• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Peluang Politik

Dalam dokumen SAMBUNGKAN Upaya Memperkuat Hubungan Mas (Halaman 44-50)

Beberapa Pelajaran Penting

2.4. Struktur Peluang Politik

Struktur peluang/kesempatan politik (political opportunity structure) adalah situasi politik yang mendukung dan bertentangan. Keberhasilan gerakan advokasi seringkali didukung, kalau bukan ditentukan, lingkungan atau situasi eksternal gerakan. Situasi politik pasca-Orde Baru yang relatif demokratis menjadi faktor yang paling utama menentukan keberhasilan gerakan advokasi. Demikian juga wacana good governance yang mengedepankan adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, responsibilitas, dan sebagainya.

Sebagaimana akan diuraikan berikut ini, keberhasilan advokasi yang dibangun terjadi karena beberapa hal, seperti opini publik yang berkembang terhadap suatu kasus; adanya dukungan elite tertentu dalam pemerintahan—tidak selalu dalam bentuk materi, tetapi juga ide dan keberpihakan; perpecahan (termasuk opini) elite politik; bahkan munculnya locus baru kekuasaan, seperti lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam tata negara Indonesia.

Di dalam kasus advokasi kuota perempuan di parlemen, kita bisa melihat pengaruh signifikan dari menyebarnya wacana kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam wacana sosial-budaya di Indonesia sejak tahun 1970-an. Hal ini didorong oleh berkembangnya isu persamaan, kesertaraan, keadilan jender yang telah menjadi wacana global dan didorong berbagai organisasi masyarakat sipil di berbagai belahan dunia. Sejarah parlemen di dunia menunjukkan, jumlah perempuan menjadi anggota parlemen semakin signifikan seperti 20, 30 atau bahkan 40 persen dari total anggota.

Di internal parlemen sendiri, meskipun arus besar wacana di parlemen masih didominasi maskulinitas (PDIP dan Presiden Megawati, antara lain, berada di garis terdepan menentang kuota 30 persen), namun DPR sendiri mengalami apa yang disebut

instability of political alignments dengan berdirinya Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), pada 19 Juli 2001 di Gedung DRP/MPR, oleh sejumlah perempuan anggota parlemen periode 1999- . Mereka inilah yang menjadi insider dan supporter bagi gerakan CSO dari luar parlemen untuk mendorong isu kuota persen perempuan.

Dalam isu UU Pornografi, yang gagal dihempang organisasi masyarakat sipil, situasi politik yang mendukung dan menentang berlangsung sama-sama kuat. Ketika gagasan dan wacana pluralisme dan multikulturalisme berkembang di Indonesia pasca- Orde Baru, kekuatan Islam fundamentalis yang menginginkan formalisme syariat Islam juga menguat. Dalam hal ini, political opportunity structure tidak hanya bisa dimanfaatkan oleh aktor gerakan advokasi, tetapi juga oleh kekuatan yang berlawan kepentingannya.

Penggunaan sentimen agama yang digunakan counter-movement actors tak bisa dihempang organisasi masyarakat sipil, bahkan ketika mereka mengajukan nilai-nilai budaya yang bersifat lokal. Kontentasi wacana dan makna akhirnya dimenangkan

counter-movement ketika, seperti diketahui, perlawanan advokasi UU ini muncul di antaranya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Hizbut Tahir, Front Pembela Islam (FPI), dan Mahasiswa Muslim Indonesia (MMI), dan lain-lain—di tengah kenyataan bahwa penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Bahkan MUI pun mengeluarkan fatwa yang kemudian memperluas simpatisan yang mendukung lahirnya UU ini.

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 44

Pada isu reforma agraria, keberhasilan organisasi masyarakat sipil mendorong lahirnya Tap MPR IX/2001 tak bisa dilepaskan dari faktor maraknya aksi-aksi pendudukan dan reclaiming tanah di berbagai wilayah Nusantara; beralihnya kekuasaan dari Orde Baru Soeharto ke Presiden Habibie, seterusnya ke Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, yang merupakan dua tokoh penting gerakan reformasi di Tanah Air—selain Amien Rais dan (kemudian) Sri Sultan Hamengkubuwono X; parlemen yang dikuasai partai oposisi pada rezim Orde Baru (gabungan PDI Perjuangan, PKB, PAN, dan Partai Keadilan).

Peran tokoh atau akademisi yang kemudian memiliki akses terhadap kekuasaan ketika itu, yakni Prof. Maria S.W. Sumardjono, yang ketika itu menjabat sebagai staf ahli MPR RI Fraksi PDI Perjuangan—partai pemenang pemilu—juga harus dicatat sebagai

opportunity. Kapasitasnya yang mumpuni, keberpihakannya pada agenda reforma agraria, serta kedekatannya dengan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang reform agraria, memungkinkan wacana reforma agraria menjadi agenda formal di MPR.

Sebelumnya, Presiden Wahid juga sudah menyampaikan pernyataan publik akan membagikan 40 persen tanah perkebunan milik negara kepada petani tak bertanah, khususnya kepada para petani penggarap. Meski statement Gus Dur ini juga tidak sempat diimplementasikan menyusul pemecatan (impeachment) dirinya dari kursi

kepresiden, Juli , pernyataan itu sungguh menjadi legacy yang sangat berharga

bagi gerakan reforma agraria. Setidak-tidaknya, statement itu telah menjustifikasi keberadaan petani penggarap dan pendudukan lahan, sekaligus menjustifikasi bahwa

persoalan agraria yang diperjuangkan masyarakat sipil bukanlah isapan jempol.

Akan tetapi, perpecahan yang terjadi di kalangan organisasi masyarakat sipil, yang terjadi sejak awal—dengan munculnya dua draft Tap MPR: Pembaruan Agraria (PA) dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA)—dan hanya bersatu secara taktis untuk mendorong lahirnya satu Tap MPR IX/2001, lalu kemudian terpecah lagi pasca terbitnya Tap MPR, membuat agenda ini tidak berhasil sampai lahirnya UU yang bersifat operasional.

Pada isu advokasi pembatalan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3), kita juga melihat berperannya struktur peluang politik secara nyata. Selain, aspek-aspek legal, mobilisasi sumber daya, dan framing isu yang bagus, keberhasilan gerakan advokasi ini, antara lain, juga disebabkan isu privatiasi dan komersialisasi di berbagai bidang telah menjadi concern masyarakat Indonesia secara luas. Opini publik nasional sedang menguat ke arah tema-tema nasionalisasi. Apalagi, sebelumnya uji materi telah pernah dilakukan (dan berhasil) terhadap UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal Asing (masalah HGU), dan UU Migas jilid I. Putusan-putusan terdahulu ini menjadi yurisprudensi penting bagi uji materi UU 27/2007.

Selain itu, adanya salah satu hakim konstitusi yang benar-benar expert di

bidang agraria (agrarian policy) memberikan keuntungan tersendiri bagi Koalisi karena isu yang diusung berkenaan dengan konflik agraria. Hakim Konstitusi Prof. Akhmad Sodiki dinilai mewarnai putusan MK, sehingga putusan itu kaya dengan nuansa UUPA, yang bersifat populis.

Keberhasilan masyarakat sipil menolak dan membatalkan UU BHP sangat dipengaruhi oleh besarnya perhatian publik terhadap kasus ini. Media massa lokal dan

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 45

nasional melaporkan berbagai bentuk aksi yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat di berbagai kota untuk UU BHP. Penolakan ini sudah dilakukan sejak sejak UU Sisdiknas disahkan pada tahun 2003. Penolakan itu berlangsung terus menerus, kurang lebih 5 tahun lamanya, ketika UU BHP disahkan, 29 Januari 2009.

UU BHP juga sangat menarik dan menohok kepentingan mayoritas rakyat )ndonesia, yakni komersialisasi pendidikan , pendidikan yang semakin mahal , yang menghadapi kehidupan yang semakin sulit karena privatiasi di berbagai sektor layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, naiknya harga-harga kebutuhan pokok, dan sebagainya. Karena itu, banyak pihak dan kekuatan sosial yang bergabung dengan gerakan advokasi, seperti tokoh-tokoh nasional, maupun partai politik partai yang tidak mau kehilangan muka di depan publik. Keberhasilan advokasi UU B(P, melalui pembatalan di MK, dengan demikian, sangat dipengaruhi opini publik yang berkembang, termasuk ide privatisasi dan komersialisasi yang sejauh ini telah berhasil ditolak karena bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945).

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 46

Bahan Belajar -2 Topik 1

Abstrak Pertalian yang Buruk :

Studi Awal tentang Relasi Parlemen dan CSO di Indonesia51

Oleh : Cornelis Lay, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), UGM, Yogyakarta

Paper ini adalah bagian dari riset awal saya tentang hubungan parlemen-CSO dalam proses-proses kebijakan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi dasar tentang pertalian politik antara parlemen sebagai arena demokrasi baru yang tercipta dengan CSO, termasuk di dalamnya faktor-faktor yang mendukung dan menghambat hubungan di antara kedua entitas ini. Lebih daripada itu, paper ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang keterikatan antara kekuasaan, ruang, dan arena power, space, and place), satu sama lain, dalam memahami secara lebih baik bagaimana ruang dan arena demokrasi politik baru tercipta, pihak-pihak yang terlibat di dalam dan landasan keterlibatannya, dinamika pertalian di antara mereka, yang mencerminkan relasi kuasa tertentu.

Dengan demikian, paper ini mengevaluasi dan menggambarkan perkembangan demokrasi di Indonesia yang sedang terjadi, secara khusus menjelaskan tentang masalah pembajakan, hegemoni elit rezim lama, bekerjanya mekanisme institusi formal bersama dengan berbagai bentuk jaringan informal, perubahan yang berlangsung terus- menerus, masalah representasi, pentingnya membangun blok politik, dan masalah lainnya. Berdasarkan riset yang dilakukan, paper ini menyimpulkan bahwa tantangan terbesar demokrasi Indonesia adalah absennya pertalian demokratis, adanya fenomenya pertalian yang buruk broken linkage .

Dengan mengombinasikan model power cube yang dikembangkan Gaventa dengan kerangka analisis demokrasi Harris, dkk., dan konsep pertalian-pertalian politik, paper ini menyimpulkan bahwa reformasi telah menciptakan dan memperbesar ruang dan arena demokratis di tingkat nasional dan lokal, memperbesar keikutsertaan CSOs dalam proses-proses pengambilan keputusan. Namun demikian, di dalam situasi baru demokrasi yang lebih luas di parlemen, paper ini mengidentifikasi hadirnya ruang- ruang di mana tiga dimensi kekuasaan—kelihatan (visible), disembunyikan (hidden), tak kelihatan (invisible)—bekerja sekaligus, menentukan keseluruhan proses pengambilan keputusan.

Sebagaimana telah disinggung sekilas, paper ini juga mengindikasikan bahwa relasi parlemen dan CSOs yang paling mendasar—yang ditunjukkan melalui berbagai bentuk

51 Dikutip dari paper penulisnya untuk Panel tentang ―Demokrasi Indonesia dalam Perpektif

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 47

hubungan mereka, adalah didominasi oleh kombinasi pertalian berbasis teknokratik (technocratic-based) dan bersifat pribadi (intimacy-based), yang merintangi proses demokrasi bekerja. Hal ini, justru, telah menciptakan relasi kuasa yang semakin kompleks dan proses yang lebih panjang bagi masyarakat (demos) memasuki urusan- urusan publik (public affairs). Sebaliknya, hal ini membuat urusan-urusan publik menjadi institusi yang sulit untuk digapai.

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 48

Bahan Belajar -3 Topik 1

Mencari Ruang untuk Perubahan : Sebuah Analisis Kekuasaan52

John Gaventa*

1. Pendahuluan

Di berbagai belahan dunia, ruang-ruang baru dan kesempatan bagi keterlibatan warga dalam proses kebijakan terus bermunculan, baik di ranah lokal maupun global. Instrumen-instrumen kebijakan, kerangka-kerangka hukum dan program pendukungnya berlimpah. Namun, disamping kemunculan itu diterima secara luas, semakin menjadi jelas pula bahwa pengaturan-pengaturan kelembagaan baru tidak lantas menghasilkan perubahan kebijakan yang lebih besar mencakup semua kalangan ataupun yang berpihak pada rakyat kecil (pro-poor).

Pertanyaan kritis kemudian harus diajukan. Apakah medan baru ini menunjukkan pergeseran kekuasaan yang sesungguhnya? Apakah ia benar membuka ruang-ruang dimana keikutsertaan dan suara warga memberikan dampak? Apakah meningkatnya keterlibatan diantara para warga akan beresiko sebatas mengabsahkan status quo, atau akan menyumbang pada transformasi pola-pola pemisahan (ekslusi) dan ketidak adilan sosial dan menantang hubungan kekuasaan? Dalam dunia dimana lokal dan global saling berkaitan, dimana pola-pola tata-kelola dan pengambilan keputusan berubah sangat cepat, bagaimana mereka yang mencari perubahan pro-poor memutuskan dimana yang terbaik meletakkan upaya-upaya mereka dan strategi apa yang harus digunakan?

Baik mereka yang mempunyai perhatian terhadap partisipasi maupun inklusi, mereka yang berupaya mewujudkan hak-hak warga maupun yang ingin mengubah kebijakan, semakin banyak pelaku-pelaku pembangunan yang menyadari kebutuhan untuk memasukkan dan memahami gejala yang disebut kekuasaan ini. Pada saat yang sama, sifat dan ekpresi kekuasaan juga mengalami perubahan yang sangat cepat. Penyebaran dan penggunaan bahasa dan diskursus partisipasi dan inklusi oleh pelaku-pelaku yang memiliki kekuasaan mengaburkan batasan tentang siapa yang memiliki dan tidak memiliki wewenang, siapa yang seharusnya berada di dalam dan siapa yang di luar arena-arena pengambilan keputusan dan kebijakan. Perubahan pengaturan-pengaturan tata-kelola, yang mengundang tata kelola bersama co-governance dan tata-kelola partisipatif (participatory governance mempertanyakan pembagian tradisional kita

terhadap penguasa (para pengatur) dan yang diatur, pembuat kebijakan dan publik. Dengan menggunakan istilah semacam kemitraan dan kepemilikan bersama secara luas, pelaku kuat seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF)

mengundang keterlibatan pada ranah medan permainan tetapi mengaburkan ketidak-

setaraan terhadap sumber-sumber dan kekuasaan. Pemakaian konsep kepemilikan perusahaan (corporate citizenship oleh pelaku-pelaku perusahaan multi-nasional

52John Gaventa, ―Finding the Spaces for Change: A Power Analysis‖, IDS Bulletin Volume 37 Number 6 November 2006 © Institute of Development Studies (terjemahan)

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 49 mengaburkan pembedaan tradisional antara kami dan mereka sebagai pemegang kekuasaan ekonomi dengan mereka yang mungkin saja dirugikan oleh praktik-praktik perusahaan. Dan di tengah-tengah perubahan bahasa dan diskursus ini, proses globalisasi yang sangat cepat menantang pemikiran-pemikiran tentang komunitas dan

bangsa-negara , menata-ulang dinamika-dinamika ruang kekuasan, dan mengubah

asumsi-asumsi tentang titik masuk aksi warga.

Seluruh perubahan-perubahan ini menunjuk pada perlunya aktivis, peneliti, penentu kebijakan dan donor yang memiliki perhatian pada pembangunan dan perubahan untuk mengalihkan perhatian pada bagaimana menganalisis dan memahami perubahan- perubahan bentuk kekuasaan. Jika kita ingin mengubah hubungan kekuasaan, misalkan membuatnya lebih inklusif, adil dan berpihak pada rakyat kecil, kita harus memahami lebih dalam dimana dan bagaimana caranya terlibat. Artikel ini memberikan satu pendekatan terhadap analisis kekuasaan; suatu pendekatan yang dikenal sebagai kubus kekuasaan (power cubes dan memberikan beberapa cerminan dan contoh bagaimana

pendekatan ini telah diterapkan di berbagai keadaan.

Dalam dokumen SAMBUNGKAN Upaya Memperkuat Hubungan Mas (Halaman 44-50)