• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan Belajar 1 Topik 3

Dalam dokumen SAMBUNGKAN Upaya Memperkuat Hubungan Mas (Halaman 123-126)

Analisis Kritis Kebijakan Publik (Critical Policy Analysis): Perspektif Gerakan Sosial

Oleh : Dimpos Manalu

Peran gerakan sosial (social movements) dalam teorisasi kebijakan publik, khususnya studi perubahan kebijakan publik (policy change), tampaknya masih menempati posisi minor, bahkan sering kali terabaikan. Fakta di lapangan justru menunjukkan banyak perubahan terjadi akibat desakan gerakan sosial, seperti di bidang kebijakan ekonomi, sosial, dan terutama politik, dalam skala lokal maupun nasional, mikro dan makro. Tidak jarang pula desakan itu meninmbulkan perubahan-perubahan politik radikal, seperti tumbangnya sebuah rezim atau pemerintahan.

Di Indonesia, misalnya, tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru Soeharto Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari peran gerakan sosial, khususnya gerakan mahasiswa, yang kemudian menghantarkan bangsa ini ke dalam kondisi yang lebih demokratis (Denny, 2006). Dalam konteks ini, beberapa studi menyimpulkan gerakan mahasiswa 1998 sesungguhnya tidak berjalan sendirian. Sebelumnya gerakan-gerakan prodemokrasi yang dilakukan oleh petani, buruh, pers, partai politik, masyarakat adat, dan entitas lainnya telah berlangsung sejak 1970-an di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini kemudian menciptakan prakondisi bagi gerakan mahasiswa yang

diibaratkan berada pada posisi ―di puncak sebuah gelombang‖, atau—dengan analogi yang lain—memungkinkan mahasiswa mencapai ―garis finish‖ (Budiman dan Tornquist, 2001).

Tentunya ada prakondisi lainnya yang memicu gerakan ini, yaitu ketidakmampuan riil Soeharto mengatasi krisis ekonomi yang dengan segera mendelegitimasi kekuasaan otoriternya. Hal itu kemudian diikuti pula dengan perpecahan di tingkat elite kekuasaan, Soeharto ditinggalkan oleh sejumlah sekutu dekatnya, seperti menteri-menteri perekonomian dan pemimpin parlemen, tepat di saat-saat genting (Hadiz, 2005: 218). Studi yang dilakukan Hiariej (2005) menunjukkan kejatuhan Soeharto merupakan akibat dari kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme Orde Baru itu sendiri. Lebih lanjut, katanya, krisis legitimasi yang diidapnya bukan semata-mata karena terjadinya friksi internal dalam tubuh oligarki kekuasaan, tetapi juga didorong oleh oposisi kelas menengah dan pembangkangan kelas bawah. Kejatuhan pemerintahan Soeharto hanyalah salah satu contoh fenomenal yang terjadi akibat desakan gerakan sosial di Indonesia. Contoh lainnya adalah kebijakan- kebijakan pemerintah, terutama pemerintahan pasca-Soeharto yang selalu ditantang dengan perlawanan dan protes masyarakat luas, seperti beberapa kali kenaikan harga BBM, pencabutan subsidi pertanian, privatisasi pelayanan dan badan-badan usaha negara, serta kebijakan perburuhan, dan sebagainya. Meski semua perlawanan ini tidak selalu berhasil mencapai tujuannya, acap kali pemerintah

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 123

terpaksa berpikir ulang, melakukan kompromi, dan menunda atau merevisi kebijakannya.

Problem paradigmatik analisis kebijakan konvensional

Lalu, bagaimanakah fakta-fakta seperti ini diapresiasi dalam studi kebijakan publik? Alih-alih menjadikan gerakan sosial sebagai sebuah model (penting) dalam studi pembuatan dan perubahan kebijakan publik, justru peranannya sering kali diabaikan dan digantikan oleh entitas atau faktor lain. Setiap pembuatan dan perubahan kebijakan publik dianggap seolah-olah berlangsung secara teratur dan normal, melalui keputusan yang netral, rasional, dan adil. Semua berjalan di dalam sebuah siklus dan tahapan kebijakan yang diperankan oleh lembaga-lembaga negara sebagai pembuat kebijakan publik resmi atau institusional. Kencenderungan ini disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, selama ini studi kebijakan publik didominasi oleh teori-teori kebijakan publik konvensional yang dipengaruhi oleh perspektif teori pilihan rasional (rational choice theory). Teori pilihan rasional, yang amat dipengaruhi oleh rasionalitas Weberian, menganggap rasionalitas adalah ciri utama birokrasi modern. Lembaga pemerintahan dianggap sebagai sebuah panggung yang di atasnya berdiri orang- orang (pengambil kebijakan) dengan niat baik, dilengkapi berbagai kemampuan teknis dan intelektualitas yang memadai, yang akan melakukan berbagai tindakan yang juga baik dan berguna (lihat Ward, 1995; Scott, 2000).

Proses perumusan dan para aktor kebijakan diasumsikan berada dalam situasi yang pasti dan terukur, serta memiliki kapasitas rasional yang tidak dipengaruhi faktor lain. Sebagaimana disebutkan Ward (1995: 79)berikut ini.

“Rational choice assumes that individuals all have the rational capacity, time and emotional detachment necessary to choose a best course of action, no matter how complex the choice. The simplest problem conceptually is parametric decision-making under certainty in which each action has a known outcome (so there is no risk or uncertainty) and the relationship between actions and outcomes is unaffected by the actions of any other individual (so that they may be treated as fixed

„parameter‟)”.

Penggunaan teori ini untuk memahami karakter kebijakan publik di negara-negara berkembang dan otoriter, seperti Indonesia, tampaknya memiliki persoalan tersendiri. Hal yang patut diingat adalah aktor-aktor dan berbagai produk kebijakan publik di negara-negara tersebut, termasuk Indonesia, kerap kali diintervensi, bahkan didominasi. Bahkan yang kerap mendominasi itu adalah pertimbangan-pertimbangan nonrasional, seperti kepentingan-kepentingan politik ekonomi penguasa dan kroninya maupun pertimbangan pragmatis jangka pendek untuk mempertahankan kekuasaan. Sejauh ini tradisi teori pilihan rasional memang amat terpusat pada pemahaman mengenai proses legislatif di negara-negara demokrasi yang sudah mapan. Oleh karena itu, teori ini tidak memadai sebagai alat

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 124

analisis untuk memahami dan meramalkan interaksi politik dan proses kebijakan dalam masyarakat yang sedang berubah (Mallarangeng, 2002: 9-10).

Kedua, studi kebijakan cenderung masih mengacu pada pendekatan positivistik. Santoso (2004) menyebutkan mainstream kajian kebijakan di Indonesia (tidak terkecuali komunitas ilmu sosial dan politik di Universitas Gadjah Mada) amat dipengaruhi oleh pakem positivisme dan teori-teori yang bersifat fungsionalis. Menurutnya, kajian-kajian kebijakan positivis bersandar pada metodologi yang khas untuk menemukan keajegan di balik tebaran data atau amanat terhadap gejala tertentu. Di samping itu, orientasinya yang berlebihan pada teori-teori fungsionalis menyebabkan kajian kebijakan publik kurang sensitif terhadap persoalan struktural dan cenderung menempatkan otoritas negara—betapa pun ia gagal—sebagai objek kajian yang utama (state centric).

Ketiga, tradisi di dalam kajian politik ekonomi dan kebijakan Orde Baru cenderung

mengedepankan pendekatan ―berpusat pada negara‖ (state centered approach). Di sini, meskipun peranan berbagai kelompok kepentingan dan penekan (interest and pressure groups) tetap diakui, negara tetap dipahami sebagai aktor yang paling dominan dalam menentukan kebijakan publik (lihat, antara lain, McIntyre, 1990; Predana, 2001). Hal ini menyebabkan studi kebijakan publik menjadi kurang peka, bahkan cenderung mengabaikan peran yang dimainkan oleh kelompok-kelompok masyarakat (interest groups), termasuk gerakan sosial di dalam memengaruhi dan menentukan kebijakan publik.

Kecenderungan dominasi aktor negara dalam pembuatan kebijakan publik juga ditemukan pada kajian kebijakan publik terhadap negara-negara berkembang, yang belum berhasil membangun demokrasi secara berkelanjutan. Studi yang dilakukan Grindle dan Thomas (1991) misalnya, menunjukkan proses dan inisiatif dalam pembuatan dan perubahan kebijakan publik senantiasa didominasi elite politik di dalam negara. Dalam model ini, proses pembuatan kebijakan publik lebih dipahami sebagai interaksi aktor (kelompok elite) dalam organisasi (lembaga) pemerintah. Pengaruh masyarakat hanya dipandang sebagai variabel antara yang memengaruhi respons para elite tersebut dalam pembuatan kebijakan.

“…our experience has consistently been that the options available to policy elites are not fully

determined by the interest of social classes, organized groups, international actors, or international

economic condition…(p.7); …many reforms emerge and are considered in which policy elites believe that a crisis exists and they must „do something‟…(p.14); …[a central theme of this book], that

policy elites have room for maneuver in pursuing reform initiatives, appears to be valid for

implementation efforts also (p.15).”

Keempat, kecenderungan ini berkaitan pula dengan keberhasilan rezim otoritarian Orde Baru memengaruhi orientasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Penekanan rezim ini pada stabilitas politik melalui aneka rekayasa sosial dilaksanakan dengan bantuan sebagian besar ilmuwan sosial (Kleden, 1997; Heryanto, 2005). Sosiolog terkemuka, Ignas Kleden menyatakan ketika Orde Baru menetapkan pembangunan nasional sebagai tujuan utama dan fondasi politiknya, timbul pembagian kerja diam-diam di kalangan para ilmuwan sosial.

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 125

―Sementara para ekonom berkonsentrasi pada pertumbuhan ekonomi, seraya pada saat

bersamaan membiarkan sebagian besar penduduk menganggur, maka para ilmuwan sosial menyibukkan diri dengan masalah bagaimana penduduk ini harus berjuang untuk hidup dengan menciptakan lapangan kerja mereka sendiri, dan apa yang akan terjadi jika sektor- sektor yang menyerap sebagian besar tenaga kerja itu menyumbang terlalu kecil bagi penghasilan kotor nasional, dan apakah konflik-konflik laten yang ada antara segolongan

kecil yang beruntung dan massa yang miskin dapat dikurangi,‖ demikian tulis Kleden

(1997:13-14).

Dalam perspektif rasional dan negara-sentris seperti ini, studi pembuatan kebijakan publik konvensional secara umum menyepakati adanya tahap-tahap linear (sequential stages) yang secara umum dilalui dalam pembuatan kebijakan publik. Kalaupun terdapat perbedaan di antara para ahli, perbedaan itu tidak lebih pada dampak yang terjadi pada masing-masing tahapan, serta apa yang seharusnya dan tidak terjadi pada masing-masing tahapan tersebut (Theodoulou, 1995).

Ada enam tahapan yang secara umum adalah sebagai berikut. Pertama, pengenalan masalah dan identifikasi isu (problem recognition and issue identification); kedua, penyusunan agenda (agenda setting); ketiga, formulasi kebijakan (policy formulation);

keempat, adopsi kebijakan (policy adoption); kelima, implementasi kebijakan (policy implementation); dan keenam, analisis dan evaluasi kebijakan (policy analisis and evaluation) (Theodoulou, 1995: 86-87; bdk. Dunn, 2000: 24-25). Beberapa ahli menyebutnya siklus kebijakan (policy cycle) (Lester and Stewart, 2000: 5) atau siklus yang berlangsung secara dinamis (dynamic ongoing cycle) (Theodoulou, 1995:87).

Dalam dokumen SAMBUNGKAN Upaya Memperkuat Hubungan Mas (Halaman 123-126)