• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAMBUNGKAN Upaya Memperkuat Hubungan Mas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SAMBUNGKAN Upaya Memperkuat Hubungan Mas"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 1

Daftar Isi

Halaman Judul……….. 0

Daftar Isi……….. 1

Pengantar : Bagaimana Modul ini Digunakan……….. 2 SAMBUNGKAN! Program Peningkatan Interaksi Masyarakat Sipil dengan

Pembuat Kebijakan di Indonesia. …..……….

5

Topik 1 Tantangan Masa Depan Gerakan Sosial, From Broken Linkage to Political Linkages, Dari Kelompok Inti ke Blok Politik, Dari Dunia Nyata ke Dunia Maya.

Theory of Power Cube (John Gaventa ……….

 Tujuan………...

 Materi………

 Bahan Belajar-1 Topik 1 : Ringkasan hasil desk study 5 kasus advokasi di

Indonesia………

 Bahan Belajar- Topik : Cornelis Lay, Broken Linkages : A Preliminary Study on Parliament-CSOs Linkages in )ndonesia , paper prepared for the panel on )ndonesian Democracy in Comparative Perspective at

Euroseas, Guttenberg, 26-28 August 2010. (Abstrak versi terjemahan dalam Bahasa Indonesia)………..  Bahan Belajar- Topik : John Gaventa, Finding the Spaces for Change :

A Power Analysis , )DS Bulletin Volume Number November @Institute of Development Studies (versi terjemahan dalam Bahasa

Indonesia)………

 Bahan Belajar-4 Topik 1 : Enabling Environment, Understanding Power

Relations. Souce : Power Pack –Understanding Power for Social Change ,

Institute of Development Studies, UK. Useful links : www.powercube.net ……….

14

14

Topik 2 Struktur, Kewenangan dan Fungsi-Fungsi Parlemen……….

 Tujuan………

(3)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 2

 Materi……….

 Bahan Belajar-1 Topik 2 : Badan Legislatif……….  Bahan Belajar-2 Topik 2 : Bagaimana Undang-Undang Dibuat……….  Bahan Belajar-3 Topik 2 : Glosarium……….…

Topik 3.1 Diplomacy Skill : Merumuskan Policy Brief………..

 Tujuan………

 Materi……….

 Bahan Belajar-1 Topik 3.1 : Analisis Kritis Kebijakan Publik (Critical Policy Analysis) – Perspektif Gerakan Sosial……….  Bahan Belajar-2 Topik 3.1 : Merumuskan Policy Brief………..

 Bahan Belajar-3 Topik 3.1 : Contoh Policy Brief……….….

125

Topik 3.2 Diplomacy Skill : Analisis Aktor, Identifikasi Ranah Kekuasaan, dan Strategi Komunikasi Politiknya………..

 Tujuan………

 Materi……….

 Bahan Belajar- Topik . :,……….

144

Topik 3.3 Diplomacy Skill : Lobby……….

 Tujuan………

 Materi……….

 Bahan Belajar- Topik . :………..

152

Topik 3.4 Diplomacy Skill : Effective Speaking (Teori dan Praktek)………...

 Tujuan………

 Materi……….

 Bahan Belajar-1 Topik 3.4 : ……….

(4)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 3

PENGANTAR

Bagaimana Menggunakan Modul ini?

Modul SAMBUNGKAN! ini merupakan produk kerjasama ProRep-USAID dan KARSA untuk mengembangkan dan memperkuat hubungan organisasi masyarakat sipil (OMS) dan parlemen yang semakin efektif dan berkualitas. Gerakan sosial dan sistem perwakilan politik dilihat sebagai dua jalur representasi politik warga negara, yang pada suatu waktu dapat bersaing, namun pada saat yang lain saling melengkapi, satu dengan yang lain.

Dalam konteks ini, kedua lembaga melihat urgensi peningkatan hubungan dan kerjasama yang sinergis antara aktor-aktor gerakan sosial dan lembaga representasi politik formal dimaksud, untuk memastikan terakomodasikannya kepentingan dan aspirasi publik dalam perumusan berbagai kebijakan. Dalam konteks yang lebih luas, hubungan dan kerjasama sinergis ini merupakan salah satu faktor penting yang dipertimbangkan dalam proses demokratisasi yang lebih stabil.

Materi-materi yang terdapat dalam modul ini tersusun melalui suatu proses yang panjang dan reflektif. Tahap pertama, dilakukan desk study terhadap lima isu gerakan advokasi kontemporer yang melibatkan organisasi-organisasi masyarakat terkemuka di Indonesia. Studi ini bertujuan untuk melihat bagaimana strategi OMS dalam memperjuangkan perubahan kebijakan publik, termasuk di dalamnya bagaimana mereka membangun hubungan dengan parlemen untuk menyukseskan agenda advokasi masing-masing. Dari sini ditemukan berbagai materi yang relevan yang menjadi draf awal atau kisi-kisi modul ini.

Tahap kedua, draf awal modul ini dikonsultasikan dalam sebuah focused group discussion (FGD) yang dihadiri perwakilan OMS dan sejumlah anggota parlemen (DPR-RI). Pertemuan ini menghasilkan beberapa rekomendasi untuk perbaikan, secara khusus mengemukanya usul untuk menambah porsi materi-materi yang berkaitan dengan pengenalan parlemen, keterampilan berdiplomasi, yang kemudian kami sebut sebagai diplomatic skills.

Tahap ketiga, modul ini pertama sekali diimplementasikan dalam sebuah pelatihan 3 (tiga) hari, 28-30 Januari 2013, di Bogor, yang diikuti sekitar 25 peserta dari berbagai lembaga mitra ProRep-USAID. Pada pelatihan ini, seluruh rangkaian dan proses pelatihan tidak saja difasilitasi oleh Tim Fasilitator KARSA, tetapi juga beberapa narasumber luar, yakni akademisi, lembaga think-tank, maupun politisi. Evaluasi terhadap pelatihan ini, baik substansi maupun teknis, memberi bobot tersendiri dalam melakukan revisi terhadap draft modul ini. Dengan demikian, modul ini masih diandaikan sebagai modul yang senantiasa akan disempurnakan (working-module).

(5)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 4

kekuasaan di era liberal democracy dewasa ini. Materi-materi ini ditujukan untuk membangun pemahaman para peserta pelatihan terhadap lanskap politik Indonesia kontemporer, secara khusus tentang peranan parlemen dalam mendorong demokratisasi kebijakan publik pasca-reformasi 1998.

Soft skills yang dimaksud adalah keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mendukung hard skills, yaitu keterampilan-keterampilan diplomatik (diplomatic skills) yang selama ini kurang mendapat perhatian serius aktor-aktor gerakan sosial. Yang termasuk dalam kategori ini adalah, antara lain, keterampilan dalam analisis aktor, menyusun policy brief, lobby, dan effective speaking. Masih banyak keterampilan lain yang dibutuhkan, namun hal itu sulit diimplementasikan sekaligus mengingat keterbatasan waktu dalam pelatihan. Beberapa keterampilan selektif di atas dirasakan relevansinya dalam mendukung gerakan-gerakan advokasi yang selama ini diperankan OMS.

Metode dasar yang digunakan dalam pelatihan adalah metode pendidikan orang dewasa (andragogy, self-directed learning, transformative learning)11. Prinsip tersebut dipilih dengan berpegang pada ..humans have a natural potentiality for learning, and that significant learning occurs when the learner regards the subject matter as relevant...

Dari sini, diasumsikan seluruh organisasi masyarakat sipil yang menjadi peserta pelatihan akan menjadi narasumber, sehingga pelatihan sifatnya aksi-refleksi. Narasumber luar yang diundang semata-mata dimaksudkan untuk memberi input terhadap pelatihan, dalam beberapa sesi selama proses pelatihan, yang diposisikan sebagai partner diskusi untuk memperkaya perspektif peserta pelatihan.

Modul ini dimaksudkan sebagai sebuah pengantar terhadap substansi/materi untuk memperkenalkan konsep-konsep yang berkaitan dengan program

SAMBUNGKAN! . Tujuannya antara lain untuk meningkatkan kapasitas Organisasi

Masyarakat Sipil (OMS) dalam membangun relasi yang efektif dengan parlemen. Sebagai sebuah pengantar, penggunaan modul ini sangat terbuka, terhadap improvisasi, pengayaan, atau modifikasi, sesuai dengan kebutuhan peserta.

Setiap sesi pelatihan dilengkapi dengan tujuan, sub topik, bahan ajar dan bahan bacaan pendukung. Jika setiap sesi dilengkapi dengan bacaan-bacaan ringkas, hanyalah bersifat pengantar, serta bukan dimaksudkan sebagai bahan bacaan yang paripurna. Karena itu, di setiap sesi juga ditampilkan beberapa bahan bacaan pendukung terpilih, yang senantiasa dapat ditambah, diperkaya, atau dikurangi.

(6)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 5

Modul ini sangat cocok digunakan untuk melatih para aktivis gerakan sosial tingkat pemula dan menengah, meskipun tidak tertutup kemungkinan digunakan bagi pelatihan level lebih tinggi. Agar proses pelatihan berlangsung efektif, sangat disarankan agar pelaksana pelatihan melakukan seleksi, sehingga para peserta pelatihan memiliki kemampuan dan pengalaman yang relatif sama.

Selamat menggunakan modul ini. Kami dengan senang hati akan sangat bergembira untuk menerima masukan, kritik, untuk perbaikan modul ini.

Yogyakarta, Februari 2013

Tim Penulis : R. Yando Zakaria, Paramita Iswari Dimpos Manalu

(7)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 6

SAMBUNGKAN!

Program Peningkatan Interaksi Masyarakat Sipil dan Pembuat

Kebijakan di Indonesia

Pengantar

Sistem perwakilan sudah dipraktikkan di Indonesia sejak merdeka—khususnya sejak pemilihan umum dilakukan pertama kali tahun 1955—dan melewati proses pelembagaan yang dinamis hingga saat ini. Namun, sejak pemerintahan Presiden Soekarno hingga Soeharto, sebagian orang yang mengisi lembaga representasi itu ditunjuk (appointed) tanpa melalui proses kompetisi dalam pemilihan umum, yakni utusan-utusan golongan. Situasi ini baru berubah setelah reformasi, sejak pemilu 1999. Sejak saat itu, semua anggota legislatif dipilih melalui pemilu.12

Pada masa Soeharto selama 32 tahun, pemilu hanya dilaksanakan sebagai formalitas. Selain adanya sejumlah anggota legislatif yang ditunjuk, pemenang pemilu juga sudah bisa diperkirakan: Partai Golongan Karya (Golkar). Kekuasaan lembaga eksekutif sangat kuat (executive heavy), sedangkan lembaga perwakilan tak memiliki otoritas melakukan kontrol kekuasaan eksekutif (rubber-stamp). Selama periode ini, masyarakat sipil tak memiliki saluran aspirasi dan kepentingan. Saluran alternatif, seperti organisasi masyarakat sipil (OMS), tak memiliki ruang untuk berkembang dan kuat. OMS, yang dalam sistem demokrasi merupakan institusi komplementer institusi representasi formal, justru berada dalam posisi berhadap-hadapan atau diametral satu sama lain.

Reformasi politik pasca-Soeharto menggeser bandul kekuasaan ke legislatif (legislative heavy). Lembaga perwakilan itu memiliki otoritas yang luas dan kuat dalam fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Pemilu berlangsung jujur dan adil dalam sistem multi-partai yang tergolong paling liberal di dunia. Namun, seperti disinggung di atas, lembaga representasi rakyat ini dirasakan belum mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang responsif terhadap kepentingan publik. Justru yang terjadi adalah politik transaksional dan korupsi besar-besaran. Partai politik yang berperan menentukan kualitas representasi tak berfungsi dengan baik, rakyat sama sekali tidak puas.13 Ringkasnya, penataan relasi lembaga representasi dengan masyarakat (jalur a dan d) yang direpresentasikan melalui revisi-revisi UU pemilu, susunan dan kedudukan

12 Lihat Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Jakarta: Kencana-Predana Media Group, 2010.

(8)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 7

lembaga perwakilan, dan partai politik, setiap lima tahun, tidak serta-merta memperbaiki kualitas relasi itu.

Di sisi lain, organisasi masyarakat masih sipil lemah, meskipun mereka kini sudah memegang kebebasan yang substansial. Dalam pandangan Nyman (2009), terdapat setidaknya tiga faktor yang mempengaruhi peran civil society di Indonesia menjadi kekuatan yang mempengaruhi negara, yakni: pertama, represi dan hegemoni negara Orde Baru membuat masyarakat sipil di Indonesia menjadi apolitis dan minimnya organisasi yang kuat dan solid; kedua, kuatnya akar penetrasi militer(isme) dalam kehidupan sosial membuat masyarakat sipil yang kuat dan independen sulit berkembang; ketiga, berkembangnya sentimen primordial berbasis agama, buruknya toleransi, dan bertumbuh suburnya radical religious groups. Karena kemandirian masyarakat sipil tak hanya penting dalam hubungan dengan negara, maupun aspek ekonomi dan politik, namun tak kalah penting adalah interaksi di antara berbagai organisasi masyarakat sipil. Dengan demikian, repolitisasi masyarakat sipil dan pengembangan pluralisme, termasuk berbasis gender, menjadi agenda yang tak kalah penting. Memang, di tengah tekanan dan fragmentasi itu, muncul sekian banyak organisasi non-pemerintah (NGOs), tapi umumnya adalah fenomena kelas menengah terpelajar, There are still very few examples of forceful attempts at making use of new liberties, to go from elitist foundations to mass-based organizations. 14 Kelemahan-kelemahan ini membuat organisasi masyarakat sipil atau gerakan sosial belum memiliki kapasitas yang memadai sebagai kekuatan alternatif untuk memperbaiki relasi warga negara dengan negara (jalur b dan e).

Namun demikian, sejauh ini organisasi masyarakat sipil atau gerakan sosial telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai institusi alternatif bagi warga negara, menandingi institusi representasi formal, untuk memperjuangkan kepentingan sekaligus mengontrol kekuasaan negara. Beberapa inisiatif yang layak dicatat, antara lain, peningkatan partisipasi masyarakat melalui sejumlah forum warga , utamanya pada upaya-upaya perbaikan pelayanan publik di tingkat daerah15; inisiatif kolektif untuk meningkatkan kinerja ORNOP berkaitan dengan upaya meningkatkan kadar transparasi dan akuntabilitas ORNOP dalam menjalankan mandat kerjanya16; gerakan-gerakan sosial juga secara aktif mengajukan

14 Olle Tornquist, Popular Development and Democracy: Case Studies with Rural Dimension in the Philippines, Indonesia, and Kerala, Oslo: UNSRID & SUM, 2002, p. 72.

15 Lihat Hetifah Sjaifuddian, ed., Partisipasi Masyarakat dan Inovasi Tata Pemerintahan Tingkat Lokal (Jakarta: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat & Ford Foundation, 2004; Nor Hiqmah, et.al., Gerakan Ekstra Parlementer Baru, Mendorong Demokrasi di Tingkat Lokal, YAPPIKA, 2008).

(9)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 8

agenda (perubahan) kebijakan melalui legislatif di daerah maupun di pusat (DPR/D dan MPR), seperti mengajukan Tap MPR tentang Reforma Agraria maupun legislasi serupa di daerah-daerah, rancangan undang-undang (RUU) Perlindungan Masyarakat Adat, dll.17

Terkait langsung dengan dinamika proses demokratisasi yang demikian itu, lembaga kerjasama pembangunan dari Amerika Serikat, dalam hal ini adalah USAID mengembangkan sebuah prpgram yang disebut sebagai Program Representasi, atau disingkat ProRep. PAda intinya program yang diluncurkan pada bulan April 2011 lalu itu, dan akan berlangsung selama 3 sampai 5 tahun ke depan, memiliki perhatian pada 3 (tiga) agenda utama.

Yakni, pertama, mengembangkan kemampuan organisasi masyarakat sipil yang berbasis anggota sehingga mereka dapat mewakili kepentingan anggota atau konstituen mereka dalam mengadvokasi isu kunci dan melibatkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat; kedua mendukung analisis yang independen dan diskusi publik mengenai legislasi dan kebijakan yang memiliki dampak besar terhadap pemerintahan yang demokratis; dan ketiga, bekerja sama dengan mereka yang peduli untuk memastikan proses legislasi menjadi lebih efektif, responsif dan transparan.

Komponen Program ProRep

Sementara itu, terkait dengan focus kegiatan yang pertama, ProRep berdasarkan asesmen awal yang telah dilakukan, program ini mengidentifikasi sejumlah persoalan yang saat ini menjadi focus perhatian advokasi organisasi masyarakat sipil dan membuat mereka berinteraksi dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Piramedia, 2010; dan KARSA, Modul Tingkatkan: Metoda Evaluasi Peningkatan Kinerja Pelayanan ornop Berbasis Ketidakpuasan Pengguna Layanan. Jakarta: KARSA, Yayasan Tifa, dan YAPPIKA, 2008.

(10)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 9

Pelatihan bagi OMS

Dalam kerangka kerja yang demikian, ProRep telah memutuskan untuk

memfokuskan perhatian pada pengembangan kapasitas organisasi masyarakat sipil dimaksud dalam 3 urusan utama. Pertama, meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat sipil dalam melakukan advokasi; kedua, meningkatkan kemampuan organisasi masyarakat sipil dalam memperluas konstituensi dan jaringan gerakannya; dan ketiga, meningkatkan ketrampilan organisasi masyarakat sipil dalam berinteraksi dan/atau bekerja pada ranah-ranah politik formal, khususnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam rangka mencapai tujuan program Pelatihan bagi Organisasi Masyarakat Sipil, ProRep telah meminta Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), sebuah organisasi masyarakat sipil yang cukup berpengalaman dalam merancang dan melaksanakan kegiatan-kegiatan pengambangan kapasitas bagi organisasi masyarakat sipil yang berkedudukan di Yogyakarta. Dalam kerjasama itu disepakati bahwa KARSA diminta menyusun sebuah modul pengembangan kapasitas yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja organisasi masyarakat sipil dalam menggunakan instrumen-instrumen politik formal, utamanya adalah Parlemen, dengan seluruh komponen yang terkait padanya. Agar modul dimaksud dapat berdaya guna, sebelum menyusun modul, KARSA diminta pula untuk melakukan studi meja atas 5 (lima) kasus advokasi yang pernah dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil dan/atau jaringan organisasi masyaralat sipil; dan juga melakukan sebuah focus group discussion yang juga melibatkan sejumlah anggota ataupun mantan Dewan Perwakilan Rakyat yang bertujuan mempertajam temuan-temuan studi meja dan rancangan materi yang hendak dimasukkan ke dalam modul

dimaksud.

SAMBUNGKAN : sebuah Upaya untuk Meningkatkan )nteraksi Masyarakat Sipil dan Pembuat Kebijakan di Indonesia

(11)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 10

KARSA sangat menyadari bahwa membangun kerjasama efektif antara organisasi gerakan sosial dan lembaga perwakilan formal, sebagaimana disinggung dalam bagian terdahulu bukanlah perkara yang mudah. Mengompromikan kepentingan masyarakat akar rumput dan organisasi gerakan sosial secara umum di satu sisi, dengan kepentingan elite politik yang memiliki akses yang kuat terhadap lembaga perwakilan dan negara di sisi lain, acapkali menemukan jalan buntu. Selain itu, elan politik semasa Orde Baru yang berlangsung lebih dari 30 tahun itu telah menciptakan sikap ketidakpercayaan antar-pihak yang demikian tinggi. Bahkan, berkembang pula sikap saling tidak percaya antar-institusi.18

Betapapun, keterputusan tersebut, jika dapat dikatakan begitu, tidaklah kondusif bagi penciptaan tatanan sosial politik sebagaimana yang digambarkan secara ringkas oleh 'segi empat diamond' yang dikembangkan Jenkins dan Kladermans (1995). Sebab, lembaga perwakilan politik dan gerakan-gerakan sosial merupakan dua entitas yang elementer, sekaligus komplementer, dalam proses democratizing democracy.

Agar upaya sinergis ini lebih efektif, mau tidak mau, proses-proses politik di parlemen haruslah dipahami oleh organisasi gerakan-gerakan sosial, baik yang bersifat substansial maupun teknis-administratif, termasuk di dalamnya hal-hal yang mempengaruhi prioritas di tubuh legislatif. Utamanya soal-soal yang berkaitan dengan kemampuan untuk memahami komitmen-komitmen politik pada tiap-tiap partai politik ataupun fraksi, komisi, maupun alat kelengkapan DPR lainnya. Sementara di pihak lain, diperlukan pula tumbuhnya kepercayaan di lembaga legislatif terhadap organisasi-organisasi gerakan sosial. Upaya-upaya membangun saling pengertian, pemahaman, dan pengakuan antar kedua entitas ini menjadi agenda yang sangat penting.

Dalam konteks inilah, program peningkatan interaksi antara masyarakat sipil dan pembuat kebijakan, yang kami sebut dengan SAMBUNGKAN!, menjadi relevan dalam konteks pembangunan demokrasi di Indonesia dewasa ini. Dengan program penguatan masyarakat sipil, maka entitas ini memiliki kemampuan memainkan peran alternatif terhadap institusi formal yang tersedia, namun tak berfungsi efektif. Sekaligus, organisasi-organisasi masyarakat sipil ini mampu dan memiliki kompetensi mempengaruhi pembuat kebijakan (policy makers) untuk melahirkan berbagai kebijakan publik (policies) yang kongruen dengan kepentingan publik.

Tujuan SAMBUNGKAN!

Program SAMBUNGKAN! ini dimaksudkan untuk menyambungkan aspirasi rakyat melalui organisasi masyarakat sipil kepada pembuat kebijakan demi melahirkan berbagai kebijakan publik (policies) yang kongruen dengan kepentingan publik dalam konteks demokrasi di Indonesia.

18

(12)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 11

Secara khusus, program ini bertujuan untuk:

1. Meningkatkan pemahaman organisasi masyarakat sipil atas struktur organisasi DPR dan fungsi dari masing-masing komponen dalam struktur terkait.

2. Memperkuat kapasitas untuk mengidentifikasi komponen-komponen dalam struktur, termasuk individu di dalamnya, yang relevan dengan isu yang diadvokasi demi keberhasilan advokasi itu sendiri

3. Meningkatkan pemahaman atas proses politik dalam DPR dan Eksekutif terkait isu advokasi dan dapat membangun strategi yang tepat untuk sehingga dapat mensiasati berbagai macam sikap politik

4. Membangun pemahaman mengenai pentingnya bekerjasama dengan pembuat kebijakan dalam sebuah proses advokasi

5. Meningkatkan kapasitas agar organisasi masyarakat sipil dapat menggunakan berbagai cara atau metode dalam berinteraksi dengan pengambil kebijakan berdasarkan pengalaman kelompok advokasi, koalisi LSM, Organisasi Masyarakat Sipil bahkan kelompok think tank atau kelompok penekan lainnya; sekaligus memahami konsekuensi, efektifitas dan dampak dari setiap metodenya

6. Mengembangkan cara-cara untuk mengkomunikasikan isu yang menjadi perhatian para pembuat kebijakan dan keputusan, secara efektif --tidak terbatas pada teknik presentasi-- untuk memastikan efektivitas advokasi mereka untuk mencapai tujuannya

7. Memperkuat hubungan dengan atau memformulasikan cara alternatif untuk melibatkan para pembuat kebijakan dan keputusan

8. Meningkatkan keahlian dalam berkomunikasi personal

9. Memperkuat ketrampilan dalam penyelenggaraan diskusi dan berpartisipasi dalam sebuah diskusi

Silabus SAMBUNGKAN!

Sementara itu, merujuk pada teori-teori yang berkaitan dengan gerakan sosial dan hasil studi meja yang telah dilakukan KARSA, setidaknya terdapat 4 (empat) hal yang perlu diperkaya dalam rangka memperbaiki jembatan rusak yang menghubungkan gerakan sosial (baca: organisasi mastarakat sipil) dengan parlemen, termasuk dengan partai politik yang menjadi sentra proses-proses politik formal itu. Keempat dimaksud adalah,

pertama, berkaitan dengan soal pemahaman substansi dan pengkerangkaan masalah

(13)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 12 mengantarai gerakan sosial dan perlemen itu. Materi-materi dimaksud berkaitan dengan (1) pemahaman tentang hubungan gerakan sosial dan kebijakan publik yang baik; termasuk dalam hal ini adalah pemahaman yang berkaitan dengan cara kerja kekuasaan dalam ranah politik formal itu; (2) pemahaman tentang struktur kewenangan dan fungsi-fungsi parlemen; dan (3) adalah hal-hal yang berkaitan dengan ketrampilan pokok yang dibutuhkan agar komunikasi (politik) antara pelaku gerakan sosial dan parlemen itu menjadi lebih efektif dari waktu-waktu sebelumnya.

(14)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 13

Dengan mempertimbangkan berbagai keterbatasan yang ada, utamanya keterbatasan waktu dan biaya penyelenggaraan yang dibutuhkan, maka ketiga persoalan pokok di atas dikembangkan ke dalam sejumlah materi ajar yang diperkirakan akan mampu meningkatkan kapasitas organisasi masyarakat sipil bekerja dan atau memanfaatkan ranah-ranah politik formal dimaksud, yang penyampaiannya tidak lebih dari 3 (tiga) hari pelatihan, @ 5 sesi pengajaran, dan setiap sesinya akan berlangsung sekitar 1,5 jam.

Materi-materi yang di maksud adalah sebagai berikut:

1. Materi tentang Tantangan Masa Depan Gerakan Sosial: From Broken linkage to

Political linkages; Dari kelompok inti ke Blok Politik, dari dunia nyata ke dunia

maya; dan Theory of power cube; 1 sesi, setara 1,5 jam;

2. Materi tentangStruktur, Kewenangan, dan Fungsi Parlemen; 2 sesi; setara 3 jam; 3. Materi terkait Diplomacy skill, Critical Policy Analysis, 3 sesi; setara 4,5 jam;

4. Materi terkait Diplomacy skill, Analisis Aktor, identifikasi Ranah Kekuasaan, dan strategi komunikasi politiknya, sesi, setara 3 jam;

5. Materi terkait Diplomacy skill, Lobby , sesi, setara jam;

6. Materi terkait Diplomacy skill, Effektive speaking, 2 sesi, setara 3 jam.

Bahan ajar yang disampaikan untuk mendukung materi-materi di atas adalah sebagai berikut :

1. Ringkasan hasil desk study 5 kasus advokasi di Indonesia.

2. Cornelis Lay, Broken Linkages : A Preliminary Study on Parliament-CSOs

Linkages in )ndonesia , paper prepared for the panel on )ndonesian Democracy in Comparative Perspective at Euroseas, Guttenberg, 26-28 August 2010. (Abstrak versi terjemahan dalam Bahasa Indonesia).

3. John Gaventa, Finding the Spaces for Change : A Power Analysis , )DS Bulletin Volume 37 Number 6 November 2006 @Institute of Development Studies (versi terjemahan dalam Bahasa Indonesia).

4. Enabling Environment, Understanding Power Relations. Souce : Power

Pack –Understanding Power for Social Change , )nstitute of Development Studies, UK. Useful links : www.powercube.net

(15)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 14

6. Erni Suryati dan M.Nur Sholikin, Bagaimana Undang-Undang Dibuat ,

sebagaimana dapat diunduh dari

http://www.parlemen.net/site/ldetails.php?docid=bagaimana.

7. Glosarium

8. Tulisan singkat mengenai Analisis Kritis Kebijakan Publik : Perspektif Gerakan Sosial .

9. Tulisan singkat mengenai Merumuskan Policy Brief .

10.Contoh Policy Brief

11.Tulisan singkat mengenai Analisis Aktor, )dentifikasi Ranah Kekuasaan serta Strategi Komunikasi Politik .

12.Tulisan singkat mengenai lobby : Lobby : Sebuah Bentuk Strategi Komunikasi Politik Dalam Advokasi .

13.Tulisan singkat mengenai Effective Speaking : Bicara Efektif : Salah Satu

(16)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 15

Topik 1

Tantangan Masa Depan

Gerakan Sosial: From

Broken linkage to Political

linkages; dari Kelompok

)nti ke Blok Politik; dari

Dunia Nyata ke Dunia Maya

- Theory of Power Cube

(John

Gaventa)

Tujuan

Setelah mempelajari topik ini, Anda diharapkan akan dapat:

1. Merekonstruksi pemahaman empiris peserta tentang pengalaman-pengalaman organisasi masyarakat sipil (OMS) mendorong perubahan kebijakan di Indonesia, baik dalam konteks parlementarian maupun ekstra-parlementarian; 2. Mempertajam pemahaman peserta tentang pentingnya relasi yang lebih efektif

(democratic linkages) antara OMS dan parlemen dalam kerangka mendorong perubahan kebijakan di Indonesia;

3. Mengelaborasi bentuk-bentuk atau wujud democratic linkages dalam relasi CSO/OMS-parlemen di masa mendatang;

4. Memahami lebih dalam level dan dimensi-dimensi kekuasaan teori power cube —John Gaventa) dan kaitannya dengan democratic linkages.

Materi

1. Studi kasus 5 gerakan advokasi di Indonesia ditinjau dari konsep dasar dan teori-teori pokok gerakan sosial.

2. Masalah-masalah dan prospek political linkages antara OMS-Parlemen

3. Pengantar teori democratic linkages dan bentuk-bentuk engagement/political linkages CSO/OMS-parlemen;

(17)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 16

Bahan Belajar-1 Topik 1

Ringkasan Hasil Desk Research

Studi Kasus Kolektif

5 Organisasi Masyarakat Sipil

(Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria)

Tim Penulis:

R.Yando Zakaria

Paramita Iswari

Dimpos Manalu

(18)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 17

Bab 1

Gambaran Singkat Lima Kasus Advokasi

Seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu, dengan menerapkan kriteria tertentu, dan melalui proses tertentu, akhirnya telah ditetapkan 5 (lima) kasus advokasi, baik yang dinilai berhasil, maupun, untuk sementara, masih gagal mencapai tujuannya.

Berikut adalah gambar singkat tentang kasus-kasus dimaksud, dengan penekanan pada gambaran umum tentang masalah yang diperjuangkan, aktor-aktor yang terlibat, reportoisr of action yang sempat dilakukan, dan gambaran singkat tentang

political opportunity structure yang ada pada masa advokasi yang bersangkutan.

Urutan penyajian uraian ringkas masing-masing kasus disusun berdasarkan tahun-tahun kejadiannya. Kejadian yang telah lama berlangsung diuraikan terlebih dahulu, dan kasus-kasus terbaru diuaraikan dalam kemudian.

1.1 Upaya jaringan OMS memperjuangkan TAP MPR tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan, dan RUU Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan (PA-PSDA pada waktu-waktu berikutnya (1999 – 2003)

Situasi sosial politik di Indonesia segera berubah ketika penguasa otoriter Orde Baru, Jenderal Besar Soeharto, turun dari kekuasaannya karena dipaksa gerakan mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil, yang didukung oleh perpecahan elite politik dan krisis moneter. Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie. Situasi yang baru ini ditandai dengan melemah simbol-simbol otoritas negara-kuat, meningkatnya kepercayaan diri dan aktivitas politik masyarakat sipil. Kebebasan dan struktur peluang politik yang selama tahun menyempit menjadi terbuka.

Euforia politik tak hanya berlangsung di Jakarta. Di seluruh wilayah Nusantara, kelompok-kelompok masyarakat akar rumput yang hak-hak asasinya ditiadakan selama era Orde Baru, mulai menggeliat. Mereka, apakah petani yang tanahnya dirampas pemerintah dan pengusaha, buruh yang upah dan hak-hak normatifnya disunat, nelayan yang selama ini terpinggirkan dan ditekan pengusaha perikanan, kaum miskin kota dan kelompok marginal lain yang selama ini tak diperdulikan negara, masing-masing bangkit menuntut hak-haknya. Wacana politik menjadi sangat ramai oleh hiruk-pikuk berbagai tuntutan pemenuhan hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya sesuai dengan problem yang selama ini dihadapi komunitas-komunitas rakyat.

(19)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 18

Di sektor agraria, misalnya, jatuhnya Orde Baru mendorong para petani mengokupasi lahan milik pemerintah (Perhutani) dan penguasa Orde Baru. Hanya sehari setelah Soeharto lengser, para petani Cibedug, Jawa Barat, langsung mengokupasi lahan dan menanami berbagai jenis tanaman di Peternakan Tapos, milik keluarga Soeharto. Peternakan ini merupakan salah simbol kejayaan Soeharto, sebab di sinilah berbagai event penting diselenggarakan, seperti mengumpulkan pada pengusaha papan atas tanah air untuk membiayai yayasan-yayasan milik keluarganya. Militer sempat mencoba menghadang okupasi ini dan bentrok fisik tak terhindarkan. Namun, akhirnya perlawanan petani, yang kemudian didukung NGO dan kelompok-kelompok mahasiswa dari Bogor, tak bisa dihentikan.19

Bersamaan dengan itu, pada hampir seluruh wilayah Perhutani di Jawa marak terjadi penjarahan kayu jati. Demikian juga, kelompok-kelompok tani melakukan okupasi dan reclaiming atas tanah yang selama ini dikuasai pemerintah maupun sektor swasta. Di Jawa Barat, Serikat Petani Pasundan melakukan okupasi terhadap ribuan hektar lahan Perhutani. Di Sumatera, komunitas-komunitas petani di Lampung, Bengkulu, Sumatera Utara, melakukan reclaiming terhadap tanah-tanah yang dikuasai perusahaan perkebunan negara (PTPN) dan swasta yang masa hak guna usaha (HGU) sudah berakhir, namun tidak dikembalikan kepada rakyat.

Menyikapi maraknya permasalahan tanah dan tuntutan lebih luas reforma agraria, Presiden Habibie menerbitkan Keputusan Presiden No. 48/1999 yang memberikan mandat kepada Menteri Kehakiman dan Menteri Negara Agraria untuk memimpin sebuah tim mengkaji kebijakan dan aspek-aspek legal pelaksanaan land reform berdasarkan UUPA 5/1960. Untuk merealisasikan hal itu, Menteri Kehakiman Prof Muladi menunjuk Guru Besar Hukum Pertanahan UGM Prof Maria S.W. Sumardjono sebagai ketua tim. Namun, usia pemerintahan Habibie tidak berlangsung lama. Pemilihan umum menghasilkan peta baru kekuasaan dan terpilihnya Abdurahman Wahid-Megawati Soekarnoputri yang terpilih pada Sidang Umum MPR November 1999. Tim land reform ini pun bubar dan tak sempat menyelesaikan tugasnya bersamaan dengan pergantian kekuasaan.20

Terpilihnya Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri yang masing-masing dikenal sebagai aktivis pro-demokrasi dan partai oposisi pada masa Orde Baru memberi harapan baru bagi agenda reforma agraria. Megawati merupakan ketua umum partai pemenang pemilu 1999, PDIP, yang menguasai 30,8 persen parlemen, diikuti Golkar, PPP, dan PKB. Selama periode ini kampanye land reform meningkat tajam, melalui berbagai taktik kampanye publik, termasuk menggunakan poster, pamflet, dengar pendapat publik, demonstrasi, petisi, konferensi pers, seminar, mogok makan, dan lobi.21

Pada tahun 2000, Presiden Abdurahman Wahid mengumumkan ke publik akan mendistribusikan 40 persen tanah perkebunan milik negara kepada petani tak bertanah, khususnya kepada para petani penggarap. Namun, statement Gus Dur ini juga

19 Lihat Dianto Bachriadi (2010), Between Discourse and Action: Agrarian Reform and Rural Social Movements in Indonesia post-1965 (PhD thesis), Adelaide/Australia: Flinders University, p. 69-70 20 Noer Fauzi Rachman (2012), hlm. 85-87

(20)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 19

tidak sempat diimplementasikan menyusul pemecatan (impeachment) dirinya dari kursi kepresiden, Juli 2001, dan digantikan Megawati.22

Menurut Noer Fauzi, perubahan politik yang sangat dramatis dalam kepemimpinan nasional, di mana MPR masih memegang peran sentral, memperkuat gairah aktivis agraria yang dipimpin Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang sejak 1999, mengusulkan Panitia Ad Hoc MPR RI untuk mempersiapkan Tap MPR pembaruan agraria. Inisiatif KPA ini kemudian disambut dan diperkuat Maria S.W. Sumardjono, yang saat itu menjadi staf ahli MPR untuk PDIP, dan menjadi kunci yang memungkinkan ide ini mengalir ke dalam proses kebijakan resmi di MPR.23

Di sisi lain, sekelompok LSM yang bergerak di bidang lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam, yang bergabung dalam Kelompok Kerja untuk Pengelolaan Sumber Daya Alama (Pokja PSDA), juga bergerak mendorong terbitnya MPR tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sehingga, saat itu terdapat dua draft Tap MPR yakni Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Melihat kenyataan ini, kedua kelompok bersepakat dan berjuang bersama di bawah satu payung, yang diberi nama Kelompok Kerja untuk Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Pokja PA-PSDA).24

Perkembangan selanjutnya, Panitia Ad Hoc MPR pun menggabungkan kedua draf itu menjadi satu. Pada November 2001, Sidang Umum MPR menetapkan Ketetapan MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan ini tergolong fenomenal karena dihasilkan kerja kolektif kekuatan-kekuatan reformis, khususnya NGO yang berkolaborasi dengan akademisi; didorong oleh gerakan-gerakan kaum tani; yang secara keseluruhan mampu memanfaatkan konfigurasi politik baru di parlemen.

. Upaya gerakan perempuan memperjuangkan Kuota % Perempuan di Parlemen – 2003)

Berawal dari data bahwa jumlah perempuan lebih besar daripada laki-laki di Indonesia, namun ironisnya jumlah perempuan yang menjadi representasi dan berada dalam posisi strategis pengambilan keputusan di parlemen justru sangat minim.25 Minimnya representasi perempuan dalam bidang politik ini antara lain disebabkan oleh kondisi budaya yang patriakal di Indonesia.. Implikasinya, keputusan yang diambil di parlemen bersifat maskulin dan kurang berperspektif gender.26 Kebijakan cenderung

22 Dianto Bachriadi, op.cit. p.76 23 Noer Fauzi, hlm. 91-92.

24Untuk uraian yang lebih detail, lihat Noer Fauzi (2010), ―Perjalanan Aktivis Agraria: dari Turba,

Aksi Protes hingga Kolaborasi Kritis‖ Prolog untuk Usep Setiawan, Kembali ke Agraria,

Yogyakarta/Jakarta/Bogor: STPN Press, KPA, dan Sajogyo Institute; Noer Fauzi (2012), hlm 92-95. 25 Jumlah perempuan pemilih dalam pemilu 1999 adalah 51 persen (LPU 1999), sementara jumlah perempuan yang duduk di parlemen untuk pengambilan keputusan dari tahun 1955 sampai 1999 persentase paling tinggi hanya 13 persen. Sementara dari 48 partai politik yang ikut pemilu pada tahun 1999, 28 diantaranya memiliki departemen perempuan, namun cuma 11 yang mempunyai platform tentang perempuan (Media Indonesia, 1 Juni 1999).

(21)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 20

tidak mengakomodir kepentingan perempuan sehingga perempuan semakin terpinggirkan.

Salah satu upaya yang kemudian dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut di atas adalah dengan memberikan kemudahan akses dalam bentuk tindakan afirmatif bagi perempuan, seperti pemberian kuota untuk duduk dalam posisi strategis pembuatan keputusan di parlemen. Seperti yang dinyatakan Dr. Chusnul Mariyah

(dalam Umaimah Wahid, 2006:2), mengenai pentingnya kuantitas perempuan yang duduk di parlemen. Dinyatakan bahwa dalam sejarah parlemen di dunia dan dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa jumlah wakil parlemen yang semakin signifikan seperti 20, 30 atau bahkan 40 persen dari total anggota sangat memberi dampak pada berhasil tidaknya sebuah isu diperjuangkan. Diharapkan segala keputusan yang dibuat ke depan akan mempertimbangkan kepentingan perempuan di segala bidang, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya.27

Advokasi affirmative policy yang mengenai kuota perempuan di parlemen pun digagas oleh gerakan perempuan. Gerakan perempuan memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen diawali gerakan perempuan se-dunia memperjuangkan kehidupan politik yang demokratis bagi seluruh perempuan. Melalui sebuah konggres internasional pada tahun 1995, disepakati bahwa kuota 30 persen di parlemen untuk perempuan akan diperjuangkan. Hal itu lebih ditegaskan dalam kongres perempuan se-Dunia tahun 1996 di Beijing, China.28 Ini yang kemudian menjadi landasan titik tolak gerakan perempuan di Indonesia tentang kuota perempuan 30 persen di parlemen.

Langkah pertama yang dilakukan oleh aktivis perempuan di Indonesia adalah mempersatukan persepsi mengenai affirmative action ini diantara perempuan, organisasi pemerhati perempuan termasuk perempuan yang berada di partai politik dan parlemen. Termasuk di dalamnya mengkonsolidasikan kekuatan melalui pendirian Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) pada bulan Nopember tahun 2000.

KPPI adalah organisasi independen yang keanggotaannya bersifat inklusif, yaitu merupakan gabungan 17 partai politik, perempuan anggota DPR-RI yang bergabung dalam Kaukus Perempuan Parlemen, 38 LSM dan organisasi masyarakat seta kelompok akademisi yang bergabung dalam Jaringan Perempuan dan Politik dan 78 organisasi wanita yang bergabung dalam Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). (Swara Androgini, Vol. II No. 5 Juni 2003, hal 14).. Keberadaan KPPI dimaksudkan agar dapat menjadi wadah komunikasi dan menjadi solidaritas antara perempuan selaku fungsionaris partai politik dan aktivis ornop perempuan.

Kerja, UU Sisdiknas, UU Kependudukan, Rivisi KUHP, UU buruh migran, UU KDRT, UU Pornografi dan Pornoaksi, UU Perlindungan anak dan UU Lingkungan Hidup.

27 Walaupun masuk ke parlemen baru merupakan langkah awal perjuangan panjang perempuan. Menurut Azza Karam (1999:118) Pada saat perempuan memasuki parlemen, perjuangan mereka masih belum selesai. Di parlemen, perempuan memasuki bidang laki-laki. Parlemen dibentuk, diorganisasikan dan didominasi oleh laki-laki, yang bertindak untuk kepentingan mereka dengan membangun prosedur-prosedur yang menguntungkan diri mereka sendiri.

(22)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 21

Gerakan perempuan ini melakukan berbagai cara dengan satu tujuan bersama. Mereka juga terus melakukan kunjungan ke berbagai partai politik, untuk memperoleh komitmen dukungan mengenai hal ini. Namun, ternyata pada Rapat Paripurna Pengesahan RUU Partai Politik di tahap pertama yaitu tanggal 28 November 2002, kuota 30 persen perempuan dalam kepengurusan partai politik tidak tercantum.

Kegagalan ini tidak mengendorkan semangat gerakan perempuan. Kerja keras terus dilakukan dengan sasaran kuota 30 persen dalam RUU Pemilu. Dalam pembahasannya, Pansus RUU pemilu ini ternyata terdiri dari hanya dua partai politik yaitu Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa. Isu kuota perempuan 30 persen pun berhasil tercantum dalam Daftar Isian Masalah (DIM) yang diajukan mereka. Ironisnya dalam usulan draft DIM dari pemerintah tidak ada pencantuman kuota 30 persen.

Pembahasan mengenai hal ini berlangsung alot dan tidak kunjung mendapatkan keputusan. Hal ini disebabkan karena banyak fraksi yang menolak kuota dan salah satunya adanya partai besar yang sangat menentukan, yaitu Fraksi PDIP.29 Perdebatan terus menerus berlangsung bahkan sampai jadwal Sidang Paripurna selesai. Kesepakatan belum tercapai, baik tentang persoalan kuota maupun beberapa masalah lainnya.

Ketika jeda makan siang, lobby mulai gencar dilakukan. Berbicara langsung maupun via sms terus dilakukan kepada anggota dewan terutama fraksi PDIP yang menentukan suara untuk pengambilan keputusan. Pada akhirnya Fraksi PDIP menyetujui kuota perempuan dimasukkan dalam UU Pemilu.

Proses panjang dan menegangkan pada 11 Maret 2003 ini membuahkan keberhasilan mendesakkan klausul dalam Undang-undang No 12 Tahun 2003 yang membuka peluang bagi terwujudnya kesetaraan perempuan dalam politik di parlemen.

Affirmative policy ini diwujudkan melalui ketentuan Pasal 65 ayat (1) yang berbunyi : Setiap Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat mencalonkan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % .

. Upaya gerakan masyarakat sipil menggagalkan proses legislasi RUU Pornografi dan Pornoaksi yang bias kepentingan dan/atau pandangan kelompok dominan tertentu (2006 – 2007)

Berawal inisiatif parlemen untuk menyusun produk hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur tentang pornografi, atau dikenal dengan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (selanjutnya disingkat dengan RUU APP). RUU APP yang awalnya berisi 11 Bab dan 93 Pasal ini diajukan untuk pertama kalinya pada tanggal 14 Februari 2006.30 Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya pada 30 Oktober 2008 RUU ini disahkan menjadi UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

29 Bahkan Presiden Megawati Soekarno Putri dalam pidato-pidato resminya menolak dan

mengatakan bahwa, ―Jatah 30 % malah merendahkan derajat dan martabat perempuan‖.

30 RUU APP pertama kali diusulkan dalam Program Legislasi Nasional pada masa periode DPR 1999

(23)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 22

(ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan), yang terdiri dari 8 Bab dan 44 Pasal.31 RUU ini memicu kontroversi karena dipandang hendak menyeragamkan pikiran dan pandangan masyarakat atas suatu nilai moral dan akhlak. Tentunya penyeragaman ini berbasiskan pada nilai dari sudut pandang tertentu yang menafikan keberagaman di Indonesia.

Hal tersebut disebabkan karena definisi pornografi dalam UU ini sangat debatable

dan multitafsir. Para perumus UU ini lupa bahwa pornografi tidak mudah untuk didefinisikan. Kesulitan ini bukan semata-mata karena mendefinisikan pornografi berarti membatasi ruang lingkupnya, tetapi terutama karena banyaknya muatan kepentingan (ideologi, politik, dan agama), serta bias gender yang dikandung definisi itu sendiri. Apalagi dalam UU ini tidak dibedakan pengertian pornografi sebagai konsep yang netral secara moral dan deskriptif dari tulisan, gambar atau ucapan yang mengandung kecabulan dan tidak senonoh. Pornografi disamakan begitu saja sebagai tulisan-tulisan atau gambar-gambar yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika sehingga menimbulkan kesulitan dalam membedakan manakah gambar, tulisan atau perkataan yang benar-benar mengandung kecabulan dan tidak senonoh, dan manakah, yang meskipun bersifat erotis, tetapi merupakan ekspresi kebudayaan manusia.

Berdasarkan alasan tersebut, maka UU ini dianggap sebagai produk hukum yang mengingkari ekspresi budaya yang telah berakar ratusan tahun dalam suatu bagian masyarakat kita yang multietnik dan plural. Bahkan UU ini jelas sangat menggambarkan ketidaksetaraan (unequality) gender, karena kaum perempuan dianggap sebagai objek perilaku seks.

Selain itu, dalam proses pembahasan RUU ini di parlemen, ditemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan. Pertama, tidak adanya naskah akademik untuk RUU ini. Kedua, tertutupnya akses partisipasi masyarakat sehingga bertentangan dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketiga, tidak dijalankan amanat Bamus tanggal 23 Oktober 2008 oleh Pansus.

Oleh karena itu, selama pembahasannya bahkan sampai dengan diundangkannya UU ini marak mendapat penolakan dari sebagian elemen masyarakat di berbagai daerah, seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, dan Papua. Berbagai organisasi masyarakat sipil juga menolak kehadiran Undang-undang ini. Sebut saja Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Perkumpulan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahid Institute Foundation, Perserikatan Solidaritas Perempuan, Gerakan Integrasi Nasional, Yayasan Anand Ashram, Yayasan Sukma Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia, dan lain sebagainya.32

Sebagian besar elemen yang menjadi representasi keberagaman Indonesia ini kemudian berkonsolidasi dan membentuk Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI).

31 RUU Pornografi ini disepakati 8 fraksi di DPR, yaitu PKS, PAN, PD, PG, PBR, PPP dan KB sekitar pukul 23.00 WIB pada hari Selasa 28 Oktober 2008. Sedangkan 2 fraksi yakni PDIP dan PDS ditambah dua orang atas nama pribadi dari Fraksi Partai Golkar yang berasal dari Bali melakukan aksi walk out.

(24)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 23

Bagaimana pengalaman dalam advokasi UU ini, apa faktor pendorong dibalik cerita kegagalannya, termasuk apa strategi dan cara yang digunakannya serta dinamika hubungannya dengan parlemen disajikan berikut ini.

Menghadapi inisiatif RUU APP yang kontroversial di parlemen, beberapa pihak, yang menjadi inisiator ANBTI, menyelenggarakan pawai budaya Bhinneka Tunggal Ika pada tanggal 22 April 2006 di Jakarta. Acara ini diikuti sekitar 7.000 orang dari berbagai daerah dan kelompok masyarakat, baik dari kelompok adat, buruh, tani, nelayan, perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat, professional, akademisi, pelajar, mahasiswa, budayawan, seniman, dan lainnya.33 Acara pawai budaya ini dimaksudkan untuk menyadarkan bahwa Indonesia terdiri dari dari multikultur, yang berbeda-beda tapi tetap satu.

Ribuan peserta aksi ini kemudian melakukan pawai beriring-iringan dari Monumen Nasional (Monas) menuju jalan Thamrin hingga jalan Sudirman, kemudian berputar menuju Bundaran HI. Dimulai oleh kelompok pengendara sepeda onthel, delman, dilanjutkan dengan aksi-aksi tarian dan musik-musik daerah seperti tanjidor, gamelan, barongsai, tarian Bali, tarian adat Papua, tayub, reog, dan ondel-ondel. Banyak peserta tampak mengenakan pakaian tradisi Jawa, Tionghoa, Badui, Papua, Bali, Madura, Aceh, NTT dan lain-lain. Mulai dari kebaya hingga koteka dan berbagai baju daerah dari seantero Indonesia yang banyak mempertunjukkan area-area terbuka dari tubuh.

Banyak tokoh ikut serta dalam aksi demonstrasi ini, diantaranya mantan Ibu Negara Shinta N Wahid, GKR Hemas, Inul Daratista, Gadis Arivia, Rima Melati, Ratna Sarumpaet, Franky Sahilatua, Butet Kertaradjasa, Garin Nugroho, Goenawan Moehammad, Sarwono Kusumaatmadja, Dawam Rahardjo, Ayu Utami, Rieke Diah Pitaloka, Becky Tumewu, Ria Irawan, Jajang C Noer, Lia Waroka, Olga Lidya, Nia Dinata, Yeni Rosa Damayanti, Sukmawati Soekarnoputri, Putri Indonesia Artika Sari Devi dan Nadine Candrawinata, dan lain lain.

Aksi kemudian berlanjut pada 13 Mei 2006 di Komunitas Utan Kayu dengan dilakukannya deklarasi "Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika". Deklarasi ini, yang dibuka dengan pembacaan puisi Setelah Rambutmu Tergerai oleh Rendra, kemudian ditandatangani oleh tokoh-tokoh seperti WS Rendra sendiri, Lily Chadidjah Wahid, Adnan Buyung Nasution, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Shahnaz Haque, Jajang C Noer, Hariman Siregar, Budiman Sudjatmiko, Ayu Utami, Rahman Tolleng, Muslim Abdurachman, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, Garin Nugroho, Butet Kertaradjasa, Franky Sahilatua, Dian Sastro, Sujiwo Tedjo, Ade Rostina, BJD Gayatri, La Ode Ronald Firman, dan lain-lain.

Selang beberapa waktu kemudian, tepatnya pada 1 dan 2 Juni 2006, di Hotel Nikko – Jakarta, ANBTI bersama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Dirjen Kesbangpol - Depdagri mengadakan acara "Curhat Budaya". Selain itu, pada 3 Juni 2006, kembali digelar karnaval budaya di Bundaran HI dan sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman. Rangkaian aksi ini diberi judul Pancasila Rumah Kita . Beberapa tokoh yang terlibat dalam aksi tersebut antara lain Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Prof. Dr. Syafii Maarif, A. Mustofa Bisri, Prof. Edy Sedyawati, Ratna Sarumpaet, Siswono Yudhohusodo, I Gde Ardika, Franky Sahilatua, Prof. Melani Budianta, Moeslim Abdurahman, Mohammad

(25)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 24

Sobary, Mudji Sutrisno, Kamala Chandra Kirana, Prof. Dr. Toety Heraty, Jamal D. Rahman, Nurul Arifin, Mirta Kartohadiprodjo, Gugun Gondrong. Organisasi yang terlibat diantaranya Banteng Muda Indonesia, Arus Pelangi, Garda Bangsa, Repdem, GMKI.

Sebagai tindak lanjut, pada 22-25 Juni 2006 di Surabaya, diadakan Konsolidasi Nasional Bhinneka Tunggal Ika yang diikuti lebih dari 300 orang mewakili individu dan 225 lembaga se-Indonesia. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan bersama yang disebut Deklarasi Surabaya.

Secara paralel berbagai seminar, workshop, pernyataan dan opini di media massa terkait dengan isu ini juga gencar dilakukan. Keseluruhan aksi ini ditujukan untuk membukakan mata atas realitas kebhinekaaan di Indonesia yang terkait dengan pandangan atas nilai moral dan akhlak yang berbeda. Sehingga penyeragaman dengan melalui sarana hukum dan memberikan ancaman pidana menunjukkan negara telah berupaya untuk melakukan pemaksaan (coersion) atas suatu pandangan yang berbeda.

Proses di parlemen sendiri tetap berjalan. Setelah melalui beberapa kali uji publik, sosialisasi, RDPU, dan rapat-rapat Pansus34, akhirnya pada tanggal 24 Agustus 2007, DPR RI mengirimkan surat kepada Presiden perihal usul DPR mengenai RUU Pornografi. Judul RUU yang semula Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP), pada saat dikirimkan kepada Presiden menjadi RUU Pornografi. Kurang dari sebulan, turun surat presiden pada tanggal 20 September yang menunjuk Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, serta Menteri Hukum dan HAM untuk mewakili pemerintah dalam membahas RUU Pornografi tersebut. Awalnya tidak ada unsur Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Diduga pada awalnya Presiden tidak melihat isu pornografi sebagai isu perempuan dan anak, tetapi lebih memandang sebagai isu moral dan agama saja. Setelah beberapa lama barulah menyusul kemudian keterlibatan Menteri Pemberdayaan Perempuan. 35

Keempat menteri yang ditugaskan Presiden tersebut kemudian menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) versi pemerintah. Pada tanggal 29 Mei 2008 dilakukan rapat gabungan antara Pansus dan Pemerintah untuk membahas mekanisme pembahasan RUU Pornografi sekaligus pembentukan Panja. Rapat ini dilanjutkan pada tanggal 11 Juni 2008. Rapat kali ini menuai protes dari PDIP karena dianggap rapat Pansus kali ini tidak sesuai dengan kesepakatan dan prosedur.36 Namun fraksi yang lain tidak sepakat. Hal ini menyebabkan PDIP menyatakan walk out dari pembahasan RUU. PDIP juga menilai bahwa pembahasan RUU Pornografi terkesan terburu-buru dengan menyimpangi beberapa prosedur. Salah satunya dengan adanya pemalsuan tanda tangan beberapa anggota Panja yang sebenarnya tidak hadir dalam rapat tersebut.37

Rapat Panja antara DPR dan pemerintah terus berjalan, dan dilanjutkan dengan rapat Panja dengan agenda lobby. Rapat Panja RUU Pornografi secara efektif baru

34 Pansus untuk RUU ini diketuai oleh Balkan Kaplale dari Partai Demokrat, wakil ketua Yoyoh Yusron dari PKS serta Ali Mochtar Ngabalin dari PP sebagai juru bicara.

35 Lihat Dewita Hayu Sinta, Fisip UI, 2010

36 PDIP berpendapat bahwa DIM dari pemerintah dibahas terlebih dahulu di Pansus lalu ditentukan DIM mana saja yang akan dibahas di Panja. Hal ini dikarenakan Panja tidak bisa membahas persoalan subtansi tapi lebih pada membahas masalah redaksional, harmonisasi dan struktur RUU. Dengan demikian PDIP mengusulkan rapat kali itu adalah rapat Pansus yang membahas DIM pemerintah terlebih dahulu.

(26)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 25

dimulai pada tanggal 4 September 2008. PDIP akhirnya memutuskan untuk masuk lagi pada pembahasan Panja dengan pertimbangan bahwa harus ada yang merubah substansi RUU Pornografi dari dalam Panja sendiri. PKB dan PAN cenderung lebih moderat dalam menyikapi perbedaan pandangan tentang RUU Pornografi dan berusaha merubah beberapa substansi dalam RUU Pornografi.38

Uji publik39 kemudian dilakukan di tiga daerah yang selama ini menolak RUU Pornografi, yaitu Sulawesi Utara, Bali dan DIY. Uji publik kemudian dilakukan atas desakan berbagai pihak dan hasilnya dilaporkan pada rapat Bamus tanggal 16 Oktober 2008. Kemudian Bamus membahas usulan ini dalam rapat BAMUS tanggal 23 Oktober 2008 yang menghasilkan dua rekomendasi40 yang harus dijalankan oleh pemerintah sebelum masuk pada pembahasan di rapat paripurna.

Pada rapat PANJA terakhir pada tanggal 28 Oktober 2008, PDIP dan PDS menolak untuk menyetujui RUU Pornografi yang telah dibahas tersebut. Sedangkan PKB memberikan catatan untuk melaksanakan terlebih dahulu rekomendasi Bamus baru kemudian disahkan. Setelah melalui rapat Panja sebanyak 11 kali kemudian RUU Pornografi disahkan pada rapat paripurna DPR RI pada tanggal 30 Oktober 2008.

Pada rapat paripurna tersebut PDIP, PDS dan 2 anggota fraksi Golkar dari daerah pemilihan Bali melakukan walk out. Walk out tersebut dilakukan karena mereka tidak menyepakati beberapa substansi dalam UU Pornografi dan prosesnya yang tidak partisipatif dan belum dilaksanakannya rekomendasi BAMUS. Hasil rapat paripurna ini kemudian dikirimkan ke presiden untuk disahkan dan dicatat dalam lembar negara.

Sebenarnya setelah rapat paripurna, ada kelompok yang menginginkan revisi UU ini sehingga melakukan lobby pada Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk mendorong executive review. Namun sayangnya kelompok ini tidak cukup memiliki kekuatan untuk meyakinkan Presiden agar tidak menandatangani UU Pornografi sehingga lahirlah UU No.44 tahun 2008 tentang Pornografi

Sebagai sebuah produk politik, UU Pornografi dianggap memberikan kemenangan sekaligus kekalahan bagi gerakan yang melakukan advokasi. Disebut kemenangan, karena sekalipun masih pro dan kontra, namun perubahan substansi pasal dalam undang-undang ini dapat dikatakan sebagai bagian dari kemenangan gerakan. Misalnya perubahan pada pasal definisi, adat dan budaya tidak termasuk yang dikecualikan dalam pornografi. Demikian juga mengenai pornografi anak harus masuk, lalu mengenai ketentuan tidak boleh dipidananya perempuan dan anak sebagai korban pornografi 41

Adapun kekalahan, karena ternyata UU ini tidak mampu melindungi perempuan

38 ibid

39 Uji publik pertama dilakukan pada tanggal 14 17 September 2008 di Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Maluku Utara. Uji publik kedua dilakukan di tiga daerah yang selama ini menolak RUU Pornografi, yaitu Sulawesi Utara, Bali dan DIY pada 13 Oktober 2008.

40 Rekomendasi tersebut adalah: Pertama, guna mensosialisasikan RUU tentang Pornografi yang telah mengalami perubahan, pemerintah dapat memanggil secara resmi Gubernur-gubernur / Kepala Daerah, terutama yang menolak RUU Pornografi. Kedua, Pemerintah segera mensosialisasikan RUU versi terbaru tersebut kepada masyarakat melalui media massa.

41

Lihat Yulianti Muthmainah
(Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan),

(27)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 26

dan anak sebagai korban dalam industri pornografi melalui ancaman hukuman yang masih diatas 5 tahun, sebagaimana diatur dalam pasal 8.42

Selain itu, UU Pornografi ini nyata-nyata tidak dapat diterapkan dalam kehidupan dan prosedur hukum. Hal ini tercermin dari pasal 1 dan pasal 10 tentang definisi yang menggunakan kata gerak tubuh dan pertunjukan dimuka umum melanggar pasal UU Nomor 10/2004 yang berkaitan dengan ketentuan isi harus sesuai dengan judul. Karena gerak tubuh dan pertunjukan dimuka umum termasuk pornoaksi. Selain itu, frasa kecabulan , eksploitasi seksual , menampilkan hubungan seksual menimbulkan multi tafsir. Frasa melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat sangat bermakna luas, karena norma antar budaya dan adat berbeda-beda. Kedua pasal diatas menunjukkan adanya kejelasan rumusan tindak pidana yang menjamin kepastian hukum atau lex certa sulitnya membuktikan adanya unsur niat atau mens rea sebagai mental elemen dan tindakan atau actus reus serta rumusan yang samar-samar. Padahal dalam rumusan pidana, perumusan hukum harus tidak boleh samar-samar atau nullum crime

sine lege stricta. 43

Pelanggaran lain yang dilakukan oleh UU Pornografi terhadap privasi dan pilihan seksual seseorang juga terumus dalam pasal 4 tentang lesbian dan homoseksual sebagai salah satu dari persenggamaan yang menyimpang bertentangan dengan keputusan Depkes dan WHO (1993) berkaitan dengan Diagnosis Gangguan Jiwa III yang menegaskan bahwa homoseksualitas-lesbian tidak tergolong sebagai penyimpangan seksual. Selain itu, pasal ini juga membahas sangat vulgar terhadap hal-hal yang termasuk penyimpangan seksual, padahal undang-undang harusnya non diskriminasi terhadap orang dengan orientasi seksual tertentu.44

Undang-undang ini justru berpotensi menjadi landasan menguatnya kelompok politik identitas, terutama yang menggunakan isu agama dan moral. Hal ini terjadi karena dalam pasal yang ada dibuka kemungkinan lahirnya Perda lewat keterlibatan para gubernur serta peran partisipasi masyarakat. Potensi munculnya polisi moral hadir dalam Bagian Kedua Peran Serta Masyarakat yakni Pasal 20 – 22 UU Pornografi artinya ketiga pasal ini mengatur persoalan kewenangan pencegahan (preventif), penyelesaian (kooratif) dan pembinaan (rehabilitatif).. Hal ini berpotensi pada munculnya perbuatan anarkhis dari polisi moral terhadap orang-orang yang diduga melakukan pornoaksi.45

Upaya tidak berhenti di sini, permohonan Uji Materi atas UU diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010. Tiga kelompok yaitu Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika, Tim Advokasi Perempuan dan Demokrasi juga perwakilan individu dai Sulawesi Utara mengajukan permohonan ini. Pada intinya disampaikan bahwa UU

42

Penjelasan pasal ini adalah jika seseorang dalam keadaan paksaan dan ancaman maka ia tidak akan dipidana. Tetapi, pada ketentuan pidana pasal 34 menyebutkan ancaman hukuman pidana dalam UU Pornografi ini adalah maksimal 10 tahun atau denda maksimal 10 milyar. Dan, UU Pornografi ini mengacu pada KUHAP yang menyebutkan bahwa ancaman pidana diatas 5 tahun wajib dilakukan penahanan (pasal 23 KUHAP). Artinya perempuan dan anak korban pornografi wajib membuktikan dirinya tidak bersalah. Namun, dalam proses penyidikan sebagai korban mereka tetap ditahan dalam tahanan penyidik/polisi karena mengacu pada KUHAP.

43 Muthmainah, ibid.

44 ibid

(28)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 27

Pornografi dinilai bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28 butir d,e dan f pada UUD 1945. Selain itu UU ini juga bertentangan dengan asas kepastian hukum karena pengertian pornografi yang multitafsir, bertentangan dengan prinsip non diskriminasi yang berdampak pada kriminalisasi perempuan dan tidak mempertimbangkan keberagaman karena dalam konsideran termuat jelas moral agama yang menjadi landangan utamanya. Sehingga UU ini memicu disintegrasi bangsa.46 Namun sekali lagi upaya ini menemukan kegagalan, karena ketupusan MK menolak uji materi ini.

1.4 Upaya OMS menghambat proses privatisasi melalui Hak Pengelolaan dan Pengusahaan Pesisir (HP3) sebagaimana diatur dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (2011 – 2012)

Pada 27 Juni 2007, sidang paripurna DPR RI mengesahkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PKK). Mulai dari inisiasi hingga disahkan, penyusunan undang-undang ini memakan waktu yang cukup lama, sekitar 7 tahun. Salah satu penyebab, ternyata terdapat sekitar 20 undang-undang yang mengatur wilayah pesisir, yang saling tumpang tindih, yang mengakibatkan pengelolaan wilayah pesisir tidak berjalan efektif, eksploitatif, dan tidak memberi kepastian hukum bagi nelayan tradisional dan masyarakat adat.

Sejatinya, penyusunan undang-undang ini bermaksud memperbaiki karut-marut perundang-undangan ini. Selain itu, terbetik keinginan pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap kehidupan nelayan dan masyarakat adat di wilayah pesisir, yang selama ini cenderung terpinggirkan. Namun, dalam perjalanannya, misi penyusunan undang-undang ini bergeser dan memberikan prioritas pada peningkatan pendapatan negara dari sektor kelautan melalui biaya-biaya perijinan, sertifikat HP-3, dan berbagai pajak lainnya. Demikian pula, nuansa kepentingan swasta dan asing terasa sangat kental. Kehadiran beberapa donor asing untuk mendanai penyusunan undang-undang ini menjadi indikasi awal besarnya kepentingan mereka di dalamnya.

Terbukti kemudian, semangat yang terdapat dalam undang-undang PWP-PPK ini justru mempromosikan ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) untuk melegaliasi pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil oleh sektor swasta, termasuk asing, untuk kegiatan-kegiatan pariwisata, budidaya, dan pertambangan. Lebih spesifik, HP3 memberi hak pengusahaan selama 60 tahun akumulatif, yang dapat dialihkan dan dijadikan jaminan utang. Laut, pesisir, dan pulau kecil (bisa) dikapling-kapling oleh korporasi, yang pada gilirannya akan semakin menggusur para nelayan tradisional dan masyarakat adat secara sistematis.

Intinya, undang-undang ini memberikan ruang yang sangat besar bagi kepentingan korporasi untuk menguasai dan mengelola wilayah pesisir, yang sangat merugikan dan meniadakan kepentingan serta akses nelayan dan masyarakat adat.

Organisasi masyarakat sipil melihat beberapa pasal ini sangat berpihak pada kepentingan swasta dan asing, karena wilayah pesisir dapat dikapling-kapling mulai

(29)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 28

dari permukaan sampai dasar laut dalam bentuk HP3 (private ownership), yang dengan sendirinya akan mengeksklusi dan memarginalisasi kehidupan nelayan dan masyarakat adat di sekitar pesisir, bahkan mencabut hak-hak mereka sebagai warga negara. Meskipun terdapat klausul musyawarah untuk (P di wilayah yang sudah dikelola terlebih dulu oleh masyarakat, bisa dipastikan, di tangan pemerintah yang korup, pasal-pasal karet itu akan sangat bias kepentingan swasta.

Koalisi Tolak (P yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil dan 27 pimpinan organisasi nelayan mengajukan gugatan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dam Pulau-Pulau Kecil ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada 13 Januari 2010. Pokok gugatan adalah terkait Hak Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (HP3).

Koalisi ini berhasil, melalui proses persidangan maraton, serta memakan waktu sekitar satu setengah tahun, Kamis, 16 Juni 2011, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan dan membatalkan ketentuan HP3 karena terbukti bertentangan dengan UUD 1945. Persoalan lebih lanjut adalah, bagaimana mengawal agar pemerintah menerjemahkan dan mengimplementasikan putusan ini secara lebih operasional di lapangan, termasuk menyesuaikan seluruh produk hukum mulai dari UU sampai perda terhadap semangat putusan ini.

Tabel

Daftar Pemohon Uji Materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007

No Organisasi Nelayan

1 Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) diwakili oleh M Riza Adha Damanik

1. Tiharom 2 Indonesian Human Right Committe for Social

Justice (IHCS) diwakili oleh Gunawan

3 Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) diwakili oleh Muhamad Karim

4 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) diwakili oleh Idham Arsyad

5 Serikat Petani Indonesia (SPI) diwakili oleh Henry Saragih

6 Yayasan Bina Desa Sadajiwa diwakili oleh Dwi Astuti

7 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diwakili oleh Patra Mijaya Zein

8 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) diwakili oleh Berry Nahdian Forqan

Gambar

Tabel   Daftar Pemohon Uji Materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007
Para Pemohon Tabel  Judicial Review UU BHP dan Sisdiknas47
Tabel
Tabel 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

TAPM yang berjudul Pengaruh Pengetahuan, Motivasi dan Kepemimpinan terhadap Perilaku Kerja Kader Posyandu di Puskesmas Gajah Mada Kecamatan Tembilahan adalah basil karya saya

Penelitian di lapangan dilaksanakan selama 4 (empat) bulan, dimulai pada bulan Januari sampai dengan April 2010 di Teluk Banten. Data yang dikumpulkan menggunakan metode

pelaksanaan dengan metode pendokumentasian SOAPIE. c) Mampu melakukan asuhan kebidanan secara komprehensif pada bayi. baru lahir yang meliputi pengumpulan data

Sesuai penjelasan tersebut, penulis mengamati pelaksanaan yang dilakukan oleh guru dalam mengajarkan materi menentukan pokok-pokok berita, menarik kesimpulan isi

Dari tabel di atas dan hasil wawancara peneliti dengan pengurus BAZNAS Kota Palangka Raya dapat disimpulkan bahwa BAZNAS Kota Palangka Raya untuk tahun 2019

Peraturan BPH Migas Nomor 25 Tahun 2019 tentang Harga Jual Gas Bumi melalui Pipa untuk Konsumen Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil pada Jaringan Pipa Distribusi Kabupaten

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat, maka dalam hal ini penulis menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan

Pada waring mesh size 3 mm, di awal masa peme- liharaan tidak terjadi peningkatan pertumbuhan yang signifikan, namun pada minggu ketiga terjadi per- tambahan panjang