• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jejak Manusia Etnik Bajo di Sulaho: Dahulu Hingga Kini Sekitar 1870-an kampung Sulaho merupakan hutan primer

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Desa

2.1.2. Jejak Manusia Etnik Bajo di Sulaho: Dahulu Hingga Kini Sekitar 1870-an kampung Sulaho merupakan hutan primer

yang tidak berpenghuni, hanya sebagai tempat berlindung dan beristirahat untuk nelayan saat ombak besar, tempat singgah mengambil kayu bakar, air tawar dan berbagai kebutuhan lain yang digunakan di laut. Selanjutnya datang orang Tolaki Mekongga yang disebut membangun rumah dan

mengembangkan usaha bercocok tanam (N. Suyuti, 2011). Kata Sulaho merupakan bahasa Tolaki Mekongga yang artinya ada suatu benda yang paling disukai ternyata menghilang. Kata “Sula” dalam bahasa Tolaki Mekongga berarti pergi meninggalkan. Seorang Tolaki Mekongga pergi menyuluh di laut dan ia kembali menemukan benda yang hilang itu. Orang tersebut berkata

“Hok…Ohok” yang memiliki arti benar. Kata yang diucapkan

terdengar juga oleh orang Bajo di atas perahu yang berada tak jauh di sampingnya. Orang Tolaki tersebut mendengar orang Bajo berkata “Ohok”, artinya membenarkan. Itulah artinya “Sula” tambah “Ho (Ohok)”, menjadi Sulaho.

Pada umumnya desa di sekitar Sulaho memiliki nama desa yang cenderung merepresentasikan bahasa Tolaki seperti Batulaki, Rante Angin, Watunahu dan Onohu sebagai petanda bahwa Orang Tolaki Mekongga pernah berdiam di wilayah-wilayah tersebut. Etnik Tolaki pada akhirnya lebih memilih meninggalkan perkampungan Desa Sulaho. Tidak ada yang mengetahui kapan tepatnya desa yang semula disebut Alo-alo oleh orang Bajo berubah menjadi Sulaho. Menurut beberapa informan, penyebutan Sulaho relatif lebih mudah daripada Alo-alo, sehingga dalam perkembangannya Sulaho menjadi sebutan yang umum dan lazim dan sebutan Alo-alo menghilang bersamaan dengan ketenaran Sulaho.

Kata Sulaho disebut-sebut juga merupakan bahasa Bugis yang memiliki arti sama dengan alo-alo, sehingga hanya persoalan istilah saja tetapi memiliki makna yang sama. Hal ini dikarenakan masuk pula orang Bugis pada masa selanjutnya setelah orang Tolaki Mekongga meninggalkan perkampungan Sulaho. Pada tahun 1923, terdapat gelombang kedua hadirnya manusia di wilayah tersebut. Jumlah rumah yang ada saat itu sekitar 10 unit, dibangun di atas permukaan laut dengan kondisi rumah sangat sederhana dengan fungsi rumah sebagai tempat

berlindung dan setiap saat dapat ditinggalkan (N. Suyuti, 2011). Pada masa selanjutnya orang Bajo yang berdatangan semakin bertambah dan terbentuk sebuah perkampungan karena orang Bajo memilih hidup dengan cara menetap. Dalam perkembangannya Sulaho menjadi tempat persembunyian gerombolan pemberontak Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI TII) pimpinan Kahar Muzakar. Perkampungan Sulaho dianggap sebagai daerah rawan persembunyian pasukan DI TII, sehingga dilakukan pemberantasan oleh Pemerintah yang disebut dengan “operasi tumpas”.

Perkampungan dibakar dan rumah-rumah penduduk habis dibakar untuk menghindarkan kemungkinan dijadikan sebagai tempat persembunyian kembali atau dapat disinggahi sekedar untuk makan oleh pasukan DI TII. Saat informan Rh ( 56 tahun) masih kanak-kanak, salah satu yang membekas jelas dalam ingatannya adalah rumah-rumah yang dibakar. Inilah yang kemudian memaksa semua warga akhirnya menyingkir pada tahun 1960-an. Warga terpencar ke Kolaka, Rante Angin, Lasusua, Lawata dan Pakue. Setelah kondisi wilayah yang ditinggalkan cukup aman dan pemerintahan dinilai stabil, maka pada tahun 1978 mereka mulai berdatangan kembali ke perkampungan Sulaho. Ada pula rombongan orang dari Sulawesi Selatan mulai dari Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Wajo dan Luwu untuk aktivitas penggergajian kayu yang dikelola oleh PT Hasil Bumi Indonesia (PT HBI). Wilayah ini akhirnya menjelma menjadi perkampungan tua ketika Departemen Sosial datang pada tahun 1995 untuk melakukan pembinaan terhadap Etnik masyarakat terasing.

Secara historis, awal mula terbentuknya Desa Sulaho dimulai dengan masuknya program Peningkatan Kesejahteraan Etnik Masyarakat Terasing (PKSMT) yang dilakukan oleh Departemen Sosial (Depsos) dalam kurun waktu 5 tahun, yaitu

sejak tahun 1995 sampai 2000. Perkampungan di wilayah ini belum tertata dengan baik dari berbagai aspek saat itu, begitu pula dengan kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat. Sebagian rumah telah berada di darat dan sebagian lainnya masih berada di atas laut. Rumah yang ditempati umumnya merupakan rumah panggung dengan dominasi bahan rumah berupa kayu dan daun nipa. Jenis rumah merupakan rumah kayu yang tiangnya diikat dengan rotan, sedangkan jendela dan atap terbuat dari daun nipa yang dijahit, pintu terbuat dari kayu, sementara lantai terbuat dari kayu atau bambu. Warga memanfaatkan apa yang dapat diperoleh dengan mudah dari lingkungan sekitar tempat tinggal untuk membangun rumah, sementara kebiasaan hidup seperti cara berpakaian dideskripsikan masyarakat layaknya kehidupan Etnik terasing yang tertutup dari masyarakat luar.

Gambar 2.3. Rumah PKSMT

Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Saat itu, Sulaho merupakan sebuah dusun yang menjadi bagian sebuah desa bernama Pitulua. Setelah proses pembinaan

selama sekitar 2 tahun diadakan pemekaran menjadi desa. Pada tanggal 25 November tahun 1997, secara definitif Sulaho resmi dimekarkan sebagai desa. Pemekaran desa dipandang perlu waktu itu, bukan saja Sulaho, tetapi beberapa dusun bersamaan dimekarkan menjadi desa. Pada tahun 2000, Depsos membangun rumah sebanyak 85 unit yang diperuntukkan bagi 85 kepala keluarga. Pembangunan rumah disertai dengan pembangunan kakus cemplung pada beberapa titik strategis dalam kampung.

Berdasarkan hasil pembinaan Depsos, maka terbentuklah satu wadah pemukiman Desa Sulaho yang apik. Tidak terdapat rumput liar atau sampah, benih tanaman berupa bunga dan sayur diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah. Segala program yang dianjurkan pemerintah berjalan, seperti pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) dan penanaman tanaman obat keluarga (toga) di setiap rumah tangga. Saat itu, terdapat jaminan hidup selama lima tahun (1995-2000) berupa kebutuhan sandang seperti sarung, baju dan pangan seperti beras, gula, mi instan, kopi, minyak dan ikan kering.

Awalnya, aspek kebersihan tidak menjadi perhatian penting masyarakat. Masuknya pembinaan Depsos menjadi salah satu wujud peningkatan kepedulian masyarakat untuk membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal secara gotong royong. Biasanya dilakukan kegiatan bersih desa, setiap hari jumat (jumat bersih) sesuai dengan kebiasaan masyarakat yang umumnya tidak melaut pada hari jumat.

Pada saat itu, warga memperoleh rumah dan lahan seluas ½ hektar, masing-masing bersertifikat. Lahan ditujukan untuk kegiatan perkebunan dan berlokasi di pegunungan Sulaho. Lahan ditanami jambu mete dan cengkeh, namun umumnya masyarakat menyatakan tidak memperoleh hasil. Pemanfaatan lahan tersebut saat ini tidak terkelola dengan baik dikarenakan kondisi jalan rusak, selain itu menurut masyarakat jalanan ke

lokasi sampai sekarang juga menjadi perdebatan dengan pemerintah setempat yang menganggap bahwa wilayah tersebut merupakan kawasan hutan lindung.

Pasca pembinaan Depsos, kampung Sulaho telah bermetamorfosis menjadi sebuah desa. Etnik Bajo di Sulaho tidak lagi disebut sebagai komunitas masyarakat terasing (KMT) tetapi disebut dengan komunitas adat terpencil (KAT). Andil Depsos kala itu menjadi cikal bakal terbentuknya Desa Sulaho pada masa kini. Terjadi beberapa pembangunan infrastruktur desa dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir. Salah satu perwujudan pengembangan aspek kesehatan adalah pembangunan Balai Kesejahteraan Rakyat (Bakesra) yang berada di komplek Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) Satu Atap Sulaho pada tahun 2008. Sejak itu mulai ada tenaga kesehatan yang menjadi penanggung jawab dalam memberikan pelayanan kehamilan, persalinan dan pelayanan kesehatan dasar (pengobatan) untuk masyarakat Desa Sulaho, meskipun petugas kesehatan tidak tinggal menetap di desa.

Berkaitan dengan perbaikan infrastruktur desa, maka dibangun saluran air antara jalan desa dan rumah warga pada sisi utara Desa Sulaho pada tahun 2007. Saluran mengalirkan air saat musim hujan sehingga perkampungan tidak lagi digenangi air. Fasilitas umum berupa kakus yang berada di dusun 1, tepat di sebelah masjid dan satu lainnya di tengah pemukiman padat penduduk di dusun 3 pada tahun 2013. Pembangunan kedua kakus tersebut merupakan wujud Charity Social Responsibility

(CSR) perusahaan tambang di Potoa, wilayah Desa Sulaho. Satu

bangunan kakus lain telah ada sebelumnya di dusun 2 dan sudah tidak digunakan sama sekali.

Gambar 2. 4.

Kakus Umum dengan sumber dana CSR Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Program pemerintah Kabupaten Kolaka Utara yang dikemas dalam peningkatan peranan wanita menuju keluarga sehat sejahtera (P2-WKSS) mewajibkan setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mengucurkan dana untuk melakukan “bedah rumah” di Desa Sulaho pada tahun 2010. Masing-masing SKPD bertanggung jawab untuk memberikan bantuan pada satu rumah tangga. Kegiatan “bedah rumah” ditujukan untuk memperbaiki rumah berdasarkan tingkat kerusakan. Rumah yang dianggap masih memiliki kondisi bagus, cukup dibantu dengan membelikan bahan bangunan tertentu seperti atap, cat, semen dan sejenisnya. Ada dua rumah yang diperbaiki total, sehingga seringkali menjadi buah bibir warga bahwa rumah tersebut termasuk kategori rumah bagus yang saat ini ada di Sulaho.

Di desa ini terdapat dua jalan utama berukuran sekitar 2,5-3 meter pada sisi selatan dan utara desa membelah dari ujung timur sampai ke ujung barat perkampungan. Saat ini, kondisi jalan terlihat tidak terawat, banyak rumput liar tumbuh dan menutup akses jalanan. Jalan utama desa sisi selatan terlihat hijau karena banyak ditumbuhi rumput “jepang”, seperti halnya rumah warga pada area tersebut banyak ditumbuhi rumput sejenis. Rumput tersebut semula hanya ditanam di depan/dekat

rumah, tapi kemudian berkembang dan menjalar sampai ke jalan utama desa. Tepat di tengah, antara jalan yang tertutup oleh rumput-rumput jepang itu ada jalan tanah yang terbentuk secara alami dan biasanya menjadi jalur melintas sepeda dan sepeda motor.

Jalan utama desa sisi utara pada area tertentu tidak bisa dilewati meskipun dengan berjalan kaki karena banyak rumput liar yang tumbuh tinggi dan menutupi jalanan sehingga biasanya warga memutar melalui jalan utama atau gang-gang di antara rumah warga untuk sampai ke tujuan. Hampir separuh lapangan desa terutama pada bagian barat dan utara ditumbuhi ilalang tinggi karena sudah sejak lama tidak dilakukan pembersihan. Kegiatan warga berupa kerja bakti setiap hari Jumat yang disebut dengan “Jumat bersih” antara lain memotong rumput, sudah tidak lagi dilakukan sejak setahun terakhir.

Pagar-pagar yang mengelilingi rumah warga rintisan pembinaan Depsos, sudah lama tidak diperbaiki lagi. Pagar ini dibuat agar babi liar yang turun ke wilayah pemukiman pada malam hari tidak masuk ke halaman rumah warga. Beberapa rumah yang masih memiliki pagar dan ada tanaman obat maupun tanaman keras adalah rumah pendatang. Banyak rumah yang sudah tidak memiliki pagar ataupun jika masih tersisa hanya beberapa bilah kayu yang menunjukkan bahwa pernah ada pagar pada rumah tersebut.

Lingkungan sekitar rumah warga tampak kotor, sampah berupa plastik bekas bungkus makanan, kotoran kambing, kayu dan dedaunan terhambur di halaman rumah dan jalanan desa. Tidak ada lubang tanah ataupun tempat-tempat khusus yang berfungsi sebagai tempat pembuangan atau penampungan sampah. Kotoran kambing bahkan menjadi pemandangan yang biasa ada di teras rumah warga, bahkan seringkali kambing dengan mudah masuk ke dalam rumah meninggalkan kotoran

atau menghabiskan makanan yang ada di dapur seperti beras dan nasi. Kaki-kaki penduduk yang menelusuri setiap jengkal tanah desa ini sudah kebal dengan kotoran semacam itu, karena umumnya mobilitas warga dilakukan dengan bertelanjang kaki. Sampah juga banyak terlihat di sekitar bibir pantai, kadang kala juga mudah ditemukan kotoran manusia di antaranya.

Setiap kehidupan komunitas/masyarakat manapun tidak dipungkiri diwarnai dengan permasalahan-permasalahan yang melekat sebagai imbas dari kebiasaan dan pola kehidupan yang berjalan. Begitu pula dengan masyarakat Desa Sulaho, salah satu permasalahan yang kini tengah benar-benar dirasakan oleh masyarakat di desa ini adalah kehilangan pekerjaan sehari-hari dikarenakan larangan menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan pasca tertangkapnya seorang warga. Mereka umumnya menangkap ikan dengan bom ikan (pangada) secara sembunyi-sembunyi. Nelayan yang sebagian besar memanfaatkan pangada kembali bekerja secara konvensional dengan memancing atau menjaring ikan. Hal ini selalu dikeluhkan oleh masyarakat dikarenakan hasil tangkapan yang diperoleh sehari-hari menjadi sangat berkurang dan seringkali merugi. Banyak wanita yang sebelumnya bekerja sebagai penjual ikan (palele) tidak lagi dapat bekerja.

Selain itu sebagian warga yang bekerja di pertambangan Potoa (bagian wilayah desa Sulaho), sudah tidak bekerja sejak tambang dihentikan setengah tahun terakhir. Salah satu upaya mengatasi krisis ekonomi yang dirasakan, masyarakat melakukan demonstrasi kepada Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara dengan menuntut Charity Social Responsibility (CSR) untuk kepentingan pembangunan jalan, listrik dan alat penangkap ikan.

Permasalahan lain dalam kehidupan masyarakat Desa Sulaho diantaranya adalah anak-anak usia sekolah yang berkeliaran saat jam belajar menjadi pemandangan yang lumrah,

baik yang bersekolah tapi sedang di luar jam pengajaran atau memang tidak bersekolah. Orang tua biasanya tidak mempermasalahkan ketika anak mereka tidak bersekolah, jika anak perempuan membantu pekerjaan rumah tangga sedangkan anak lelaki pergi melaut.

Pergaulan bebas diantara remaja juga sering terjadi sehingga ditemui beberapa kasus hamil di luar nikah sejak beberapa tahun terakhir, namun tidak ada sanksi sosial terhadap perbuatan mereka. Anak-anak memiliki keleluasaan bermain sepanjang waktu tanpa adanya pengawasan orang tua. Rumah sepi ketika ditinggal melaut oleh keluarga, dermaga dan lapangan menjadi lokasi yang digunakan anak-anak remaja untuk saling bertemu.

2.2. Geografi dan Kependudukan