• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa masalah utama terkait dengan kesejahteraan pekerja antara lain adalah :

Dalam dokumen SAMBUNGKAN Upaya Memperkuat Hubungan Mas (Halaman 137-140)

A. Pertumbuhan Tanpa Pemerataan.

Pertumbuhan ekonomi di kabupaten Semarang tidak diikuti dengan kemampuan mendorong pemerataan ekonomi, dimana Survei JPIP 2006 menempatkan Kabupaten Semarang dalam posisi ke-9 dalam hal pemerataan ekonomi diantara kabupaten/kota yang ada di Jateng & DIY. Tingginya angka kemiskinan juga menjadi ironi manakala kawasan industri (Ungaran,

Bawen, Pringapus dan Tengaran) justru menjadi kantong- kantong kemiskinan yang utama. Indikator lain adalah tidak adanya redistribusi pengelolaan aset di sektor agrikultur, karena walaupun lahan untuk industri hanya 0,4%, namun justru menjadi sektor ekonomi utama.

B. Arus Migrasi Lokal di Tengah Keterbatasan Daya Serap Tenaga Kerja.

Berlimpahnya ketersediaan tenaga kerja mengakibatkan fenomena buruh undercovered, yang menggambarkan banyaknya buruh dari luar Kabupaten Semarang yang bekerja layaknya buruh walaupun bukan buruh tetap. Dalam situasi dimana kompetensi buruh rendah, skema- skema semacam home-based worker menjadi fenomena yang menguat. Ini juga menunjukkan banyaknya buruh dengan ketiadaan skema perlindungan dan

kesejahteraan yang memadai.

C. Dominasi Pekerja Non-Formal

Data menunjukkan bahwa pekerja berstatus sebagai karyawan/pekerja tetap hanya berkisar 17% dari jumlah penduduk Kabupaten Semarang (LKPJ-AMJ Bupati Semarang 2010). Sementara penduduk yang bekerja dengan status sebagai pekerja tak dibayar, pekerja bebas sektor pertanian dan pekerja bebas non pertanian, serta pekerja tidak tetap, jauh lebih besar.

D. Dominasi Pekerja Perempuan

Salah satu tantangan atau pekerjaan rumah yang harus juga diselesaikan oleh pemerintah daerah adalah kenyataan bahwa tenaga kerja yang terserap di berbagai perusahaan sebagian besar perempuan. Data dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja & Transmigrasi Prop. Jawa Tengah tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 144.279 pekerja di Kabupaten Semarang sebagian besar adalah perempuan

–yaitu 100.376 orang-, sedang laki-laki hanya 43.903 orang. Skema untuk menjawab kebutuhan khusus dan perlindungan bagi pekerja perempuan adalah isu yang penting untuk dijawab.

E. Masalah Kesejahteraan Pekerja.

Menimbang kategorisasi pekerja, distribusi kesejahteraan menunjukkan bahwa terdapat kelompok-kelompok pekerja yang berada pada level kesejahteraan yang rendah dan di bawah standar hidup layak, seperti yang dialami oleh pekerja kontrak ataupun home-based workers. Apalagi karena kuatnya anggapan bahwa buruh hanyalah mereka yang disektor formal, sehingga skema kesejahteraan dan perlindungan hak juga hanya

diperuntukkan bagi mereka yang bekerja di sektor formal. Mereka yang menjadi buruh kontrak atau pekerja/buruh outsourcing justru banyak digunakan untuk pekerjaan- pekerjaan rutin dan bukan insidental lagi. Di Semarang, fenomena home-based worker juga menjadi persoalan apalagi karena tidak dikenal sebagai buruh/pekerja karena sering dianggap sebagai bagian kebudimanan perusahaan melalui skema CSR. Tidak adanya justifikasi formal ini membuat home-based worker sangat rentan terhadap upah murah, ketiadaan kejelasan jam kerja karena dikejar target, dan juga eklusi dan diskriminasi, apalagi karena kebanyakan home-based worker adalah perempuan. Selain itu, industri juga sangat bergantung pada dukungan buruh informal, seperti tukang ojek, pedagang warung yang seringkali luput dari skema kebijakan kesejahteraan negara.

F. Bayang-Bayang Pengangguran.

Fokus pada menarik investasi seringkali membuat buruh bawah tekanan dengan menjadikan tuntutan sejahteraan buruh sebagai kambing hitam larinya nanaman modal asing, sementara perbaikan prasyarat sial politik untuk investasi justru luput dari perhatian.

G. Tidak Ada Rasa Aman dalam Bekerja.

Buruh, dan terlebih buruh informal, seringkali dianggap bagai beban dan menjadi sasaran berbagai tindakan kerasan negara atas nama ketertiban atau keindahan, bagaimana pengalaman pedagang asongan dan ngamen. Dalam situasi dimana negara gagal nyediakan lapangan kerja yang layak, saluran alternatif yang dibangun wargajustru berada dalam ancaman represi negara melalui berbagai jalur.

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 137

H. Upah yang (tidak) Layak.

Melalui SK Gubernur Jateng No. 561.4/69/2010 18 November 2010, UMK Kabupaten Semarang Rp 880.000. Permasalahan muncul ketika UMK tidak sesuai dengan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), karena ketika UMR/UMK tahun 2011 ditetapkan Rp 880.000, KHL nya sudah mencapai Rp 980.000 atau hampir Rp1 juta. Kondisi yang lebih parah dalam hal pengupahan dialami oleh pekerja/buruh kontrak, outsourcing, dan home-based worker. Banyak pekerja/buruh kontrak yang baru bekerja dihitung sebagai pekerja/buruh magang selama tiga bulan awal yang diberi upah sangat rendah. Sedangkan buruh outsourcing tidak jarang harus membayar uang muka kepada agen atau perusahaan penyalur.

I. Minimnya Jaminan Sosial Pekerja/ Buruh.

Buruh formal bergantung pada Jamsostek, namun masalahnya, tidak semua perusahaan mau memberikan Jamsostek karena banyak perusahaan tidak membayarkan sharing cost yang menjadi kewajiban perusahaan ketika buruh membayar premi untuk Jamsostek. Akibatnya buruh tidak bisa mengklaim asuransi yang ada. Situasi lebih buruk dihadapi buruh under cover dan juga buruh informal.

DALAM situasi seperti diuraikan di atas, diperlukan seperangkat kebijakan untuk memastikan perlindungan dan promosi kesejahteraan bagi pekerja di tingkat daerah. Perangkat kebijakan yang mencakup Peraturan daerah (Perda) dan turunannya ini diperlukan sebagai panduan penting bagi proses perumusan

rencana strategis, desain kelembagaan dan mekanisme, pembiayaan serta proses implementasi kebijakan perlindungan kesejahteraan tenaga kerja. PERDA pada dasarnya dirumuskan sebagai salah satu instrumen regulatif yang akan digunakan sebagai panduan dan basis legal bagi kebijakan perlindungan kesejahteraan sosial tenaga kerja daerah -baik yang bekerja di sektor formal maupun sektor informal di Kabupaten Semarang-. PERDA tersebut nantinya juga akan mengatur aspek-aspek kesejahteraan sosial tenaga kerja daerah yang mesti dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara, sasaran pemenuhan, serta sumber-sumber pembiayaan.

Bila kesejahteraan sosial maknai sebagai salah satu hak dasar bagi setiap warga (rights to welfare) (Griffin, 2008:181) maka ada kewajiban yang secara esensial selalu dilekatkan ke negara, yaitu: kewajiban negara untuk menghormati (obligation to respect), kewajiban untuk melindungi (to protect) dan kewajiban untuk memenuhi (to fulfill) hak-hak dasar setiap warga negara tanpa ada pengecualian. Hal tersebut selaras dengan basis filosofis bangsa Indonesia, Pancasila, yang menekankan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab serta Keadilan SSoossiiaal bagi Seluruh Rakyat Indonesia . l

Demikian juga semangat pembukaan UUD 1945 yang menitikberatkan kesejahteraan umum. Kesejahteraan sosial dalam sebuah

tatanan politik akan terwujud apabila dua hal dasar terpenuhi, yaitu:

Pertama, de- komodifikasi. Tatanan politik yag ada seyogyanya memastikan barang sosial (social goods) betul- betul menjadi hak (rights) bukan komoditas yang dikelola melalui mekanisme

public goods, tidak ada proses kompetisi (non-rivalry) dan tidak ada ekslusi (non-excludable) untuk mengaksesnya.

Berbagai kebutuhan dasar tersebut tidak bisa diserahkan atau tunduk pada mekanisme pasar. Kedua, de- stratifikasi struktur sosial. Tatanan politik yang ada harus mampu

mendorong proses redistribusi sosial untuk meminimalisasi adanya kesenjangan sosial di dalam masyarakat (Esping-Andersen, 2006).

Menimbang Kabupaten Semarang sebagai growth pole, banyak diantara buruh di atas adalah buruh migran lokal, yang merujuk pada pengertian pekerja/buruh yang melakukan mobilitas fisik, non permanen, dari luar daerah ke Kabupaten Semarang dan, secara formal, tidak memiliki status sebagai penduduk tetap Kabupaten Semarang. Istilah lokal

Modul SAMBUNGKAN….! )nteraksi Organisasi Masyarakat Sipil dengan Pembuat Kebijakan di Indonesia. Page 138

penting ditegaskan di sini untuk membedakannya dengan buruh migran lintas negara. Para pekerja/buruh migran ini bekerja baik di sektor formal maupun informal. Di sektor formal, mereka biasanya menjadi pekerja/buruh kontrak, pekerja/buruh outsourcing maupun pekerja/buruh berbasis rumah. Sedangkan di sektor informal, mereka kebanyakan menjadi pengamen, pengasong dan supir atau kernet angkutan umum.

Secara yuridis, banyak undang-undang (UU) yang mengatur peran negara dalam memenuhi kesejahteraan sosial tenaga di daerah, antara lain UU NO. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, UU No. 40/2005 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Tapi seperangkat aturan itu belum cukup menjawab persoalan kesejahteraan pekerja/buruh di daerah. Untuk itu diperlukan skema komperhensif guna memperbaiki tunjangan jaminan sosial maupun peningkatan kapasitas pekerja/buruh migran lokal. Skema peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh di daerah tersebut antara lain sebagai berikut :

A. Pengembangan Kualitas dan Kapasitas Pekerja/Buruh.

Skema ini bisa dilakukan dengan memberdayakan Balai Latihan Kerja (BLK) yang ada dengan dukungan

pembiayaan dan fasilitas yang memadai untuk merespons kebutuhan pasar yang dinamis (link & match). Upaya ini menjadi penting mengingat persoalan rendahnya kompetensi pekerja/ buruh menjadi salah satu akar persoalan yang membuat problem kesejahteraan buruh menjadi masalah yang berkepanjangan

B. Jaminan Sosial &Kesehatan Kerja bagi Pekerja.

Untuk jaminan kesehatan, skema jaminan kesehatan bagi pekerja/ buruh bisa dicover melalui Jamkesmas. Tahun ini, jumlah kuota Jamkesmas yang diberikan pemerintah pusat ke Kabupaten Semarang sebanyak 266.000 pasien. Namun berdasarkan pada data BPS di Kabupaten Semarang hanya ada 209.000 yang berhak mendapat Jamkesmas. Sehingga ada sisa kuota Jamkesmas kurang- lebih 57.000 yang belum digunakan. Selain itu, warga Kabupaten Semarang yang belum dapat Jamkesmas bisa juga mengakses Jamkesda yang didanai APBD. Harus dipastikan adalah adanya sosialisasi memadai atas kebijakan ini hingga ke kelompok pekerja/ buruh yang paling membutuhkan, dan diikuti perbaikan kualitas layanan kesehatan yang belum maksimal.

C. Akses Jaminan Sosial bagi Pekerja/ Buruh Migran Lokal.

Mengingat besarnya jumlah kelompok ini, jaminan sosial sebagaimana diuraikan di point b, sangatlah diperlukan

D. Pembiayaan jaminan sosial dan pengembangan kapasitas pekerja/ buruh.

Sumber pembiayaan bisa berasal dari : (a) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, (b) Dana tanggung jawab sosial perusahaan, ( c ) Dana tanggung jawab sosial masyarakat yang nantinya dipungut dan dikelola seperti dana-dana filantropi atau karitas sosial yang ada, (d) pembagian beban pembiayaan (cost sharing) dengan daerah lain dalam satu wilayah propinsi apabila terkait pembiayaan buruh/pekerja migran lokal. Sebagai efek ikutan, beberapa regulasi pendukung seperti peraturan bupati dan/atau peraturan daerah yang terkait pungutan daerah harusdirumuskan selanjutnya.

E. Skema kelembagaan jaminan sosial dan pengembangan kapasitas.

Implikasi kelembagaan bisa mengambil pilihan berikut ini : Pertama, dikelola melalui kas daerah, apabila besaran sumbangan, terutama dari dana tanggung jawab sosial perusahaan ditentukan prosentasenya dari total kewajiban dana tanggung jawab sosial perusahaanyang ada. Kedua, adanya badan pengelola independen, yang mengelola dana-dana tersebut apabila semua

sumberdana tersebut diberikan atas dasar kesukarelaan dan tidak ada unsur imperatif dalam hal prosentase dan kewajiban pemberian. Badan independen ini akan menjadi Badan pengelola dana tanggung jawab sosial perusahaan dan dana tanggungjawab sosial masyarakat yang dikelola oleh unsur-unsur terkait berikut ini: (a) Pegawai Negeri Sipil lintas SKPD yang diperbantukan yang terdiri dari unsur Dinas Tenaga Kerja, Dinas

Perekonomian dan Perdagangan, Di nas kesehatan, Dinas Keuangan dan Kekayaan Daerah, Bagian Kesra, (b) asosiasi pengusaha, dan (c) serikat pekerja

Topik 3.2

Diplomacy Skill : Analisis

Dalam dokumen SAMBUNGKAN Upaya Memperkuat Hubungan Mas (Halaman 137-140)