• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktek Kepercayaan Tradisional 1. Mattoana

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.3. Religi 1. Kosmologi

2.3.4. Praktek Kepercayaan Tradisional 1. Mattoana

Selain peringatan keagamaan Islam, ada pula praktek upacara lokal yang dipercaya dapat menghindarkan dari bahaya. Salah satunya adalah mattoana. Berdasarkan arti katanya,

mattoana berarti menjamu tamu, namun demikian masyarakat

mengartikan mattoana sebagai sebuah ritual agar terhindar dari bencana. Mattoana adalah salah satu acara yang dilakukan oleh nenek moyang Etnik bajo, secara turun temurun dipercaya sebagai upaya tolak bala terhadap bencana, penyakit dan meluluskan permintaan tertentu.

“Kalo dia susah rejeki anaknya turun di laut, na bilang kasih rejeki anakku baru ada rejeki saya menghadap sama kita, namanya mattoana, meminta-minta” (Ec,41 tahun)

Mattoana juga dapat dilakukan sebagai wujud syukur

dengan berniat akan melakukan mattoana jika apa yang diinginkan atau diharapkan tercapai. Saat ini tidak banyak lagi orang di Sulaho yang melaksanakan acara tersebut, karena orang-orang tua yang dahulu terbiasa untuk melakukan acara tersebut sudah meninggal dan tidak terjadi proses regenerasi memimpin pelaksanaan ritual tersebut. Kini tinggal satu orang di Sulaho yang bisa memimpin mattoana. Pada umumnya sebagian warga Sulaho hanya mengumpulkan air dan garam untuk didoakan dalam ritual mattoana. Sebagian orang memilih melakukan mattoana di luar wilayah Sulaho dengan meminta

bantuan pada orang yang telah terbiasa menyelenggarakan ritual tersebut, seperti di Pomalaa, Kolaka.

Mattoana ini ditujukan untuk Putri Tujuh dan Tuan Sayye’,

yaitu mahkluk halus yang dipercaya dapat mewujudkan keinginan mereka. Putri Tujuh dan Tuan Sayye’ dianggap sebagai perantara doa kepada Tuhan. Persiapan yang dilakukan untuk melakukan

mattoana cukup banyak, salah satunya membuat bermacam kue

dengan jumlah yang cukup banyak.

Makanan yang diantaranya adalah ketupat, yang terdiri atas ketupat bawang, ketupat nabi, ketupat lalo, ketupat biasa, masing masing 47 buah; kelapa muda dan telur ayam masing-masing 7 buah; onde-onde dengan taburan kelapa, cucur toli-toli dan buah sepang masing-masing 7 buah dalam 7 piring;

leppe’-leppe’ 47 buah disimpan dalam loyang; sokko dan cangkuli.

Makanan ditutup dengan kain putih/kaci selama acara berlangsung. Persyaratan lain adalah perlengkapan badan seperti sarung, kerudung, perlengkapan mandi dan berdandan seperti sabun cuci, pemulas alis (celak), bedak, minyak wangi merek fanbo masing-masing sebanyak 7 buah.

Orang yang sedang haid tidak boleh ikut membuat makanan untuk acara mattoana, karena “mereka (Putri Tujuh)” tidak menyukai hal kotor. Proses membuat makanan harus dilakukan dengan tenang dan tidak banyak bicara, karena “mereka” juga tidak suka mendengar ribut/berisik. Selain itu orang yang ikut mempersiapkan makanan harus berpakaian bersih dan rapi karena “mereka” menyukai kondisi bersih. Biaya untuk mattoana cukup banyak karena menghabiskan biaya sekitar Rp. 1.000.000,.

Prosesi mattoana melibatkan dua orang yang berperan sebagai orang yang saling berkomunikasi. Salah satunya akan dirasuki oleh Putri Tujuh dan Tuan Sayye’ secara bergantian. Pintu harus dibuka dan tidak boleh ada orang yang menutupi

pintu tersebut karena dapat menghalangi Putri Tujuh dan Tuan Sayye’ yang akan masuk ke dalam rumah. Sesaji khusus untuk Tuan Sayye’ adalah sebuah buah kelapa muda yang dibelah pada bagian atas ditambah sokko hitam dan putih, telur ayam, rokok dan korek masing-masing satu bungkus dan diletakkan dalam

kappara. Kemenyan dibakar sebagai tanda datangnya Putri Tujuh

dan Tuan Sayye’, begitu seterusnya beberapa kali kemenyan dibakar agar tubuh berganti dirasuki oleh yang lainnya.

Dalam proses ini, Putri Tujuh dan Tuan Sayye’ dapat memberitahukan jika akan terjadi malapetaka di Sulaho. Bersamaan dengan penyelenggaraan mattoana ini, seseorang dapat meminta bantuan apapun kepada Putri Tujuh dan Tuan Sayye’, termasuk bila menginginkan segera bersuami. Selesai proses mattoana, garam dan air diambil kembali oleh orang-orang untuk kemudian sebagian garam ada yang ditempatkan dalam botol kecil untuk digantung di muka rumah, sementara sebagian garam lainnya dibakar dan air ditebarkan di sekitar rumah dan bagian dapur sebagai bentuk tolak bala rumah beserta penghuni terhadap hal yang tidak baik.

Gambar 2. 9.

Botol Berisi Garam Mattoana Telah Digantung Sejak Setahun yang Lalu

Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Setelah proses mattoana dalam rumah selesai, makanan dibagikan kepada orang-orang sekitar rumah atau yang memberikan sumbangan untuk acara tersebut. Hari berikutnya biasanya orang yang terlibat dalam mattoana dan siapapun yang mau, dapat ikut ke pulau Lambasina, sebuah tempat kramat yang dianggap sebagai rumah Putri Tujuh dan Tuan Sayye’. Terdapat tujuh sumur bundar dengan berbagai ukuran secara berurutan. Orang yang datang ke tempat ini membawa persembahan untuk Putri Tujuh dan Tuan sayye’, masing-masing terdiri atas tujuh macam berupa sabun cuci, sabun mandi, pemulas alis mata (celak), bedak, sisir rambut, cermin dan minyak wangi merek

fanbo. Orang-orang yang datang ke tempat ini dapat mandi dan

makan bersama di tempat ini sebagai bentuk syukur atas pertolongan Putri Tujuh dan Tuan Sayye’.

2.3.4.2 Turun Perahu (Nonno’ Lopi)

Masyarakat setempat memiliki kebiasaan berdoa dan makan bersama untuk perahu yang baru dibuat atau diperbaiki (perbaikan besar). Turun perahu merupakan sebuah ritual yang dimaksudkan untuk mendoakan perahu yang pertama kali turun ke laut, baik perahu baru ataupun perahu yang dilakukan perbaikan agar mudah untuk mendapatkan rezeki di lautan.

Terdapat makanan yang biasanya dipersiapkan dalam rangka turun perahu tersebut diantaranya yaitu bubur kacang hijau/ketan hitam dan onde-onde ketan yang dibalut dengan parutan kelapa. Makanan tersebut bukan syarat yang harus dipenuhi, jenis makanan dapat diganti dengan jenis makanan lain sesuai kemampuan, akan tetapi umumnya ada makanan yang terbuat dari beras ketan.

Gambar 2. 10.

Sanro Mendoakan Makanan ketika Turun Perahu Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Gambar 2. 11

Mendorong Perahu saat Upacara Turun Perahu Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

Makanan yang telah dibuat diletakkan di lantai kemudian didoakan oleh sanro kampong. Sebelum berdoa, membuat

dupa-dupa terlebih dahulu dilanjutkan dengan pembakaran gula/kemenyan, kemudian do mulai dipanjatkan. Sanro kampong duduk bersila di depan dupa-dupa kemudian mulutnya

komat-kamit, cukup lama hingga akhirnya sanro membuka mata dan

menaruh tangannya tepat di atas asap dupa-dupa lalu menggiring asap yang menempel pada tangannya mengenai makanan yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Semua makanan yang telah didoakan diletakkan di atas perahu.

Ritual turun perahu biasanya melibatkan laki-laki dewasa sekitar rumah pemilik perahu untuk mendorong perahu dari bibir pantai sampai terapung di air laut. Orang-orang yang akan membantu mendorong perahu dipersilahkan makan terlebih dahulu. Anak-anak pun seringkali ikut makan dalam acara semacam ini.

Selesai makan, orang-orang mendekati perahu, mengambil posisi di samping kanan dan kiri perahu selanjutnya bersama-sama mendorong perahu dengan sekuat tenaga menuju ke laut. Ketika seluruh badan perahu menyentuh air, orang-orangpun kembali ke darat, kecuali pemilik perahu. Perahu yang telah didorong diputar 360o menghadap ke arah desa menghadap gunung tertinggi. Sanro berdiri berdekatan dengan pemilik perahu, tepat di samping perahu untuk berdoa. Perahu kembali diputar 360o dan perahu siap digunakan untuk mengarungi lautan saat itu juga.

2.3.4.3. Masuk Rumah (Tama’ Bola)

Rumah digunakan tidak hanya sebagai tempat bernaung dari hujan dan panas, tetapi memiliki arti yang mendalam sehingga dalam kegiatan pindah rumah atau menempati rumah baru biasanya terdapat ritual yang disebut “naik rumah”. Kegiatan ini dipimpin oleh sanro untuk membacakan doa.

Sebelum doa dibaca, disiapkan makanan untuk didoakan di pusat rumah (possi bola) karena di tempat itu dipercaya ada penjaga rumah yang harus diberikan sesaji dan doa. Sebelum rumah ditempati umumnya orang Bajo di Desa Sulaho menggantung satu tandan buah pisang manurung, kelapa dan buah-buahan lainnya. Terdapat pula bahan lain yang digunakan seperti daun cocor bebek/pakkece, buah pinang dan bunga yang dipasang pada tiang rumah dengan memberikan kain kaci/kafan terlebih dahulu oleh salah satu tukang asal Bulukuma yang telah menjadi penduduk di Desa Sulaho.

Gambar 2. 12.

Tandan Pisang dan daun Pakecce pada rumah baru Sumber: Dokumentasi Penelitian Tahun 2014

2.3.4.4. Melepas Nadzar (Mattinja’)

Selain turun perahu dan memasuki rumah baru, terdapat kebiasaan masyarakat melakukan lepas tinja’/nadzar. Masyarakat desa Sulaho memiliki kebiasaan untuk mattinja’ dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa dahulu, pernah Pak Dm (46 tahun) bernadzar dalam hati bahwa bila suatu saat dapat membeli mesin dan emas 5 gram untuk istrinya, ia akan memotong ayam dan memberikan uang Rp. 3000,- di sebuah tempat yang dianggap kramat berupa sumur di daerah Kolaka. Harapan pak Dm tercapai, tetapi ia lupa tentang nadzar/tinja’ yang diniatkan

sehingga tidak melaksanakannya. Kelalaian tersebut dipercaya telah menyebabkan kedua anak kembarnya meninggal secara berurutan dalam waktu 2 bulan.

Tersadar melalui ucapan seorang dukun, Pak Dm akhirnya melaksanakan niatnya, menaruh uang koin sebesar Rp. 3000- dan memotong ayam lalu meninggalkannya di bibir sumur yang dianggap kramat tersebut. Kejadian itu menjadikan mereka hati-hati ketika hendak ber-mattinja’ dan biasanya lebih memilih berpuasa, seperti ketika anaknya sakit gigi hingga bagian pipi bengkak luar biasa, ibu Dm ber-mattinja’ jika anaknya sembuh maka ia akan melakukan puasa selama satu hari.

Kegiatan melepas tinja’ biasanya juga dilakukan oleh orang-orang di Desa Sulaho. Sebut saja Bapak Am (64 tahun) yang berniat memotong ayam dan membuat kapurung yang dimakan bersama anaknya ketika pulang ke rumah dengan selamat setelah mencari teripang selama beberapa minggu.

Sanro berperan untuk mendoakan dalam acara semacam ini. Istri

pemilik rumah duduk berdampingan dengan sanro kampung, lalu mereka tampak melakukan perbincangan kecil, sebuah pertanyaan atas tujuan mattinja’ yang dilakukan.

Sanro menyalakan dupa yang menancap pada segenggam

beras dalam sebuah gelas kaca putih. Terlihat asap mengepul ringan dan mulai terdengar lantunan doa dalam bahasa Bugis dan Arab. Tak lama ia mengambil air dalam gelas lalu mengusap sebuah pintu kamar tepat di sebelah sanro duduk, kemudian air dialirkannya dari gelas tersebut pada pintu yang sama. Ternyata itulah pusat rumah yang selalu menjadi lokasi untuk melakukan ritual apapun. Tak lama kemudian, sanro mengisyaratkan kepada ibu untuk memanggil suaminya yang memiliki niat. Suaminya mendekat, menggantikan posisi duduk istrinya. Sanro bersalaman dengan empunya hajat, bersalaman dan terjadi proses tanya jawab kembali atas tujuan mattinja’.

Proses ini menjadi sebuah bukti bahwa mattinja’ sungguh telah dilaksanakan dan berarti tidak memiliki hutang “niat”. Selesai itu sanro kembali mengucap doa sembari menengadahkan kedua tangannya. Selesai berdoa, sanro menaruh tangannya tepat di atas dupa hingga membuat asap-asap dupa mengenai tangannya. Merasa tangannya terkena kepulan kecil asap itu, sanro membalik tangan dan memindahkan tangannya ke atas makanan yang ada di dekatnya. Selanjutnya, ia mengambil segelas air yang tersisa lalu mendekatkan mulut gelas tepat di bawah mulutnya dan kembali mendoa. Ia memberikan segelas air itu kepada Bapak yang tenang duduk khidmat bersila di sebelahnya.

Tanpa berlama-lama bapak meneguk habis minuman yang tentu saja “sarat dengan makna”. Prosesi mendoakan makanan sebagai pelaksanaan lepas tinja’ selesai dan ditutup dengan makan bersama. Tidak semua makanan dihidangkan, tetapi sebagian lainnya diantarkan dengan menggunakan panci ke rumah-rumah saudara yang masih dianggap dekat dan sanro.