• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.9. Teknologi dan Peralatan

2.9.1. Cerita Memasak hingga Makan

Kegiatan memasak dilakukan dengan menggunakan kompor gas, tungku kayu atau menggunakan keduanya. Wadah tungku seperti layaknya meja, biasanya dibuat dari kayu, sementara mulut tungku dibuat dari batu, rangka besi atau semen. Jenis peralatan masak yang digunakan bervariasi berupa panci-panci dengan bahan stainless, peralatan dari bahan plastik seperti gelas, mangkok, dan wadah-wadah yang juga biasa dipakai untuk mencuci sayur atau melakukan kegiatan lain dalam proses memasak. Kegiatan memasak bisa dikatakan melalui proses yang relatif sederhana.

Makanan sehari-hari masyarakat adalah nasi dengan menu pelengkap ikan, umumnya dimasak dengan kuah, dibakar dengan kayu atau digoreng. Banyak jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat tergantung hasil yang diperoleh ketika memancing atau sembari mencari teripang. Ikan seperti kacalang atau dalam bahasa setempat disebut oppo relatif lebih mudah didapatkan daripada ikan lainnya. Lauk selain ikan dan telor, seperti daging atau ayam hampir tidak pernah tim peneliti jumpai.

Gambar 2. 25

Wadah Tungku, Mulut Tungku dengan Batu dan Mulut Tungku dengan Rangka Besi Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Makanan pokok adalah nasi, namun ada makanan pengganti nasi seperti kapurung dan sinole yang terbuat dari tepung sagu. Kapurung dan sinole ada yang menganggap sebagai pendamping nasi sehingga dimakan bersamaan. Setiap RT tidak memiliki jadwal makan rutin. Tim peneliti menemukan bahwa banyak keluarga memiliki kebiasaan tidak makan pada pagi hari. Sebut saja keluarga Pak Dr (25 tahun) bersama istrinya Rn (19 tahun). Pak Dr mengaku terbiasa sarapan pagi ketika masih bujang dan tinggal bersama orang tuanya, bahkan jam 06.30 WITA biasanya sudah makan. Pola makan secara drastis berubah ketika menikah. Istri memiliki kebiasaan tidak sarapan sehingga tidak pernah memasak pagi hari.

Gambar 2. 26. Membakar Ikan di Luar Rumah

Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Pernah suatu hari tim peneliti berkunjung, pagi itu Pak Dr (25 tahun) mengambil dua buah pisang dari rumah orang tuanya yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ia mengiris buah pisang menjadi potongan kecil dan menggorengnya lalu dimakan bersama istri dan anaknya. Saat merasa tidak dapat menahan rasa lapar atau berkeinginan untuk sarapan maka akan pergi ke rumah orang tua, sekalipun terkadang hanya makan nasi dicampur gula pasir. Pak Dr (25 tahun) bercerita bahwa pagi hari isteri dan kedua anaknya, Dn (4 tahun) dan Hl (3 tahun) makan mi rebus instan yang dikonsumsi dalam keadaan kering tanpa dimasak terlebih dahulu. Pak Dr (25 tahun) bercerita bahwa isterinya sangat menyukai jenis makanan tersebut. Mi instan tanpa diolah tersebut cukup sebagai pengganti makanan bila tidak memasak nasi.

Tim peneliti mengunjungi rumah lain dengan kebiasaan yang sama. Rumah berukuran 7x5 m pada rumah induk dan bangunan tambahan berupa dapur, kamar mandi dan kakus, berukuran sekitar 2x5 m dihuni oleh 13 orang. Pak Th dan ke tujuh anaknya, Ibu Sh (30 tahun) mantan isteri, juga tinggal di rumah ini dengan 2 anak dari suami kedua. Ia tinggal di rumah tersebut semenjak suami pergi merantau ke Jakarta beberapa bulan lalu, selain ia adalah sepupu satu kali Pak Th. Adik ibu Sh serta kedua anaknya yang masih kecil juga tinggal di rumah itu terutama malam hari karena suaminya bekerja di Malaysia.

Suatu hari, sekitar jam 11.00 WITA, sebagian besar anggota rumah tangga ini belum makan. Pagi sebelumnya Wt (17 tahun) telah menggoreng nasi sisa semalam dengan menambahkan bumbu nasi goreng instan, dan 5 orang anak yang lebih kecil darinya memakan nasi goreng tersebut. Tim peneliti dapati ibu Sh di tengah jalan kampung hendak meminta “air” ke seorang sanro kampong sekaligus mengambil dua ekor ikan berukuran cukup besar dan membawa sekantong plastik jajanan,

yang dikirim saudaranya dari Desa Lawata. Ikan pun dibersihkan oleh anak perempuan tertua. Ibu Nh (28 tahun) tengah memasak nasi.

Api di tungku menyala-menyala dan dengan cepat membakar setiap bagian kayu. Ikan diletakkan dalam panci, namun tak ada garam dan asam sebagai rempah utama untuk memasak ikan. Wt (17 tahun) pergi ke warung membeli garam, sementara tak lama ibu muncul dengan membawa segenggam asam yang diminta dari rumah sebelah. Ikan, asam, garam dan vetsin dimasukkan dalam panci ditambah air dan diletakkan di atas mulut tungku. Anak sulung Pak Th (69 tahun) pulang, Ibu Nh (28 tahun) membuatkan satu teko kopi manis, lalu menyuruh anak itu untuk membawanya ke pinggir laut tempat Pak Th dan adiknya tengah memperbaiki perahu. Tak ada makanan yang dibawa serta, hanya dua gelas kaca yang menjadi teman teko itu. Ibu Sh (30 tahun) menyatakan bahwa jika tidak memiliki lauk maka biasanya memasak nasi dengan menambahkan bumbu penyedap seperti “masako” sehingga nasi memiliki rasa gurih dan dapat ditambahkan air pada saat dimakan. Sayur tidak lagi menjadi menu yang dapat diperoleh dengan mudah bagi keluarga ini. Meskipun setiap hari adalah hari pasar, kecuali pada hari sabtu, tetapi keluarga ini mengaku tidak dapat pergi ke pasar sekedar untuk membeli sayur karena tidak ada uang. Dahulu ketika penggunaan bom ikan masih bisa dilakukan, ada pendapatan lebih sehingga mampu membeli sayur meski tidak setiap hari. Tepat pukul 12.30 WITA, makanan disiapkan di lantai dapur, satu ceting nasi, satu wadah ikan berkuah dan piring ditata mengelilingi nasi dan lauk.

Pak Th dan kedua anak lelakinya pulang. Pak Th (69 tahun) dan anak-anaknya: Wt (17 tahun), Sr (6 tahun), St (19 tahun), Sm (18 tahun) serta ibu Nh (28 tahun) dan kedua anaknya makan di lantai dapur. Sementara dua anak pak Th yang lain tidak terlihat.

Ibu Sh (30 tahun) tidak makan nasi bersama mereka karena merasa tidak enak badan dan tidak bisa makan dengan baik sehingga hanya mengonsumsi kopi. Anak yang tak ada di rumah tidak dicari untuk diajak makan.

Orang di Sulaho, termasuk anak-anak umumnya memiliki kebiasaan untuk tidak makan pagi. Ibu-ibu biasanya mulai memasak setelah matahari terbit, antara pukul 07.00-11.00 WITA untuk makan siang. Anak yang sudah bermain sendiri dengan teman-temannya tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan jatah makan. Anak biasanya bermain setelah bangun tidur dan orang tua tidak menghiraukan anak-anaknya yang sedang bermain. Anak biasanya pulang ke rumah dengan sendirinya dan ketika merasa lapar mereka akan meminta makan kepada orang tua. Sementara anak-anak balita mengikuti jadwal dan menu makan ibu. Sebut saja HI yang masih berusia 3 tahun, terbiasa memakan mi instan sesuai kegemaran ibunya sewaktu-waktu dan kadang kala tanpa diolah.

Terdapat minuman yang biasa dibuat dari air kelapa dan daging buah kelapa ditambahkan sirup, remahan roti dan es, menjadi minuman yang disebut simbole. Tidak setiap keluarga dapat mengonsumsi sayur setiap hari karena tidak setiap hari pergi ke pasar. Sayur yang biasa dikonsumsi warga diantaranya adalah kubis, terong, sawi, daun kelor, kacang panjang, bayam, labu, daun katuk, daun kacang, kangkung dan daun pakis. Umumnya sayur dimasak dengan kuah atau dibuat lawak, yaitu sayur yang direbus dicampur dengan parutan kelapa yang disangrai, cabai, bawang putih dan perasan jeruk nipis.

Anak-anak memiliki kebiasaan jajan bermacam kudapan (snack) di warung desa. Hal ini sebagai salah satu dampak matila yang dahulu menjadi budaya di Sulaho ketika bom ikan masih digunakan. Seorang anak bisa memegang uang jajan sebesar Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- dari hasil menjual ikan yang

diambil secara gratis dari nelayan. Salah satu makanan yang menjadi favorit anak-anak, termasuk anak balita adalah mi instan yang biasanya diremas, dicampur bumbu dan dimakan mentah. Cara lain adalah dengan kuah berupa mi siram (mi instan di siram begitu saja dengan air panas). Ada beberapa penjual mi siram di desa ini. Tidak hanya anak-anak yang biasa membeli mi siram, orang tua juga kerap terlihat memakan mi siram. Makanan pabrikan menjadi makanan camilan favorit anak-anak sehari-hari. Cacing laut biasanya dicari oleh orang dewasa maupun anak-anak di desa Sulaho ketika laut surut. Mereka membawa semacam parang atau benda tajam lain untuk menggali pasir pantai di lautan yang surut. Cacing laut dipercaya menjadi obat untuk penyakit tertentu, seperti obat sakit perut, obat sakit pinggang dan penyakit kuning yang dapat dikonsumsi secara mentah/dimasak dengan cara digoreng, ditumis atau dibakar sesuai selera dan menjadi lauk untuk dimakan bersama dengan nasi.

Gambar 2. 27. Memakan Cacing Laut Sumber: Dokumen Penelitian 2014

BAB 3