• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mata Rantai Tak Kunjung Putus Kakambah; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 Kolaka Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mata Rantai Tak Kunjung Putus Kakambah; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 Kolaka Utara"

Copied!
365
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Mata Rantai Tak Kunjung Putus

Kakambah

Cati Martiyana

Tri Darma

Ambo Sakka

Lestari Handayani

(3)

dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis Cati Martiyana Tri Darma Ambo Sakka Lestari Handayani Editor Lestari Handayani Desain Cover Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014

Buku ini diterbitkan atas kerjasama

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749

dan

LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta

Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: penerbit@litbang.depkes.go.id

ISBN 978-602-1099-12-4

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis

(4)

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo

Aan Kurniawan, S.Ant

Yunita Fitrianti, S.Ant

Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos

(5)

dan Kab. Asmat

2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama

3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai

4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak

6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo

7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir

9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao

(6)

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah

mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu

dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan

indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan

menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan

(7)

dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014

Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

(8)

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GRAFIK DAFTAR GAMBAR BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1.2. Penentuan Lokasi Penelitian 1.3. Metode Pengumpulan Data BAB 2 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Desa

2.1.1. Cerita Nenek Sawerigading

2.1.2. Jejak Manusia Suku Bajo di Sulaho: Dahulu Hingga Kini 2.2. Geografi dan Kependudukan

2.2.1. Bentang Alam Sulaho

2.2.2. Kependudukan Suku Bajo di Sulaho 2.2.3 Pemukiman Penduduk di Sulaho 2.3. Religi

2.3.1. Kosmologi

2.3.2. Siklus Perjalanan Kehidupan Manusia Suku Bajo di Sulaho

2.3.3. Praktik Keagamaan

2.3.4. Praktik Kepercayaan Tradisional

2.3.5. Pantangan Sehari-hari Masyarakat Sulaho 2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 2.4.1. Keluarga Inti v vii x xi xii 1 1 9 10 13 16 16 17 26 26 33 38 42 42 45 48 52 60 62 62

(9)

2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan 2.5.1. Konsepsi mengenai Sehat dan Sakit

2.5.2. Air Jappi-jappi: Daya Tarik Penyembuhan Tradisional 2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman 2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan 2.6. Bahasa

2.7. Kesenian

2.7.1. Lagu Pengantar Tidur Anak 2.7.2. Menari Lulo

2.7.3. Ula-ula (Bendera) 2.8. Mata Pencaharian 2.9. Teknologi dan Peralatan

2.9.1. Cerita Memasak hingga Makan BAB 3 POTRET KESEHATAN

3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak 3.1.1. Remaja usia 10 sampai 24 tahun

3.1.2. Pasangan Suami Istri Belum Pernah hamil 3.1.3. Masa Kehamilan

3.1.4. Persalinan dan Nifas 3.1.5. Menyusui

3.1.6. Neonatus dan Bayi 3.1.7. Anak Balita

3.1.8. Permainan Tradisional Anak

3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Orang Bajo di Sulaho 3.2.1. Pertolongan Persalinan

3.2.2. Penimbangan Balita 3.2.3. ASI Eksklusif

3.2.4. Cuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun 3.2.5. Menggunakan Kakus Sehat

71 71 77 91 92 93 94 94 96 97 98 104 107 113 113 113 123 126 137 158 162 167 168 173 175 179 181 183 185

(10)

3.2.8. Tidak Merokok dalam Rumah 3.2.9. Menggunakan Air Bersih 3.2.10. Memberantas Jentik Nyamuk

3.3. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular 3.3.1. Penyakit Menular

3.3.2. Penyakit Tidak Menular

3.4. Sistem Pelayanan Kesehatan Formal versus Tradisional BAB 4 MATA RANTAI TAK KUNJUNG PUTUS: KAKAMBAH 4. 1. Asal Muasal dan Perkembangan Kakambah di Tanah

Sulaho

4.2. Istilah Lokal Kusta

4.3. Tanda Kusta, Terpaksa Berobat 4.4. Penyebab Kakambah

4.5. Lingkaran PenularanKusta

4.6. Gambaran Kondisi Fisik Rumah Penderita Kakambah 4.7. Kebiasaan Pemenuhan Gizi Keluarga

4.8. Dansihitang: Kedekatan Orang Sulaho 4.9. Health Seeking Behaviour Kakambah 4.10. Dampak Kakambah: Stigma

4.11. Tahun 2014, Lagi Kakambah Baru 4.12. Kendala Penanganan Kakambah BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan 5.2. Rekomendasi INDEKS GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA 190 192 193 195 196 208 226 233 233 244 246 255 261 272 279 280 283 292 297 301 305 305 310 315 321 329

(11)

Tabel 1. 1. Tanda Utama Kusta PB dan MB

Tabel 2. 1. Klasifikasi Warga Dusun 1-3 Desa Sulaho berdasarkan Suku

Tabel 2. 2. Jumlah Penduduk Desa Sulaho berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Tabel 2. 3 Sapaan Kekerabatan di Desa Sulaho Tabel 2. 4. Pendapatan Keluarga Pak Dm

2 33

35

64 103

(12)

Grafik 1. 1 Tren Angka Prevalensi Kusta di Indonesia 2007 – 2011

Grafik 1. 2 Kasus Kusta Baru Desa Sulaho 2005-2013

Grafik 3. 1 10 Penyakit terbesar di Puskesmas Lasusua tahun 2013

4

8 195

(13)

Gambar 2.1. Peta Kabupaten Kolaka Utara Gambar 2.2. Peta Kecamatan Lasusua Gambar 2.3. Rumah PKSMT

Gambar 2.4. Kakus Umum dengan Sumber Dana CSR Gambar 2.5. Perkampungan desa Sulaho

Gambar 2.6. Peta Desa Sulaho Gambar 2.7. Rumah Bedah P2-WKSS

Gambar 2.8. Pohon Ketapang dan Pekuburan Desa

Gambar 2.9. Botol Berisi Garam Mattoana telah Digantung sejak Setahun yang Lalu

Gambar 2.10. Sanro Mendoakan Makanan ketika Turun Perahu

Gambar 2.11. Mendorong Perahu saat Upacara Turun Perahu

Gambar 2.12. Tandan Pisang dan daun Pakecce pada rumah baru

Gambar 2.13. Hubungan Kekerabatan

Gambar 2.14. Struktur Organisasi Desa Sulaho Tahun 1997-2014

Gambar 2.15. Musyawarah di Balai Desa Pasca Demonstrasi Gambar 2.16. Ranjang dan Kayu Representasi Buaya

Gambar 2.17. Pohon Kayu Jawa Gambar 2.18. Tanaman Cangak Duri Gambar 2.19. Tanaman Srikaya/Sirsak Gambar 2.20. Tanaman Daun Pakkece Gambar 2.21. Tanaman Jarak

Gambar 2.22. Menari Lulo

15 15 20 23 27 29 41 43 54 56 56 58 63 68 70 80 87 88 89 90 90 96

(14)

Gambar 2.25. Wadah Tungku, Mulut Tungku dengan Batu dan Mulut Tungku dengan Rangka Besi

Gambar 2.26. Membakar Ikan di Luar Rumah Gambar 2.27. Memakan Cacing Laut

Gambar 3.1. Ariango dan Gelang Hitam yang Dipakai Balita Gambar 3.2. Air Jappi-jappi dan Air Lelehan Sabun Mandi

Dicampur Daun Sirsak

Gambar 3.3. Sanro Mengikat Tali Pusat Bayi

Gambar 3.4. Sarung Tujuh Lapis untuk Bayi Baru Lahir Gambar 3.5. Ari-ari yang Digantung pada Bagian Rumah Gambar 3.6. Ari-ari Bayi yang Sudah Kering

Gambar 3.7. Area Permainan Danda Gambar 3.8. Pembesaran Gondok

Gambar 3.9. Dagor dan Kompresor untuk Menyelam Gambar 3.10. Obat-obatan yang Dijual di Warung Desa Gambar 4. 1. Pemetaan Kusta pada Rumah Tangga di Desa

Sulaho

Gambar 4. 2 Telunjuk Tangan Kiri Mati Rasa Gambar 4. 3. Bercak Kulit pada Reaksi Kusta Gambar 4. 4. Penderita yang Mengalami Cacat Gambar 4. 5. Bercak Kusta

Gambar 4. 6. Denah Ruang Rumah Keluarga Mr Gambar 4. 7. Kondisi Rumah Seorang Warga Gambar 4. 8. Bekas Luka Mantan Penderita Kusta

108 108 112 127 147 150 163 166 168 179 210 220 230 243 246 254 256 263 276 278 293

(15)
(16)

Mata Rantai Tak Kunjung Putus

Kakambah

Cati Martiyana

Tri Darma

Ambo Saka

Lestari Handayani

Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan

dan Pemberdayaan Masyarakat

(17)

Penulis Cati Martiyana Tri Darma Ambo Saka Lestari Handayani Editor Lestari Handayani Desain Cover Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014

Diterbitkan oleh

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis

(18)

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo

Aan Kurniawan, S.Ant

Yunita Fitrianti, S.Ant

Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos

(19)

dan Kab. Asmat

2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama

3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai

4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak

6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo

7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir

9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao

(20)

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah

mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu

dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan

indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan

menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan

(21)

dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014

Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

(22)

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GRAFIK DAFTAR GAMBAR BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1.2. Penentuan Lokasi Penelitian 1.3. Metode Pengumpulan Data BAB 2 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Desa

2.1.1. Cerita Nenek Sawerigading

2.1.2. Jejak Manusia Suku Bajo di Sulaho: Dahulu Hingga Kini 2.2. Geografi dan Kependudukan

2.2.1. Bentang Alam Sulaho

2.2.2. Kependudukan Suku Bajo di Sulaho 2.2.3 Pemukiman Penduduk di Sulaho 2.3. Religi

2.3.1. Kosmologi

2.3.2. Siklus Perjalanan Kehidupan Manusia Suku Bajo di Sulaho

2.3.3. Praktik Keagamaan

2.3.4. Praktik Kepercayaan Tradisional

2.3.5. Pantangan Sehari-hari Masyarakat Sulaho 2.4. Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 2.4.1. Keluarga Inti v vii x xi xii 1 1 9 10 13 16 16 17 26 26 33 38 42 42 45 48 52 60 62 62

(23)

2.5. Pengetahuan tentang Kesehatan 2.5.1. Konsepsi mengenai Sehat dan Sakit

2.5.2. Air Jappi-jappi: Daya Tarik Penyembuhan Tradisional 2.5.3. Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman 2.5.4. Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan 2.6. Bahasa

2.7. Kesenian

2.7.1. Lagu Pengantar Tidur Anak 2.7.2. Menari Lulo

2.7.3. Ula-ula (Bendera) 2.8. Mata Pencaharian 2.9. Teknologi dan Peralatan

2.9.1. Cerita Memasak hingga Makan BAB 3 POTRET KESEHATAN

3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak 3.1.1. Remaja usia 10 sampai 24 tahun

3.1.2. Pasangan Suami Istri Belum Pernah hamil 3.1.3. Masa Kehamilan

3.1.4. Persalinan dan Nifas 3.1.5. Menyusui

3.1.6. Neonatus dan Bayi 3.1.7. Anak Balita

3.1.8. Permainan Tradisional Anak

3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Orang Bajo di Sulaho 3.2.1. Pertolongan Persalinan

3.2.2. Penimbangan Balita 3.2.3. ASI Eksklusif

3.2.4. Cuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun 3.2.5. Menggunakan Kakus Sehat

71 71 77 91 92 93 94 94 96 97 98 104 107 113 113 113 123 126 137 158 162 167 168 173 175 179 181 183 185

(24)

3.2.8. Tidak Merokok dalam Rumah 3.2.9. Menggunakan Air Bersih 3.2.10. Memberantas Jentik Nyamuk

3.3. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular 3.3.1. Penyakit Menular

3.3.2. Penyakit Tidak Menular

3.4. Sistem Pelayanan Kesehatan Formal versus Tradisional BAB 4 MATA RANTAI TAK KUNJUNG PUTUS: KAKAMBAH 4. 1. Asal Muasal dan Perkembangan Kakambah di Tanah

Sulaho

4.2. Istilah Lokal Kusta

4.3. Tanda Kusta, Terpaksa Berobat 4.4. Penyebab Kakambah

4.5. Lingkaran PenularanKusta

4.6. Gambaran Kondisi Fisik Rumah Penderita Kakambah 4.7. Kebiasaan Pemenuhan Gizi Keluarga

4.8. Dansihitang: Kedekatan Orang Sulaho 4.9. Health Seeking Behaviour Kakambah 4.10. Dampak Kakambah: Stigma

4.11. Tahun 2014, Lagi Kakambah Baru 4.12. Kendala Penanganan Kakambah BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan 5.2. Rekomendasi INDEKS GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA 190 192 193 195 196 208 226 233 233 244 246 255 261 272 279 280 283 292 297 301 305 305 310 315 321 329

(25)

Tabel 1. 1. Tanda Utama Kusta PB dan MB

Tabel 2. 1. Klasifikasi Warga Dusun 1-3 Desa Sulaho berdasarkan Suku

Tabel 2. 2. Jumlah Penduduk Desa Sulaho berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Tabel 2. 3 Sapaan Kekerabatan di Desa Sulaho Tabel 2. 4. Pendapatan Keluarga Pak Dm

2 33

35

64 103

(26)

Grafik 1. 1 Tren Angka Prevalensi Kusta di Indonesia 2007 – 2011

Grafik 1. 2 Kasus Kusta Baru Desa Sulaho 2005-2013

Grafik 3. 1 10 Penyakit terbesar di Puskesmas Lasusua tahun 2013

4

8 195

(27)

Gambar 2.1. Peta Kabupaten Kolaka Utara Gambar 2.2. Peta Kecamatan Lasusua Gambar 2.3. Rumah PKSMT

Gambar 2.4. Kakus Umum dengan Sumber Dana CSR Gambar 2.5. Perkampungan desa Sulaho

Gambar 2.6. Peta Desa Sulaho Gambar 2.7. Rumah Bedah P2-WKSS

Gambar 2.8. Pohon Ketapang dan Pekuburan Desa

Gambar 2.9. Botol Berisi Garam Mattoana telah Digantung sejak Setahun yang Lalu

Gambar 2.10. Sanro Mendoakan Makanan ketika Turun Perahu

Gambar 2.11. Mendorong Perahu saat Upacara Turun Perahu

Gambar 2.12. Tandan Pisang dan daun Pakecce pada rumah baru

Gambar 2.13. Hubungan Kekerabatan

Gambar 2.14. Struktur Organisasi Desa Sulaho Tahun 1997-2014

Gambar 2.15. Musyawarah di Balai Desa Pasca Demonstrasi Gambar 2.16. Ranjang dan Kayu Representasi Buaya

Gambar 2.17. Pohon Kayu Jawa Gambar 2.18. Tanaman Cangak Duri Gambar 2.19. Tanaman Srikaya/Sirsak Gambar 2.20. Tanaman Daun Pakkece Gambar 2.21. Tanaman Jarak

Gambar 2.22. Menari Lulo

15 15 20 23 27 29 41 43 54 56 56 58 63 68 70 80 87 88 89 90 90 96

(28)

Gambar 2.25. Wadah Tungku, Mulut Tungku dengan Batu dan Mulut Tungku dengan Rangka Besi

Gambar 2.26. Membakar Ikan di Luar Rumah Gambar 2.27. Memakan Cacing Laut

Gambar 3.1. Ariango dan Gelang Hitam yang Dipakai Balita Gambar 3.2. Air Jappi-jappi dan Air Lelehan Sabun Mandi

Dicampur Daun Sirsak

Gambar 3.3. Sanro Mengikat Tali Pusat Bayi

Gambar 3.4. Sarung Tujuh Lapis untuk Bayi Baru Lahir Gambar 3.5. Ari-ari yang Digantung pada Bagian Rumah Gambar 3.6. Ari-ari Bayi yang Sudah Kering

Gambar 3.7. Area Permainan Danda Gambar 3.8. Pembesaran Gondok

Gambar 3.9. Dagor dan Kompresor untuk Menyelam Gambar 3.10. Obat-obatan yang Dijual di Warung Desa Gambar 4. 1. Pemetaan Kusta pada Rumah Tangga di Desa

Sulaho

Gambar 4. 2 Telunjuk Tangan Kiri Mati Rasa Gambar 4. 3. Bercak Kulit pada Reaksi Kusta Gambar 4. 4. Penderita yang Mengalami Cacat Gambar 4. 5. Bercak Kusta

Gambar 4. 6. Denah Ruang Rumah Keluarga Mr Gambar 4. 7. Kondisi Rumah Seorang Warga Gambar 4. 8. Bekas Luka Mantan Penderita Kusta

108 108 112 127 147 150 163 166 168 179 210 220 230 243 246 254 256 263 276 278 293

(29)
(30)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang bersifat menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

Leprae dan penyakit jenis ini terdapat hampir di seluruh wilayah

Indonesia. Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tinggal dan fasilitas pendukung yang tidak bersih, perilaku tidak higienis dan asupan gizi yang buruk karena dapat berpengaruh pada daya tahan tubuh seseorang (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012)

Kusta memiliki dua macam tipe gejala klinis yaitu

Pausibasilar (PB) dan Multibasilar (MB). Kusta tipe PB adalah tipe

kusta yang tidak menular dan biasa disebut juga sebagai kusta kering, sedangkan kusta tipe MB atau kusta basah adalah kusta yang sangat mudah menular. Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi penyakit kusta menurut WHO tampak pada tabel 1.1. (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012).

Cara penularan terjadi dengan cara kontak yang lama dengan pasien melalui saluran pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit. Penyakit kusta ini bersifat intraselular obligat, dimana saraf tepi/perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas, kemudian dapat ke organ tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012)

(31)

Tabel 1.1. Tanda Utama Kusta PB dan MB

Tanda Utama Pausibasilar (PB)

Multibasilar (MB) Penebalan saraf tepi

disertai gangguan fungsi (mati rasa dan atau kelemahan otot di daerah yang dipersarafi saraf yang bersangkutan)

Jumlah 1-5 Jumlah > 5

Kerokan jaringan kulit BTA negative BTA positif Distribusi Unilateral atau

bilateral asimetris

Bilateral Simetris Bercak Kusta

Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap

Batas bercak Tegas Kurang Tegas

Mati rasa pada bercak Jelas Biasanya kurang jelas Deformitas Proses terjadi

lebih cepat

Terjadi pada tahap lanjut

Ciri-ciri khas Madarosis, hidung

pelana, wajah singa (facies leonina), ginekomastia pada laki-laki

Sumber: Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012

Pelaporan kasus sangat penting untuk memastikan bahwa upaya pemberantasan ditargetkan di wilayah terinfeksi terhadap jenis penyakit yang dianggap bisa dihilangkan seperti kusta. Puskesmas sebagai salah satu fasilitas rujukan pelayanan kesehatan memiliki peran (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012), 1)

(32)

Menemukan dan mengobati pasien; 2) Melakukan pemeriksaan fungsi saraf dan memberikan pengobatan bila terjadi infeksi;3) Merawat luka, dan melatih pasien untuk melakukan perawatan diri di rumah sesuai tingkat dan bagian tubuh yang cacat; 4) Bila diperlukan dan memungkinkan, Puskesmas program Kelompok Perawatan Diri (KPD/self care group);5) Memberikan konseling kepada pasien dalam pengobatan maupun yang sudah Released

From Treatment (RFT); 6) Memberikan penyuluhan kepada

keluarga pasien dan masyarakat; 7) Merujuk pasien tepat waktu ke RSU Kabupaten, rumah sakit kusta dan atau rumah sakit lain yang mempunyai pelayanan untuk kusta.

Sejak tahun 2005 sampai dengan 2012, telah terjadi penurunan jumlah kasus baru kusta yang ditemukan di Indonesia. Berdasarkan data WHO, Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan jumlah kasus kusta terbesar pada tahun 2011 dengan jumlah kasus sebanyak 20.023, setelah India dengan kasus sebanyak 127.295 dan Brazil dengan kasus sebanyak 33.955 (WHO, 2013). Pada Tahun 2012, penemuan kasus baru di Indonesia kembali turun menjadi 18.994 kasus (WHO, 2013). Berikut ini trend penemuan kasus baru kusta di Indonesia (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2011).

Pada Tahun 2000, penyakit kusta telah mencapai status eliminasi yang berarti jumlah penderita terdaftar kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk. Dengan demikian, dunia termasuk Indonesia telah menyatakan kusta bukan lagi masalah bagi kesehatan masyarakat (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2011). Namun demikian, menurut catatan WHO, Indonesia masih menjadi negara penyumbang kasus terbesar di dunia.

(33)

Grafik 1.1.

Tren Angka Prevalensi Kusta di Indonesia 2007 – 2011 Sumber: Dirjen P2PL, Kemenkes, 2011

Total kasus baru pada tahun 2011 di propinsi Sulawesi Tenggara 322 (14.1%) dengan rate 8.3/100.000 (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012). Ada 1 (100%) penderita Kusta PB di Kabupaten Kolaka Utara yang menyelesaikan pengobatan (RFT) sampai tahun 2013 sebanyak 1 kasus (100%), sementara dari 9 penderita kusta MB yang telah menyelesaikan pengobatan sampai tahun 2013 sebanyak 7 kasus (78%) (Dinkes Kabupaten Kolaka Utara, 2013). Penyakit kusta ini juga seperti fenomena gunung es, yang nampak di permukaan, yang terdeteksi hanya kecil, tetapi kenyataan di lapangan dapat jauh lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa permasalahan kusta masih menjadi permasalahan kesehatan yang layak untuk dikaji.

Kusta menyerang semua umur dari anak-anak sampai dewasa. Kusta banyak terdapat pada negara berkembang atau negara miskin. Dengan kondisi lingkungan yang tidak bersih, fasilitas kebersihan yang tidak memadai dan asupan gizi yang buruk sehingga menyebabkan daya tahan tubuh rendah dan rentan terhadap penyakit infeksi seperti kusta. Penelitian yang

(34)

dilakukan oleh Anselmo Alves Lustosa dkk tahun 2011, menunjukkan bahwa profil sosial demografi konsisten dengan studi-studi lain yang dilakukan di berbagai daerah di Brazil bahwa kondisi sosial ekonomi yang buruk menjadi faktor yang berkontribusi terhadap penyebaran infeksi Kusta, disamping faktor-faktor penentu biologis.

Dalam sejarahnya, pengobatan kusta telah dikenal dari zaman dahulu kala bahkan hampir 2000 tahun SM yang dapat diketahui dari peninggalan sejarah Mesir, India, Tiongkok dan Mesopotamia. Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada Tahun 1873, maka dimulailah era perkembangan baru pengobatan kusta dan penanggulangannya. Penggunaan

diamino-diphenyl-sulphone (DDS) dimulai tahun 1951. Sejak

tahun 1982 pengobatan kusta dilakukan dengan Multi Drug

Therapy (MDT) sesuai rekomendasi WHO (Dirjen P2PL,

Kemenkes, 1998).

Adapun pengobatan dan upaya pemberantasan kusta di Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Pada tahun 1655, Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan leprozerie di Kepulauan Seribu (Teluk Jakarta), sebagai tempat penampungan para penderita kusta. Sampai dengan pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda telah mengembangkan leprozerie di berbagai daerah, seperti Ambon, Banda, Ternate, Manado, Gorontalo, Riau, Bangka, dan Bengkulu. Belanda menetapkan peraturan pengasingan bagi penderita kusta di wilayah koloninya, peraturan pengasingan paksa di leprozerie dihapus oleh Dr. J. B. Sitanala, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberantasan kusta, kemudian menggantinya dengan sistem ”tiga langkah” sebagai upaya pemberantasan kusta, yaitu ekplorasi, pengobatan, dan pemisahan (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2007).

(35)

Meski penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini cukup menimbulkan dampak sosial, karena menimbulkan leprofobia di kalangan masyarakat. Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah berasal dari golongan ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani maka akan menimbulkan cacat pada diri penderita yang akan menghalanginya untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya (Dirjen P2PL, Kemenkes, 1998). Untuk mengatasinya, maka didirikan rumah sakit khusus kusta, sebagai upaya pemberantasan dengan pola perawatan penderita. Penelitian Fitriah Ulfah (2010), kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat dan kepadatan penghuni yang tinggi berhubungan terhadap peningkatan kejadian kusta. K Pontes (2006), menemukan bahwa tingkat pendidikan rendah , riwayat kekurangan pangan, kebiasaan mandi di danau 10 tahun terakhir, jarang mengganti sprei dan kepadatan penghuni berhubungan dengan kejadian kusta. Andy Muharry (2014), menemukan bahwa kebersihan perorangan yang buruk mempengaruhi kejadian kusta.

Persentase jumlah keluarga berperilaku hidup bersih dan sehat (ber-PHBS) di Desa Sulaho masih rendah, yaitu sebesar 37.20% dan persentase rumah sehat baru mencapai 15.75% (Puskesmas Lasusua, 2013). Penduduk dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak (kakus sehat) masih rendah, yaitu 19.5% dan akses berkelanjutan terhadap air minum berkualitas (layak) sebesar 46.05% (Puskesmas Lasusua, 2013).

Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit kusta menjadi ancaman. Penelitian yang dilakukan kusta menimbulkan masalah yang sangat kompleks, bukan hanya aspek medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit

(36)

Kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan karena kurangnya pengetahuan/ pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Dirjen P2PL, Kemenkes, 2012).

Kebanyakan penderita kusta yang mengalami kecacatan disebabkan karena keterlambatan untuk memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan, meminum obat dengan tidak sempurna atau pengobatan tidak tuntas. Temuan Alam Fajar (2010), kusta selalu dipandang sebagai momok yang harus disingkirkan oleh masyarakat karena dianggap sebagai penyakit karena kutukan Tuhan, akibat dari dosa-dosa yang dilakukan oleh penderita dan keluarganya di masa lalu serta tidak dapat disembuhkan sehingga penderita kusta diberikan stigma tertentu melalui penyakitnya.

Desa Sulaho merupakan sebuah wilayah yang cukup terisolir, diapit pegunungan pada bagian utara, timur dan barat dan lautan lepas pada bagian selatan. Kondisi geografis ini menyebabkan akses ke pelayanan kesehatan menjadi lebih sulit dibandingkan masyarakat yang hidup dalam wilayah yang mudah dijangkau. Kegiatan promosi kesehatan yang dilakukan melalui kegiatan penyuluhan kesehatan dan kunjungan rumah penduduk ke desa, masing-masing dilakukan sebanyak 4 kali dan 2 kali di Sulaho, berbeda dengan desa lain di wilayah kerja Puskesmas Lasusua pada wilayah yang lebih mudah dijangkau, kegiatan dilakukan masing-masing sebanyak 12 kali dan 4-6 kali (Puskesmas Lasusua, 2013).

Kusta adalah salah satu penyakit yang ditemukan di Desa Sulaho. Berdasarkan register kohort program P2 Kusta Puskesmas Lasusua, Kusta di Desa ini selalu ditemukan dari tahun ke tahun sejak tahun 2005 sampai dengan 2013 (selama 8 tahun terakhir) (Puskesmas Lasusua, 2013). Pada akhir tahun 2013,

(37)

ditemukan dua penderita kasus baru kusta di Desa Sulaho (Puskesmas Lasusua, 2013). Satu diantaranya diakui terjaring melalui pemeriksaan kontak terhadap salah seorang penderita kusta yang ditemukan dengan kondisi bengkak pada bagian wajah dan satu lainnya berobat secara sukarela ke Puskesmas dengan kondisi mengalami bengkak dan cacat tingkat 1 di bagian kaki. Munculnya kasus-kasus baru menunjukkan bahwa masih terjadi proses penularan yang diakibatkan keterlambatan untuk melakukan pengobatan ke pusat pelayanan kesehatan terdekat.

Grafik 1.1.

Kasus Kusta Baru Desa Sulaho 2005-2013 Sumber: Data Puskesmas Lasusua 2013

Sebagian besar merupakan kusta jenis MB yaitu sebanyak 23 (76.67%) dari 27 kasus yang muncul. Berdasarkan jenis kelamin, maka sebanyak 20 perempuan (74.07%) menjadi penderita kusta, lebih banyak daripada laki-laki sebanyak 7 orang (25.93%). Semua penderita merupakan usia produktif, sebagian besar berada pada usia 10-20 tahun (59.26%). Masih adanya kasus baru kusta di Desa Sulaho dari tahun ke tahun menggugah rasa ingin tahu tentang sejarah kasus Kusta di masa lalu dan perkembangan penyakit kusta di Sulaho pada masa selanjutnya; menjadi pertanyaan pula tentang pengetahuan masyarakat

(38)

mengenai sebab, akibat dan dampak yang ditimbulkan oleh penyakit kusta serta ingin diketahui faktor yang berperan dalam mendukung langgengnya keberadaan penyakit kusta di Sulaho.

1.2. Penentuan Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi pada penelitian riset etnografi kesehatan ini berdasarkan prioritas permasalahan pada salah satu komponen atau indikator IPKM yang rendah. Kabupaten Kolaka Utara adalah kabupaten yang memiliki IPKM rendah dengan peringkat 397 pada tahun 2007 dan termasuk kategori Kabupaten bermasalah berat kesehatan miskin (KaA). Sasaran etnis adalah Etnik Bajo. Awalnya, tim peneliti memperoleh informasi bahwa ada dua desa yang didiami oleh Etnik Bajo di Kabupaten Kolaka Utara yaitu Desa Sulaho dan Desa Lawata.

Pemilihan Desa Sulaho sebagai lokasi penelitian setelah melalui proses diskusi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka Utara dengan memperhatikan besaran masalah kesehatan dalam lingkup KIA, PHBS, penyakit menular dan penyakit tidak menular. Desa Lawata memiliki akses transportasi yang baik karena dapat dicapai melalui perjalanan darat dengan medan yang baik, disamping tidak terdapat permasalahan kesehatan yang menonjol. Desa Sulaho adalah wilayah yang terisolasi karena desa dilingkupi oleh perbukitan dan laut, sehingga transportasi utama masyarakat Bajo di desa ini menggunakan perahu.

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Desa Sulaho masih rendah dan masih ditemukan penyakit kusta baru dari tahun ke tahun yang mengindikasikan bahwa mata rantai penyakit tersebut masih sustain. Berdasarkan data profil Puskesmas Lasusua tahun 2013 rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di desa Sulaho sebesar 37.2% (Puskesmas Lasusua, 2013). Selain itu hampir selalu ditemukan

(39)

kasus kusta dari tahun ke tahun selama kurun waktu 8 tahun terakhir, dan ditemukan 2 kasus baru pada akhir tahun 2013. Pertimbangan terhadap kesadaran masyarakat yang diduga masih rendah salah satunya karena faktor geografis menjadi alasan kuat mengapa penelitian riset etnografi kesehatan ini dilakukan di Desa Sulaho, Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara.

1.3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode etnografi. Pengamatan lapangan dilakukan untuk memperoleh gambaran utuh dan menyeluruh tentang budaya perilaku kesehatan masyarakat. Teknik yang digunakan adalah observasi partisipasi selama dua bulan. Peneliti ikut berperan serta secara langsung dalam rangkaian kegiatan sehari-hari subyek penelitian. Kegiatan ini didukung dengan penggunaan media video dan foto.

Wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh data yang kaya dan mendalam terhadap tema ataupun permasalahan yang digali. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Peneliti menelusuri, mencatat, dan mempelajari kepustakaan-kepustakaan yang relevan dengan objek kajian untuk memperkaya dan memperluas wawasan dan pengetahuan peneliti tentang objek atau masalah yang akan dikaji. Penelusuran dokumen meliputi jurnal online dan buku yang berkaitan dengan objek kajian. Selain itu, studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang digunakan sebagai pendukung data.

Analisis dilakukan dengan menelaah dan mengorga-nisasikan data yang telah diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi partisipasi dan catatan lapangan ke dalam

(40)

pola, kategori dan satuan uraian sehingga dihasilkan kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis data dilakukan dengan menerapkan metode deskripsi interpretatif yang didukung dengan triangulasi sumber (subyek penelitian yang terdiri atas anggota masyarakat, tokoh masyarakat dan tenaga kesehatan) dan metode pengumpulan data (wawancara mendalam dan observasi partisipasi).

Jenis data pada penelitian ini adalah kualitatif dengan sumber data 1) Sumber data primer, merupakan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi partisipasi; 2) Sumber data sekunder, merupakan data dukung yang diperoleh dari profil kesehatan/demografi kabupaten/ kecamatan/desa penelitian) sebagai dukungan kuantitatif atas kondisi demografi ataupun permasalahan kesehatan yang muncul. Data sekunder lainnya adalah penelusuran literatur berbagai sumber (buku, jurnal, yang dikumpulkan, dibaca dan disitasi untuk memperkaya wawasan dan pengkayaan dalam melakukan analisis data.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran secara holistik aspek sejarah, geografi dan sosial budaya terkait kesehatan dalam lingkup kesehatan ibu dan anak, PHBS, penyakit tidak menular dan penyakit menular secara spesifik penyakit kusta pada etnis Bajo di Kabupaten Kolaka Utara.

(41)
(42)

BAB 2

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Kabupaten Kolaka Utara merupakan pemekaran dari Kabupaten Kolaka sejak 7 Januari 2004 (Yahya Mustafa, 2008). Kabupaten Kolaka Utara berada di daratan tenggara Pulau Sulawesi dan secara geografis terletak pada bagian barat merupakan bagian dari propinsi Sulawesi Tenggara. Menuju ke Kabupaten Kolaka Utara dapat ditempuh melalui tiga jalur, yaitu jalur laut melalui pelabuhan Siwa (Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) menyeberang dengan kapal cepat selama 1,5 jam atau kapal ferry selama 2,5 jam, jalur darat melalui Malili (Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan) dengan menempuh perjalanan selama kurang lebih 20 jam dan jalur udara via Pomalaa, Kolaka dilanjutkan dengan perjalanan darat selama kurang lebih 4 jam ke Kolaka Utara.

Kabupaten Kolaka Utara memanjang dari utara ke selatan berada di antara 2o 46’ 45’’ – 3o 50’ 50’’ Lintang Selatan dan membentang dari barat ke timur di antara 120o 41’ 16’’ – 121o 26’ 31’’ Bujur Timur. Keadaan permukaan wilayah di Kabupaten ini pada umumnya terdiri atas lembah, perbukitan, pegunungan dan laut yang memanjang dari utara ke selatan. Kondisi geografis tersebut menyebabkan perbedaan jarak dari setiap Kecamatan ke Ibu Kota Kabupaten, Lasusua. Keadaan musim di Kabupaten Kolaka Utara seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia, yaitu musim hujan dan kemarau dengan suhu udara minimum sekitar 10oc dan maksimum 31oc atau rata-rata 24oc-28oc serta

(43)

curah hujan yang cukup tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain di Sulawesi Tenggara dengan batas wilayah sebagai berikut (Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara, 2013):

Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan;

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Uluwoi Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara; Sebelah Barat berbatasan dengan Pantai Timur Teluk Bone; Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka.

Kabupaten Kolaka Utara terbagi menjadi 15 kecamatan, yaitu: Kecamatan Porehu seluas 647,23 km (19.08%), Kecamatan Batu Putih seluas 374,95 km (16.47%), Kecamatan Pakue seluas 313.25 km (9.24%) dan selebihnya Kecamatan lainnya adalah Ranteangin, Wawo, Lambai, Lasusua, Katoi, Kodeoha, Tiwu, Ngapa, Watunohu, Pakue Tengah, Pakue Utara dan Tolala. Kabupaten Kolaka Utara memiliki luas wilayah daratan sekitar 3.391.62 Km2 dan wilayah perairan laut membentang sepanjang Teluk Bone seluas 12.376 Km2.

Wilayah Kecamatan Lasusua mencakup wilayah daratan dan Lautan karena terletak di pesisir Pantai Teluk Bone. Luas daratan Kecamatan Lasusua sebesar 287.67 km². Relief permukaan daratan Kecamatan Lasusua terdiri dari daerah pegunungan di bagian Timur dan Selatan, sedangkan di bagian Utara dan Barat adalah berupa dataran yang sebagian merata di sepanjang bibir pantai, sisanya adalah dataran yang landai dan terjal yang berada di wilayah bagian utara. Ketinggian wilayahnya mencapai ± 15 m dari permukan Laut.

(44)

Gambar 2.1. Peta Kabupaten Kolaka Utara

Sumber: longhairpictures.biz/peta/peta-infrastruktur-kabupaten-kolaka-2008.html

Gambar 2.2. Peta Kecamatan Lasusua Sumber: Data Penelitian Tahun 2014

KODEOHA

LASUSUA

(45)

2.1. Sejarah Desa

2.1.1. Cerita Nenek Sawerigading

Masyarakat Etnik Bajo yang berdiam di Desa Sulaho meyakini bahwa mereka merupakan keturunan Sawerigading yang berasal dari Kampung Usu, Cengrekang, Malili, Tanah Luwu. Kini daerah tersebut merupakan bagian dari Kabupaten Luwu Timur. Cerita mengenai asal muasal Etnik Bajo yang tinggal di Desa Sulaho tersebut telah dipercaya dari generasi ke generasi secara turun temurun. Terdapat cerita bahwa dahulu istri raja Etnik Bajo melahirkan seorang anak perempuan.

Pada waktu itu jika anak yang dilahirkan perempuan maka harus dibunuh, sementara jika laki-laki yang dilahirkan maka akan dirawat dan dibesarkan. Raja menyembunyikan anak perempuan tersebut hingga akhirnya ia menjadi perempuan dewasa nan cantik. Setelah kelahiran anak pertama, istri raja kembali melahirkan anak kedua yang berjenis kelamin laki-laki. Waktu terus berjalan, suatu hari anak laki-laki yang telah tumbuh dewasa itu melihat kakak perempuannya yang sengaja disembunyikan oleh orang tuanya. Iapun terpikat pada Codaik, si perempuan cantik tersebut. Ia menyampaikan keinginan untuk menikahi perempuan tersebut kepada orang tuanya.

Sang ibupun membuka rahasia yang telah sekian lama disimpan rapat bahwa perempuan itu adalah saudara kandungnya, maka jika ia menginginkan istri sepertinya, ia harus pergi ke negeri Cina untuk menemukan saudara sepupu yang memiliki wajah tiada beda dengan Codaik. Ia membawa sebuah cincin dan sesampai ke negeri Cina bila dapat menemukan seorang gadis yang dapat memakai cincin tersebut dengan pas, maka dia itulah saudara sepupu yang dimaksud.

Sebuah pohon besar berdaun tujuh lembar yang disebut pohon walenrang ditebang untuk dijadikan perahu menuju

(46)

negeri Cina oleh Sawerigading. Pohon tersebut diyakini sebagai tempat bersarang dan bertelur seluruh burung. Pohon walenrang itu berkali-kali dikapak, namun tak seorangpun mampu merobohkan kokohnya batang pohon walenrang itu. Codaik akhirnya dapat merobohkan pohon walenrang itu dengan satu tebasan saja. Tumbangnya pohon ini menyebabkan terjadinya banjir telur yang membuat orang-orang hanyut dan terbajo-bajo (terbayang-bayang). Banjir inilah yang menyebabkan Etnik Bajo tersebar ke berbagai tempat/wilayah.

Etnik Bajo sangat identik dengan kehidupan laut, sehingga mereka mencari tempat tinggal di laut dan dalam kehidupan sehari-hari berdamai dengan laut. Tim peneliti seringkali mendengar warga Sulaho mengatakan bahwa mereka akan merasa pusing atau sakit kepala jika tidak bisa melihat laut. Pada suatu ketika ada nenek moyang Etnik Bajo yang tiba di Desa Sulaho. Nenek moyang Etnik Bajo tersebut mencari tempat tinggal yang disebut Alo-alo. Dahulu mereka menyebut kampung yang didiami dengan sebutan Alo-alo yang berarti danau di luar kampung. Danau yang dimaksud merupakan sebuah cekungan besar seperti sumur yang luas dan dalam berada di laut sekitar 10 km dari perkampungan Desa Sulaho, sehingga jika laut di sekitar danau tersebut surut, maka cekungan berisi air tersebut dengan jelas dapat terlihat.

2.1.2. Jejak Manusia Etnik Bajo di Sulaho: Dahulu Hingga Kini Sekitar 1870-an kampung Sulaho merupakan hutan primer yang tidak berpenghuni, hanya sebagai tempat berlindung dan beristirahat untuk nelayan saat ombak besar, tempat singgah mengambil kayu bakar, air tawar dan berbagai kebutuhan lain yang digunakan di laut. Selanjutnya datang orang Tolaki Mekongga yang disebut membangun rumah dan

(47)

mengembangkan usaha bercocok tanam (N. Suyuti, 2011). Kata Sulaho merupakan bahasa Tolaki Mekongga yang artinya ada suatu benda yang paling disukai ternyata menghilang. Kata “Sula” dalam bahasa Tolaki Mekongga berarti pergi meninggalkan. Seorang Tolaki Mekongga pergi menyuluh di laut dan ia kembali menemukan benda yang hilang itu. Orang tersebut berkata

“Hok…Ohok” yang memiliki arti benar. Kata yang diucapkan

terdengar juga oleh orang Bajo di atas perahu yang berada tak jauh di sampingnya. Orang Tolaki tersebut mendengar orang Bajo berkata “Ohok”, artinya membenarkan. Itulah artinya “Sula” tambah “Ho (Ohok)”, menjadi Sulaho.

Pada umumnya desa di sekitar Sulaho memiliki nama desa yang cenderung merepresentasikan bahasa Tolaki seperti Batulaki, Rante Angin, Watunahu dan Onohu sebagai petanda bahwa Orang Tolaki Mekongga pernah berdiam di wilayah-wilayah tersebut. Etnik Tolaki pada akhirnya lebih memilih meninggalkan perkampungan Desa Sulaho. Tidak ada yang mengetahui kapan tepatnya desa yang semula disebut Alo-alo oleh orang Bajo berubah menjadi Sulaho. Menurut beberapa informan, penyebutan Sulaho relatif lebih mudah daripada Alo-alo, sehingga dalam perkembangannya Sulaho menjadi sebutan yang umum dan lazim dan sebutan Alo-alo menghilang bersamaan dengan ketenaran Sulaho.

Kata Sulaho disebut-sebut juga merupakan bahasa Bugis yang memiliki arti sama dengan alo-alo, sehingga hanya persoalan istilah saja tetapi memiliki makna yang sama. Hal ini dikarenakan masuk pula orang Bugis pada masa selanjutnya setelah orang Tolaki Mekongga meninggalkan perkampungan Sulaho. Pada tahun 1923, terdapat gelombang kedua hadirnya manusia di wilayah tersebut. Jumlah rumah yang ada saat itu sekitar 10 unit, dibangun di atas permukaan laut dengan kondisi rumah sangat sederhana dengan fungsi rumah sebagai tempat

(48)

berlindung dan setiap saat dapat ditinggalkan (N. Suyuti, 2011). Pada masa selanjutnya orang Bajo yang berdatangan semakin bertambah dan terbentuk sebuah perkampungan karena orang Bajo memilih hidup dengan cara menetap. Dalam perkembangannya Sulaho menjadi tempat persembunyian gerombolan pemberontak Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII) pimpinan Kahar Muzakar. Perkampungan Sulaho dianggap sebagai daerah rawan persembunyian pasukan DI TII, sehingga dilakukan pemberantasan oleh Pemerintah yang disebut dengan “operasi tumpas”.

Perkampungan dibakar dan rumah-rumah penduduk habis dibakar untuk menghindarkan kemungkinan dijadikan sebagai tempat persembunyian kembali atau dapat disinggahi sekedar untuk makan oleh pasukan DI TII. Saat informan Rh ( 56 tahun) masih kanak-kanak, salah satu yang membekas jelas dalam ingatannya adalah rumah-rumah yang dibakar. Inilah yang kemudian memaksa semua warga akhirnya menyingkir pada tahun 1960-an. Warga terpencar ke Kolaka, Rante Angin, Lasusua, Lawata dan Pakue. Setelah kondisi wilayah yang ditinggalkan cukup aman dan pemerintahan dinilai stabil, maka pada tahun 1978 mereka mulai berdatangan kembali ke perkampungan Sulaho. Ada pula rombongan orang dari Sulawesi Selatan mulai dari Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Wajo dan Luwu untuk aktivitas penggergajian kayu yang dikelola oleh PT Hasil Bumi Indonesia (PT HBI). Wilayah ini akhirnya menjelma menjadi perkampungan tua ketika Departemen Sosial datang pada tahun 1995 untuk melakukan pembinaan terhadap Etnik masyarakat terasing.

Secara historis, awal mula terbentuknya Desa Sulaho dimulai dengan masuknya program Peningkatan Kesejahteraan Etnik Masyarakat Terasing (PKSMT) yang dilakukan oleh Departemen Sosial (Depsos) dalam kurun waktu 5 tahun, yaitu

(49)

sejak tahun 1995 sampai 2000. Perkampungan di wilayah ini belum tertata dengan baik dari berbagai aspek saat itu, begitu pula dengan kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat. Sebagian rumah telah berada di darat dan sebagian lainnya masih berada di atas laut. Rumah yang ditempati umumnya merupakan rumah panggung dengan dominasi bahan rumah berupa kayu dan daun nipa. Jenis rumah merupakan rumah kayu yang tiangnya diikat dengan rotan, sedangkan jendela dan atap terbuat dari daun nipa yang dijahit, pintu terbuat dari kayu, sementara lantai terbuat dari kayu atau bambu. Warga memanfaatkan apa yang dapat diperoleh dengan mudah dari lingkungan sekitar tempat tinggal untuk membangun rumah, sementara kebiasaan hidup seperti cara berpakaian dideskripsikan masyarakat layaknya kehidupan Etnik terasing yang tertutup dari masyarakat luar.

Gambar 2.3. Rumah PKSMT

Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Saat itu, Sulaho merupakan sebuah dusun yang menjadi bagian sebuah desa bernama Pitulua. Setelah proses pembinaan

(50)

selama sekitar 2 tahun diadakan pemekaran menjadi desa. Pada tanggal 25 November tahun 1997, secara definitif Sulaho resmi dimekarkan sebagai desa. Pemekaran desa dipandang perlu waktu itu, bukan saja Sulaho, tetapi beberapa dusun bersamaan dimekarkan menjadi desa. Pada tahun 2000, Depsos membangun rumah sebanyak 85 unit yang diperuntukkan bagi 85 kepala keluarga. Pembangunan rumah disertai dengan pembangunan kakus cemplung pada beberapa titik strategis dalam kampung.

Berdasarkan hasil pembinaan Depsos, maka terbentuklah satu wadah pemukiman Desa Sulaho yang apik. Tidak terdapat rumput liar atau sampah, benih tanaman berupa bunga dan sayur diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah. Segala program yang dianjurkan pemerintah berjalan, seperti pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) dan penanaman tanaman obat keluarga (toga) di setiap rumah tangga. Saat itu, terdapat jaminan hidup selama lima tahun (1995-2000) berupa kebutuhan sandang seperti sarung, baju dan pangan seperti beras, gula, mi instan, kopi, minyak dan ikan kering.

Awalnya, aspek kebersihan tidak menjadi perhatian penting masyarakat. Masuknya pembinaan Depsos menjadi salah satu wujud peningkatan kepedulian masyarakat untuk membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal secara gotong royong. Biasanya dilakukan kegiatan bersih desa, setiap hari jumat (jumat bersih) sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang umumnya tidak melaut pada hari jumat.

Pada saat itu, warga memperoleh rumah dan lahan seluas ½ hektar, masing-masing bersertifikat. Lahan ditujukan untuk kegiatan perkebunan dan berlokasi di pegunungan Sulaho. Lahan ditanami jambu mete dan cengkeh, namun umumnya masyarakat menyatakan tidak memperoleh hasil. Pemanfaatan lahan tersebut saat ini tidak terkelola dengan baik dikarenakan kondisi jalan rusak, selain itu menurut masyarakat jalanan ke

(51)

lokasi sampai sekarang juga menjadi perdebatan dengan pemerintah setempat yang menganggap bahwa wilayah tersebut merupakan kawasan hutan lindung.

Pasca pembinaan Depsos, kampung Sulaho telah bermetamorfosis menjadi sebuah desa. Etnik Bajo di Sulaho tidak lagi disebut sebagai komunitas masyarakat terasing (KMT) tetapi disebut dengan komunitas adat terpencil (KAT). Andil Depsos kala itu menjadi cikal bakal terbentuknya Desa Sulaho pada masa kini. Terjadi beberapa pembangunan infrastruktur desa dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir. Salah satu perwujudan pengembangan aspek kesehatan adalah pembangunan Balai Kesejahteraan Rakyat (Bakesra) yang berada di komplek Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) Satu Atap Sulaho pada tahun 2008. Sejak itu mulai ada tenaga kesehatan yang menjadi penanggung jawab dalam memberikan pelayanan kehamilan, persalinan dan pelayanan kesehatan dasar (pengobatan) untuk masyarakat Desa Sulaho, meskipun petugas kesehatan tidak tinggal menetap di desa.

Berkaitan dengan perbaikan infrastruktur desa, maka dibangun saluran air antara jalan desa dan rumah warga pada sisi utara Desa Sulaho pada tahun 2007. Saluran mengalirkan air saat musim hujan sehingga perkampungan tidak lagi digenangi air. Fasilitas umum berupa kakus yang berada di dusun 1, tepat di sebelah masjid dan satu lainnya di tengah pemukiman padat penduduk di dusun 3 pada tahun 2013. Pembangunan kedua kakus tersebut merupakan wujud Charity Social Responsibility

(CSR) perusahaan tambang di Potoa, wilayah Desa Sulaho. Satu

bangunan kakus lain telah ada sebelumnya di dusun 2 dan sudah tidak digunakan sama sekali.

(52)

Gambar 2. 4.

Kakus Umum dengan sumber dana CSR Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Program pemerintah Kabupaten Kolaka Utara yang dikemas dalam peningkatan peranan wanita menuju keluarga sehat sejahtera (P2-WKSS) mewajibkan setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mengucurkan dana untuk melakukan “bedah rumah” di Desa Sulaho pada tahun 2010. Masing-masing SKPD bertanggung jawab untuk memberikan bantuan pada satu rumah tangga. Kegiatan “bedah rumah” ditujukan untuk memperbaiki rumah berdasarkan tingkat kerusakan. Rumah yang dianggap masih memiliki kondisi bagus, cukup dibantu dengan membelikan bahan bangunan tertentu seperti atap, cat, semen dan sejenisnya. Ada dua rumah yang diperbaiki total, sehingga seringkali menjadi buah bibir warga bahwa rumah tersebut termasuk kategori rumah bagus yang saat ini ada di Sulaho.

Di desa ini terdapat dua jalan utama berukuran sekitar 2,5-3 meter pada sisi selatan dan utara desa membelah dari ujung timur sampai ke ujung barat perkampungan. Saat ini, kondisi jalan terlihat tidak terawat, banyak rumput liar tumbuh dan menutup akses jalanan. Jalan utama desa sisi selatan terlihat hijau karena banyak ditumbuhi rumput “jepang”, seperti halnya rumah warga pada area tersebut banyak ditumbuhi rumput sejenis. Rumput tersebut semula hanya ditanam di depan/dekat

(53)

rumah, tapi kemudian berkembang dan menjalar sampai ke jalan utama desa. Tepat di tengah, antara jalan yang tertutup oleh rumput-rumput jepang itu ada jalan tanah yang terbentuk secara alami dan biasanya menjadi jalur melintas sepeda dan sepeda motor.

Jalan utama desa sisi utara pada area tertentu tidak bisa dilewati meskipun dengan berjalan kaki karena banyak rumput liar yang tumbuh tinggi dan menutupi jalanan sehingga biasanya warga memutar melalui jalan utama atau gang-gang di antara rumah warga untuk sampai ke tujuan. Hampir separuh lapangan desa terutama pada bagian barat dan utara ditumbuhi ilalang tinggi karena sudah sejak lama tidak dilakukan pembersihan. Kegiatan warga berupa kerja bakti setiap hari Jumat yang disebut dengan “Jumat bersih” antara lain memotong rumput, sudah tidak lagi dilakukan sejak setahun terakhir.

Pagar-pagar yang mengelilingi rumah warga rintisan pembinaan Depsos, sudah lama tidak diperbaiki lagi. Pagar ini dibuat agar babi liar yang turun ke wilayah pemukiman pada malam hari tidak masuk ke halaman rumah warga. Beberapa rumah yang masih memiliki pagar dan ada tanaman obat maupun tanaman keras adalah rumah pendatang. Banyak rumah yang sudah tidak memiliki pagar ataupun jika masih tersisa hanya beberapa bilah kayu yang menunjukkan bahwa pernah ada pagar pada rumah tersebut.

Lingkungan sekitar rumah warga tampak kotor, sampah berupa plastik bekas bungkus makanan, kotoran kambing, kayu dan dedaunan terhambur di halaman rumah dan jalanan desa. Tidak ada lubang tanah ataupun tempat-tempat khusus yang berfungsi sebagai tempat pembuangan atau penampungan sampah. Kotoran kambing bahkan menjadi pemandangan yang biasa ada di teras rumah warga, bahkan seringkali kambing dengan mudah masuk ke dalam rumah meninggalkan kotoran

(54)

atau menghabiskan makanan yang ada di dapur seperti beras dan nasi. Kaki-kaki penduduk yang menelusuri setiap jengkal tanah desa ini sudah kebal dengan kotoran semacam itu, karena umumnya mobilitas warga dilakukan dengan bertelanjang kaki. Sampah juga banyak terlihat di sekitar bibir pantai, kadang kala juga mudah ditemukan kotoran manusia di antaranya.

Setiap kehidupan komunitas/masyarakat manapun tidak dipungkiri diwarnai dengan permasalahan-permasalahan yang melekat sebagai imbas dari kebiasaan dan pola kehidupan yang berjalan. Begitu pula dengan masyarakat Desa Sulaho, salah satu permasalahan yang kini tengah benar-benar dirasakan oleh masyarakat di desa ini adalah kehilangan pekerjaan sehari-hari dikarenakan larangan menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan pasca tertangkapnya seorang warga. Mereka umumnya menangkap ikan dengan bom ikan (pangada) secara sembunyi-sembunyi. Nelayan yang sebagian besar memanfaatkan pangada kembali bekerja secara konvensional dengan memancing atau menjaring ikan. Hal ini selalu dikeluhkan oleh masyarakat dikarenakan hasil tangkapan yang diperoleh sehari-hari menjadi sangat berkurang dan seringkali merugi. Banyak wanita yang sebelumnya bekerja sebagai penjual ikan (palele) tidak lagi dapat bekerja.

Selain itu sebagian warga yang bekerja di pertambangan Potoa (bagian wilayah desa Sulaho), sudah tidak bekerja sejak tambang dihentikan setengah tahun terakhir. Salah satu upaya mengatasi krisis ekonomi yang dirasakan, masyarakat melakukan demonstrasi kepada Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara dengan menuntut Charity Social Responsibility (CSR) untuk kepentingan pembangunan jalan, listrik dan alat penangkap ikan.

Permasalahan lain dalam kehidupan masyarakat Desa Sulaho diantaranya adalah anak-anak usia sekolah yang berkeliaran saat jam belajar menjadi pemandangan yang lumrah,

(55)

baik yang bersekolah tapi sedang di luar jam pengajaran atau memang tidak bersekolah. Orang tua biasanya tidak mempermasalahkan ketika anak mereka tidak bersekolah, jika anak perempuan membantu pekerjaan rumah tangga sedangkan anak lelaki pergi melaut.

Pergaulan bebas diantara remaja juga sering terjadi sehingga ditemui beberapa kasus hamil di luar nikah sejak beberapa tahun terakhir, namun tidak ada sanksi sosial terhadap perbuatan mereka. Anak-anak memiliki keleluasaan bermain sepanjang waktu tanpa adanya pengawasan orang tua. Rumah sepi ketika ditinggal melaut oleh keluarga, dermaga dan lapangan menjadi lokasi yang digunakan anak-anak remaja untuk saling bertemu.

2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Bentang Alam Sulaho

Salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kolaka Utara adalah Kecamatan Lasusua. Lasusua merupakan Ibukota kecamatan sekaligus Ibukota kabupaten Kolaka Utara. Desa Sulaho merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Lasusua dan wilayah kerja Puskesmas Lasusua. Desa Sulaho terbagi atas 4 dusun, yaitu yang disebut dengan Dusun 1, 2, 3 dan 4. Masyarakat Desa Sulaho terbiasa menyebut nama dusun dengan menyebut nomor meskipun setiap Dusun sebenarnya memiliki nama. Dusun Satu (1) memiliki nama Nusa Indah, Dusun 2 dengan nama Bunga Karang, Dusun 3 dengan nama Pasir Putih, sedangkan Dusun 4 disebut dengan Lanipa-nipa karena menurut historis dahulu banyak ditemukan pohon Nipa di wilayah tersebut. Dusun Lanipa-nipa merupakan wilayah yang terpisah secara geografis dari Desa Sulaho. Berbeda dengan tiga dusun yang lain, tidak terdapat Etnik Bajo di Dusun Lanipa-nipa,

(56)

sebagian besar penduduk adalah Etnik Bugis yang berasal dari Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka mulai datang ke Lanipa-nipa pada tahun 1970-an, saat banyak dilakukan penggergajian kayu di Sulaho dan kemudian hidup menetap di tempat tersebut. Meskipun secara geografis terpisah dari Desa Sulaho, secara infrastruktur dusun Lanipa-nipa memiliki akses transportasi darat yang lebih baik menuju ke jalan Poros Trans Sulawesi. Hal ini merupakan imbas dari adanya pertambangan di Potoa yang merupakan wilayah Dusun Lanipa-nipa, sehingga terjadi peningkatan infrastruktur di sana. Proses kehidupan sosial ekonomi yang terjadi juga lebih berkembang dibandingkan dengan Desa Sulaho sebagai induknya.

Gambar 2. 5. Perkampungan desa Sulaho

Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Pertambangan yang pernah beroperasi di Desa Sulaho, berada di wilayah Potoa yang secara geografis terpisah oleh pegunungan dan tanjung. Akan tetapi proses eksplorasi tambang pada lereng pegunungan yang sama menimbulkan dampak

(57)

terhadap lingkungan di Desa Sulaho. Jika proses kerja tambang tengah berlangsung biasanya debu tambang akan beterbangan mengarah ke Desa Sulaho terutama saat angin kencang. Selain itu jika musim hujan turun, maka air di sekitar pantai di sepanjang Desa Sulaho cenderung berwarna merah dikarenakan longsoran tanah pada area eksplorasi lahan yang dengan mudah tergerus oleh air hujan.

Desa Sulaho sebelah utara berbatasan dengan Desa Totallang yang dapat menembus jalan Poros Trans Sulawesi Kolaka-Kolaka Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lambai, sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Bone yang merupakan laut sepanjang mata menyapu pandangan dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Pitulua. Desa Sulaho berada di antara pegunungan yang memiliki derajat kemiringan mulai dari 30o sampai 45o, mengelilingi belakang perkampungan (barat, utara dan timur) membentuk setengah lingkaran. Pegunungan yang mengitari Desa Sulaho tersebut oleh masyarakat setempat disebut dengan pegunungan Sulaho. Sementara depan perkampungan (selatan) sepenuhnya adalah bibir pantai. Jarak tempuh Desa Sulaho ke Kecamatan Lasusua adalah 20 km dengan waktu tempuh 30-45 menit, jarak ke ibukota kabupaten adalah 25 km dan jarak ke ibukota propinsi adalah 311 km.

Topografi desa cenderung didominasi oleh perbukitan dan pegunungan seluas 300 ha dan dataran hanya seluas 50 ha yang menjadi tempat tinggal masyarakat Desa Sulaho. Tinggi daratan dari permukaan laut hanya sekitar 0,5 sampai dengan 2 meter. Jarak rumah penduduk dari bibir pantai kurang dari dua meter. Dalam kondisi surut, jarak rumah dengan air laut menjadi lebih jauh sekitar 5-10 meter. Kondisi ini dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mencari kerang laut yang disebut seya dan

(58)

adalah 24.04 ha, yang peruntukkannya terbagi untuk pemukiman, bangunan sekolah, perkantoran, tempat ibadah berupa masjid, pemakaman, lapangan sepak bola dan volley dan padang ilalang (Daftar Isian Profil Desa Sulaho, 2003).

Gambar 2. 6. Peta Desa Sulaho

Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Desa Sulaho dapat dicapai melalui jalur laut dengan menggunakan perahu dari Kecamatan Lasusua dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Terdapat jalur darat yang dapat ditempuh dari Desa Sulaho menembus jalan poros Trans Sulawesi, akan tetapi jalan ini memiliki tingkat kemiringan yang curam, kondisi tanah cenderung labil dan licin. Meskipun demikian, ada warga desa yang menggunakan jalan tersebut dengan mengendarai sepeda motor untuk mencapai Lasusua

TOTALLANG

LAMBAI TELUK BONE

SULAHO PITULUA

(59)

dengan alasan lebih cepat daripada naik perahu, yaitu sekitar 30 menit perjalanan. Selain itu, Desa Sulaho juga dapat diakses dari Kecamatan Lambai, sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu.

Kondisi geografis yang ada menyebabkan perahu menjadi transportasi yang paling sering digunakan oleh masyarakat. Mereka memiliki mobilitas ke Lasusua atau ke Lambai terutama untuk kepentingan berbelanja. Hari Senin, Rabu dan Jumat adalah hari pasar di Lasusua, sementara hari Selasa, Kamis dan Minggu adalah hari pasar di Lambai sehingga banyak warga Sulaho yang pergi untuk menjual ikan dan atau membeli kebutuhan sehari-hari.

Wilayah pantai Sulaho dipenuhi dengan sampah, mulai dari sampah jenis plastik, kayu, kain dan sampah rumah tangga lainnya. Sebuah pemandangan yang sudah biasa dan lumrah, melihat penduduk membuang sebagian sampah ke pantai dengan alasan sampah akan pergi terbawa ombak laut. Sampah biasanya dibuang begitu saja di sekitar rumah, sehingga terhambur di sekitar lingkungan rumah. Sampah ditumpuk di sekitar lingkungan rumah dengan menggunakan pembatas kayu ala kadarnya pada keempat sisi, sehingga dengan mudah sampah berserakan kembali. Beberapa sumur warga yang dibiarkan terbengkalai/tidak digunakan menjadi tempat pembuangan sampah sehari-hari.

Tidak ada warga yang memiliki tempat penampungan atau lokasi khusus sebagai tempat pembuangan sampah di lingkungan sekitar tempat tinggal. Sebagian warga membakar sampah yang telah menumpuk di sekitar rumah. Sampah yang banyak terhambur hampir di semua tempat di desa Sulaho mulai terjadi sejak pembinaan Depsos berhenti pada tahun 2000. Aroma tajam yang bersumber dari kotoran manusia seringkali dijumpai saat berjalan di pantai, karena kebiasaan warga melakukan aktivitas

(60)

buang air besar di pinggir laut. Menurut warga biasanya mereka buang air besar dengan cara menggali pasir terlebih dahulu dan kemudian menimbun tinja setelah buang air besar selesai dilakukan.

Lapangan yang ada di tengah pemukiman biasanya dimanfaatkan sebagai tempat bermain sepak bola setiap sore hari oleh anak-anak lelaki maupun lelaki dewasa. Biasanya mereka bermain sepak bola tanpa mempedulikan hujan. Dalam lingkungan kompleks SD SMP satu atap Desa Sulaho terdapat lapangan bola volley, sehingga kadang kala mereka juga bermain bola volley pada sore hari. Aktivitas olah raga berupa sepak bola dan bolla volley ini juga diikuti oleh lelaki usia muda yang sedang tidak memiliki tanggungan pekerjaan. Selain itu tepat di sebelah lapangan, terdapat sebuah Balai Kesejahteraan Rakyat (Bakesra) yang merupakan pelayanan fasilitas kesehatan di desa tersebut. Bakesra di desa ini merupakan bantuan dari Depsos.

Kebutuhan listrik di Desa Sulaho diperoleh dari sumber listrik non PLN. Sumber listrik yang digunakan oleh masyarakat setempat diantaranya adalah sumber listrik tenaga surya, genset, mesin diesel dan pelita. Listrik tenaga surya yang dimiliki desa merupakan bantuan Dinas Pertambangan dan telah dimanfaatkan oleh 32 rumah tangga awalnya. Pemanfaatan listrik tenaga surya digunakan untuk bermacam kebutuhan seperti menyalakan lampu dan menonton televisi, tetapi kini dengan berjalannya waktu dan tidak adanya perawatan sumber tenaga surya, maka banyak aki pada sumber tenaga surya yang rusak sehingga mengurangi kemampuan untuk men-supply sumber listrik ke rumah-rumah penduduk.

Sebagian perangkat tenaga surya (berupa payung tenaga surya dan aki) yang ada di rumah warga dijual dengan alasan rusak. Mereka menjual dengan harga sekitar Rp. 500.000,- , atau ditukar dengan sekarung beras atau dibelanjakan kebutuhan

Gambar

Tabel 2.3. Sapaan Kekerabatan di Desa Sulaho
Gambar 2. 17  Pohon Kayu Jawa
Gambar 2. 19   Tanaman Srikaya/Sirsak  Sumber: Dokumentasi Penelitian 2014
Tabel 2. 4 Pendapatan Keluarga Pak Dm

Referensi

Dokumen terkait

Namun, sifat akustik mereka pada sebuah ruangan yang signifikan kita dengar di dalamnya tidak muncul dengan jelas dalam fitur kurva frekuensi, tetapi lebih

Keterkaitan hormon steroid pada regulasi VEGF didukung oleh penelitian secara in vitro pada kultur sel endometrium dengan reseptor progesteron positif yang menunjukkan

Jelasnya, setiap lambang yang tersirat pada corak dan motif tenunan songket menyebabkan kedudukan dan peranan pakaiannya menjadi lebih penting dalam adat dan

Selanjutnya agar Saudara mengajukan Perubahan Status dari Perusahaan PMA menjadi Perusahaan PMDN tersebut kepada Kepala BKPM sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala

Hal inilah yang menjadi kesulitan bagi Industri kecil atau UKM pembuat paving block untuk meningkatkan hasil produksinya.Dengan pemanfaatan brangkal ini dapat

Menimbang bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan para Terlapor telah bersepakat untuk menaikan tarif bus kota Patas AC dari

Tujuan dari kegiatan ini adalah : 1) Memberikan pengetahuan teoritis kepada guru-guru TK Gugus Kartini Kecamatan Purwokerto Utara tentang pendidikan karakter di TK, 2)

Evaluasi Kualitas Produk Pada Proses Pengolahan, Pengemasan, dan Pengiriman Coco Fiber (Studi Kasus Di Cv. Tiga Sehati Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember). Karya