• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.8. Mata Pencaharian

Etnik Bajo umumnya menetap di daerah pesisir laut karena mata pencaharian mereka sebagai nelayan. Ada larangan penggunaan bom ikan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten setempat. Etnik Bajo mengakui memanfaatkan bom ikan untuk mencari ikan. Nelayan mengatur strategi untuk memperoleh ikan banyak dengan mengebom tanpa diketahui oleh pihak berwajib. Per tanggal 1 April 2014, seorang warga ditangkap oleh pihak kepolisian karena kasus penggunaan bom

ikan. Kasus masih bergulir ketika tim peneliti meninggalkan lokasi penelitian.

Sebelum kejadian tersebut pemerintah Kabupaten Kolaka Utara telah memberikan peringatan terkait larangan untuk menggunakan bom dalam menangkap ikan karena dampaknya terhadap kerusakan karang laut. Kini, penangkapan ikan sebagai mata pencaharian utama cenderung menjadi stagnan. Kegiatan penangkapan ikan secara manual, seperti menjaring atau memancing dirasakan tidak dapat memberikan hasil yang baik. Kini lebih banyak warga yang mencari teripang.

Kegiatan melaut biasanya dilakukan sendiri maupun bersama-sama/berkelompok. Hasil tangkapan ikan sangat variatif seperti ikan kacalang (oppo), ekor kuning, putih, sunu dan berbagai jenis ikan tangkapan lainnya. Selain ikan, masyarakat juga mencari teripang. Mereka dikenal sebagai penyelam ulung, tahan berjam-jam di kedalaman air 10-20 meter untuk berburu ikan dengan tombaknya yang berkait. Mereka juga mencari kerang mutiara, rumput laut, teripang atau sirip ikan hiu yang harganya cukup bagus (Z. Hidayah, 1997). Teripang biasanya diperoleh di karang-karang tak jauh dari pantai Desa Sulaho sampai di wilayah perairan Kolaka.

Jenis teripang yang diperoleh beraneka ragam. Pertama, teripang game’. Teripang jenis ini berbentuk panjang, berwarna gelap, kulit keras dan memiliki tekstur tubuh yang berduri dan teripang jenis ini relatif mahal yaitu sekitar 100.000,-/kg. Kedua, teripang jenis polos, merupakan teripang dengan warna terang dan kulit luar cenderung lembek. Jenis teripang ini biasanya didapat sekitar 3 bulan sebelum datangnya angin barat yang berlangsung selama 6 bulan dan akan dapat diperoleh lagi setelah angin barat tersebut berakhir, yaitu sekitar bulan April sampai dengan Juni. Teripang jenis ini merupakan teripang yang murah dengan harga di bawah Rp. 100.000,-/kg. Ketiga adalah

teripang koro. Teripang jenis ini memiliki bentuk oval dan tekstur tubuh memiliki benjolan teratur. Teripang jenis ini merupakan teripang paling mahal, yaitu mencapai Rp. 400.000,- per kg atau Rp. 100.000,- per buah.

Pencari teripang yang beruntung dapat memperoleh sekitar 50 ekor dalam 1 malam, sementara jika sedang tidak beruntung maka hanya diperoleh sekitar 10 ekor saja. Terdapat dua pengepul teripang kering di desa ini yang selanjutnya dijual langsung ke Kolaka, Kendari atau Makassar. Kegiatan mencari ikan tidak lagi dapat dengan mudah dilakukan di daerah pantai Sulaho dikarenakan terdapat pencemaran lingkungan oleh beberapa perusahaan Tambang yang ada di Sulaho , tepatnya di balik pegunungan Sulaho yang berhadapan dengan dusun 4 atau Lanipa-nipa. Kini perusahaan tambang telah berhenti beroperasi sejak 5 bulan yang lalu (bulan Februari).

Kini sebagian besar warga Desa Sulaho dalam kesehariannya bekerja mencari teripang. Kegiatan melaut pada umumnya dilakukan oleh laki-laki dewasa, beberapa diantaranya mengajak pula anak usia sekolah sekitar umur 10 tahun lebih. Sementara sebagian besar ibu menjadi penjual ikan (mapalele). Mereka membeli ikan dari nelayan setempat dan kemudian menjualnya kepada langganan di Lasusua atau Lambai atau dijajakan secara langsung kepada konsumen.

Menurut cerita dahulu, anak-anak memiliki kebiasaan mengambil beberapa ekor ikan dari setiap perahu yang datang membawa ikan dan menjualnya kepada pembeli, yang disebut dengan kegiatan matila. Kegiatan matila ini merupakan sebuah kegiatan yang dipercaya sebagai bentuk pengeluaran zakat oleh pemilik ikan.

Sebut saja keluarga ibu Rs (43 tahun) dan Pak Dm (46 tahun), keluarga dengan jumlah anak yang relatif banyak yaitu 11 anak. Dua diantara anaknya telah berumah tangga dan satu anak

lelakinya tinggal bersama saudaranya di Kalimantan. Jika satu anak laki-laki dan anak kembar perempuannya tidak meninggal ketika masih usia SD, maka ia memiliki 14 anak. Pak Dm dan Ibu RS memiliki lahan seluas 1 Ha yang ditanami jambu mete, akan tetapi mereka pernah panen dikarenakan sulit untuk mencapai lokasi kebun yang berada di daerah pegunungan. Pak Dm mengaku mencari “rejeki” dengan cara memancing menggunakan kail. Pak Dm dan keluarganya takut menggunakan bom ikan (pangada) seperti yang digunakan oleh sebagian orang di Sulaho.

Ibu Rs mengalami trauma dengan kejadian tragis yang menimpa adiknya yaitu meninggal karena terkena bom ikan. Ia hanyut dalam cerita sedih, matanya berkaca-kaca dan meneteskan air mata ketika menceritakan kehidupannya dahulu saat harus tinggal dalam sebuah rumah reot, bocor bila hujan, dan bangunan rumah sudah hampir roboh. Saat itu anak-anaknya masih kecil dengan jarak kelahiran dekat, sementara penghasilan setiap hari tak seberapa, bahkan kadang-kadang tidak memperoleh hasil tangkapan.

Keluarga ini memiliki satu perahu jolor yang biasa digunakan untuk mencari nafkah dengan mencari ikan. Perahu bekas tersebut dibeli seharga Rp. 7.500.000,- dari orang Sulaho, karena harga perahu baru cukup mahal yaitu sekitar Rp. 20.000.000,- lebih, sehingga merasa tidak mampu untuk membelinya. Pak Dm biasa dibantu oleh salah satu anaknya untuk melaut. Tiga anak yang lain Ha (28 tahun), Hi (27 tahun), Rd (26 tahun) biasanya bekerja bersama dengan orang lain, kecuali anaknya Aj (29 tahun) yang badannya lemah dan tidak bisa bekerja berat sejak pulang dari bekerja di perkebunan kelapa sawit Malaysia.

Sementara Ja (8 tahun), salah satu anaknya terbiasa ikut ke laut jika hari libur sekolah, Ro (12 tahun), tidak pernah ikut ke

laut karena sering mabuk laut dan Sa (7 tahun), satu-satunya anak perempuan biasanya tinggal di rumah. Ro (12 tahun) merupakan pengecualian dibanding anak seusianya di Sulaho yang telah ikut pergi orang tua atau saudaranya melaut. Mereka harus menahan terik matahari, menantang kerasnya ombak, merasakan berada di tengah lautan lepas dan akhirnya menjadi sebuah daya tarik dan menggantungkan seragam dan tas sekolah begitu saja.

Ibu Rs mengaku pendapatan yang diperoleh setiap hari tidak seberapa. Ketiga anaknya Ha (28 tahun), Hi (27 tahun) dan Rd (26 tahun) yang tidak tamat SD sering membantu ekonomi keluarga. Sejak meninggalkan bangku sekolah, sejak itu pulalah mereka berperan menopang ekonomi keluarga. Mereka “lebih suka” mencari uang daripada duduk mengikuti pelajaran sekolah. Belajar dan bermain di sekolah rupanya bukan lagi menjadi kegiatan yang menarik untuk mereka.

Saat ini ikan yang diperoleh Pak Dm dan Ibu Rs hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari saja karena tidak banyak yang diperoleh, kalaupun memperoleh tangkapan beberapa ekor lebih banyak, ikan tersebut dijual untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Biasanya dapat menjual ikan hasil memancing sebesar Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- sebanyak dua kali dalam seminggu, selain menjual teripang setiap minggunya sekitar Rp. 200.000,-. Penghasilan Ha dan Hi sekitar Rp. 200.000 per bulan, sementara Rd sekitar 120.000 per bulan karena tidak setiap hari mereka turun melaut. Jika musim “ikan” tiba sekitar bulan September sampai dengan Februari, maka pendapatan yang diperoleh biasanya lebih banyak yaitu berkisar antara Rp.300.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- yang diperoleh dua kali seminggu tergantung jenis dan kualitas ikan.

Kebutuhan bahan makanan cukup besar yaitu biasanya sekitar Rp. 700.000,- per bulan karena anak Pak Dm dan Ibu Rs

yang cukup banyak. Makanan yang dimaksud diantaranya adalah beras, sayur, gula, kopi, teh dsb. Sementara untuk keperluan membeli obat di warung sebesar Rp. 50.000,-. Jika terdapat sebuah hajatan di kampung dan harus memberikan sumbangan, maka dibutuhkan uang sebesar Rp. 50.000,- akan tetapi jika keluarga atau kerabat dekat maka sumbangan yang diberikan biasanya lebih besar yaitu berupa sekarung beras. Pengeluaran jenis ini memang diakuinya sebagai kebutuhan insidental.

Kebutuhan sabun cuci dan kebutuhan sejenis sebesar Rp. 300.000,- setiap bulannya. Sisa penghasilan digunakan untuk kebutuhan seperti rokok dan kebutuhan yang bersifat mendadak. Uang untuk ditabung sangat sedikit, biasa tersisa uang sekitar Rp. 20.000,- selama, disimpan dalam lemari. Pendapatan dan pengeluaran keluarga pak Dm saat hari biasa/tidak musim ikan, sebagai berikut:

Tabel 2. 4 Pendapatan Keluarga Pak Dm

Keterangan Jumlah

Pendapatan Rp. 1.720.000,-

Bahan bakar minyak Rp. 320.000,-

Pengeluaran: Rp. 1.070.000,- Makanan Rp. 700.000,- Sekolah/ Jajan Rp. 180.000,- Sabun Rp. 300.000,- Obat-obatan Rp. 50.000,- Dana sosial Rp. 50.000,- Tabungan Rp. 20.000,- Sisa pendapatan Rp. 150.000,-

Sumber: Data Primer

Berbeda dengan Pak Dm, yang bekerja bersama anggota keluarga,nelayan di Sulaho yang menggunakan bom ikan bekerja sama dengan nelayan lain (anggota) untuk menangkap ikan. Biasanya seorang “bos” yang perahunya digunakan menanggung

semua bahan makanan dan perlengkapan lain yang harus dibawa saat melaut.

Bahan makanan terdiri atas beras, garam, gula, susu, asam, rokok dan bahan lain yang diperlukan sesuai kebutuhan, sementara bahan atau perlengkapan penangkapan ikan (pengeboman) adalah pupuk kelapa sawit, minyak tanah, sumbu (dopis) dan botol/jerigen. Satu kelompok terdiri atas 3-4 orang. Dalam waktu dua hari, biasanya satu kelompok pengebom ikan dapat memperoleh ikan sebanyak empat gabus, yang dihargai sebesar Rp. 800.000,- s.d Rp. 1.000.000,-, tergantung jenis ikan yang diperoleh. Jika ikan putih mendominasi isi gabus, maka satu gabus bisa dibeli oleh palele sebesar Rp. 1.000.000,-. Sebagai gambaran, pendapatan yang diperoleh salah satu kelompok nelayan yang menggunakan bom ikan sekali melaut sebagai berikut:

Gambar 2. 23.

Pendapatan Nelayan Menggunakan Bom Ikan Sumber: Data Penelitian Tahun 2014