• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.2. Geografi dan Kependudukan 1. Bentang Alam Sulaho

2.2.2. Kependudukan Etnik Bajo di Sulaho

Pada tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Kolaka Utara sebanyak 127.015 jiwa dan pada tahun 2012 bertambah menjadi 130.531 jiwa atau meningkat 2,77 % (Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara, 2013). Jumlah penduduk kecamatan Lasusua pada tahun 2012 sebesar 24,855 jiwa, dengan jumlah penduduk terkecil adalah Desa Sulaho sebesar 621 jiwa dengan persebaran sekitar 2,50% dari total jumlah penduduk Kecamatan Lasusua (BPS, 2013). Hampir seluruh penduduk Desa Sulaho merupakan Etnik Bajo.

Penelusuran terhadap data kependudukan Desa Sulaho tidak dapat diperoleh, sehingga tim peneliti melakukan pendataan secara langsung per Juli 2014. Jumlah penduduk Desa Sulaho sebanyak 682 jiwa, dengan rincian 456 jiwa tersebar di dusun 1-3 yang sebagian besar merupakan Etnik Bajo, sementara sebanyak 226 jiwa Etnik bugis berdiam di dusun 4 yang secara geografis terpisah dari dusun 1-3. Berikut jumlah penduduk Desa Sulaho di dusun 1-3 berdasarkan kategori Etnik;

Tabel 2. 1. Klasifikasi Warga Dusun 1-3 Desa Sulaho berdasarkan Etnik

Etnik Jumlah

Bajo 313

Bugis 39

Campuran Bajo Bugis 42

Lain-lain 62

Jumlah 456

Pada umumnya masyarakat Desa Sulaho tidak hafal dengan baik tahun kelahiran mereka. Tim peneliti harus melihat kartu keluarga (KK) untuk mengetahui umur informan, bahkan ditemukan pasangan suami istri yang tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) maupun Kartu Keluarga. Seringkali pula dijumpai ketidaksesuaian data dalam KK atau KTP dengan umur riil seseorang, sehingga umur diketahui berdasarkan pengakuan informan maupun perkiraan orang sekitarnya. Ada pula mereka yang tidak dapat mengingat dengan baik kejadian di masa lampau yang dialami untuk dijadikan patokan menghitung umur sehingga akhirnya mengandalkan perkiraan saja.

Sebanyak 171 jiwa merupakan usia 5-18 tahun yang masuk pada usia sekolah taman kanak-kanak (TK) sampai dengan sekolah menengah atas (SMA). Sebanyak 128 jiwa berada pada rentang usia 19-50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 65.57% penduduk Desa Sulaho merupakan usia produktif. Data penduduk Desa Sulaho (dusun 1-3) berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Sekolah Dasar (SD) di desa ini telah berdiri sejak tahun 1982, Sekolah Menengah Pertama (SMP) berdiri pada tahun 2007 dan diikuti dengan Taman Kanak-Kanak pada tahun 2012. Tidak banyak anak yang mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di TK ini. Menurut banyak orang tua, anak-anak merasa bosan karena hanya diajarkan menyanyi saja sehingga anak enggan untuk melanjutkan KBM dan orang tuapun memaklumi hal tersebut. Biasanya anak-anak di Desa Sulaho masuk SD pada usia 6 atau 7 tahun.

Tabel 2. 2. Jumlah Penduduk Desa Sulaho berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Golongan Umur Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan 0 - 12 bulan 8 6 14 13 bulan – 4 tahun 21 12 33 5-6 tahun 18 11 29 7-12 tahun 46 37 83 13-15 tahun 15 22 37 16-18 tahun 10 12 22 19-25 tahun 35 26 61 26-35 tahun 44 37 81 36-45 tahun 27 24 51 46-50 tahun 10 5 15 51-60 tahun 11 8 19 61-75 tahun 4 6 10 >75 tahun 1 1 250 206 456

Sumber: Data primer penelitian 2014

Banyak anak yang seringkali tidak masuk sekolah dan orang tua membiarkan mereka ikut melaut pada waktu-waktu sekolah. Ada pula orang tua yang membawa anak-anak mereka pergi ke sebuah pulau tertentu untuk mencari sumber rezeki, seperti mencari ikan sunu atau teripang. Biasanya mereka pergi selama berbulan-bulan bahkan lebih dari satu tahun. Hal ini membuat anak berada pada jenjang kelas yang sama seperti saat dia pergi meninggalkan kampung, karena selama pergi biasanya tidak bersekolah. Banyak anak-anak yang seharusnya sudah duduk di bangku SMP atau SMA, masih duduk di bangku SD atau SMP. Kurangnya dorongan orang tua terhadap pendidikan anak menyebabkan angka putus sekolah di Desa Sulaho tinggi. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah seorang guru di SDN Sulaho sebagai berikut:

“Nah itulah kekurangannya anak-anak di sini, kelalaian orang tua sebenarnya, walaupun dia orang sekolah, anaknya tinggal main, begitu, kurang dorongan…begitulah orang tuanya kurang dalam masalah pendidikan, makanya selalu bawa anaknya kesana-kemari, akhirnya tidak sekolah, sekolah sudah lama, ada muridnya, namun begitulah tidak nampak, karena tidak ada yang lanjut, begitu tamat SD sudah melaut lagi” (Sw, 56 tahun).

Pihak sekolah menyatakan telah memberikan pemahaman kepada orang tua untuk menyekolahkan anaknya, tetapi hal tersebut biasanya kurang mendapatkan respon yang baik. Orang tua membiarkan anak mereka bersahabat dengan laut seperti halnya kehidupan mereka pada masa lalu, sekaligus memupuk kemauan dan kemampuan anak untuk mencari uang (sumber penghidupan) menopang ekonomi keluarga, khususnya bagi anak laki-laki. Namun demikian, ada alumni SD dan SMP Sulaho yang kini tengah menempuh pendidikan tinggi pada jenjang S1 sebanyak empat orang dan D3 sebanyak tiga orang dan satu diantaranya kini telah bekerja.

Pergaulan anak-anak yang berbeda jenis kelamin pada bangku Sekolah Dasar (SD) dengan dukungan kebiasaan pacaran pada masa tersebut, menjadi salah satu penyebab munculnya kasus hamil di luar nikah. Anak-anak di desa ini sudah mulai berpacaran sejak SD dan pada beberapa kasus terjadi kasus kehamilan saat menempuh pendidikan pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sebenarnya, usia pernikahan yang dianggap ideal oleh masyarakat adalah seorang laki-laki dan perempuan yang berusia 17 tahun karena sudah dianggap mampu mengurus rumah tangga. Namun realitanya banyak pernikahan yang terjadi pada usia 14 sampai dengan 15 tahun, sehingga seringkali dapat muncul percecokkan karena usia masih

relatif muda. Seorang perempuan berusia 15 tahun dinilai memiliki kondisi kandungan yang masih bagus untuk dapat melahirkan dan memiliki banyak anak. Sementara masuk pada usia 30 tahun sudah tidak baik bagi seorang perempuan untuk melahirkan, meskipun faktanya banyak perempuan di desa ini yang masih melahirkan pada usia di atas 30 tahun karena umumnya mereka memiliki banyak anak dengan jarak kelahiran yang relatif dekat, sekitar 1 sampai 2 tahun. Pendapat lain dari generasi yang lebih tua, menganggap bahwa perempuan sebaiknya menikah tidak lebih dari 25 tahun karena kondisi fisik di masa yang akan datang sudah tidak kuat untuk dapat mengurus anak-anaknya.

Anak-anak muda biasanya berkumpul di dermaga pada sore hari. Kegiatan memancing ikan atau cumi atau anak-anak kecil yang berenang di sekitar dermaga, mencari cacing atau kerang ketika laut surut menjadi aktivitas rutin yang dilakukan. Anak-anak perempuan biasanya mengobrol di dermaga, rumah warga, atau pinggir pantai dan seringkali juga terjadi obrolan antara muda-mudi. Siang hari seringkali terlihat anak-anak muda bermain kartu yang mereka sebut dengan permainan “song”. Ada orang tua yang terlibat juga dalam permainan tersebut.

Ada kebiasaan anak muda yaitu minum air tuak yang diambil dari pohon sagu yang disebut oleh masyarakat setempat dengan balok. Mereka mendapatkan minuman tersebut dengan cara membeli di Totallang yang tak jauh dari Sulaho. Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleh anak muda saja, tetapi juga oleh orang tua sehingga kemungkinan kebiasaan itu merupakan perilaku duplikasi dari orang tua. Selain balok, biasanya air yang digunakan untuk minum adalah alkohol, atau minuman bersoda yang dicampur dengan minuman kemasan Kuku Bima. Orang tua umumnya telah mengetahui kebiasaan tersebut dan sepertinya

hal itu menjadi kebiasaan lumrah dan ditolerir dalam bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Sulaho.

Ketika kegiatan melaut sedang tidak dilakukan biasanya beberapa orang laki-laki berkumpul di depan rumah sekedar bercerita atau bercengkrama sambil memperbaiki jaring, pancing dan sebagainya. Berbeda dengan kaum perempuan yang dapat berkumpul setiap saat di rumah-rumah warga setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, salah satunya dengan mencari kutu secara bergiliran. Setelah penggunaan bom ikan dilarang, ibu rumah tangga yang sebelumnya berjualan ikan kini tak lagi bekerja. Mereka hanya menjalankan aktivitas rumah tangga saja dalam kesehariannya karena perempuan di Desa Sulaho umumnya tidak ikut pergi melaut, jikapun ada yang ikut melaut tidak setiap waktu. Ibu-ibu mempunyai kebiasaan mencuci atau mandi di sumur bersama-sama, sambil mandi dan mencuci terdengar suara-suara perempuan sedang bercerita dengan canda yang saling mereka lontarkan.