• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siklus Perjalanan Kehidupan Manusia Etnik Bajo di Sulaho Setiap masyarakat memiliki falsafah hidup yang dianggap

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.3. Religi 1. Kosmologi

2.3.2. Siklus Perjalanan Kehidupan Manusia Etnik Bajo di Sulaho Setiap masyarakat memiliki falsafah hidup yang dianggap

sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Salah satunya adalah arti keberadaan anak dalam sebuah keluarga. Biasanya anak laki-laki dan perempuan memiliki arti yang berbeda pula dalam pandangan masyarakat, termasuk di Desa Sulaho. Anak lelaki usia 8 tahun di Desa Sulaho sudah mulai ikut melaut bersama orang tua atau kerabatnya. Hal ini menyebabkan anak laki-laki pada usia muda telah piawai dan berkontribusi dalam pekerjaan melaut sehari-hari. Laki-laki dipandang sebagai sumber kekayaan atau modal karena dapat membantu menopang ekonomi keluarga sebelum menikah. Sementara anak perempuan juga memiliki arti tersendiri. Ibu Rs (43 tahun), ia memiliki 11 anak, dan 3 anak yang lain meninggal, sehingga jika semua anaknya hidup ia mempunyai 14 anak. Jumlah anak banyak ini dipengaruhi oleh keinginannya untuk memiliki anak perempuan. Anak perempuan umumnya dianggap sebagai sosok yang tepat untuk merawat orang tua ketika telah memasuki usia lanjut.

Dalam tahapan tertentu perjalanan kehidupan manusia biasanya selalu diperingati dengan kegiatan/acara sebagai tanda atau babak baru yang telah terlewati sejak manusia terlahir hingga akhirnya seorang manusia meninggal. Kelahiran anak dalam sebuah rumah tangga selalu menjadi momentum penting dalam semua konteks kehidupan, salah satunya dalam dimensi keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam penyelenggaraan aqiqah.

Aqiqah merupakan sebuah ritual dalam agama Islam yang berarti

bayi sebagai ungkapan syukur atas rahmat Tuhan berupa kelahiran seorang anak. Dua ekor kambing yang disembelih untuk bayi lelaki dan satu ekor kambing untuk bayi perempuan. Aqiqah biasanya disertai dengan acara cukur rambut bayi dan memberi nama.

Kegiatan aqiqah di Desa Sulaho tidak selalu dilakukan pada hari ketujuh pasca kelahiran, dikarenakan aqiqah biasanya dilakukan ketika orang tua telah memiliki cukup uang untuk membeli kambing dan bahan-bahan untuk penyelenggaraan acara tersebut. Imam Desa biasanya bertugas untuk memotong hewan aqiqah dan pencukuran rambut bayi. Beberapa diantaranya melakukan kegiatan berdoa (Barasanji) yang dilakukan dengan menyertakan makanan tertentu, seperti masakan beras ketan (sokko) dan ayam sebagai syarat ketika mendoa. Makanan ditempatkan di tengah dikelilingi oleh orang-orang yang berdoa. Namun demikian barasanji biasanya dipimpin oleh pemuka agama berasal dari luar Desa Sulaho karena tidak terdapat orang di Desa tersebut yang pintar dengan praktek

barasanji selain barasanji merupakan kebiasaan masyarakat

Bugis.

Proses adat yang dilakukan pada kehidupan selanjutnya adalah sunat, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Proses adat pada tahapan laki-laki dan perempuan yang dewasa adalah menikah. Pada acara ini, dilakukan beberapa rangkaian sebelum perkawinan terjadi. Tahapan acara tersebut diantaranya adalah:

1. Mammanu’-manu’, yaitu menanyakan kepada pihak perempuan apakah bersedia untuk menikah, membicarakan jumlah uang panaik/mahar dan proses ini akan dilanjutkan pada proses pelamaran;

2. Madduta resmi, yaitu menentukan kapan uang panaik akan diberikan kepada calon mempelai perempuan. Uang tersebut biasanya digunakan untuk mengadakan pesta;

3. Perkawinan. Sebelum hari perkawinan, telah dilakukan pembentukan panitia oleh kerabat dekat, misalnya untuk konsumsi, transportasi dan lainnya, masing-masing ada penanggung jawabnya. Umumnya acara perkawinan diselenggarakan dengan mengundang hiburan berupa

electone (band). Tidak ada alunan musik tradisional. Setiap

pesta perkawinan yang mengundang electone memberikan kesempatan bagi muda-mudi untuk melakukan tarian lulo.

Kehidupan setiap manusia akan berakhir saat datangnya kematian. Adanya informasi atau berita tentang seseorang yang meninggal diperoleh warga desa dari mulut ke mulut saja. Tidak ada pengumuman resmi misalnya melalui masjid. Mekanisme ini dianggap sudah dapat menyebarkan informasi secara cepat. Banyak anak-anak yang biasanya dengan sigap menyampaikan kabar kepada orang tua masing-masing atau orang yang ditemui di jalan sehingga berita duka tersebut dengan cepat diketahui.

Biasanya orang yang meninggal di desa ini segera dikuburkan, kecuali jika harus menunggu keluarga jauh yang menginginkan melihat jenazah sebelum dikuburkan. Terdapat kepercayaan sejak nenek moyang bahwa roh seseorang yang telah meninggal masih berkeliaran di sekitar rumah selama 40 hari pasca meninggal, sehingga tempat-tempat yang biasanya digunakan oleh orang yang mati sehari-hari harus dirapikan dengan baik karena akan ditempati, hanya saja manusia tidak bisa melihat atau mendengar kedatangan dan keberadaannya.

Saat seseorang meninggal diberikan sesaji yang terdiri atas nasi, telur rebus dan segelas air putih yang ditempatkan dalam sebuah kappara/baki sebagai bekal yang akan dibawa oleh orang mati tersebut. Sehingga pada hari selanjutnya sudah tidak dibuatkan sesaji semacam itu. Orang yang melayat umumnya menyumbang uang seikhlasnya, biasanya dimanfaatkan untuk

membiayai keperluan menjamu orang yang berdatangan ke rumah duka.

Pada saat keranda hendak diberangkatkan ke kuburan, keranda berisi jenazah dinaik turunkan sebanyak tiga kali sembari diucapkan kalimat Allahu Akbar sebagai simbol memohon izin untuk pergi selamanya. Sebelum proses menggali liang kubur, terdapat istilah buka tanah yang dilakukan oleh orang-orang tua tertentu dengan cara mengambil segenggam tanah sebelum digali, kemudian barulah liang kubur digali. Setelah jenazah dikuburkan segenggam tanah kembali diambil dan diletakkan di atas gundukan tanah kubur sebagai penutup prosesi buka tanah.

Ada kegiatan untuk mendoakan orang meninggal yang disebut dengan matta’sia yang diawali dengan kegiatan ceramah oleh salah seorang pemuka agama setempat, dilanjutkan dengan mengaji yang dipimpin oleh seseorang dan diikuti oleh semua orang yang hadir baik laki-laki maupun perempuan. Kegiatan

matta’sia ini biasanya dilakukan sampai dengan hari ketiga atau

sampai dengan hari ketujuh pasca kematian. Peringatan kematian dilakukan kembali pada hari ke 40 dengan melakukan

matta’sia dan penyembelihan seekor kambing yang diyakini

sebagai kendaraan orang mati di alamnya. Peringatan kematian terakhir dilakukan pada hari ke 100 pasca kematian seseorang.