• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mobilisasi sumber daya

Dalam dokumen SAMBUNGKAN Upaya Memperkuat Hubungan Mas (Halaman 37-40)

Beberapa Pelajaran Penting

2.2. Mobilisasi sumber daya

Mobilisasi sumber daya sangat mendukung isu atau tuntutan yang sedang diperjuangkan. Sumber daya yang dimaksud adalah bagaimana aktor-aktor gerakan advokasi membangun organisasi lingkar inti, aliansi, pendukung, bahkan aspek-aspek pendanaan, sehingga gerakan advokasi memiliki daya dorong yang kuat dan maksimal. Mobilisasi sumber daya adalah berbicara tentang maximizing dan strategizing potensi- potensi yang dimiliki untuk mendorong isu atau kasus ke titik keberhasilan. Kemampuan dalam mengelola sumber daya ini juga penting karena mempertimbangkan setiap gerakan advokasi selalu disertai dengan kekuatan demobiliasasi yang menentang gerakan (counter-movement).

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 37

Dalam kasus advokasi Kuota Perempuan 30 persen di Parlemen, organisasi gerakan dalam bentuk aliansi yang dibangun sangat kuat dan besar. Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), sebagai pendukung utama, adalah organisasi independen yang keanggotaannya bersifat inklusif, yaitu merupakan gabungan 17 partai politik, perempuan anggota DPR-RI yang bergabung dalam Kaukus Perempuan Parlemen, 38 LSM dan organisasi masyarakat seta kelompok akademisi yang bergabung dalam Jaringan Perempuan dan Politik dan 78 organisasi wanita yang bergabung dalam Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). (Swara Androgini, Vol. II No. 5 Juni 2003, hal 14).

Bukan hanya didukung organisasi yang besar dan solid, keberhasilan gerakan advokasi ini juga didukung oleh kesamaan pandangan dari berbagai elemen organisasi masyarakat sipil, perempuan dalam parlemen, perempuan dalam partai politik dan berbagai pihak lain. Untuk dapat mencapai kesamaan pandangan ini, KPPI menempuh proses yang cukup panjang. KPPI berusaha melakukan pendekatan secara personal kepada anggota parlemen, terutama perempuan. Mengingat bahwa pintu masuknya justru dari kaum perempuan itu sendiri, Bahkan kemudian dari sini, sejumlah perempuan anggota parlemen periode 1999-2004 mendirikan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) pada 19 Juli 2001 di Gedung DRP/MPR. Tidak hanya di parlemen, KPPI terus menerus melakukan konsolidasi dengan para aktifis perempuan, partai politik, instansi pemerintah, dan berbagai pihak lainnya yang

concern mengawal kouta perempuan.

Pada kasus UU Pornografi, meskipun didukung banyak aktor dari berbagai lapisan sosial (organisasi masyarakat sipil, artis-artis, budayawan, politisi, tokoh-tokoh bangsa, dan lain-lain), serta berbagai bentuk aksi (repertoires of action) dilakukan, namun gerakan advokasi menghempang UU Pornografi ini tidak berhasil karena ditentang oleh kelompok Islam yang juga memobilisasi perlawanan yang masif untuk mendukung diterbitkannya UU Pornografi.

Sebagai mana diketahui, dukungan terhadap UU Pornografi datang dari berbagai organisasi yang berpengaruh pada masyarakat Islam di Indonesia, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Hizbut Tahir, Front Pembela Islam (FPI), dan Mahasiswa Muslim Indonesia (MMI), dan lain-lain. Bahkan MUI pun mengeluarkan fatwa yang kemudian memperluas simpatisan yang mendukung lahirnya UU ini.

Dari sudut ini, peluang keberhasilan organisasi masyarakat sipil yang menolak UU Pornografi akan lebih besar jika mobilisasi sumber daya yang mereka miliki juga diarahkan untuk mempengaruhi organisasi atau kekuatan-kekuatan penentang mereka. Usaha ini tidak memberi jaminan. Namun, hal yang perlu dipelajari dari kasus ini bahwa

movement senantiasa memiliki potensi counter-movement yang harus dikelola.

Dalam kasus Tap MPR IX/2001, sumber daya yang dimiliki organisasi gerakan sesungguhnya cukup besar, namun terpecah. Adanya dua kelompok masyarakat sipil yang masing-masing memiliki agenda yang berbeda, juga serangkaian aksi yang terpisah yang mendahuluinya, membuat kelompok Pembaruan Agraria (PA) dan Kelompok Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) hanya berhasil mendorong terbitnya Tap MPR IX/2001, tapi tidak berhasil secara substansial. Jika ditelusuri lebih jauh, Tap MPR ini sesungguhnya tidak berhasil menyatukan kedua kepentingan itu menjadi satu-

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 38

kesatuan yang utuh. Di dalam Tap MPR, sektor agraria dan pengelolaan sumber daya alam ditempatkan dan dimaknai sebagai dua entitas yang berbeda.

Keberhasilan gerakan ini juga tampaknya sangat dipengaruhi besarnya dukungan politik parlemen dan, meskipun saat itu di tingkat akar rumput terjadi bentrok fisik antara petani penggarap dengan aparat keamanan, namun wacana dan gerakan reforma agraria tidak mendapat counter movement yang berarti. Selama periode itu, tidak ditemukan adanya kekuatan yang terorganisir untuk melakukan aksi tandingan terhadap gerakan reforma agaria.

Salah satu kekuatan gerakan advokasi HP3 melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi adalah solidnya koalisi yang dibangun antara CSO dengan organisasi nelayan dan masyarakat adat pesisir. Meskipun tidak seluruh anggota koalisi secara langsung menangani isu pesisir (sebagai core business lembaga), namun mereka memiliki satu misi yang seragam menolak HP3, yang salam prosesnya memakan waktu sekitar 1,5 tahun.

Dalam beberapa kasus gerakan advokasi di Tanah Air sejauh ini, tidak jarang ditemukan berbagai pespektif dalam memandang suatu masalah, yang seolah-olah mewakili kepentingan yang berbeda—seperti kasus advokasi Tap MPR IX/2001 terjadi perpecahan kelompok CSO pendukung Pembaruan Agraria vs Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam kasus advokasi HP3 ini, memang ada aktivis CSO (ornop) yang menjadi saksi ahli pemerintah, namun kehadirannya dirasakan tidak signifikan dan mengganggu soliditas koalisi.

Dukungan yang diberikan beberapa pakar yang bersedia menjadi saksi ahli juga pantas dicatat. Umumnya para saksi ahli yang mendukung advokasi Tolak HP3 ini merupakan akademisi perguruan tinggi yang diakui kepakarannya. Kehadiran mereka adalah energi positif bagi koalisi membangun gerakannya. Dalam hal ini, ketiakpuasan nelayan, masyarakat adat, dan organisasi masyarakat sipil mendapat justifikasi ilmiah. Dan hal itu menjadi nilai tersendiri bagi para hakim konstitusi. Apalagi, pihak pemerintah juga menghadirkan para pakar untuk menjustifikasi kebijakannya.

Peran strategis yang dimainkan sekitar 30 pengacara muda, yang umumnya berasal dari organisasi masyarakat sipil dan jaringannya, juga perlu dicatat. Mereka dengan gigih mempelajari dan mendalami sistem perekonomian (bahari) yang selama ini bukan menjadi domain utama mereka.

Selain itu, Koalisi mengerahkan sumber daya yang mereka miliki secara maksimal. Kekuatan massa yang menyebar di berbagai organisasi nelayan dan petani dikerahkan untuk melakukan demonstrasi serentak di berbagai tempat, dukungan CSO di seluruh Indonesia dimobilisasi untuk menekan MK, komunikasi dengan media massa dipelihara dan diintensifkan, serta kampanye publik dengan berbagai metode dilaksanakan secara maraton.

Perlawanan terhadap HP3 ini juga bulat. Tidak ada kelompok masyarakat sipil yang mendukung HP3. Masyarakat sipil tidak mengalami sedikit pun polarisasi kepentingan. Satu-satunya dukungan terhadap HP3 adalah dari pengusaha—dan tentu juga dari Pemerintah, yang secara politik tentu saja merupakan objek yang digugat.

Dalam kasus advokasi UU Badan Hukum Pendidikan, organisasi gerakan advokasi sangat cair dan berjalan sendiri-sendiri. Namun, meskipun tidak terkoordinir,

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 39

perlawanan terhadap UU ini sangat masif dan sistematis. Berbagai diskusi publik diselenggarakan, demonstrasi mahasiwa berlangsung di mana-mana, dukungan tokoh- tokoh politik dan masyarakat semakin lama semakin besar. Bahkan, perlawanan publik terhadap UU ini sudah berlangsung ketika UU ini masih berbentuk rancangan dan dibahas di DPR.

Gerakan penolakan terhadap RUU BHP ini dimulai dari kampus-kampus yang berstatus BHMN seperti UI, UGM, ITB, dan UPI. Badan eksekutif mahasiswa (BEM) di keempat kampus itu paling sering mengadakan diskusi mengkritisi keberadaan RUU BHP. Di luar Jawa, mahasiswa di Universitas Hasanudin, Makasar, tergolong paling aktif menolak RUU BHP, baik melalui diskusi-diskusi maupun aksi demonstrasi.

Selain mahasiswa, banyak kelompok dan komunitas yang menolak RUU BHP, seperti ABPTSI (Asosiasi Badan Pengelola Perguruan Tinggi Swasta Indonesia), ANBTI (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Forum Rektor, IER (Institute for Education Reform), Koalisi Pendidikan, PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), Majelis Luhur Taman Siswa, dan sebagainya. Berbagai kelompok ini melakukan berbagai aksi seperti menyampaikan sikap melalui press release, seminar, diskusi-diskusi publik, dan sebagainya.

Sejumlah CSO memberi dukungan seperti ICW, FITRA, Suara Ibu Peduli, Auditan, Koalisi Pendidikan, dengan mengadakan diskusi publik tentang monitoring dampak implementasi RRU BHP, yang diadakan pada 1 Agustus 2007, di Jakarta. Dukungan terhadap gerakan menolak RUU BHP ini juga datang dari sejumlah tokoh nasional seperti Ahmad Syafii Maarif (Muhammadyah), Tyasno Sudarto (Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa), Siswono Yudohusodo (Yayasan Universitas Pancasila), HAR Tilaar (pakar pendidikan), Daoed Joesoef (mantan menteri pendidikan), Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan sebagainya.

Sebaliknya, pendukung UU BHP hanya datang dari kalangan pejabat pemerintah dan DPR yang dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pembentukan UU-nya, yakni kementerian pendidikan dan Komisi X DPR-RI. Selain itu, dukungan datang dari pimpinan perguruan tinggi yang telah menjadi PT BHMN karena UU ini akan memberikan payung hukum yang kuat bagi status mereka.

Dengan demikian, gerakan advokasi ini didukung oleh kekuatan movement yang besar, tanpa counter-movement yang berarti. Organisasi gerakan advokasi cair, tidak terkoordinir, namun gelombang perlawanan dilakukan secara masif dan sistematis.

Dalam dokumen SAMBUNGKAN Upaya Memperkuat Hubungan Mas (Halaman 37-40)