Ngejinggo Bareng Slank” di Cianjur ... 83

Gambar 7. Pakaian Slankers dalam Konser ”Ngejinggo Bareng Slank” ... 84

Gambar 8. Sapaan ”Peace”, Ciri Khas Slankers ... 84

Gambar 9. Spanduk yang Dipasang di Mobil Slankers Menuju Tempat Konser ... 85

Gambar 10. Pedagang Asongan yang Menjual Atribut Slank ... 86

Gambar 11. Matriks Pemaknaan Slankers Terhadap Simbol-Simbol Budaya Slank dalam Setiap Peristiwa Simbolik ... 96

Gambar 12. Matriks Perubahan yang Dialami Slankers ... 128

Gambar 13. Matriks Perubahan yang Dialami Slank ... 129 Halaman

(17)

Lampiran 1. Contoh Catatan Lapang ... 146

Lampiran 2. Kode Etik SFC ... 161

Lampiran 3. Teks Lagu ”Rebut” ... 167

Lampiran 4. Data Slank Fans Club (SFC) 2008 ... 168

Lampiran 5. Peta Lokasi dan Jumlah Anggota SFC 2008 ... 178 Halaman

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era globalisasi ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada masalah krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas1. Globalisasi bukan hanya soal ekonomi, namun juga terkait dengan isu makna budaya (Barker, 2005). Kaum muda Indonesia seolah kehilangan identitas diri dengan mengaplikasikan budaya Barat di dalam kehidupan sehari-hari tanpa proses penyaringan, mulai dari perubahan selera makan, gaya berbusana layaknya bintang Hollywood, sampai melazimkan gaya hidup pergaulan bebas. Kaum muda sebagai generasi penerus bangsa perlu memantapkan identitasnya agar dapat menjawab tantangan globalisasi tanpa terjerumus ke dalam pengaburan identitas.

Persoalan identitas penting untuk dipelajari karena dengan mengetahui langkah-langkah seseorang atau suatu komunitas mengalami perubahan identitas akan membantu menilai kemungkinan dari pengembangan individu atau komunitas itu sendiri (Goodenough, 1963). Melalui penelusuran proses pembentukan identitas, seorang individu, sebuah komunitas, atau masyarakat, akan terungkap sejauh mana usaha seseorang memperoleh kesadaran baru akan dirinya sendiri dan pandangannya.

Salah satu media yang dapat digunakan untuk membentuk identitas seseorang adalah musik. Musik merupakan salah satu media komunikasi yang memiliki peran,

1

(19)

serta makna di dalamnya dan telah menjadi sebuah gaya hidup, bahkan ideologi (Stuart Hall dan Whannel, 1964; dikutip Lull, 1987). Menurut Hall (1964) dikutip

Storey (2007), budaya musik pop—lagu, majalah, konser, festival, komik, wawancara dengan bintang pop, film, dan sebagainya—juga membantu memperlihatkan pemahaman akan identitas di kalangan kaum muda (pemuda).

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai identitas dan kaitannya dengan musik sudah dilakukan. Syamsi (2003) menggambarkan pergulatan ideologi dan pembentukan identitas nasional Inggris melalui musik. Pada Perang Dunia II, sebagian masyarakat Inggris menolak Perang Vietnam; namun di sisi lain, bangsa Inggris juga tidak ingin kehilangan kekuasaannya di mata dunia. Kehadiran kelompok musik (band) The Beatles dianggap mampu merepresentasikan identitas nasional Inggris, karena The Beatles berhasil menuliskan kembali sejarah Inggris sebagai negara imperial di dalam industri musik dengan ketenarannya yang mendunia.

Penelitian lainnya yaitu penelitian Maliki (2005), Komalasari (2006), dan Ditaputri (2007) menggambarkan pembentukan identitas pemuda yang menjadi komunitas penggemar musik di Indonesia. Komunitas Underground Progressive, Slankers, dan Punk adalah pencipta dan pendengar/khalayak musik yang merupakan subkultur penggemar musik populer (musik pop); mereka berusaha melawan ideologi dominan dalam musik yaitu dengan memilih musik jenis rock, rock n roll, dan punk

dan memaknai ideologi di balik warna musik tersebut. Komunitas underground progressive dan punk kebanyakan merilis albumnya secara mandiri (independent) sebab musik mereka dinilai ’tidak standar’ dan ’tidak komersil’ oleh perusahaan

(20)

rekaman besar yang melakukan standarisasi selera sebagai usaha pengaburan identitas. Komunitas penggemar musik ini menampilkan identitas yang mandiri, kritis, dan solid. Musik mereka juga tidak mengikuti standarisasi yang dibuat kaum kapitalis untuk membuat musik mereka diterima oleh masyarakat luas.

Komunitas Slankers adalah komunitas penggemar yang paling menarik untuk diteliti. Alasan pertama adalah, Slankers adalah komunitas penggemar musik yang memiliki jumlah anggota yang sangat besar di Indonesia, yaitu 75.607 orang2. Kedua, Slankers merupakan komunitas penggemar yang menyukai musik Slank, sebuah band yang lahir di Indonesia. Ketiga, Slankers memiliki semboyan PLUR (Peace, Love, Unity, Respect) dan ajaran Slankissme yang merupakan penafsiran sederhana dari Pancasila, ideologi yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagai dasar dari pembentukan identitas bangsa. Slankissme antara lain mengandung nilai perdamaian, persatuan, dan solidaritas sosial. Komunitas Slankers juga dapat diidentifikasi dengan gaya ’slengean’ yang oleh informan dalam penelitian Komalasari (2006) dianggap sebagai sikap positif yang dapat digunakan dalam menghadapi realitas sosial oleh kaum muda di Indonesia. Gaya slengean ini tercermin dari gaya berbusana yang cuek dan tidak terkesan glamor, bermakna untuk menghapuskan kesenjangan sosial yang bisa merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

Hampir semua penelitian terdahulu mengenai identitas dan musik pop menjadikan kaum muda (pemuda) sebagai subjek penelitian. Komalasari (2006),

2

Berdasarkan Profil SFC tahun 2008, jumlah Slankers saat ini yang terdaftar di seluruh cabang SFC adalah 75.607 orang. Profil SFC tahun 2008 dapat dilihat diwww.slankfansclub.com.

(21)

Ditaputri (2007), Syamsi (2006), dan Maliki (2005) sama-sama menjadikan pemuda sebagai responden dalam penelitian. Penelitian-penelitian sebelumnya memiliki beberapa kelemahan. Penelitian Komalasari (2006) hanya menganalisis proses pembentukan identitas dari sebuah lagu Slank, padahal budaya musik pop tidak hanya terdiri dari lagu melainkan juga pemberitaan media, konser, interaksi dengan kelompok Slank, dan sebagainya. Penelitian Komalasari (2006), Ditaputri (2007) dan Maliki (2005) belum mengungkap dengan jelas apakah terjadi perubahan dalam pembentukan identitas dan hal apa yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Padahal identitas tidaklah bersifat statis melainkan senantiasa berubah menurut catatan prestasi dan kegagalan yang dialami seseorang selama hidupnya (Goodenogh, 1963). Penelitian-penelitian tersebut juga kurang mendeskripsikan tentang interaksi dan komunikasi yang terjadi di dalam komunitas yang sebenarnya juga dapat membentuk identitas anggota komunitas tersebut.

Berdasarkan fakta yang telah dipaparkan, maka penelitian ini akan menganalisis komunitas Slankers serta berusaha melengkapi kekurangan yang ada pada penelitian-penelitian terdahulu. Tujuan khusus penelitian ini ialah untuk menganalisis bagaimana anggota komunitas Slankers mengkonstruksi identitasnya melalui simbol-simbol budaya musik pop serta melihat perubahan identitas seperti apa yang dialami oleh anggota komunitas Slankers.

(22)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumya, adapun perumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana anggota komunitas Slankers memaknai simbol-simbol yang terkandung di dalam budaya musik Slank untuk membentuk identitas dirinya?

2. Bagaimana perubahan identitas anggota komunitas Slankers dari waktu ke waktu?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini antara lain:

1. Mendeskripsikan proses anggota komunitas Slankers memaknai budaya musik Slank yang memiliki simbol-simbol baik verbal maupun nonverbal untuk membentuk identitas dirinya.

2. Menjelaskan perubahan identitas anggota komunitas Slankers dari waktu ke waktu dan proses terjadinya perubahan tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain:

1. Bagi Slank dan Slankers, sebagai bahan evaluasi dan analisis untuk perkembangan kelompok musik dan kelompok penggemar ini di masa depan.

(23)

2. Bagi akademisi dan peminat ilmu komunikasi dan sosiologi, sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai pembentukan identitas diri penggemar musik.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budaya Musik Populer

Salah satu media yang dapat membentuk identitas kaum muda adalah musik. Musik yang dibicarakan di sini adalah musik populer (musik pop) kontemporer yang terdiri dari rock, soul, punk, dance, heavy metal; bukan musik klasik, tradisional, atau musik period (Lull, 1987). Musik dapat menaikkan pengalaman-pengalaman ekstrim untuk pencipta/pemain dan pendengarnya, memutar batas emosi yang berbahaya, serangan-serangan, kemenangan/keberhasilan, perayaan, dan antagonisasi kehidupan ke dalam hipnotis dan tempo yang reflektif yang dapat dialami secara personal maupun berbagi dengan orang lain (Lull, 1987). Budaya musik pop—lagu, majalah, konser, festival, komik, wawancara dengan bintang pop, film, dan sebagainya— membantu pemahaman akan identitas di kalangan kaum muda (Hall dan Whannel, 1964dikutip Storey, 2007).

Menurut Hall, seperti dikutip Storey (2007), lagu-lagu pop, sebagai salah satu bagian dari budaya musik pop

”merefleksikan kesulitan remaja dalam menghadapi kekusutan persoalan emosional dan seksual. Lagu-lagu pop menyerukan kebutuhan untuk menjalani kehidupan secara langsung dan intens. Lagu-lagu itu mengekspresikan dorongan akan keamanan di dunia emosional yang tidak pasti dan berubah-ubah. Fakta bahwa lagu-lagu itu diproduksi bagi pasar komersial berarti bahwa lagu dan setting itu kekurangan autentisitas. Lagu-lagu itu mengekspresikan dilema emosional remaja dengan gamblang” (280).

(25)

Pemuda sebagai khalayak dapat memiliki relasi secara langsung dengan musik, yaitu dalam pengalaman personalnya (Lull, 1987). Lull (1987) mengungkapkan tiga aspek keterlibatan khalayak dengan musik. Pertama, exposure (keterdedahan), merujuk pada banyaknya seseorang berhubungan dengan musik. Kedua, consumption

(mendengarkan), merujuk pada apa yang khalayak pelajari atau ingat dari exposure

tadi. Konsep ini mengimplikasikan bahwa musik memiliki beberapa dampak selama pendengar mendapatkan informasi, perasaan, bahkan nilai-nilai dari hubungan mereka dengan musik. Ketiga dan yang paling rumit yaitu, use (pemanfaatan); merupakan referensi untuk kesempatan-kesempatan, aplikasi, dan kepuasan sosial dan personal yang berkaitan denganexposure danconsumption.

Khalayak pemuda dikategorikan oleh Davis Riesman (1950), seperti dikutip Barker (2005), sebagai kelompok minoritas membawa tema pemberontakan sosial. Katz, Blumer, dan Gurevitch (1974) seperti dikutip Lull (1987), menyebutkan bahwa yang dapat menentukan penggunaan spesifik atas musik oleh khalayak adalah kombinasi antara sifat-sifat yang dimiliki secara psikologis, faktor-faktor sosiologi, dan kondisi lingkungan.

Konsumsi musik digunakan sebagai tanda yang dengannya kaum muda menilai dan dinilai oleh orang lain. Menjadi bagian dari subkultur anak muda berarti memperlihatkan selera musikal tertentu dan mengklaim bahwa konsumsinya adalah tindakan kreasi komunal. Menurut Riesman (1950) seperti dikutip Barker (2005), tidak menjadi soal apakah komunitas itu bersifat nyata ataukah imajiner, yang penting adalah bahwa musik menyediakansense akan komunitas.

(26)

Protes dan pemberontakan juga ditunjukkan pemuda dalam gaya busana. Hall dan Whannel dikutip Storey (2007), menyatakan gaya berbusana sebagai ’seni pop minor yang digunakan untuk mengekspresikan sikap kontemporer tertentu, misalnya, arus pemberontakan dan nonkonformitas sosial yang kuat’. Barnard (1996) menambahkan bahwa di dalam gaya berbusana (fashion) terkandung makna bahkan muatan ideologis. Ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan (Magnis-Susenodikutip Sobur, 2006). Jadi,fashion

merupakan bagian dari budaya musik pop yang mampu merepresentasikan identitas seseorang. Selain gaya berbusana (fashion) tertentu, budaya musik pop juga menghasilkan cara berbicara, tempat nongkrong, dan cara menari tertentu (Hall

dikutip Storey, 2007).

Teori ini dibuktikan oleh penelitian Ditaputri (2007) mengenai komunitas punk yang memiliki cara berpakaian khas, seperti rambut yang dibotaki (skin head) atau

mohawk dan penggunaan asesoris dari logam. Hal ini menunjukkan bahwa atribut-atribut tersebut digunakan untuk mengekspresikan sikap kontemporer, yaitu sebagai simbol anti kemapanan atau melawan kelas dominan dalam bermusik. Penelitian Komalasari (2006) dan Maliki (2006) juga membuktikan hal senada, yaitu komunitas Slankers dan underground progressive memiliki tempat nongkrong tertentu dan gaya berpakaian tertentu untuk menunjukkan bahwa mereka berbeda dari orang-orang di luar komunitasnya.

Bahasa, model rambut, pakaian, dan praktis semua ciri budaya lain juga merupakan simbol yang dapat dipakai secara positif, permisif, dan kreatif. Eksplorasi

(27)

simbolik semacam itu sangat pokok bagi cara pemuda mengkomunikasikan dan membangun budaya (Willis, 1990; Lull, 1992aseperti dikutip Lull, 1987).

2.2 Kaum Muda

Talcott Parson dalam Sutrisno, et al (n.d) menyatakan bahwa pengertian kaum muda tidak semata-mata dihubungkan dengan faktor usia, melainkan bahwa kategori kaum muda merupakan suatu perubahan konstruksi sosial dan budaya terhadapnya yang muncul pada suatu peristiwa waktu tertentu di dalam kondisi tertentu pula. Kaum muda di dalam keluarga terletak di antara masa anak-anak (sangat tergantung) dan masa dewasa (mulai mandiri). Periode ini merupakan masa transisi untuk mempersiapkan diri lepas dari keluarga. Dalam hal ini pandangan dan kebijakan yang diambil oleh rezim berkuasa (para politisi, pembuat kebijakan, dan profesional kaum muda) terhadap mereka sangat menentukan.

Fornas (1995) dikutip Burton (1999) melihat bahwa generasi muda didefinisikan dengan tiga cara: (1) sebagai fase perkembangan fisiologis; (2) sebagai kategori sosial yang dibentuk oleh institusi-institusi seperti sekolah, dan untuk sebagian didefinisikan melalui ritual-ritual sebagai konfirmasi; dan (3) sebagai fenomena kebudayaan yang berpusat pada pengungkapan identitas.

2.3 Penggemar Musik

Lull (1987) mengungkapkan bahwa pendengar bukan semata-mata korban dari kekuatan media massa. Selain Lull, Henry Jenkins (1992) dikutip Storey (2007), juga

(28)

membuat sebuah karya yang menjadi catatan mutakhir yang paling menarik mengenai budaya penggemar dalam cultural studies. Sumber teoritis utama Jenkins adalah teoritikus budaya Prancis, Michel de Certeau (1984), yang membongkar istilah ’konsumen’ untuk menguak aktivitas yang terletak di dalam tindak konsumsi: apa yang dia sebut ’produksi sekunder’. Menurut Certeau, kritikus budaya harus waspada terhadap ’perbedaan atau kesamaan antara produksi dan produksi sekunder yang tersembunyi di dalam proses pemaknaan’ (Storey, 2007). Ia kemudian mencirikan konsumsi aktif terhadap teks-teks itu sebagai ’berburu’: para pembaca adalah orang yang bepergian dan bergerak (Storey, 2007). Gagasan ini merupakan sebuah penolakan atas model tradisional pembacaan, dimana tujuan pembacaan adalah penerimaan pasif terhadap maksud authorial/tekstual.

Teori ini telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Komalasari (2006) dan Ditaputri (2007). Kedua hasil penelitian ini, yaitu mengenai komunitas penggemar musik Slank dan komunitas pendengar musik punk berhasil mengungkap bahwa anggota komunitas penggemar dapat digolongkan sebagai khalayak aktif karena kemampuannya membaca teks secara berlawanan dengan apa yang ditampilkan produsen teks. Ditaputri (2007) lebih jelas menyimpulkan bahwa komunitas punk

menilai pemberitaan media mengenaipunk sebagian besar tidaklah benar.

2.4 Konsep Identitas

Secara psikologis, definisi identitas diri secara umum adalah sebagai keberlanjutan menjadi seseorang yang tunggal dan pribadi yang sama, yang dikenali

(29)

oleh orang lain (Erikson dikutip Damayanti, et al, 2005). Dalam perspektif psikologi kepribadian, identitas diri merupakan suatu konsep yang berakar dari ide mengenai kepribadian, yaitu ide mengenai keunikan individu dalam dimensi kepribadian yang membedakan individu dengan individu lain. Bosma (1994) dikutip Damayanti, et al

(2005) menyatakan bahwa dalam perspektif psikologi sosial, identitas diri merupakan ide mengenai image yang dimiliki seseorang. Menurut Interaksi Simbolik, identitas adalah sebutan untuk mendefinisikan diri sendiri, dan biasanya sebutan tersebut diumumkan kepada orang lain sesuai dengan apa yang kita lakukan untuk menunjukkan diri kita tersebut. Menurut Charon (1998): ”Identity is the name we call ourselves, and usually it is the name we announce to others that we are as we act in

situations” (86).

Interaksi simbolik menilai bahwa identias adalah bagian dari konsep diri. Diri adalah sebuah objek yang dipertunjukkan melalui perbuatan. Identitas adalah penamaan dari diri tersebut, sebutan kita untuk diri kita sendiri. Sama seperti objek-objek sosial yang lain, identitas dibentuk, dipelihara, dan ditransformasi secara sosial (Berger, 1963 dikutip Charon, 1998). Seseorang mendefinisikan siapa dirinya melalui interaksi dengan orang lain. Sebagaimana orang memberikan label atau menamai diri seseorang, dengan begitu juga seseorang menamai dirinya sendiri. Label yang diberikan itu menjadi nama atau sebutan untuk orang tersebut, menjadi alamat sosialnya, dan definisi mengenai dirinya dalam hubungan interaksi seseorang dengan orang lain. Identitas adalah penamaan diri yang tidak tercipta oleh siapa saja secara sembarang, melainkan karena adanya reference group dan significant others bagi

(30)

seseorang tersebut (Charon, 1998). Peter Burke (1980) seperti dikutip oleh Charon (1998) menyebutkan bahwa:”Identities are meanings a person attributes to the self.”

Gambaran diri atauself image yang dimiliki oleh tiap individu muncul sebagai proses yang tidak hanya ditentukan oleh diri sendiri secara psikologis.Self image akan ditentukan oleh dua faktor: personal identity dan social identity (Tajfel dikutip

Komalasari, 2006). Identitas sosial yang dimiliki oleh seseorang akan selalu dipengaruhi oleh identitas pribadi yang melekat dan pengaruh lingkungan sosial dimana dia mengaitkan diri sebagai bagian dari kelompok. Ketika kita mulai sadar sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu, maka mulai dari situlah identitas sosial kita mulai terbentuk. Identitas sosial diasumsikan sebagai keseluruhan bagian dari konsep diri masing-masing individu yang berasal dari pengetahuan mereka terhadap sebuah kelompok, atau kelompok-kelompok sosial bersama dengan nilai dan signifikansi emosional terhadap keanggotaan tersebut (Tajfel dikutip Komalasari, 2006).

Pandangan kajian budaya kontemporer atau cultural studies menilai bahwa pandangan kita mengenai diri kita adalah identitas diri (self-identity), sedangkan harapan dan pandangan orang lain mengenai diri kita sendiri disebut identitas sosial (Barker, 2005). Menjelajah identitas berarti menyelidiki bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan bagaimana orang lain melihat diri kita. Berdasarkan pandangan ini,

cultural studies kemudian memaparkan empat konsep mengenai identitas dan subjektivitas sebagaimana diuraikan di bawah ini.

(31)

Pertama, person/personhood adalah sebagai produk budaya. Menjadi seorang

person (subjek) sepenuhnya bersifat sosial dan kultural. Kedua, identitas adalah suatu entitas yang dapat diubah-ubah menurut sejarah, waktu dan ruang tertentu. Ketiga, identitas adalah sebuah proyek diri (Giddens dikutip Barker, 2005). Bagi Giddens, individu akan berusaha untuk menyusun lintasan biografi diri dari masa lalu ke masa depan yang telah diantisipasi. Dengan lintasan biografi tersebut, identitas tidak lagi dipahami sebagai suatu ‘ciri tetap’atau sekumpulan ‘ciri khas’ yang dimiliki individu; akan tetapi merupakan ‘diri’ (pribadi) sebagaimana dipahami orang secara reflektif terkait dengan biografinya. Keempat, identitas bersifat sosial (Barker, 2005). Kita disusun menjadi individu (Subjek) melalui proses sosial. Proses itu terjadi dalam diskursus bahasa yang memungkinkan kita melakukan interaksi dengan yang lain;yang memungkinkan suatu biografi diri terbentuk.

2.5 Pembentukan Identitas Diri

Menurut Teori Interaksionisme Simbolik dari George Herbert Mead dan Charles Horton Cooley konsepsi-diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain (Sunarto 2000, Mulyana 2001). Herbert Blumer, salah satu penganut pemikiran Mead berusaha menjabarkan pemikiran interaksionis simbolik ini. Pertama adalah bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya (Sunarto, 2000). Kedua, Blumer seperti dikutip Sunarto (2000) selanjutnya mengemukakan bahwa makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara

(32)

seseorang dengan sesamanya. Pokok pikiran ketiga adalah bahwa makna diperlukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process) di saat proses interaksi sosial berlangsung.

Dalam perspektif ini, Mead dan Cooley memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Tanda-tanda tersebut akan dimaknai, dan hasil pemaknaan tersebut akan membentuk identitas diri seseorang. Pemaknaan akan terjadi apabila terjadi pertukaran simbol-simbol yang disebut Mead sebagai simbol atau lambang signifikan (Nimmo, 2005). Bagi Mead, simbol manapun merupakan signifikan jika ia mengakibatkan tanggapan yang sama pada orang lain yang dikumpulkannya di dalam diri pemikir. Simbol signifikan tidak ada sebelum percakapan, tetapi muncul melalui pengambilan peran bersama, suatu proses interaksi sosial.

Hubungan antara simbol, interpretasi dan makna dilukiskan dalam Gambar 1. Kedua garis dalam segitiga itu menunjukkan bahwa ada hubungan langsung di antara: pertama, pikiran atau interpretasi dengan suatu rujukan (seperti kita memikirkan selembar kain dengan warna merah dan putih); dan kedua, diantara interpretasi dan simbol (misalnya ”bendera Indonesia). Namun diantara lambang dan rujukan hubungan itu tidak langsung, atau dipertalikan (ditunjukkan dengan garis putus-putus). Hal itu mengingatkan kita bahwa simbol bukanlah representasi langsung dari objek;

(33)

tanpa pikiran aktif manusia, bendera itu sama sekali bukan bendera, melainkan hanya selembar kain.

Gambar 1. Hubungan Antara Simbol/Lambang, Interpretasi dan Makna

Herbert Blumer dalam Mulyana (2001) menyatakan bahwa semua kajian terhadap manusia tidak dapat disamakan dengan kajian terhdap benda. Peneliti harus berempati dengan subjek, masuk ke dalam pengalaman mereka dan mencoba memahami nilai-nilai seseorang. Dia menekankan sejarah hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat dan wawancara bebas. Blumer secara khusus menekankan pentingnya pengamatan berperan serta dalam kajian komunikasi. Interaksionisme simbolik melihat seseorang itu kreatif, inovatif dan bebas mendefinisikan sesuatu dengan cara yang unpredictable (Blumer dikutip Inayah, 2005). Diri dan masyarakat

Interpretasi

Simbol/Lambang Rujukan

Melambangkan (hubungan langsung)

Mengacu kepada (hubungan langsung yang lain)

(34)

dilihat sebagai proses, bukan struktur; penyetopan proses akan menghilangkan esensi dari hubungan sosial.

Interaksionisme simbolik percaya bahwa sesuatu tidak mempunyai makna terlepas dari interaksi dengan yang lainnya. Dengan kata lain,’cara kita berpikir tentang makna pada interaksi tidak dapat dilepaskan dari cara pandang kita dalam memahami manusia dan tindakannya (Knapp, Miller, dan Fudge,1994dikutip Inayah, 2005). Makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Makna dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut; sehingga interaksionisme simbolik memandang makna sebagai produk sosial, yaitu sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktivitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi.

Blumer, seperti dikutip Mulyana (2001) menyatakan bahwa esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Ada lima konsep inti interaksi simbolik menurut Mead (Littlejohn dan Foss, 2005), yaitu konsep diri, konsep perbuatan, konsep objek, konsep interaksi sosial, dan konsep joint action. Blumer memaparkan konsep ”diri” bahwa manusia bukan semata-mata organisme yang hanya bergerak di bawah pengaruh perangsang-perangsang entah dari luar, entah dari dalam, melainkan organisme yang sadar akan dirinya. Dikarenakan ia seorang diri, ia mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan diri sendiri.

(35)

Konsep perbuatan (action) menyatakan bahwa karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dari gerak makhluk-makhluk yang bukan manusia. Perbuatan manusia tidak bersifat semata reaksi biologis atas kebutuhannya, peraturan kelompoknya, seluruh situasinya, melainkan merupakan konstruksinya. Manusia sendiri adalah konstruktor kelakuannya. Konsep objek menurut Blumer, yaitu bahwa manusia hidup di tengah objek-objek. Kata ”objek” dimengerti dalam arti luas dan meliputi semua yang menjadi sasaran perhatian aktif manusia. Menurut Blumer seperti dikutip Sobur (2006):

”Objek dapat bersifat fisik seperti kursi, atau khayalan..., kebendaan seperti Empire State Building, atau abstrak seperti konsep kebebasan, hidup atau tidak hidup, terdiri atas golongan atau terbatas pada satu orang, bersifat pasti seperti golongan darah, dan agak kabur seperti suatu ajaran filsafat”

Konsep interaksi sosial menyebutkan bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Oleh penyesuaian timbal balik, proses interaksi dalam keseluruhannya menjadi suatu proses yang melebihi jumlah total unsur-unsurnya berupa maksud, tujuan, dan sikap masing-masing peserta seperti sesuatu yang baru lahir. Hal baru itu dihasilkan akibat suatu inter penetrasi, dimana unsur-unsur individual itu rembes merembes dan tembus menembus. Blumer menyebut proses ini ”a possitive shaping process in its own right” yaitu suatu proses yang membentuk suatu aksi khusus, yang mempunyai logika dan perkembangan sendiri, sehingga tidak bertepatan dengan unsur-unsur psikis dan tidak dapat diterangkan oleh psikologi (Blumerdikutip Sobur, 2006).

(36)

Konsep terakhir dari Blumer yaitu konsepjoint action. Pada konsep ini Blumer mengganti istilah social act dari Mead dengan joint action. Artinya adalah aksi kolektif yang lahir dimana perbuatan-perbuatan masing-masing peserta dicocokkan dan diserasikan satu sama lain. Sebagai contoh Blumer menyebutkan: transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara perkawinan, diskusi, sidang pengadilan, peperangan, dan sebagainya (Sobur, 2006). Realitas sosial dibentuk dari joint action

ini dan merupakan objek sosiologi yang sebenarnya. Unsur konstitutif mereka, menurut Blumer, bukanlah unsur kebersamaan atau relasi-relasi, melainkan penyesuaian dan penyerasian tadi, dimana masing-masing pihak mencari arti maksud dalam perbuatan orang lain dan memakainya dalam menyusun kelakuannya.

2.6 Simbol dan Komunikasi

Mead menunjukkan bahwa perkembangan diri tergantung pada komunikasi dengan orang lain, terutama sejumlah kecil orang penting (significant others) yang membentuk atau mempengaruhi diri sebagaimana orang-orang itu dipengaruhi kehadiran diri tersebut. Melalui interaksi atau komunikasi orang-orang dapat bertukar makna, nilai, dan pengalaman dengan menggunakan simbol dan tanda.

Bagi Cooley dan Mead, diri muncul karena komunikasi. Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Manusia unik karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbol-simbol berdasarkan kesadaran (Douglasdikutip Mulyana, 2001). Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna

(37)

dan nilainya alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dan alat-alat inderanya (Rose

dikutip Mulyana 2001). Makna dari suatu simbol adalah pertama-tama ciri fisiknya, kemudian apa yang dapat orang lakukan terhadap simbol tersebut. Pada dasarnya, simbol adalah sesuatu yang berdiri/ada untuk sesuatu yang lain, kebanyakan diantaranya tidak jelas apakah tersembunyi atau tidak (Sobur, 2006). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, seperti dikutip Sobur (2006) disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu. Dalam bahasa komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah suatu yang digunakan untuk merujuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang (Sobur, 2001).

Simbol yang ditimbulkan oleh manusia dapat dibedakan atas yang bersifat verbal dan yang bersifat nonverbal (Pateda, 2001 dikutip Sobur, 2006). Simbol yang bersifat verbal adalah simbol-simbol yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara. Simbol-simbol yang bersifat nonverbal dapat berupa: (1) simbol yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan kata, misalnya “Mari!”; (2) suara, misalnya bersiul, atau membunyikan “Pssst” yang bermakna memanggil seseorang; (3) tanda yang diciptakan manusia untuk menghemat waktu, tenaga, dan menjaga kerahasiaan, misalnya rambu-rambu lalu lintas, bendera, tiupan terompet; dan (4) benda-benda yang bermakna kultural dan ritual, misalnya buah pinang muda yang menandakan daging, gambir menandakan darah, dan ritual-ritual di dalam upacara perkawinan. Pada komunikasi, simbol nonverbal dibedakan antara komunikasi

(38)

“nonverbal-vokal” dengan komunikasi “nonverbal-nonvokal”. Contoh komunikasi “nonverbal-vokal” adalah bunyi gamelan, orkestra, dan konser; sedangkan pada komunikasi “nonverbal-nonvokal” adalah candi, bangunan hotel, dan mercusuar.

Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh manusia dalam interaksi sosial mereka pada gilirannya memunculkan ”pikiran” (mind) dan ”diri” (self). Mead mendefinisikan berpikir sebagai suatu percakapan terinteralisasikan atau implisit antara individu dengan dirinya sendiri dengan menggunakan isyarat-isyarat tertentu. Menurut teori interaksi simbolik, pikiran mensyaratkan adanya masyarakat; dengan kata lain, masyarakat harus lebih dulu ada sebelum adanya pikiran. Dengan demikian, pikiran adalah bagian integral dari proses sosial, bukan malah sebaliknya: proses sosial adalah produk pikiran.

Pikiran adalah mekanisme penunjukkan diri (self-indication) untuk menunjukkan makna kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Diri tumbuh ketika individu mendapatkan pengalaman baru dan memberi makna kepada pengalaman dan objek tersebut. Ringkasnya, diri itu bersifat dinamis, selalu berubah, karena diri mampu mendefinisikan situasi oleh dirinya sendiri tanpa dikontrol atau ditentukan oleh kekuatan-kekuatan luar.

2.7 Kerangka Pemikiran

Identitas diri Slanker dibentuk melalui proses pemaknaan terhadap simbol-simbol dalam interaksi sosial mereka dengan sesama Slankers. Pemaknaan dilakukan

(39)

oleh anggota Slankers dengan cara interaksionisme simbolik dari Mead. Di dalam interaksi sosial antara sesama anggota Slankers, terjadi proses pembacaan bersama akan makna yang tersimbolkan di dalam proses komunikasi selama interaksi berlangsung. Dalam interaksionisme simbolik, anggota Slankers melakukan (act) terhadap sesuatu (thing) yang dapat menghasilkan makna (meaning). Act ini adalah pembacaan itu sendiri, thing merupakan objek-objek sosial yang dinamai sebagai suatu simbol budaya musik Slank yang dimaknai oleh pikiran seorang Slanker, dan

meaning yang dimaksud adalah hasil pemaknaan yaitu identitas Slankers yang kemudian terkonstruksi.

Dalam proses pembentukan identitas dirinya, Slankers memaknai simbol verbal dan nonverbal yang terdapat di dalam kegiatan-kegiatan atau ritual tertentu di dalam budaya musik Slank. Kegiatan-kegiatan yang diamati yaitu proses pembuatan

video clipSlank, konser Slank, dan acaratalkshow”Warung Slank” yang ditayangkan di televisi. Simbol verbal terdiri dari lagu-lagu Slank dan kata-kata khas yang dimaknai Slankers selama kegiatan berlangsung. Simbol nonverbal terdiri dari peristiwa komunikasi ”nonverbal-vokal” dan ”nonverbal-nonvokal” yang terjadi selama kegiatan berlangsung, seperti penampilan dan ritual-ritual yang dilakukan oleh Slankers.

Slank sebagaisignificant others bagi Slankers turut memberikan referensi bagi pembentukan identitas Slankers. Perkembangan identitas diri seorang Slanker tergantung pada komunikasi dengan significant others ini yang di dalamnya terdapat proses pertukaran makna, nilai, dan pengalaman dengan menggunakan simbol-simbol.

(40)

Simbol-Simbol Budaya Musik Slank

Verbal: Kata-kata, Lirik Lagu Slank

Nonverbal: Penampilan Slank, kegiatan Slank

Identitas bukanlah suatu entitas yang tetap, melainkan senantiasa berubah seiring dengan prestasi dan kegagalan yang dialami seseorang. Sebagai pribadi yang memiliki kegemaran terhadap kelompok musik Slank, identitas seorang Slanker juga dapat berubah dengan perubahan yang dialami oleh kelompok musik Slank. Perubahan dapat terjadi selama proses pembentukan identitas seorang Slanker. Hal itu ditunjukkan oleh garis putus-putus yang melingkari konsepsi identitas Slankers pada gambar kerangka pemikiran. Gambar 2. adalah kerangka pemikiran penelitian ini.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pembentukan Identitas Slankers Melalui Pemaknaan Terhadap Simbol-Simbol Budaya Musik Slank

Anggota Komunitas Slankers

Slank

(Significant Others)

Interaksi Simbolik

Simbol-Simbol Budaya Musik Slank:

Verbal: Lagu-lagu, Kata-Kata Nonverbal (nonvokal dan vokal):

penampilan, ritual

Perubahan Identitas Konsepsi Identitas

(41)

2.8 Definisi Konseptual

a. Kelompok Musik Slank: merupakan sebuah kelompok musik (band) Indonesia yang didirikan secara resmi pada tahun 1983 beraliran rock n roll, yang memiliki semboyan PLUR (Peace, Love, Unity, Respect). Slank memiliki personil yaitu Kaka, Bimbim, Ridho, Ivan dan Abdee. Slank dapat diidentifikasi dengan penampilan mereka yangslengeandi atas panggung yang terkesancuek,asal-asalan, dan urakan.

b. Slankers: adalah sebutan untuk para penggemar fanatik kelompok musik Slank yang tergabung dalam Slank Fans Club (SFC). SFC Pusat berada di Jalan Potlot, Duren Tiga Jakarta Selatan, dan SFC juga memiliki 98 cabang di seluruh Indonesia dan 2 cabang di luar negeri yaitu Timor Leste dan Malaysia. c. Simbol-simbol budaya musik Slank: adalah simbol komunikasi verbal,

nonverbal (nonvokal dan vokal), yang menjadi objek pemaknaan Slankers untuk membentuk identitasnya. Simbol verbal berupa lagu-lagu dan kata-kata Slank yang secara langsung maupun tidak langsung dimaknai oleh Slankers; simbol nonverbal berupa penampilan yang bersifat nonverbal-nonvokal dan ritual-ritual yang bersifat nonverbal-vokal. Simbol-simbol yang dimaknai dibatasi dalam tiga kegiatan simbolik, yaitu pembuatan video clip Slank “Seperti Para Koruptor”, pengambilan gambar acara “Warung Slankers”, dan konser “Ngejinggo Bareng Slank”.

(42)

d. Konsepsi identitas Slankers: Identitas diri Slankers yang terbentuk dari proses pemaknaan simbol-simbol budaya musik Slank melalui proses interaksionisme simbolik.

e. Interaksionisme simbolik: Kegiatan komunikasi (simbolik) Slankers dalam menyusun makna dan tanggapan bersama terhadap perwujudan simbol-simbol budaya musik Slank (verbal dan nonverbal) yang merupakan tanda denotatif maupun konotatif dalam bentuk kata-kata, gambar, dan perilaku.

f. Perubahan Identitas: Proses yang terjadi selama pembentukan identitas. Hal ini dapat terjadi bersamaan dengan perubahan yang dialami oleh Slank sebagai

significant others. Perubahan identitas Slankers juga dapat terjadi dalam waktu yang tidak bersamaan dengan perubahan Slank, namun perubahan yang pernah dialami Slank menjadi kerangka acuan bagi Slankers untuk mengubah dan membentuk identitasnya.

(43)

BAB III METODOLOGI

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Bagi peneliti kualitatif, realitas sosial adalah wujud bentukan (konstruksi) para subyek penelitian yaitu tineliti dan peneliti (Sitorus, 1998). Dalam penelitian ini peristiwa atau gejala sosial yang akan diteliti adalah proses pembentukan identitas komunitas Slankers. Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdandikutip Sitorus, 1998). Data yang dihasilkan merupakan hasil pengamatan penulis terhadap kehidupan kelompok para Slankers dalam pembentukan identitas diri dan komunitas mereka.

Strategi penelitian yang dilakukan adalah etnografi. Etnografi secara sempit diartikan sebagai penggambaran tentang suatu etnis tertentu di ruang dan dalam masa tertentu, namun dalam pengertian yang lebih luas ia adalah studi tentang suatu kebudayaan atau komunitas sosial (Sitorus, 1998). Tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya (Malinowski, 1922 dikutip Spradley, 1979). Ciri pokok etnografi adalah (Atkinson dan Hammersley, 1994 dikutip Sitorus, 1998): penekanan terhadap eksplorasi gejala sosial tertentu, pengumpulan data empiris tak-terstruktur, pilihan atas sejumlah kecil kasus (mungkin hanya satu kasus), dan

(44)

pendekatan interpretatif dalam analisis data. Penelitian etnografi bersifat fleksibel dan akan berkembang secara kontekstual sebagai reaksi dari realitas sosial yang ditemukan secara tidak sengaja di lapangan. Hal ini seperti yang diungkapkan Grant dan Fine (1992) seperti dikutip Creswell (1994):

The research (ethnography) process is flexible and typically evolves contextually in response to the lived realities encountered in the field setting.” (11)

Komunitas sosial yang diteliti dalam penelitian ini adalah Slankers, kebudayaan yang dimaksud disini adalah budaya musik populer, dan gejala sosial yang akan diteliti adalah proses pembentukan identitas komunitas Slankers melalui proses interaksionisme simbolik. Metode yang dilakukan adalah pengamatan berperan serta terhadap berbagai peristiwa simbolik yang dilakukan oleh paa Slankers, dan wawancara mendalam yang dilakukan untuk mendapatkan interpretasi subjektif Slankers terhadap simbol-simbol budaya Slank yang dimaknai di dalam kegiatan simbolik tersebut.

3.2 Penentuan Subjek Penelitian dan Sumber Data

Subjek dalam penelitian ini adalah Slankers. Subjek penelitian terdiri dari responden dan informan. Penentuan responden dilakukan secara purposive (sengaja) berdasarkan hasil pengamatan langsung dan wawancara dengan pihak Manajemen Slank yang juga bertindak sebagai pengelola komunitas Slankers atauSlank Fans Club

(SFC). Slankers yang dijadikan responden adalah Slankers yang terdaftar di SFC Pusat (Jakarta) dan Daerah. Responden utama penelitian terdiri dari lima orang, diantaranya:

(45)

satu orang pengurus SFC Pusat, satu orang pengurus SFC daerah, satu orang Slanker yang pernah tinggal di daerah, satu orang Slanker asal Jakarta, dan satu orang Slanker perempuan. Alasannya dipilih kelima responden tersebut adalah untuk mengetahui perspektif dari setiap Slanker dari kategori yang berbeda. Slankers yang menjadi subjek penelitian ini adalah: dua orang Slanker Pengurus dan 3 orang Slanker Anggota SFC. Dua orang Slanker Pengurus terdiri dari Slanker Pengurus Pusat dan Pengurus Cabang/Daerah yang berjenis kelamin laki-laki. Tiga orang anggota SFC terdiri dari 2 orang Slanker laki dan 1 orang Slanker perempuan. Dua orang anggota SFC laki-laki, salah satunya berasal dari daerah dan yang lainnya adalah anggota SFC Pusat.

Selain kelima responden utama, terdapat 30 orang responden yang diminta untuk mengisi kuesioner dalam penelitian ini. Kuesioner tersebut digunakan untuk mendapatkan data mengenai karakteristik dan gambaran umum Slankers, termasuk pilihan lirik lagu Slank yang dianalisis pada BAB IV. Responden yang berjumlah 30 diambil secara acak dari Slankers yang ditemui selama proses pengamatan terhadap ketiga peristiwa simbolik dilakukan. Slankers tersebut merupakan Slankers yang terdaftar di SFC Cikarang, SFC Puncak, SFC Potlot, dan SFC Malang.

Selain responden, peneliti juga mengumpulkan data dari informan. Informan adalah pihak yang memberikan informasi mengenai pihak lain dan lingkungannya (Sitorus, 1998). Informan dalam penelitian ini adalah pihak Manajemen Slank, khususnya Bunda Ifet, Adri, dan Denny; penduduk di sekitar lingkungan Kantor Pusat SFC di Potlot; serta masyarakat secara umum yang mengetahui kiprah Slank dalam industri musik Indonesia.

(46)

Peristiwa simbolik yang diamati di dalam penelitian ini adalah kegiatan pembuatan video clip lagu Slank berjudul ”Seperti Para Koruptor” pada tanggal 19 Mei 2008, pengambilan gambar (shooting) acara ”Warung Slanker di TVRI pada tanggal 6 Juni 2008, dan konser ”Ngejinggo Bareng Slank” di Cianjur pada tanggal 14 Juni 2008. Ketiga peristiwa tersebut dipilih karena beberapa alasan. Pertama, ketiga kegiatan tersebut adalah kegiatan yang memungkinkan terjadinya proses interaksi simbolik. Kedua, kegiatan tersebut berlangsung dalam kurun waktu penelitian. Penelitian dimulai pada bulan Maret 2008 dan selesai pada bulan Juli 2008. Kurun waktu penelitian yang dimaksud adalah waktu yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data dari lapangan.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Patton (1990) seperti dikutip Sitorus (1998), data kualitatif dapat dipilah ke dalam tiga kategori, yaitu:

a. Hasil pengamatan:

Uraian (deskripsi) rinci mengenai situasi, kejadian/peristiwa, orang, interaksi dan perilaku yang diamati secara langsung di lapangan. Hasil pengamatan akan disajikan dalam bentuk catatan lapang penulis selama penelitian, dengan menggunakan alat tulis sederhana, digital recorder, digital camera, atau handycam. Kegiatan yang diamati adalah peristiwa interaksi simbolik yang terjadi diantara anggota komunitas Slankers dalam kegiatan pembuatan video clip lagu

(47)

Slank berjudul ‘Seperti Para Koruptor’ pada tanggal 19 Mei 2008, pengambilan gambar (shooting) acara ‘Warung Slanker’ di TVRI pada tanggal 6 Juni 2008, dan konser Slank di Cianjur tanggal 14 Juni 2008. Peneliti turut berpartisipasi dalam setiap peristiwa simbolik yang diamati. Peneliti menjadi pemeran pendukung pada video clip “Seperti Para Koruptor” dan menjadi pemeran pengunjung dalam acara “Warung Slankers”. Peneliti berusaha mengakrabkan diri dengan subjek penelitian untuk membina rapport yang baik. Situasi ini membantu peneliti untuk mendapatkan kepercayaan dan keterbukaan subjek penelitian dalam menperoleh data yang diperlukan untuk menjawab perumusan masalah penelitian..

b. Hasil pembicaraan: kutipan langsung dari pernyataan orang-orang tentang pengalaman, sikap, keyakinan dan pandangan/pemikiran mereka dalam kesempatan wawancara mendalam. Hasil pembicaraan yang dimaksud berupa tanggapan dan pemaknaan responden terhadap simbol-simbol yang ada di dalam budaya musik Slank pada kegiatan interaksi simbolik.

c. Bahan tertulis: petikan atau keseluruhan bagian dari dokumen, menyurat, rekaman dan kasus historis (sejarah). Peneliti akan membuat biografi sederhana komunitas Slankers dari bahan tertulis yang dimiliki oleh Manajemen Slank dan SFC (Slankers) untuk

(48)

menelusuri sejarah pembentukan identitas Slank dan Slankers dari masa ke masa.

Seluruh data yang dikumpulkan dari penelitian, akan dituangkan ke dalam catatan lapangan yang berisi data kualitatif hasil pengamatan dan wawancara di lapangan dalam bentuk uraian rinci maupun kutipan langsung (Sitorus, 1998). Dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan hasil penelitian terdahulu mengenai Slankers yang ada di perpustakaan maupun di kantor manajemen Slank. Wawancara semi terstruktur dilakukan baik kepada responden maupun informan yang mengacu pada panduan pertanyaan yang akan menjawab perumusan masalah penelitian. Perumusan masalah yang dimaksud yaitu proses pemaknaan Slankers terhadap simbol-simbol budaya musik Slank untuk mengungkap identitas Slankers, lebih lanjut juga mengugkap perubahan identitas Slankers. Proses pemaknaan ini dianalisis dengan proses interaksi simbolik, sehingga pengamatan yang dilakukan difokuskan kepada hal-hal yang perlu diperhatikan berdasarkan teori interaksi simbolik, yaitu simbol-simbol signifikan yang terdapat selama interaksi berlangsung di dalam peristiwa simbolik.

3.4 Teknik Analisis Data

Selama mengumpulkan data di lapangan, peneliti juga melakukan analisis data. Semua data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah melalui tiga jalur analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992). Teori yang digunakan untuk menganalisis data yang terkumpul

(49)

selama penelitian ini difokuskan kepada interaksionisme simbolik. Peneliti telah menentukan sikap terhadap cara menganalisis hasil temuan di lapangan untuk membatasi agar tidak terjadi kerancuan analisis. Temuan data yang dapat dianalisis dengan teori lain diluar konsep interaksionisme simbolik tetap dideskripsikan, namun tidak dianalisis secara mendalam. Hal ini menjadi keterbatasan penelitian, yang dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

Secara rinci, tahapan analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data ”kasar” yang muncul dari beberapa catatan tertulis di lapangan. Reduksi dalam proses pengumpulan data mencakup kegiatan meringkas data yang ada di dalam catatan lapangan, mengkode hasil catatan lapang dikaitkan dengan pertanyaan penelitian, membuat gugus-gugus pembahasan dalam matriks kasar untuk mempermudah analisis, membuat partisi dan menulisi memo di dalam catatan lapang. Reduksi ditujukan untuk menajamkan, menggolongkan, mengeliminasi yang tidak diperlukan serta mengorganisir data untuk memperoleh kesimpulan akhir.

b. Penyajian data, data yang telah direduksi kemudian disajikan dengan penyusunan sekumpulan informasi sehingga memungkinkan untuk penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk: tabel, gambar, serta berbagai kutipan

(50)

penjelasan dari subyek penelitian. Tabel digunakan untuk menyajikan data mengenai hasil pemaknaan Slankers terhadap simbol-simbol budaya musik Slank, dan mengidentifikasi kategori Slankers dalam menganalisis perubahan identitas Slankers. Kutipan langsung digunakan untuk mengungkap proses pemaknaan Slankers dalam proses interaksi simbolik, dan untuk mengungkap proses perubahan identitas Slankers.

c. Penarikan kesimpulan, dalam hal ini juga meliputi verifikasi atas kesimpulan tersebut. Artinya, selama penelitian berlangsung dan sebelum merumuskan kesimpulan akhir, peneliti melakukan proses lain yang berupaya meninjau kembali berbagai data yang telah diperoleh, baik berupa tinjauan pada catatan lapang maupun konfirmasi beragam temuan yang telah disusun oleh peneliti, seperti hasil interpretasi Slankers mengenai simbol-simbol budaya musik Slank. Setelah tahap ini selesai dilakukan, peneliti mulai menyusun data akhir ke dalam bentuk skripsi.

Selama proses analisis dan penyajian data, penulis juga melakukan penyempurnaan atau bahkan merevisi kerangka pemikiran yang disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Tujuannya adalah untuk membantu penulis dalam menarik suatu kesimpulan yang mengarahkan pada kesimpulan akhir.

(51)

BAB IV

ORGANISASI SLANK DAN SLANKERS

4.1. Biografi Slank

Slank adalah sebuah kelompok musik (band) yang berdiri pada tanggal 26 Desember 1983. Pada saat didirikan, band ini adalah sebuah band sekolah bernama Cikini Stone Complex (CSC), yang terdiri dari siswa SMA Perguruan Cikini dengan personelnya Bimo Setiawan (drummer), Bongky (guitarist), Kiki (guitarist), Deni BDN (bassist), Erwan (vocalist). Band ini biasanya bermain membawakan lagu-lagu dari Rolling Stones sebagai ekspresi rasa suka terhadap grup idola mereka tersebut. Aktivitas band CSC kemudian terhenti karena kejenuhan para personilnya. Beberapa tahun setelah terhentinya aktivitas band SCS, Bimo Setiawan yang akrab disapa Bimbim, beserta kedua saudaranya, Denny dan Erwan, kemudian berinisiatif membentuk band baru yang diberi nama Red Evil (Setan Merah). Band inilah yang kemudian berubah menjadi Slank dengan formasi Bim-bim (drummer), Erwan (vocalist), Bongky (guitarist), Denny (basist), dan Kiki (keyboardis). Nama ”Slank” sendiri diambil dari istilah slengean yang merupakan ciri penampilan Slank di atas panggung yang terkesancuek, asal-asalan dan urakan. Konsep Slank dalam bermusik berbeda dari sebelumnya, Slank mulai membawakan lagu-lagunya sendiri pada setiap penampilannya.

Slank memiliki markas yang berada di Jl. Potlot III/14, yang merupakan rumah orang tua Bimbim, yaitu pasangan Bapak Sidharta dan istrinya yang akrab disapa Bunda Iffet. Jalan Potlot terbilang jalan yang kecil, sehingga sering juga

(52)

disebut Gang Potlot. Gang Potlot lalu berkembang menjadi sebuah tempat berkumpul bagi komunitas anak muda yang merasa kreatif. Slank juga membuka penyewaan studio musik untuk latihan walaupun hanya dengan peralatan musik yang sederhana, yaitu peralatan musik biasa yang terdiri dari masing-masing satu unit gitar,drum, bas,

keyboard, danmicrophone.

Semenjak resmi berdiri pada tanggal 26 Desember 1983, dalam perjalanannya Slank sering berganti-ganti formasi. Akhirnya pada formasi yang ke-13 di tahun 1989, Slank menemukan karakter musik yang dirasa sangat cocok oleh para personilnya dan begitu berciri khas, mereka menyebutnya ”musik Slank”. Formasi tersebut yakni diisi oleh Bim-bim (drummer), Kaka (vokalis), Bongky (bassist), Pay (gitaris) dan Indra (keyboardis). Pada tahun itu pula Slank menggebrak dengan album perdana berjudul “Suit-Suit... He He He (Gadis Sexy)”. Tampil dengan cuek, musik seadanya, lirik spontan, memakai bahasa slengean anak muda Jakarta, mengangkat tema sederhana dan penampilan personil yang apa adanya, justru membuat album ini laris dan menciptakan wabah penggemar Slank di seluruh Indonesia.

Keberhasilan Slank dengan warna ”musik Slank”-nya yang sangat berciri khas merupakan sebuah angin segar bagi industri musik di Indonesia yang saat itu masih didominasi oleh musik pop mendayu-dayu danrock hingar bingar. Musik Slank yang bercirirock n roll dengan berbagai kekhasanya, adalah alternatif bagi pecinta musik Indonesia, khususnya pemuda. Perlahan tapi pasti Slank menebar pengaruh di kalangan anak muda khususnya pecinta musik Rock. Slank menawarkan tema alternatif dalam lirik dan lagunya, walaupun pada saat itu, musik yang ada cenderung

(53)

kompromistis dari artis lain dengan selera pasar. Gebrakan pertama Slank pada Album “Suit-Suit... He He He (Gadis Sexy)” ternyata mendapatkan sambutan yang baik dari pecinta musik di Indonesia, terbukti dengan diraihnya penghargaan dari

BASFsebagai Best Selling Album 1990-1991 kategori musik Rock.

Meroketnya jumlah penjualan album perdana Slank, Gang Potlot pun menjadi semakin ramai. Para Slanker (sebutan untuk penggemar Slank) mulai banyak berkumpul di tempat tersebut. Bahkan sejumlah musisi muda terlahir dan dibesarkan di lingkungan gang Potlot, di antaranya Imanez, Andi Liani (alm), Oppie Andaresta, dan Anang.

Tahun 1991 Slank meluncurkan album kedua yang berjudul “Kampungan”. Album ini juga laku keras dan Slank kembali mendapatkan penghargaan BASF Best Selling Album 1991-1992 kategori Rock. Pada tahun berikutnya, Slank meluncurkan album dengan judul “Piss” yang kembali meraih piala BASF Best Selling Album

1992-1993 kategori Rock Alternatif. Namun seiring dengan kesuksesan yang diraih Slank, terjadi keretakan dengan manajer Slank, Budhi Soesatio. Hal ini ditindak lanjuti Slank dengan mendirikan Pulau Biru Production.

Pulau Biru Production adalah nama yang dipilih untuk rumah produksi milik Slank. Pulau Biru Production resmi berdiri sekitar pertengahan tahun 1994. Pulau Biru Production ini juga ditujukan untuk menjadi wadah bagi orang-orang yang memiliki obsesi dan mimpi untuk maju. Berbagai aktivitas dan kreatifitas Slank diatur dan diwujudkan melalui rumah produksi ini. Mulai dari urusan kontak artis,

(54)

Tahun 1994 album “Generasi Biru” diluncurkan dan meraih BASF Double Platinum Albumuntuk penjualan terlaris tahun 1994-1995. Album ini diproduksi oleh Piss Records yang merupakan bagian dari Pulau Biru Production. Di tahun 1997, Piss Records berganti nama menjadi Slank Record. Sedangkan untuk pendistribusian kaset diserahkan kepada Virgo Ramayana yang merupakan distributor untuk kaset-kaset Slank sebelumnya. Slank Juga membangun studio rekaman sendiri, yang mereka beri nama “Parah Studio”, yang berada satu area markas Slank di Potlot.

Album kelima Slank yaitu “Minoritas” dirilis pada tahun 1994. Cukup di sayangkan karena album ini adalah album terakhir yang dirilis Slank bersama tiga orang anggota Slank yaitu Bongky, Indra dan Pay. Ketiga personil ini menunjukkan tanda-tanda ketidakkompakkan dengan mulai jarang berada di Potlot. Pada September 1996 Slank memutuskan untuk vakum dari aktivitas bermusik selama setahun. Benar saja, pengarapan album Slank selanjutnya di warnai situasi yang menyedihkan, tiga personil Slank, Bongky, Indra, Pay pada akhirnya keluar dari dari jajaran formasi Slank ke tiga belas. Peristiwa keluarnya ketiga personil Slank ini, banyak melahirkan lamaran dari berbagai pihak dan pengamat musik di tanah air bahwa akan terjadi kehancuran Slank. Berbagai tekanan dan ancaman kemudian muncul dari para pengemar fanatik Slank. Alih-alih terpuruk dan hancur, kedua personil yang tersisa yaitu Bim-bim dan Kaka melanjutkan eksistensi Slank dengan mengajak Ivan dan Ronald, yang saat itu masih menjadi personil band Otto Jam. Alhasil album ke enam bisa Slank keluarkan, dan pada album ini Slank memberi judul albumnya “Lagi Sedih”. Budhi Susanto pun di minta untuk menjadi konsultan

(55)

dalam pembuatan album ini. Di tengah kekalutan yang dialami Slank tersebut, albun “Lagi Sedih” berhasil membuktikan eksistensi Slank kepada seluruh penggemarnya dan umumnya pencinta musik Indonesia.

Kekhawatiran sempat membayangi Slank dan manajamennya dengan formasi Slank yang baru ini. Meskipun demikian Slank terus berkarya, dan untungnya banyak diantara Slankers yang memang tidak terlalu mempermasalahkan siapa yang mengantikan formasi yang lama. Bagi Slankers yang terpenting adalah Slank tetap ada. Formasi baru yang sempat dikhawatirkan akan menurunkan pamor Slank ternyata terbukti salah besar. Faktanya, dimana pun Slank tampil, Slankers menyambutnya dengan antusias dan histeria, walaupun kadang wujudnya sudah pada taraf mengganggu, seperti yang terjadi pada konser Slank di Tangerang pada 1997. Konser Slank di Tangerang ini menyisakan sebuah berita yang tidak sedap didengar, yaitu terjadinya kerusuhan yang cukup parah diantara para penonton.

Selang beberapa hari dari konser di Tangerang, Ronald terpaksa harus mengundurkan diri karena alasan ketidakcocokan, hal yang memang lazim dialami oleh sebuah band. Pengunduran diri Ronald sangat disayangkan karena pada saat itu Slank masih memiliki jadwal konser di Bandung. Sebagai solusinya, Ivan mengajak Abdee Negara, teman semasa di band Flash, band terdahulunya. Pada saat yang sama, Lulu Ratna yang pernah menjadi Road Manager Slank mengajak Ridho Hafiedz untuk mengisi kekosongan personil. Dengan Formasi percobaan inilah Slank pada akhirnya menyelesaikan pertunjukan di Bandung pada 1997.

Gambar

Gambar 1. Hubungan Antara Simbol/Lambang, Interpretasi dan Makna
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pembentukan Identitas Slankers Melalui Pemaknaan Terhadap Simbol-Simbol Budaya Musik Slank
Tabel 1. Album Slank 1990-2008
Gambar 3. Matriks Analisis Pesan di Balik Lagu-Lagu Slank
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Manajemen Kawasan Ekowisata Budaya Candi Muara Takus Kampar Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Budaya Perusahaan terhadap Employee Engagement pada Toyota AUTO2000 Cabang Yasmin Bogor adalah benar

Menyatakan bahwa karya ilmiah atau skripsi yang berjudul “ Budaya Organisasi (Corporate Culture) pada Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Studi pada Universitas

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS SALURAN DISTRIBUSI PT PANAMAS ASO BOGOR (STUDI KASUS PRODUK U MILD)” INI ADALAH BENAR- BENAR HASIL KARYA SAYA