• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sepenggal Kisah Kelahiran Anak Etnik Bajo Sulaho Kelahiran salah seorang warga desa Sulaho (ibu M)

POTRET KESEHATAN

3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak

3.1.4. Persalinan dan Nifas

3.1.4.2. Proses persalinan

3.1.4.2.1. Sepenggal Kisah Kelahiran Anak Etnik Bajo Sulaho Kelahiran salah seorang warga desa Sulaho (ibu M)

berhasil diikuti oleh tim peneliti. Merunut cerita dari ibu My (27 tahun), ia mulai merasakan sakit pada bagian perut beberapa hari sebelum proses persalinan berlangsung, tetapi pada pagi hari ia masih sempat beraktifitas dengan bekerja memasak teripang di rumah salah satu tetangganya. Merasa sakit, ibu My kembali ke rumahnya dan meminta suaminya untuk memanggil dukun bersalin.

Dukun Sn tiba bersama ibu Nu yang juga biasa membantu proses persalinan, selain itu hadir pula seorang tetangga ibu My. Ibu My saat itu sudah mulai merasa mulas pada bagian perut, tetapi merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang tersebut. Ibu My memutuskan pergi ke rumah orang tuanya yang bersebelahan dengan rumahnya, ketika itu rumah orang tua ibu My sedang kosong karena orang tua ibu My sedang berkunjung ke desa lain. Sekitar jam 12.00 WITA, ibu My masuk kamar, tidur di rosbang (ranjang) dengan niat melahirkan sendiri dan setelah bayi lahir akan memanggil dukun untuk merawat bayi dan dirinya.

Di luar dugaan, ibu My merasakan air ketuban sudah mulai keluar namun belum ada tanda bayi akan segera lahir. Setelah menunggu beberapa saat, ibu My menjadi panik dan berteriak memanggil dukun karena merasa takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Berbeda dengan proses kelahiran anak pertama dan kedua yang dirasakan mudah dan berjalan lancar, “begitu keluar air ketuban bayinya pun ikut keluar”, paparnya. Mendengar suara teriakan ibu My dukun menghampiri ibu My di rumah orang tuanya bersama suami ibu My dan ibu Nu serta seorang tetangga. Dukun memindahkannya ke kamar sebelah.

Peneliti tiba ke rumah orang tua ibu My. Kondisi rumah sepi, pintu rumah tertutup rapat. Tim peneliti selanjutnya masuk

ke dalam kamar tempat proses persalinan berlangsung. Saat itu, ibu My telah berada pada posisi berbaring di lantai semen beralaskan tikar. Ada dukun bersalin, ibu Nu dan seorang tetangga dalam kamar, sedangkan suami ibu My berada di luar kamar tidak mendampingi istri selama proses persalinan. Kedatangan tim peneliti awalnya mendapat respon yang kurang bersahabat meskipun sebelumnya telah meminta izin dan membuat kesepakatan dengan Ibu My dan dukun untuk melakukan observasi pada proses persalinan tersebut, tetapi akhirnya bisa diterima.

Proses persalinan mulai dilakukan oleh dukun, sementara ibu Nu dan tetangganya membantu saat dibutuhkan oleh dukun. Selama proses persalinan suami tetap berada di luar kamar, dan pintu rumah tetap dalam keadaan tertutup agar tidak banyak orang yang datang. Selama proses persalinan ibu My tidak mau makan karena khawatir pada saat mengejan atau berkuat, nanti keluar kotoran (faeces), ibu hanya minum air putih yang sudah

dijappi-jappi oleh dukun. Peralatan yang disediakan dukun,

sebuah wadah berupa baskom kecil berisi air dan sebuah sabun mandi yang dibiarkan meleleh di dalam air. Selain itu dimasukkan pula beberapa helai daun sirsak yang diremas dan dibuang ruasnya.

Gambar 3. 2.

Air Jappi-jappi dan Air Lelehan Sabun Mandi Dicampur Daun Sirsak Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Ibu berbaring mengenakan kain sarung untuk menutup anggota tubuh: perut dan jalan lahir dengan posisi kedua kaki membuka lebar, perut bagian atas terlebih dahulu diikat dengan kain selendang atau kain sarung. Dukun duduk tepat di depan jalan lahir ibu yang ditutup dengan kain sarung, tangan dukun dibasuh dengan air ramuan yang sudah disiapkan, selanjutnya tangan yang basah tersebut disapukan ke perut dan jalan lahir tanpa menyingkirkan kain sarung (kain hanya diangkat sedikit untuk memasukkan tangan).

Dukun menopang bagian pantat dengan kedua tangan setiap kali ibu mengejan atau berkuat. Setiap kali ibu My mengejan, kedua lututnya beradu dengan lutut dukun bersalin. Selain itu, lutut ibu My ditekan kembali dengan mengunakan kedua tangan dukun. Selama proses persalinan dukun meminta ibu My mengejan dengan kuat sekali saja ketika kontraksi terasa, karena bila berulang-ulang tanpa mengejan kuat posisi bayi akan kembali lagi seperti semula dan akan lebih susah bayi lahir. Setiap kali ibu mengejan maka perut pada batas ulu hati ditekan. Dukun menginjak paha kanan ibu dilanjutkan dengan paha kiri masing-masing tiga kali karena bayi belum juga keluar. Tindakan ini untuk memudahkan bayi keluar dan plasenta tidak lengket di dinding rahim.

Sesaat menunggu, dukun merasakan belum ada kemajuan persalinan maka dukun kembali menekan paha atas kiri dan kanan dengan kaki dukun dalam posisi dukun berdiri masing 3 kali dimulai pada paha kanan disusul paha kiri. Selesai melakukan tindakan tersebut, dukun kembali ke posisi awal dan menuntun ibu hamil untuk mengejan sambil kedua tangan menunggu bayi di jalan lahir. Saat bagian kepala telah keluar disusul badan bayi, dukun menopang seluruh anggota tubuh bayi yang telah keluar dari jalan lahir.

Setelah bayi lahir ibu dibangunkan setengah tegak meminum air jappi-jappi, ujung rambutnya dimasukkan dalam mulutnya sampai timbul rasa mual dan ingin muntah (peneliti: untuk meningkatkan tekanan dalam rongga perut sehingga mendorong plasenta lepas). Tak lama keluar ari-ari atau plasenta tersebut. Ibu Nu kemudian mengambilkan baki (kappara) yang diberi alas kain sarung dan bayi diletakkan di atasnya (sebagai tempat bayi pertama kali lahir), seperti kelahiran lain di desa tersebut. Ari-ari atau plasenta diletakkan di bawah sarung bayi kemudian tali pusat di urut dengan menggunakan air, mulai dari pusat sampai ari-ari atau plasenta agar bersih.

Benang hitam dan bambu dalam sebuah piring telah disiapkan. Dukun bersalin mengikat tali pusat bayi baru lahir sebanyak 3 bagian, mulai diikat dari pusat. Jarak ikatan pertama dengan pusat bayi dan ikatan lainnya masing-masing adalah 3 ruas jari. Dukun bersalin menggunakan tiga ruas jari tengah sebagai pengukur untuk menandai setiap ikatan. Bagian yang dipotong adalah antara ikatan kedua dan ikatan ketiga (terluar).

Sesaat sebelum tali pusat dipotong, bidan desa datang dan mengambil alih tindakan pemotongan tali pusat yang sudah diikat dengan benang oleh dukun. Bidan memasang jepit tali pusat (klem) pada tali pusat diantara ikatan pertama dan kedua yang telah dibuat oleh dukun, selanjutnya bidan memotong tali pusat beberapa sentimeter dari ikatan pertama yang dibuat oleh dukun kemudian tali pusat bayi ditutup dengan kasa dan bayi dibungkus kain sarung, tanpa baju dan celana.

Sehari setelah bayi lahir terjadi pendarahan pada tali pusat maka dipanggil bidan untuk melakukan tindakan mengatasi perdarahan. Bidan mengikat kembali tali pusat yang sebelumnya telah diikat oleh dukun dan membungkus tali pusat dengan kain kasa steril yang terlebih dahulu diberi betadine. Sebelum meninggalkan rumah ibu My, bidan memberikan beberapa helai

kain kasa dan betadine pada keluarga untuk merawat tali pusat. Setelah dilakukan tindakan oleh bidan, perdarahan sempat berhenti namun menjelang sore darah masih terus keluar dari tali pusat bayi. Malam hari, kembali keluar banyak darah dari tali pusat. Bapak memanggil dukun untuk mengobati agar perdarahan berhenti, tetapi darah terus keluar dari tali pusat.

Gambar 3. 3.

Sanro Mengikat Tali Pusat Bayi Sumber: Dokumentasi Penelitian 2014

Hari berikutnya, warna kulit bayi berubah menguning, pucat dan timbul warna biru pada dahi bayi. Suara tangisan bayi terdengar menahan rasa sakit. Kedua orang tua tidak berniat untuk membawa bayinya ke rumah sakit karena dalam keyakinan Etnik Bajo, bayi belum boleh keluar rumah sebelum 3 hari pasca melahirkan. Akhirnya setelah melalui perdebatan dengan pihak keluarga, mereka memutuskan untuk membawa bayi ke rumah sakit. Ibu-ibu yang berkerumun dan berkumpul di sekitar rumah ibu My menyalahkan bidan karena tali pusat bayi dipotong terlalu pendek. Menurut ibu Ec pemotongan tali pusat bayi seharusnya

diukur dengan menggunakan jari tengah untuk menghindari terjadinya perdarahan pada tali pusat, namun menurut bidan pemotongan tali pusat yang dilakukan sudah memenuhi standar operasional (SOP) kebidanan.