• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TEORI PENUNJANG. 6 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. TEORI PENUNJANG. 6 Universitas Kristen Petra"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Kepuasan Pelanggan

2.1.1. Pengertian Kepuasan Pelanggan

Filosofi bisnis berorientasi pada pelanggan, yaitu menekankan pada pemuasan kebutuhan dan keinginan pelanggan (McDonald dan Keegan, 1999, p. 7).

Kepuasan pelanggan adalah sentral dari konsep pemasaran seperti yang dikatakan oleh Fournier dan Mick (1999, p. 5), “Customer satisfaction is central to the marketing concept.” Strategi kepuasan pelanggan sebenarnya merupakan jalan untuk mencapai tujuan dari aktivitas pemasaran, yaitu menjadikan pelanggan loyal kepada merek atau perusahaan. Dengan kata lain, untuk menjadikan pelanggan loyal, maka terlebih dahulu perusahaan harus mampu membuat pelanggan puas terlebih dahulu.

Seperti dijelaskan oleh Kotler (1997, p. 41), pelanggan yang sangat puas akan cenderung menjadi loyal (setia) terhadap produk, merek, atau nama perusahaan.

Sebaliknya pelanggan yang hanya merasa puas atau kurang puas akan mudah berganti kepada produk pesaing dan tidak setia. Hal ini menunjukkan bahwa kesetiaan pelanggan dipengaruhi oleh kepuasan pelanggan dengan tingkat atau intensitas yang tinggi.

Menurut Lovelock dan Wright (2002, p. 87), “Customer satisfaction is a short-term emotional reaction to a specific service performance.” Maksud pernyataan tersebut, kepuasan pelanggan adalah reaksi emosi jangka pendek atas sebuah kinerja layanan khusus yang dirasakan oleh pelanggan.

Kotler (1997, p. 40) memberikan definisi, “Customer satisfaction is a person's feeling of pleasure or disappointment resulting from comparing a product's perceived performance (or outcome) in relation to his or her expectations.”

Maksudnya, kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa (ketidakpuasan) seseorang setelah membandingkan antara kinerja (performance) produk atau realitas yang dirasakan dengan yang diharapkan (expectation).

Berdasarkan dua pengertian di atas dapat dikatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah perasaan senang/tidak senang yang lahir setelah pelanggan

(2)

membandingkan antara sesuatu yang dirasakan (realitas) dengan sesuatu yang sebelumnya diharapkan. Hal ini berarti untuk sampai pada tingkat kepuasan, tentunya terlebih dahulu seorang pelanggan mempunyai harapan-harapan yang ingin dipenuhi melalui transaksi dengan perusahaan yang menawarkan produk/layanan. Setiap terjadi transaksi, maka akan ada evaluasi di dalam diri pelanggan, dengan demikian evaluasi kepuasan pelanggan akan berjalan secara otomatis sejalan dengan harapan dengan realitas yang diterima. Adapun, usaha membandingkan (evaluasi) antara realitas dengan harapan terjadi sepanjang pelanggan melakukan konsumsi produk/layanan.

Mengenai evaluasi kepuasan pelanggan, Kotler (1997, p. 40) menjelaskan sebagai berikut, “If the performance falls short of expectation, the customer is dissatisfied. If the performance matches the expectation, customer is satisfied. If the performance exceeds expectations, the customer is highly satisfied or delighted.”

Evaluasi atas kinerja dan harapan dari pernyataan tersebut secara eksplisit dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kinerja yang diterima apabila lebih rendah dari yang diharapkan, maka pelanggan akan merasa tidak puas. Pernyataan tersebut dapat diformulasikan:

Kinerja < Harapan Tidak puas.

2. Kinerja yang diterima sesuai dengan yang diharapkan, maka pelanggan akan puas. Pernyataan tersebut dapat diformulasikan:

Kinerja = Harapan Puas.

3. Kinerja yang diterima melebihi dari yang diharapkan, maka pelanggan akan merasa sangat puas. Pernyataan tersebut dapat diformulasikan:

Kinerja > Harapan Sangat puas.

Mengacu pada pernyataan di atas, kepuasan pelanggan adalah perbandingan antara harapan (expectation) dan kinerja. Kinerja adalah realitas atau sesuatu yang diterima pelanggan dari perusahaan, sedangkan “customer expectation are beliefs about service delivery that function as standards or reference points againts which performance is judged” (Zeithaml dan Bitner, 1996, p. 76). Maksudnya, harapan pelanggan merupakan keyakinan pelanggan mengenai manfaat dari jasa, yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk yang hendak dikonsumsi.

Perilaku pelanggan yang membandingkan antara persepsi atas kinerja dengan

(3)

harapan, akan menjadi penting bagi tenaga pemasar untuk mengukur tingkat keberhasilan.

Pemasar yang ingin berhasil, tidak hanya memahami harapan pelanggan tetapi juga harus dapat memahami faktor-faktor yang mempengaruhi harapan pelanggan. Menurut Kotler (1997, p 40), “Customer expectation are influenced by their past buying experience, friends’ and associates’ advice, and marketer’ and competitors’ information and promises.” Maksudnya, harapan pelanggan dibentuk atau dipengaruhi oleh pengalaman pembelian terdahulu, saran teman-teman dan kelompok, serta janji dan informasi pemasar serta pesaing. “Kepuasan pelanggan bergantung pada harapan pelanggan itu sendiri. Itulah sebabnya, strategi kepuasan pelanggan haruslah didahului dengan pengetahuan yang mendalam dan akurat terhadap harapan pelanggan” (Irawan, 2002, p. 3). Perusahaan yang ingin unggul dalam memasarkan produk dan layanan harus mencermati harapan-harapan pelanggan, juga mengevaluasi kinerja perusahaan yang dirasakan dan tingkat kepuasan pelanggan. Perusahaan hendaknya berusaha meningkatkan harapan pelanggan yang harus diikuti pula dengan kinerja yang dihasilkan agar pelanggan puas bahkan menjadi sangat puas.

Pelanggan yang merasa sangat puas akan memiliki ikatan emosional dengan merek yang dikonsumsi dan bahkan menjadi loyal, seperti yang dikatakan Kotler (1997, p. 41), “High satisfaction or delight creates an emotional affinity with the brand, not just a rational preference, and this creates high customer loyalty.” Jadi, perusahaan harus dapat membuat pelanggan merasa sangat puas (high satisfaction), karena pelanggan yang hanya merasa cukup puas (just satisfied) masih mudah berganti ke produk/layanan lain jika mendapat tawaran yang lebih baik atau insentif yang lebih besar (Kotler, 1997, p. 47).

Jadi, setiap perusahaan atau badan usaha hendaknya selalu berusaha untuk meningkatrkan kepuasan pelanggan yang ada. Kepuasan pelanggan dapat membangun hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan pelanggan, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang, dan membentuk rekomendasi dari mulut ke mulut serta melahirkan loyalitas (kesetiaan). Itulah sebabnya, kepuasan pelanggan perlu ditingkatkan semaksimal mungkin. Pelanggan yang merasa puas cenderung akan menyatakan hal-hal yang baik atau merekomendasikan tentang

(4)

produk dan nama perusahaan yang bersangkutan kepada orang lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bayus, “pembeli yang puas merupakan iklan yang terbaik”

(Kotler, 1995, p. 236).

2.1.2. Mengukur Kepuasan Pelanggan

Perusahaan tentu ingin memiliki banyak pelanggan yang dapat dipuaskan.

Namun demikian, perusahaan juga ingin mengetahui tingkat kepuasan pelanggan, keberadaan kepuasan pelanggan bila dibandingkan dengan pelanggan perusahaan pesaing. Perusahaan tentunya juga mentargetkan kepuasan pelanggan di masa mendatang. Untuk dapat menjawab keinginan-keinginan perusahaan tersebut diperlukan penelitian, mengenai pengukuran tingkat kepuasan pelanggan. Tanpa melakukan pengukuran tingkat kepuasan pelanggan, tidaklah mungkin keinginan- keinginan tersebut dapat dijawab. Oleh karena itu, perusahaan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, haruslah mengadakan program pengukuran kepuasan pelanggan secara periodik (Irawan, 2002, p. 131). Jadi, dalam usaha meningkatkan kepuasan pelanggan, suatu perusahaan harus dapat menemukan bagaimana tingkat kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan sesungguhnya dapat diukur.

Menurut Lovelock dan Wright (2002, p. 272), “One common way of measuring satisfaction is to ask customers first to identify what factors are important in satisfying tem and then to evaluate the performance of a service provider and its competitors on these factors.” Maksudnya, satu cara yang umum dan sering digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan adalah bertanya pada pelanggan, yaitu mengidentifikasi faktor-faktor apa yang penting, yang memuaskan, kemudian mengevaluasi kinerja perusahaan dan para pesaing pada faktor-faktor tersebut.

Dengan bertanya kepada pelanggan, maka perusahaan atau pemasar akan dapat mengetahui tingkat kepuasan pelanggan yang sesungguhnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Dengan bertanya kepada pelanggan, maka kinerja pesaing yang pernah dikonsumsi pelanggan akan dapat dievaluasi juga.

Spreng et al. (1996, p. 22) menjelaskan, mengukur kepuasan pelanggan yang paling lazim digunakan yaitu dengan “Overall satisfaction measures.” Overall satisfaction atau kepuasan menyeluruh adalah suatu ringkasan evaluasi dari pengalaman seluruh produk yang dipakai terhadap pengalaman tunggal yang dimiliki.

(5)

Kepuasan menyeluruh terdiri dari dua dimensi, yaitu valensi (positif dan negatif) dan intensitas (bobot). Oleh karena itu, pengukuran kepuasan pelanggan menyeluruh ditandai dengan cara mengukur tinggi atau rendah suatu reaksi pelanggan. Kepuasan menyeluruh bisa diukur dengan 5 (lima) atau 7 (tujuh) titik skala (five or seven-point scales), di mana pada dua ujung ditempatkan kata “sangat puas/sangat tidak puas,”

atau “sangat sesuai harapan/sangat tidak sesuai harapan,” atau “sangat setuju/sangat tidak setuju.”

Skala 5 atau 7, banyak dilakukan oleh Lembaga Riset Frontier dalam melakukan pengukuran kepuasan pelanggan di Indonesia (Irawan, 2002, p. 123).

Contoh pengukuran kepuasan menyeluruh (overall satisfaction) yang pernah dibuat oleh Cronin dan Taylor (1992) dalam Tjiptono (1996, p. 109): “Perasaan saya terhadap jasa Perusahaan ABC dapat digambarkan secara tepat dengan pernyataan:

1 --- 2 --- 3 --- 4 --- 5 --- 6 --- 7 Sangat Tidak Puas Sangat Puas

Nilai dari setiap pertanyaan kemudian dihitung mean atau rata-rata untuk mengetahui indeks kepuasan pelanggan, selanjutnya rata-rata nilai masing-masing variabel dianalisis dengan menggunakan analisa multivariate, seperti multiple regression (Irawan, 2002, p. 121). Hasil dari survei kepuasan pelanggan ini dapat digunakan untuk mengestimasikan seberapa besar loyalitas pelanggan kepada perusahaan serta seberapa besar risiko permasalahan (risk of defecting) yang dihadapi perusahaan.

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan

Perusahaan hendaknya berusaha meningkatkan harapan pelanggan dan diimbangi dengan kinerja yang dihasilkan. Perusahaan juga harus dapat membuat pelanggan merasa sangat puas (highly satisfaction), karena pelanggan yang hanya menyatakan cukup puas (just satisfied), masih mudah berganti pemasok atau produk lain jika mendapat tawaran yang lebih baik (Kotler, 1997, p. 47).

Kepuasan pelanggan dapat membangun hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan pelanggan, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang, dan membentuk rekomendasi dari mulut ke mulut serta melahirkan loyalitas. Itulah sebabnya kepuasan pelanggan perlu ditingkatkan semaksimal mungkin. Apa yang harus dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan?

(6)

Kotler (1997, p. 42) menjelaskan, “The company can increase customer satisfaction by lowering its price, or increasing its service, and improving product quality.” Maksudnya, perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dengan jalan menjual produk dengan harga memadai, atau meningkatkan layanan, dan meningkatan kualitas produk yang dihasilkan. Secara implisit, pernyataan di atas menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah harga, pelayanan, dan kualitas produk.

Kiranya masih ada faktor lain yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, yaitu faktor situasional dan faktor personal. Pernyataan tersebut didasarkan atas pendapat Zeithaml dan Bitner (1996, p. 124) yang menjelaskan bahwa, “Satisfaction is more inclusive: It is influenced by perception of service quality, product quality, and price as well as situational factors and personal factors.” Maksudnya, kepuasan pelanggan bersifat lebih inklusif (pribadi) dan keberadaannya dipengaruhi persepsi pelanggan atas kualitas layanan, kualitas produk, harga, faktor situasi dan faktor personal pelanggan itu sendiri sebagai mana yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut ini.

Reliability Responsiveness Assurance Empathy Tangibles

Gambar 2.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan Sumber: Zeithaml dan Bitner (1996, p. 123).

Masing-masing faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan yang meliputi service quality, product quality, price, situational factors, dan personal factors secara terpisah akan dijelaskan pada sub-sub bab di bawah ini.

Service Quality

Product Quality

Price

Customer Satisfaction

Situational Factors

Personal Factors

(7)

2.2.1. Service Quality (Kualitas Layanan)

Faktor pertama yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah kualitas layanan (Zeithaml dan Bitner, 1996, p. 123). Sebelum menjelaskan arti kualitas layanan, maka terlebih dahulu akan dijelaskan arti dari layanan.

Ahli ekonomi mendefinisikan produk sebagai barang dan jasa. Dalam realitasnya, banyak pakar pemasaran membedakan istilah produk dengan jasa.

Produk dipersepsikan sebagai barang, sedangkan layanan dipersepsikan sebagai layanan. Barang bersifat fisik atau berwujud dan dapat dipegang, diraba, dicium, dan dirasakan, sedangkan layanan bersifat tidak berwujud.

Secara sederhana Zeithaml dan Bitner (1996, p. 5) menyatakan bahwa,

“Service are deeds, processes, and performances.” Definisi tersebut menjelaskan bahwa layanan adalah perbuatan, proses, dan kinerja. Lebih spesifik, layanan adalah suatu perbuatan atau tindakan yang diberikan seseorang atau perusahaan kepada orang lain atau pelanggan. Layanan tidak berbentuk, dan pelanggan hanya bisa merasakan suatu perbuatan tanpa bisa memegang.

Kotler (1997, p. 467) memberikan definisi layanan sebagai berikut, “A service is any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. It's production may or may not be tied to physical product.” Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa, layanan adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh perusahaan kepada pihak lain (pelanggan), pada dasarnya bersifat tidak berwujud, dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Jadi, layanan atau jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang bersifat tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.

Ada 4 (empat) karakteristik pokok yang membedakan layanan (jasa) dengan produk (barang), yaitu intangibility, inseparability, variability, dan perishability (Kotler, 1997, p. 469-471), di mana keempat karakteristik layanan tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut:

1. Intagibility (tidak berwujud)

Intagibility maksudnya suatu jasa mempunyai sifat tidak berwujud, tidak dapat dilihat, diraba, dicium, dirasakan atau dinikmati sebelum dibeli oleh pelanggan. Konsep intangible ini sendiri memiliki dua pengertian, yaitu sesuatu

(8)

yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat dirasa serta sesuatu yang tidak mudah didefinisikan, atau diformulasikan.

2. Inseparability (tidak dapat dipisahkan)

Inseparability maksudnya jasa atau layanan yang diproduksi atau yang dihasilkan dan dirasakan pada waktu yang bersamaan dan tidak dapat dipisahkan.

Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa. Penyedia jasa dan pelanggan mempengaruhi hasil dari jasa tersebut.

3. Variability (bervariasi)

Variability maksudnya jasa atau layanan bersifat sangat variabel karena merupakan nonstandadized output, yaitu banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan di mana jasa tersebut dihasilkan. Ada tiga faktor yang menyebabkan variabilitas kualitas jasa, yaitu kerja sama atau partisipasi pelanggan selama penyampaian jasa, moral/motivasi karyawan dalam melayani pelanggan, dan beban kerja perusahaan.

4. Perishability (tidak tahan lama)

Perishability maksudnya jasa atau layanan merupakan komoditas yang tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Ini berarti, apabila suatu jasa tidak digunakan, maka jasa tersebut akan berlalu begitu saja.

Agar layanan yang ditawarkan perusahaan dapat memuaskan pelanggan, maka layanan harus dibuat sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan atau berkualitas. Pelanggan yang mempunyai gaya hidup masa kini (modern), tidak saja menuntut produk yang berkualitas dari setiap transaksi yang dilakukan, tetapi juga pelayanan yang diterima pun harus berkualitas sesuai dengan harga yang dibayar.

Pelanggan ingin keberadaannya (eksistensi) dihargai atau dilayani dengan baik oleh perusahaan. Itulah sebabnya, isue kualitas layanan menjadi semakin penting untuk membuat pelanggan puas agar menjadi loyal. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan kualitas layanan?

Kualitas layanan atau service quality secara umum sering didefinisikan sebagai kecocokan penggunaan atau kesesuaian pada kebutuhan (fitness for use).

Untuk memahami arti service quality dengan benar, berikut dikutipkan pendapat para ahli.

(9)

Menurut Zeithaml et al. (2000, p. 44), “Service quality is the customer perception’s of the superiority of the service.” Maksudnya, kualitas layanan merupakan persepsi pelanggan tentang keunggulan dari suatu layanan. Dengan kata lain, layanan yang berkualitas adalah layanan yang memiliki keunggulan atau keistimewaan untuk dapat memenuhi harapan pelanggan. Pengertian istimewa itu sendiri dapat bermakna kualitas.

Lebih mendalam Kotler (1997, p. 58) menjelaskan bahwa, “Quality is the totality of features and characteristics of a product or service that bear on its ability to satisfy stated or implied need.” Maksudnya, kualitas merupakan keunggulan atau keistimewaan dari keseluruhan atribut dan karakteristik suatu produk atau jasa untuk memuaskan keinginan yang dinyatakan maupun yang tidak dinyatakan. Layanan dapat dikatakan berkualitas apabila dapat memenuhi harapan pelanggan. Hal ini menunjukkan, ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas layanan, yaitu layanan yang diharapkan dan layanan yang diterima. Apabila layanan yang diterima sesuai dengan yang diharapkan, maka layanan dipersepsikan baik oleh pelanggan.

Jika layanan yang diterima melampaui harapan, maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal oleh pelanggan. Sebaliknya, jika layanan yang diterima pelanggan lebih rendah dari pada layanan yang diharapkan, maka kualitas layanan dipersepsikan buruk oleh pelanggan. Dengan demikian, baik atau buruk kualitas layanan tergantung pada kemampuan perusahaan penyedia layanan dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten.

Menurut Lovelock dan Wright (2002, p. 266-267); Zeithaml dan Bitner (1996, p. 118), ada 5 (lima) dimensi kualitas layanan, yaitu “reliability, responsiveness, assurance, empathy, dan tangibles.” Lima dimensi kualitas layanan tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut:

1. Reliability (Keandalan)

Yaitu kemampuan perusahaan atau badan usaha memberikan pelayanan sesuai dengan waktu yang dijanjikan (providing service as promised) dan akurat (acurately). Ini berarti, menuntut personil perusahaan bekerja secara tepat dalam memberikan layanan kepada pelanggan sesuai dengan alokasi waktu yang dijanjikan.

(10)

2. Responsiveness (Daya tanggap)

Yaitu kesediaan karyawan membantu pelanggan dan memberikan pelayanan dengan segera. Ini berarti, menuntut personil perusahaan untuk bekerja dengan cepat atau dengan senang hati membantu pelanggan dalam menentukan pilihan produk, barang dan layanan sesuai dengan keinginan pelanggan.

3. Asssurance (Jaminan)

Yaitu pengetahuan, kecakapan, dan kesopanan karyawan perusahaan untuk mampu memberikan kepercayaan dan keyakinan kepada pelanggan.

Pelanggan yang ragu-ragu perlu diyakinkan. Ini berarti, menuntut setiap pimpinan perusahaan untuk mendidik karyawan yang dipekerjakan agar memiliki keterampilan, baik teknis maupun kecakapan dan pengetahuan yang memadai serta sopan dalam memberikan pelayanan.

4. Empathy (Kepedulian)

Yaitu kepedulian dan perhatian karyawan atau pemilik usaha kepada semua pelanggan, meliputi kemudahan melakukan hubungan atau komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan. Ini berarti, setiap karyawan perusahaan harus dapat memanjakan pelanggan, memperhatikan pelanggan, dan menjadikan pelanggan sebagai raja yang harus dilayani dengan baik dan menjadikan pelanggan sebagai asset kekayaan perusahaan yang harus dipelihara dan ditingkatkan kepuasannya.

5. Tangibles (Bukti fisik)

Yaitu meliputi fasilitas fisik yang dimiliki oleh perusahaan. Misalnya, perlengkapan kantor, ruang transaksi, tempat parkir, dan sarana komunikasi.

Keberadaan tangibles yang baik dalam suatu perusahaan sangat diperlukan untuk menarik minat pelanggan agar bersedia datang ke lokasi usaha untuk melihat-lihat, datang untuk bertanya-tanya, dan datang untuk membeli/mengkonsumsi.

Tingkat pendidikan masyarakat yang relatif tinggi dan kemampuan finansial yang memadai membuat setiap masyarakat memiliki harapan yang tinggi atas segala sesuatu yang hendak dikonsumsi. Layanan dengan kualitas yang baik akan mampu memenuhi harapan pelanggan dengan cita rasa yang tinggi tersebut, dan bila harapan pelanggan terpenuhi maka pelanggan akan puas. Adanya pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan pelanggan dijelaskan oleh Kotler dan Amstrong (1996, p. 583)

(11)

sebagai berikut: “Higher levels of quality result in greater customer satisfaction.”

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa semakin tinggi kualitas (produk atau layanan) akan menyebabkan pelanggan semakin puas. Ini menunjukkan antara kualitas (produk dan layanan) dengan kepuasan pelanggan terdapat hubungan positif, di mana hubungan tersebut memberikan pengaruh yang positif pula terhadap kepuasan pelanggan.

2.2.2. Product Quality (Kualitas Produk)

Faktor kedua yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah kualitas produk (Zeithaml dan Bitner, 1996, p. 123). Sebelum menjelaskan arti kualitas produk, maka terlebih dahulu akan dijelaskan arti dari produk.

Produk merupakan salah satu dari empat variabel bauran pemasaran, di samping harga, distribusi, dan promosi yang keberadaannya sangat penting, karena produk merupakan sesuatu atau obyek yang ditawarkan ke pasar untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Tidak akan ada harga yang dapat ditawarkan, distribusi yang menjadi perantara, dan promosi sebagai media komunikasi tanpa adanya suatu produk.

Menurut Tjiptono (1998, p. 95), “Produk adalah sesuatu yang dihasilkan produsen, yang bisa ditawarkan kepada konsumen sebagai usaha untuk mencapai tujuan organisasi melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen.”

Sedangkan Kotler (1997, p. 430) memberikan definisi, “A product is anything that can be offered to a market for attention, acquisition, use or consumption that might satisfy a want or a need.” Maksudnya, suatu produk adalah apa saja yang ditawarkan ke pasar untuk diperhatikan, dibeli, digunakan atau dikonsumsi untuk memenuhi atau memuaskan keinginan dan kebutuhan pelanggan. Yang dihasilkan dari setiap badan usaha adalah produk, baik berupa barang maupun jasa. Produk yang dihasilkan perusahaan tersebut agar laku dijual maka harus ditawarkan ke pasar, karena pasar merupakan tempat berkumpul penjual dengan pembeli. Di pasar produk akan diperhatikan, dibeli, dipakai atau dikonsumsi oleh konsumen. Produk yang dibeli oleh konsumen tentu produk yang menarik selera konsumen, terutama untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.

(12)

Produk yang dihasilkan oleh setiap perusahaan tentu mempunyai ciri-ciri yang spesifik atau dibuat menonjol bila dibandingkan dengan produk yang lain, baik kemasan, warna, merek, dan pelayanan yang disajikan. Hal ini dimaksudkan untuk menarik minat calon pelanggan untuk melihat, membeli, sehingga akan terjadi transaksi jual beli. Produk yang dihasilkan suatu perusahaan dapat terdiri dari tiga komponen, yaitu barang (goods), jasa (services), dan ide (an ideas), seperti yang dicontohkan oleh Kotler (1997, p. 430), “A fast-food restaurant is supplying goods (humburgers, fries, soft drinks), services (purchasing, cooking, seating), and an idea ("save me time").” Maksudnya, restoran cepat saji menyajikan barang (hamburger, ayam goreng, minuman), layanan (transaksi, masakan, tempat duduk), dan ide (penghematan waktu).

Dalam melayani pasar atau pelanggan, seorang pemasar perlu mengetahui dengan seksama lima tingkatan suatu produk, di mana lima tingkatan produk itu sendiri merupakan keseluruhan dari produk yang ditawarkan perusahaan kepada pelanggan. Menurut Kotler (1997, p. 431) lima tingkatan produk yang dimaksudkan adalah: “Core benefit, basic product, expected product, augmented product, and potential product.”

Lima tingkatan produk yang dimaksudkan di atas secara singkat diterangkan sebagai berikut:

1. Core benefit (Produk inti)

Merupakan inti produk atau manfaat dasar yang sesungguhnya dibeli oleh pelanggan. Misal, hotel manfaat dasarnya adalah istirahat dan tidur, handphone manfaat dasarnya adalah komunikasi, café manfaat dasarnya adalah melepaskan dahaga dan lapar.

2. Basic product (Produk dasar)

Merupakan produk dasar yang dibeli oleh pelanggan. Misal, ruangan hotel termasuk tempat tidur, kamar mandi, handuk, meja, dan kamar kecil, sedangkan café yang termasuk basic product adalah makanan dan minuman.

3. Expected product (Produk yang diharapkan)

Merupakan sejumlah atribut dan kondisi yang secara normal diharapkan dan disetujui oleh pelanggan ketika membeli suatu produk. Misal, tamu hotel mengharapkan tempat tidur yang bersih, handuk yang segar (fresh towels), lampu

(13)

kerja, dan suasana yang tenang, demikian juga pengunjung café mengharapkan penerangan yang memadai, suasana ruangan (atmosfer) yang sejuk dan terasa santai.

4. Augmented product (Produk tambahan)

Merupakan suatu bentuk produk tambahan yang mempertemukan keinginan dan yang diharapkan pelanggan. Misal, sebuah hotel dapat menambah produk yang ada dengan TV lengkap dengan remote control, bunga yang segar, cepat check-in dan checkout, ruangan makan bersih, demikian juga pengunjung café mengharapkan ada pesawat TV dengan remote control, bunga yang segar, meja dan kursi yang bersih, dan tempat cuci tangan yang dilengkapi sabun.

5. Potential product (Produk potensial)

Merupakan potensi suatu produk untuk dikembangkan di waktu yang akan datang. Produk yang dikembangkan dapat berasal dari produk inti dan produk tambahan sesuai dengan perkembangan teknologi, perilaku konsumen, dan waktu. Dalam hal ini perusahaan harus mencari cara baru yang agresif untuk memuaskan pelanggan dan membedakan pelayanan yang ada dengan yang lain.

Misal, pada rumah makan cepat saji (fast food) dan café perlu dikembangkan pembayaran dengan menggunakan kartu debit atau kartu kredit, sehingga konsumen tidak perlu lagi membayar dengan uang tunai.

Dalam usaha menarik minat beli pelanggan, maka produk harus dibuat berkualitas. Kualitas produk merupakan hal penting yang harus diusahakan oleh setiap perusahaan jika ingin produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasar. Dewasa ini karena kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat cenderung meningkat, sebagian besar masyarakat semakin kritis dalam mengkonsumsi suatu produk. Pelanggan selalu ingin mendapatkan produk yang berkualitas sesuai dengan harga yang dibayar, meskipun ada sebagian masyarakat berpendapat bahwa, produk yang mahal adalah produk yang berkualitas.

Menurut Kotler et al. (1999, p.30), “Product quality is the totality of features and characteristics of a product or service that bear on its ability to satisfy stated or implied needs.” Maksudnya, kualitas produk merupakan keseluruhan ciri atau sifat barang dan jasa yang berpengaruh pada kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat. Setiap perusahaan yang

(14)

menginginkan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan, maka akan berusaha membuat produk yang berkualitas, yang ditampilkan baik melalui ciri-ciri luar (design) produk maupun inti (core) produk itu sendiri.

Adam dan Eberts (1995, p. 511) menambahkan bahwa, “Product quality is the appropriateness of design specification of function and use as well the degree specification.” Hal ini menunjukkan bahwa kualitas produk merupakan spesifikasi rancangan yang tepat atau yang layak untuk digunakan sebaik mungkin sesuai dengan tingkatan spesifikasinya. Ada kalanya spesifikasi rancangan produk ditentukan oleh pelanggan (buyer), ini berarti perusahaan tinggal memproduksi dan menawarkan hasil produksi kepada pelanggan atau yang memesan. Spesifikasi rancangan, ada kalanya juga berasal dari perusahaan sebagai hasil riset di pasar dalam mengamati selera pelanggan yang semakin hari semakin kritis, yang kemudian diterjemahkan secara teknik oleh bagian rekayasa dan pembikinan, seperti yang dijelaskan oleh Feigenbaum (1996, p. 7) “Product quality can be defined as: The total composite product characteristic of marketing, engineering, manufacture, and maintenance through which the product and service in use will meet the expectations of the customer.” Maksudnya, kualitas produk merupakan keseluruhan gabungan karakteristik produk dari pemasaran, rekayasa, pembikinan, dan pemeliharaan yang membuat produk yang digunakan memenuhi harapan-harapan pelanggan. Jadi, kualitas produk adalah sejumlah atribut atau sifat-sifat yang dideskripsikan di dalam produk (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi harapan-harapan pelanggan. Dengan demikian tujuan diciptakan produk yang berkualitas oleh suatu perusahaan adalah untuk dapat memenuhi harapan-harapan pelanggan, seiring dengan perkembangan cita rasanya.

Sebagai mana telah diungkapkan pada sub bab di muka, adanya pengaruh kualitas produk terhadap kepuasan pelanggan dijelaskan oleh Kotler dan Amstrong (1996, p. 583) sebagai berikut: “Higher levels of quality result in greater customer satisfaction.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa semakin tinggi kualitas (produk) akan menyebabkan pelanggan semakin puas. Ini menunjukkan antara kualitas (produk) dengan kepuasan pelanggan terdapat hubungan positif, di mana hubungan tersebut memberikan pengaruh yang positif pula terhadap kepuasan pelanggan.

(15)

2.2.3. Price (Harga)

Faktor ketiga yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah harga (Zeithaml dan Bitner, 1996, p. 123). Produk, baik berupa barang dan jasa yang dijual di pasar pasti mempunyai harga, di mana besar harga tersebut yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan untuk mengganti hak milik atas barang dan jasa kepada perusahaan.

Menurut Berkowitz et al. (2002, p. 314), “Price is the money or other considerations (including other goods and services) exchanged for the ownership or use of good or service.” Definisi di atas menjelaskan bahwa harga adalah sejumlah uang atau wujud lain (termasuk barang dan jasa) sebagai ganti kepemilikan dari barang dan jasa. Jadi, sebagai ganti kepemilikan suatu produk dibutuhkan sejumlah harga, namun demikian tidak semua ganti kepemilikan suatu produk memerlukan uang secara nominal, misalnya penawaran produk gratis. Di mana hal ini lebih menekankan akan nilai investasi dalam aktivitas promosi.

Sejalan dengan konsep Berkowitz et al. di atas, Nitisemito (2000, p. 55) menjelaskan bahwa, “Harga adalah nilai suatu produk (barang dan jasa) yang diukur dengan sejumlah uang dimana berdasarkan nilai tersebut seseorang bersedia melepas- kan produk yang dimiliki kepada pihak lain.”

Berdasarkan dua pengertian di atas disimpulkan bahwa harga adalah sejumlah nilai uang termasuk barang dan jasa lain yang ditawarkan untuk mengganti hak milik suatu barang atau jasa kepada pihak lain. Yang termasuk harga adalah harga nominal barang itu sendiri, potongan harga (diskon), pembebasan pajak, voucher belanja, sistem pembayaran, periode pembayaran, dan termin kredit. Produk supaya dapat unggul di pasar, maka harga yang ditawarkan kepada konsumen harus bersaing secara wajar, tetapi tanpa harus mengorbankan kepentingan perusahaan, yaitu mendapatkan keuntungan yang optimal.

Pada saat pelanggan membeli produk, pelanggan menukar sejumlah nilai (uang) dengan sejumlah nilai lain (manfaat atas memiliki atau menggunakan produk).

Pelanggan yang berorientasi pada harga mengharapkan mendapatkan manfaat dari produk yang diterima sebanding dengan uang yang dibelanjakan. Manfaat dapat meliputi manfaat yang sesungguhnya (actual benefits) maupun manfaat yang dipersepsikan (perceived benefits). Dicontohkan oleh Kotler et al. (1999, p. 412),

(16)

apabila seorang pelanggan membeli makanan di restoran atau kafe, adalah mudah bagi pelanggan untuk menghitung nilai dari bumbu-bumbu makanan tersebut.

Sebaliknya, pelanggan akan sulit mengukur nilai atas produk makanan tersebut.

Beberapa pelanggan datang ke restoran/kafe untuk menikmati layanan, dan yang lainnya menaruh nilai besar pada keandalan koki/pramuniaga. Sementara yang lain mengharapkan prestis dari restoran/kafe dan atmosfer. Apabila pelanggan mempersepsikan bahwa harga lebih besar dari nilai produk, maka pelanggan tidak akan membeli.

Harga tidak hanya berbentuk nominal atau angka yang tertera pada suatu produk, melainkan dapat berupa persepsi atau yang lazim disebut persepsi harga.

Pelanggan memiliki persepsi atas seluruh variabel pemasaran perusahaan, seperti yang dijelaskan oleh Dharmmesta dan Handoko (2002, p. 83) berikut ini: “Pelanggan akan mempunyai persepsi produk, persepsi harga, persepsi periklanan, dan persepsi penjual dari kegiatan pemasaran perusahaan.” Jadi, setiap variabel bauran pemasaran mampu melahirkan persepsi tersendiri di dalam diri pelanggan atau pembeli potensial.

Adapun yang dimaksud dengan “persepsi harga adalah berkenaan dengan bagaimana informasi harga dipahami oleh pelanggan dan menjadi sesuatu yang berarti bagi mereka” (Peter dan Olson, 2000, p. 314). Ahtola’s (1984) dalam Zeithaml (1998, p. 10) menjelaskan persepsi harga sebagai berikut, “Price is a ‘give’

component of the model, rather than a ‘get’ component.” Harga yaitu sesuatu komponen yang diberikan sebagai ganti sesuatu komponen yang didapatkan. Adapun komponen-komponen harga menurut Zeithaml (1998, p. 10), yaitu: “objective monetary price, perceived price, and sacrifice.”

Ketiga komponen harga tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut:

1. Objective monetary price

Adalah harga sesungguhnya (actual price) dari suatu produk yang tertulis di suatu produk, yang harus dibayar oleh pelanggan. “Consumer tend to look at the final price and then decide wheter they received a good value” (Kotler et al., 1999, p. 412). Maksudnya, pelanggan cenderung melihat harga akhir dan memutuskan atau memikirkan apakah akan menerima nilai yang baik (seperti yang diharapkan).

(17)

2. Perceived price

Adalah harga yang ditafsirkan atau dipersepsikan oleh pelanggan. Kerap kali pelanggan tidak mengingat betul harga sebuah produk yang pernah dibeli, tetapi pelanggan dapat mengingat bahwa harga produk yang dimaksud adalah

“murah” atau “mahal”, “sesuai dengan kualitas” atau “tidak sesuai dengan kualitas”.

3. Sacrifice price

Adalah harga yang harus dibayar oleh pelanggan berikut pengorbanan, baik berupa transportasi, telepon (komunikasi) mungkin juga jasa pihak ketiga (komisi) yang harus dibayar oleh pelanggan untuk mendapatkan suatu produk yang hendak dibeli.

Harga secara implisit mempunyai hubungan dengan kualitas. Produk yang berkualitas akan dijual dengan harga yang tinggi, demikian juga sebaliknya. Adanya hubungan antara harga dengan kualitas diterangkan oleh Adam dan Ebert (1995, p. 521) sebagai berikut: “Quality provide a product or service at the price the customer can afford. Quality is the most expensive product or service.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kualitas memberikan produk atau layanan pada harga yang mampu dibayar oleh pelanggan. Kualitas adalah produk atau layanan yang mahal. Hal ini dapat juga diartikan, kualitas yang baik dijual dengan harga yang mahal atau sebanding dengan tingkat kualitas produk atau kualitas layanan yang ditawarkan, demikian juga sebaliknya.

Dalam realitasnya, harga mempunyai pengaruh terhadap kepuasan pelanggan, seperti yang dijelaskan oleh Zeithaml dan Bitner (1996, p. 116) sebagai berikut, “The price of the service can also greatly influence perceptions of quality and satisfaction.” Maksud dari pernyataan di atas adalah bahwa harga memberikan pengaruh besar terhadap persepsi pelanggan atas kualitas dan kepuasan pelanggan.

Itulah sebabnya, pemasar hendaknya realistis (pantas) dalam menetapkan harga jual produk berikut layanan. Kesalahan menetapkan harga jual akan berdampak pada persepsi pelanggan yang kurang baik terhadap produk, layanan, dan nama perusahaan. Penetapan harga yang rendah dapat mencerminkan kualitas produk/layanan yang kurang baik, sebaliknya penetapan harga yang terlalu tinggi akan tidak memungkinkan konsumen/pelanggan untuk membeli produk/layanan yang

(18)

diinginkan, sehingga konsumen/pelanggan akan beralih ke produk pesaing atau produk subtitusi.

2.2.4. Situational Factors (Faktor Situasi)

Faktor keempat yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah faktor situasi (Zeithaml dan Bitner, 1996, p. 123). Situasi adalah keadaan lokasi atau kondisi ruangan (atmosfer) yang melingkupi perusahaan, yang dapat dinikmati pelanggan ketika mengkonsumsi produk/layanan (Zeithaml dan Bitner, 1996, p. 124).

Pembahasan faktor situasi di sini menekankan pada keadaan atau atmosfer yang disajikan perusahaan dalam usaha menarik pelanggan untuk datang ke lokasi perusahaan. Faktor situasi berkaitan dengan atribut-atribut fisik atau atmosfer yang ada di perusahaan atau badan usaha.

“Atmosphere is a critical element in service. It can be the customer’s reason for choosing to do business with an establishment“ (Kotler et al., 1999, p.277).

Maksudnya, atmosfer adalah elemen layanan yang kritis. Atmosfer dapat menjadi alasan pelanggan melakukan transaksi dengan perusahaan. Dicontohkan oleh Kotler et al. (1999, p. 277), restoran/kafe yang berada di bagian strategis pusat perbelanjaan dengan eksterior panel kaca (a glass panel exterior) banyak dijumpai di banyak bagian pusat perbelanjaan. Lantai dari granit atau karpet demikian halnya dengan instalasi lampu yang menarik di pintu masuk serta dengan aroma masakan dan minuman yang berkualitas, diharapkan dapat menarik pelanggan untuk datang.

Sebaliknya eksterior restoran/kafe yang kurang menarik tidak akan mampu menarik pelanggan potensial. Warna cat yang kalem akan membuat restoran/kafe nampak santai dan memiliki atmosfer yang bersahabat (a friendly atmosphere).

Atmosfer mempunyai pengaruh terhadap keputusan pembelian pelanggan, di mana akhir dari keputusan pembelian (post purchase) adalah kepuasan. Secara eksplisit Berman dan Evans (2001, p.89) menjelaskan “The physical attributes, or atmosphere, of a location and its surrounding area greatly influence perceptions of a consumer.” Maksudnya, atribut-atribut fisik atau atmosfer merupakan suatu lokasi usaha dan nuansa yang melingkupi, yang memiliki pengaruh besar terhadap persepsi konsumen. Sejalan dengan pendapat Kotler et al. (1999, p.277) di atas, Berman dan Evans (2001, p.89) juga menjelaskan bahwa atribut-atribut fisik dan atmosfer dapat

(19)

berupa eksterior dan interior. Eksterior bangunan merupakan bagian pertama yang dilihat oleh pelanggan dan mempunyai pengaruh yang tidak kecil. Demikian halnya dengan interior atau sisi dalam lokasi usaha, misalnya layout dan display, dinding dan warna lantai, penerangan, musik, dan pramuniaga yang mengenakan pakaian seragam juga memberikan kontribusi terhadap company image (citra perusahaan).

Armosphere is appreciated through the senses (Kotler et al., 1999, p. 278).

Maksudnya, atmosfer diapresiasikan atau dinyatakan melalui perasaan. Pancaindra akan mendeskripsikan atmosfer yang ada di sekeliling dengan seksama. Saluran pancaindra utama untuk asmosfer adalah penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perabaan. Dimensi penglihatan yang utama atas atmosfer adalah warna, terang, ukuran, dan ketajaman. Dimensi pendengaran yang utama atas atmosfer adalah volume dan suara. Dimensi penciuman yang utama atas atmosfer adalah bau (aroma) dan kesegaran. Dimensi perabaan yang utama atas atmosfer adalah kelembutan, kehalusan, dan suhu ruangan (temperatur).

Atmosphere can effect purchase behavior in at least four ways (Kotler et al., 1999, p. 278). Maksudnya, atmosfer dapat mempengaruhi perilaku pembelian pelanggan, sedikitnya pada empat cara. Pertama, atmosfer dapat menjadi media layanan yang menciptakan perhatian pelanggan. Kedua, atmosfer dapat menjadi media layanan yang menciptakan informasi/berita bagi pelanggan. Ketiga, atmosfer dapat menjadi media layanan yang menciptakan pengaruh bagi pelanggan. Dan terakhir, atmosfer dapat menjadi media layanan yang menciptakan perasaan pelanggan. Jadi, secara runtut kinerja atmosfer dalam mempengaruhi keputusan pembelian pelanggan dan membuat pelanggan puas dimulai dari menciptakan perhatian, kemudian menciptakan informasi/berita, selanjutnya menciptakan pengaruh, dan akhirnya menciptakan perasaan (mood) pada pelanggan.

2.2.5. Personal Factors (Faktor Personal)

Faktor kelima yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah faktor personal (Zeithaml dan Bitner, 1996, p. 123). Di muka telah sedikit disinggung mengenai faktor personal, bahwa salah satu faktor yang mempengaruh kepuasan pelanggan adalah faktor personal. Faktor personal atau faktor pribadi, yaitu individu yang mengkonsumsi produk dan layanan, individu yang mempunyai harapan, dan

(20)

individu yang menilai kinerja suatu perusahaan, dan individu yang merasakan kepuasan atau ketidakpuasan setelah mengkonsumsi suatu produk dan layanan serta individu yang mempunyai cita rasa dan gaya hidup.

Faktor personal adalah segala sesuatu yang berada atau melekat dalam diri seseorang atau pelanggan, misalnya tingkat emosional pelanggan (the consumer’s emotional state) atau karakteristik pribadi pelanggan yang ditunjukkan dengan gaya hidup seseorang dalam membeli sesuatu (Zeithaml dan Bitner, 1996, p. 124).

Sedangkan menurut Kotler (1997, p. 179), faktor personal adalah segala sesuatu yang melekat dalam diri seseorang yang bersifat pribadi, misalnya “the buyer’s age and stage in the life cycle, occupation, economic circumtances, lifestyle, and personality and selt-concept”.

Faktor-faktor personal di atas secara singkat dijelaskan sebagai berikut:

1. Age and Stage in The Life Cycle (Usia dan tingkat dalam siklus hidup)

Orang-orang membeli produk, barang dan jasa berbeda sepanjang hidup, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai orang tua. Selera orang-orang dalam memilih pakaian, perabot, dan rekreasi juga berbeda. Adanya perbedaan usia dan tingkat hidup manusia inilah yang menjadi motivasi dari setiap perusahaan untuk memproduksi atau menciptakan produk yang sama fungsinya tetapi berbeda dalam desain dan ciri-cirinya.

2. Occupation (Pekerjaan)

Pekerjaan seseorang pelanggan juga mempengaruhi pola konsumsi.

Seorang pekerja buruh pabrik tentu akan berbeda apa yang dibelinya bila dibandingkan dengan seorang manajer atau direktur. Itulah sebabnya seorang pemasar harus dapat menciptakan keanekaragaman produk yang berkualitas dan menentukan segmentasi pasar dengan jelas agar pemasaran dapat terarah dengan baik dan pangsa pasar dapat ditingkatkan.

3. Economic Circumtances (Keadaan ekonomi)

Pilihan produk sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi seseorang.

Keadaan ekonomi meliputi pendapatan yang dapat dibelanjakan, tabungan dan kekayaan, hutang, kekuatan untuk meminjam, dan pendirian terhadap belanja dan menabung. Orang yang kaya akan sedikit lebih banyak membelanjakan uang yang

(21)

dimiliki untuk keperluan hidup sehari-hari, bila dibandingkan orang yang sedang- sedang saja, walaupun pernyataan tersebut tidak selamanya benar.

4. Personality and self-concept (Kepribadian dan konsep diri)

Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda. Kepribadian merupakan karakteristik psikologis yang berbeda dari seseorang yang menyebabkan tanggapan yang relatif konsisten dan tetap terhadap lingkungan yang ada. Kepribadian biasanya dijelaskan dengan ciri-ciri bawaan seperti kepercayaan diri, dominasi, otonomi, perbedaan, kondisi sosial, keadaan pembelaan diri, dan kemampuan beradaptasi.

5. Lifestyle (Gaya hidup)

Gaya hidup berada di luar kepribadian. Gaya hidup adalah konsep yang lebih komprehensif dan lebih berguna dari pada kepribadian. Gaya hidup sering didefinisikan sebagai pola di mana orang hidup menghabiskan waktu serta uang yang dimiliki (Engel et al., 1994, p. 383). Gaya hidup merupakan konsepsi ringkasan yang mencerminkan nilai pelanggan. Pelanggan mengembangkan seperangkat konsepsi yang meminimumkan ketidakcocokan atau inkonsistensi di dalam nilai dan gaya hidupnya. Orang menggunakan konsepsi seperti gaya hidup untuk menganalisis peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Gaya hidup (life style) juga dapat diartikan pola hidup seseorang di dunia yang diungkapkan dalam kegiatan (activities), minat (interest), dan pendapat (opinions) (Peter dan Olson, 2000, p. 312). Kegiatan masyarakat dalam berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan, melepaskan dahaga di restoran/kafe, dan minat masyarakat modern untuk hidup gaul dan santai (casual), dan perilaku masyarakat yang senang berdiskusi merupakan fenomena gaya hidup dewasa ini. Hal ini terjadi di hampir di setiap kota-kota besar karena dampak dari era globalisasi. Dengan demikian dapat dikatakan gaya hidup melukiskan keseluruhan orang tersebut yang berinteraksi dengan lingkungan global yang ada. Orang menggunakan gaya hidup untuk menganalisis peristiwa yang terjadi di sekitarnya dan untuk menafsirkan, mengkonseptualisasikan, dan meramalkan peristiwa serta menunjukkan jati dirinya.

(22)

2.3. Kerangka Berpikir

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah kualitas layanan, kualitas produk, harga, faktor stuasi, dan faktor personal (Zeithaml dan Bitner, 1996, p. 124), sebagaimana yang digambarkan berikut ini.

X1.1 X1.2

X1.3

X1.4

X1.5

X2.1

X2.2

X2.3

X2.4

X2.5

X3.1 X3.2

X3.3

X3.4

X3.5

X4.1

X4.2

X4.3

X4.4

X4.5

X5.1 X5.2

X5.3

X5.4

X5.5

Gambar 2.2. Kerangka Berpikir Sumber: Zeithaml dan Bitner (1996, p. 124).

2.4. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Diduga faktor kualitas layanan, faktor kualitas produk, faktor harga, faktor situasi, dan faktor personal signifikan mempengaruhi kepuasan pelanggan pemegang membership card Kafe Excelso di Plaza Tunjungan–Surabaya.

2. Diduga faktor kualitas layanan dominan mempengaruhi kepuasan pelanggan pemegang membership card Kafe Excelso di Plaza Tunjungan–Surabaya.

Kepuasan Pelanggan Kualitas

Layanan (X1)

Kualitas Produk (X2)

Harga (X3)

Faktor Situasi (X4)

Faktor Personal

(X5)

Referensi

Dokumen terkait

López dan Sicilia (2014) mengemukakan bahwa semakin besar volume eWOM mengenai suatu produk, maka semakin besar kemungkinan konsumen akan mendengar informasi yang

Pada sistem ini keberadaan minibar attendants hanya dibutuhkan untuk mengganti item yang telah dipakai oleh tamu hotel atau dengan kata lain Minibar attendants yang

Oleh karena itu e-service quality dapat diartikan sebagai kualitas layanan secara online yang dirasakan pelanggan saat menggunakan sebuah situs online untuk melakukan

(2) persepsi terhadap kualitas jasa merupakan hasil dari perbandingan antara harapan pelanggan dengan kinerja aktual jasa; dan (3) evaluasi kualitas tidak hanya

Bentuk kepuasan konsumen antara lain konsumen merasakan harga produk sepadan dengan informasi yang diberikan dan kualitas yang diterima, layanan yang didapat memuaskan dan

Pengaruh komunikasi yang baik antara mahasiswa dan dosen sebagai variabel service quality terhadap perceived value Program Manajemen Pemasaran Universitas Kristen Petra.. Pengaruh

Adapun faktor-faktor dalam desain menu yang memiliki peran penting dan berdampak terhadap peningkatan minat beli konsumen adalah menu cover, ukuran menu, deskripsi, gaya

Untuk berhubungan dengan server menggunakan stream socket, dapat dilakukan dengan mengisi property Address menuju ke alamat IP (Internet Protocol) tujuan atau ke nama host