• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET KESEHATAN

3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak

3.1.1. Remaja usia 10 sampai 24 tahun

Menstruasi atau haid atau datang bulan adalah perubahan fisiologis dalam tubuh wanita yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi, periode ini penting dalam fungsi reproduksi, menstruasi terjadi setiap bulan antara usia remaja sampai berhentinya masa menstruasi (menopause).

Remaja perempuan Etnik bajo di Sulaho mengalami menstruasi pertama kali saat usia 9 tahun hingga 13 tahun saat mereka duduk di bangku SD/SMP. Seorang informan mengaku telah mengetahui tentang menstruasi dan cara menghadapi menstruasi pertamanya. Pengetahuan tersebut diketahui

informan dari ibu, bibi, saudara perempuan dan teman sebaya yang menstruasi terlebih dahulu. Berikut penuturan informan:

“ …Saya haid pertama kali waktu itu masih sekolah di SD kelas 6, waktu pertama kali dapat, saya tau memang bilang ini haid namanya, baru waktu saya tau saya pake soffes (pembalut) supaya tidak tembus karena kalau tembus maluki dia tau semua orang, untung saya tau dari mamaku sama tante biasa juga saya liat kaka dengan temanku yang lebih dulu haid. Waktu dikenaka itu hari baru pulang sekolah, langsung mandi selesai mandi eh ada keluar astaga, ternyata darah haid…tapi ada juga temanku si D anaknya mama S masih anak-anak baru kelas 4 SD tapi sudah mulai haid, ketahuan haid karena sementara pungut rumput disekolah diliat tembus tidak pake soffes (pembalut) jadi tembus dicelananya, saya bilang astaga haid ini anak, nda ganti celananya, haidko to? Dia jawab Bilang ia haidka…” (Is,14 tahun)

Remaja Etnik Bajo mengetahui bahwa peristiwa menstruasi yang dialami merupakan pertanda kedewasaan bagi anak perempuan, dan memberi tahu orang tua saat pertama kali mereka menstruasi. Biasanya orang tua khususnya ibu memberi nasehat agar anak perempuan berhati-hati, tidak terjebak dalam pergaulan bebas. Berikut ini penuturan informan Rn (14 tahun):

“…Waktu dapat haid biasa-biasa tidak ada dia bilang mamaku anuji Cuma dia bilang, jaga dirimu baik-baik karena kau sudah besar jangan terlalu sering bergaul dengan laki-laki…nanti hamil kalau sering bergaul dengan laki-laki…”(Rina, 14 tahun)

Masyarakat Etnik Bajo di Sulaho juga beranggapan bahwa remaja perempuan yang mengalami masa haid lebih dini yaitu saat mereka masih berstatus siswa sekolah dasar (SD) dianggap

dipicu oleh sikap genit yang dalam istilah masyarakat lokal di sebut dengan istilah maji’ja, karena mereka terlalu sering bergaul dengan laki-laki sehingga memicu terjadinya menstruasi lebih awal. Seperti lazimnya remaja perempuan yang mengalami menstruasi, mereka mengalami rasa nyeri pada perut dan sakit pada bagian pinggang tetapi mereka tidak mengonsumsi obat penghilang nyeri yang biasanya di jual secara bebas. Rasa nyeri tersebut dibiarkan saja sampai hilang dengan sendirinya. Mereka sudah paham penggunaan pembalut sejak pertama kali menstruasi.

Umumnya remaja laki-laki di Sulaho mengaku mengalami mimpi basah dan sudah mengerti tentang mimpi basah seperti informan Rd (17 tahun) yang mengaku mengalami mimpi basah pada umur 10 tahun. Informan mengaku mimpi melakukan hubungan seksual dengan teman sebaya berusia 10 tahun yang merupakan pacar Rd. Pengalaman pertama mimpi basah awalnya membuat bingung dan kaget karena dalam pemahaman Rd, mimpi basah pada anak laki-laki usia 10 tahun terlalu dini. Lebih jauh informan Rd mengaku saat hasrat seksual datang informan membayangkan pacar dan menelpon pacarnya yang berada di ibu kota kabupaten atau mengunjungi pacarnya tersebut untuk melakukan ciuman dan pelukan namun berusaha untuk mengontrol hasrat agar tidak melakukan hubungan seksual karena bertentangan dengan nila-nilai yang yakini oleh masyarakat, sedangkan hubungan sebatas ciuman dan pelukan masih dianggap boleh. Upaya yang dilakukan untuk menekan nafsu seksual adalah pergi melaut atau berkumpul dengan teman sebaya. Informan mengaku tidak biasa melakukan masturbasi untuk melampiaskan hasrat seksual.

“…Itu dulu tidak kurasa tiba-tiba bangun pagi ada yang basah di celanaku baruka sadar kalau inimi di bilang mimpi basah..umurku waktu itu 10 tahun terlalu cepat

saya mimpi basah padahal tidak biasaji nonton filim porno tapi adami pacarku umur 10 tahun juga itumi yang saya temani berhubungan dalam mimpiku…setelah mimpi basah pertama sampai sekarang kalau datang itu perasaan mauka seperti waktu mimpiku, saya melamun ingat pacar di lasusua (ibu kota kabupaten) biasa kalo mau sekalika saya telponmi pacarku itu atau saya ketemu langsung…kalau ciuman sama peluk-peluk baisaji tapi tidak sampai berzinah karena tidak boleh di larang…selain itu seringka ke laut atau main-main gitar dengan teman-temanku…”(Rd, 17 tahun)

Terkait dengan pengetahuan remaja mengenai permasalahan kesehatan reproduksi, remaja Etnik Bajo di Sulaho memiliki pengetahuan mengenai hubungan seks dan upaya pencegahan kehamilan dan aborsi. Mereka tidak memiliki pengetahuan mengenai risiko penyakit menular seksual (PMS) akibat hubungan seks bebas pra nikah.

Para remaja mengetahui cara agar tidak hamil ketika melakukan hubungan suami isteri, salah satunya dengan penggunaan kondom yang biasa mereka dapatkan dengan membeli di kota kabupaten atau mereka dapatkan dengan ilegal (mencuri) di fasilitas kesehatan yang ada di desa. Selain itu remaja juga biasa meminum obat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan dengan merek dagang yang dijual bebas di warung desa. Mereka meracik beberapa jenis obat flu dengan minuman berenergi atau bersoda yang dengan mudah dibeli di warung desa. Informasi mengenai obat pencegah kehamilan yang mudah diracik sendiri diketahui dari beberapa ibu rumah tangga yang mempraktekkan cara tersebut sebagai pengganti alat kontrasepsi.

“…Tapi setahuku jarang mi yang begitu duluji kecuali kalo ada pesta seperti pestanya mama wandi..baru tidak

bisa hamil karena minum anu itu minuman sprite di campur bodrex tak berapa biji baru dia minum perempuan supaya tidak tinggal kayaknknya anak-anak tau karena biasa diliat ibu-ibu minum supaya tidak hamil…ada juga itu kondom biasa dia curi di BAKESRA atau di beli di Lasusua (Kota kabupaten) kakaku juga pernah ambil itu”(Rn, 14 tahun)

Sunat atau khitan atau sirkumsisi telah dilakukan sejak dahulu kala, menjadi sebuah tradisi yang berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan di Sulaho. Sunat pada anak laki-laki-laki-laki dilakukan oleh petugas kesehatan (perawat, bidan dan dokter) di pelayanan kesehatan, Bakesra atau Puskesmas atau di rumah penduduk. Selain itu kondisi geografis Sulaho yang cukup sulit dijangkau maka sunat terkadang dilakukan secara massal. Sunat pada laki-laki adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan pada penis.

Pelaksanan sunat pada anak perempuan Etnik bajo di Sulaho merupakan tradisi yang telah lama dilakukan. Namun dari waktu ke waktu sudah mulai mengalami pergeseran. Jika dahulu sunat disertai ritual perayaan dimana disediakan aneka makanan berbahan beras ketan putih dan hitam serta 2 ekor ayam jantan dan betina berwarna hitam dan putih. Ayam tersebut akan menjadi media pelaksanaan ritual sunat oleh sanro sekaligus sebagai persembahan pada sanro. Anak yang akan disunat dimandikan terlebih dahulu oleh sanro, selanjutnya duduk di atas bantal yang berada di pangkuan ibu atau kerabat yang mendampingi. Praktek sunat dilakukan dengan melukai bagian klitoris sehingga keluar sedikit darah, tetapi tidak jarang hingga memisahkan sedikit dari bagian klitoris tersebut seperti pernyataan informan berikut:

“…Kalau mauki di sunat toh, syaratnya itu ayam tapi terserah berapa-berapa mau di kasih tapi biasanya 2

ekor ayam 1 jantan sama betina baru 1 warna hitam satu juga warna putih nanti itu kalau di sunat di potong di kasih berdarah baru di kasihmi sanro (dukun)… waktu disunat maka saya di kasih mandiki baru berwudhuki dulu sama sanro (dukun) baru tidak pake bajuki Cuma pake sarung di kasih duduk di atas bantal dia pangkuki mama…baru di potongmi itu’ta (kiltoris) sedikit sekaliji sampai berdarah sedikit baru di kasih ayam dia patok sudah itu di potongmi itu ayam yang di kasihki sanro (dukun) baru darahnya di kasih sedikit di anuta yang sudah di iris, baru itu potongan anu’ta yang sudah diiris di taruh di tempat yang berwarna putih…”(Is, 14 tahun)

Tidak ada ketentuan dalam masyarakat tentang usia paling tepat dilakukan sunat. Tradisi sunat perempuan pada masyarakat Etnik Bajo di Sulaho dapat dilakukan segera setelah lahir sampai sekitar usia 15 tahun, tetapi paling sering dilakukan adalah sekitar usia enam sampai tujuh tahun. Sunat anak perempuan dilakukan di rumah dukun, biasanya anak diantar oleh ibu mereka ke rumah dukun dan tak jarang datang sendiri atau berkelompok tanpa didampingi oleh ibu. Ada pula yang melakukan ritual sunat di rumah dan dukun yang berkunjung. Namun dalam perkembangannya, kini ritual sunat yang disertai perayaan hanya dilakukan jika keluarga tersebut memiliki kemampuan ekonomi untuk menyelenggarakan ritual perayaan tersebut.

“…Saya anakku yang laki-laki disunat di bidan kalo yang perempuan disunat di sanro (dukun) tidak pake adat biasa pergi sendiriji di rumah sanro nenek S tidak kuantar karena biasa cukupi 3 atau 4 orang baru pergi sama-sama ke rumahnya sanro nenek S…biasa kalau ada uang di kasih Rp. 50 000 di kasih juga ayam kalau ada tapi kalau tidak biasa juga gratisji…kalau umurnya

tergantungji biasa 7 tahun biasa 10 tahun”(Ne, 30 tahun)

Remaja Etnik Bajo cukup terbuka dan dinamis dalam pergaulan dengan lawan jenis.Tinggal di desa dengan akses ke kota kabupaten yang agak sulit dijangkau tidak menghalangi proses interaksi sesama remaja. Remaja laki-laki dan perempuan biasanya berkumpul di dermaga pada setiap sore hingga malam hari, ada yang berkelompok, ada yang berduaan dan sebagian remaja laki-laki ke laut mataripang (mencari teripang) dan ikan. Remaja perempuan berkumpul dengan teman sebaya dan menceritakan pacar termasuk saat berada di lingkungan sekolah. Malam minggu menjadi waktu favorit untuk berkumpul.

Beberapa remaja sudah mulai berpacaran sejak SD dan SMP. Mereka umumnya berpacaran dengan sesama remaja di desa, walaupun ada pula remaja yang berpacaran dengan remaja dari desa lain yang kebetulan berkunjung atau datang untuk bekerja. Informan Rn (15 tahun) mengaku sudah 2 kali berpacaran. Pertama berpacaran dengan teman remaja sekampung, sedang lainnya adalah remaja desa lain yang datang bekerja di desa sebagai buruh bangunan.

Perilaku pacaran mereka juga bervariasi dari sekedar mengobrol melalui telepon, mengobrol di sekolah, jalan-jalan bersama ke dermaga, melakukan ciuman, pelukan hingga hubungan seksual. Dermaga menjadi tempat favorit bagi remaja untuk berpacaran.

“…Saya umur 15 tahun saya pacaran duami pacarku satu orang sini satu orang dari lapai (desa lain)…jarangka saya ketemu tadi malamji di dermaga…kalau si ‘D’ baru kelas empat SD majija’mi (genit) banyakmi pacarnya…banyak disini anak muda sering kedermaga pacar-pacaran, biasa dia kasih liat-liatka baku skumed (ciuman), peluk-pelukan ada juga yang sudah biasa

melakukan hubungan suami istri karena di dermaga kalau malam gelap sekali biasaka intip-intip kalau lagi lending (pacaran) atau biasa juga dia sendiri cerita begitunya…”(Rn, 15 tahun)

Perilaku seks bebas menyebabkan beberapa remaja hamil di luar nikah, remaja yang hamil sebelum menikah biasanya oleh orang tua langsung dinikahkan namun ada juga yang memilih untuk menggugurkan agar keluarga terhindar dari rasa malu seperti yang dialami oleh seorang informan yang menggugurkan kandungan ketika kehamilan menginjak usia 6 bulan tepat satu minggu sebelum informan Jm (25 tahun) tersebut melangsungkan pernikahan.

“…Waktu hamilka seringka di pukul karena malu, waktu itu satu minggu mau kawin hamil, sudah hamil enam bulan, empat hari mau duduk pengantin keluar ada itu ‘aji’(haji) kasih obat baru sudah itu sakit-sakit perutku dia bilang bapak sakit perut biasaji waktu sakit sekali perutku menangiska datang nenek sami ‘aji’ (haji) dia bilang mau melahirkan ini baru dia kasih air untuk diminum keluarmi, pas empat hari sudahnya duduk pengantingmi bengkak teteku (payudara)”

Pada momen perayaan pernikahan dilangsungkan dengan menggelar pesta besar dilengkapi hiburan electone (organ tunggal). Remaja laki-laki biasanya mencari tempat untuk meminum minuman keras yang kerap memicu perselisihan antar remaja, ataupun hubungan bebas dengan lawan jenis. Masa remaja merupakan sebuah masa yang rentan untuk melakukan penyimpangan, namun tidak ada sanksi bagi pelaku pelanggaran nilai dan norma, termasuk sanksi bagi remaja yang hamil di luar nikah. Tidak adanya pengawasan orang tua menyebabkan munculnya kejadian hamil di luar nikah. Selain itu, fasilitas untuk

mengakses film porno telah dimiliki oleh remaja melalui

handphone.

“…Banyak juga yang biasa mabok disini, anak laki-laki itu S, Hn, banyak lagi, biasa mabok di dermaga, di lapangan atau biasa juga di pesta orang kawin. itu waktu kawain anak mama w yang dia minum bir, brendi, atau ballo dengan tuak (minuman keras tradisonal) tapi tidak saya tau dimana dia ambil…kalau paca-pacaran dulu itu cuma kis kis (ciuman) tapi semenjak adami handpon biasami anak-anak nonton film porno temanku anak perempuan juga biasa seperti F, RS kalau cowok banyak hampir semuami biasa, dia nonton pake Hp yang besar layar sentuh, itu punyanya Aw bagus ki karena besar diliat gambarnya dilapangan biasa berkumpul nonton” (Rn, 15 tahun)

Terkait pola makan, informan In (14 tahun) menuturkan biasanya mengonsumsi nasi dengan lauk ikan. Ikan asin menjadi ikan favorit informan. Waktu makan 3 kali sehari yakni pada waktu siang hari, sore, dan malam hari. Pagi hari informan tidak mengonsumsi nasi karena sering tidak ada persediaan lauk (ikan) di rumah sehingga menjadi kebiasaan tidak makan pagi, kecuali anak balita yang masih mengonsumsi bubur.

Sayuran biasanya hanya tersedia satu kali seminggu, Sayuran yang biasa dimasak yaitu kol (kubis), terong dan kacang panjang. Terkadang saat tidak ada sama sekali persediaan ikan, mereka hanya mengonsumsi nasi satu kali atau mengganti nasi dengan bubur yang dimasak dengan gula pasir. Tak jarang keluarga informan kehabisan persediaan ikan. Selain nasi, kebiasaan informan dan keluarganya mengonsumsi mi instan. Mi instan sekaligus menjadi cemilan favoritnya. Jika berkunjung ke rumah saudara atau teman dekat maka biasanya ia dengan mudah dapat ikut makan. Informan terkadang mengonsumsi

buah apel, mangga, rambutan dan buah rambe (buah khas masyarakat sejenis langsat).

“Biasa makan 3 kali atau biasa satu kaliji, waktunya biasa siang, magrib dengan malam yang dimakan nasi dengan ikan…jarangki makan pagi dirumah cuma Sb (ade informan) yang makan bubur kalau pagi, karena tidak ada ikan kalau pagi kalau tidak ada ikan lagi biasa bubur dimakan…sering juga makan intermie disiram kalausaya saya suka makan mentahki kayak garoppo (kerupuk) Cuma bapak yang tidak suka, kalau ada uang biasa beli sayur di pasar kayak kol (kubis) terong, kacang panjang satu kaliji biasa satu minggu…kalau buah-buahan biasaji makan kayak apel, mangga, rambutan, rambe (buah khas masyarakat lokal sejenis langsat) tapi jarang karena mahal ndk bisa beli biasa dikasihji)” (In, 14 tahun).

Mi instan tidak hanya menjadi makanan pokok remaja

namun juga menjadi makanan cemilan favorit bagi remaja di desa ini. Camilan ini biasanya dinikmati sendiri atau bersama dengan teman lainnya, baik di sekolah atau tempat dimana remaja biasanya berkumpul. Kebiasan makan camilan mi instan tanpa diseduh dilakukan hampir setiap hari oleh remaja.

“Kalau disini biasa orang sebut intermie, biasa dimakan kalau kumpul-kumpl disekolah khan seribu satu bungkus biasa di beli tak sepulu ribu di makanmi rame-rame enak sekali di pakekan itu bumbunya..apa lagi saya kuatka juga makan intermie, biasa dalam satu minggu tak dua hariji tidak makan intermie tapi biasa juga tiap hari dalam satu minggu, biasa pergiki jalan-jalan atau pergi sholat ada teman makan intermie gabungki lagi makan intermie”.