• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merangkai Kata Damai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Merangkai Kata Damai"

Copied!
228
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

MERANGKAI

KATA DAMAI

(4)
(5)

MERANGKAI

KATA DAMAI

(6)

Lahir dari sebuah program Katahati Institute yang bekerjasama dengan CCRPS (Center for Conflict Resolution and Peace Studies) IAIN Ar-Raniry dan didanai oleh masyarakat Jepang. Program yang berlabel ‘Studi Antropologi dan Jurnalisme Damai’, mendidik para jurnalis pemula, mahasiswa dan pelajar menjadi seorang penulis yang handal.

Dengan semangat penulis Aceh masa silam, katahati institute kemudian mengundang para penulis yang selama ini banyak terlibat dalam penulisan opini di media-media lokal atau nasional. Mereka adalah para akademisi, aktivis, jurnalis sampai mahasiswa. Kumpulan tulisan ini disusun menjadi sebuah buku yang berjudul Merangkai Kata Damai.

© 2009, Katahati Institute. Jl. Lamreung No-17 Ulee Kareng Banda Aceh 23117, Indonesia Telp.(0651) 7410466 Fax. (0651) 636947 Email: info@katahati.or.id Website: www.katahati.or.id

Hak cipta dilindungi Undang-undang.

xii + 210 h. 20 x 25 cm. ISBN 978-979-16458-2-9

Sampul dan susunan isi dengan huruf Myriad dirancang oleh Khairul Umami.

(7)

ix PENGANTAR 1

DAMAI ACEH, DAMAI KITA

DRH. IRWANDI YUSUF, M.SC 5

SEDIKIT (LAGI) TENTANG PERDAMAIAN ACEH

REZA IDRIA MOHD. ROEM 11

MENGGAPAI HARMONI SETELAH BERDAMAI

MASTHUR YAHYA

13

MERAWAT DAMAI DENGAN HATI

SEHAT IHSAN SHADIQIN 17

PANGLIMA AHTISAARI

MUNAWARDI ISMAIL

23 DARI HELSINKI TURUN KE ACEH MUNAWARDI ISMAIL

27 ACEH: SEBUAH REFLEKSI PERGERAKAN

DAN MASA DEPAN PERDAMAIAN

MAIMUN

33 ISU-ISU KRITIS DALAM PEMBANGUNAN

PERDAMAIAN ACEH

SAIFUDDIN BANTASYAM SH MA 41 DAMEE-DAMEE

MUKHTARUDDIN YAKOB 45 Akhiri Jeritan;

ACEH MASUK BABAK BARU

MUHAMMAD HAMZAH

(8)

MERANGK AI K ATA DAMAI vi 51 TINTA DAMAI SAIFULLAH 57 JURNALISME DAMAI MUHAMMAD SAMAN

65 PERDAMAIAN ACEH BERTOPENG SEBELAH THAMREN ANANDA

73 4 TAHUN TANPA KEBENARAN HENDRA FADLI

77 ACEH DI TANGAN IRWANDI-NAZAR MUKHLISUDDIN ILYAS

83

MANDEKNYA IMPLEMENTASI MOU DAN UU PA,

KESALAHAN SIAPA?

ARYOS NIVADA

93 POTENSI ULAMA DALAM MEMPERTAHANKAN

PERDAMAIAN ACEH

MORINA OCTAVIA

99 SENSITIVITAS KONFLIK RISMAN A RACHMAN

105 MAKNA PERINGATAN MOU PERDAMAIAN RI-GAM RAIHAL FAJRI

109 ACEH : AGENDA KRUSIAL DALAM FASE TRANSISI BULMAN SATAR

121 Aceh Baru:

SEBUAH WACANA PEMIKIRAN

EFFENDI HASAN

127 WALI DAN PERJUANGAN RAKYAT ACEH EFFENDI HASAN

133 LUBANG HITAM DI ERA TRANSISI ACEH SUADI (ADI LAWEUËNG) SULAIMAN

139 PASAR PERDAMAIAN YUNIDAR Z.A

(9)

vii

147 MENJAGA PERDAMAIAN, MEMUPUK KEARIFAN LOKAL BUSTAMI ABUBAKAR

155 PERDAMAIAN ITU SEPERTI GUNUNG PASIR TEUKU KEMAL FASYA

161 KORUPSI DAN PERDAMAIAN DI ACEH

ISKANDAR ZULKARNAEN DAN TUBAGUS ERIF FATURRAHMAN 169 SABANG, PAX ROMANA, DAN KEMAKMURAN

AHMAD HUMAM HAMID

175 APBA DAN PERDAMAIAN DI ACEH ABDULLAH ABDUL MUTHALEB

187 MERAWAT PERDAMAIAN DENGAN MEMUTUS RANTAI

SIKLUS KONFLIK ACEH

MARZI AFRIKO

193 UUPA DAN DAMAI ACEH TAQWADDIN

199 SEBIJI LADA UNTUK PERDAMAIAN AS’ADI MUHAMMAD ALI

205 PEREMPUAN DAN PEMILU PASCADAMAI DI ACEH SRI WAHYUNI

(10)
(11)

Membaca Aceh

Alhamdulillah, akhirnya buku ini bisa kami terbitkan. Setelah melalui beberapa proses, kumpulan opini yang terangkum dalam buku ini diharapkan bisa menjadi bahan bacaan, bagi pembaca Aceh untuk menumbuhkan ingatan tentang kisah-kisah lama dan kini.

Menulis Aceh, terinspirasi Tom Pires, pelaut ulung asal Portugis saat menuliskan Aceh dengan Achei dalam bukunya Suma Oriental pada tahun 1520. Achei ditabalkan sebagai nama sebuah kawasan di Pulau Sumatera. Kawasan kerajaan yang mulai jaya dalam perang hingga bisa mengusir bangsanya, Portugis dari Selat Malaka.

Sungguh tak diimpikan Tome Pires kemudian, bahwa Achei kemudian terus larut dalam perang, hingga warganya kelelahan dalam kekerasan. Terpuruk kemudian pada irama kehidupan yang tidak lebih hanya sebuah racikan ketulusan, kelicikan, harga diri, ketamakan, kehormatan, dan keadilan, yang seringkali berawal atau berujung dengan kekerasan dan darah.

Tom Pires juga tak menyaksikan kemudian, bahwa tanda kejayaan itu lahir lagi, bahwa perang tak selamanya. Perdamaian telah lahir, terekam pada kisah-kisah yang ditulis kemudian oleh ribuan pencatat sejarah. Kendati Aceh tak lagi bernama

Pengantar Penerbit

(12)

MERANGK AI K ATA DAMAI

x

Achei.

Dengan semangat para penulis Aceh masa silam, kami kemudian mencoba mengundang para penulis yang selama ini telah banyak terlibat dalam penulisan opini di media-media lokal atau nasional. Mereka adalah para akademisi, aktivis, jurnalis sampai mahasiswa. Kumpulan tulisan inilah yang kami susun menjadi sebuah buku yang berjudul Merangkai Kata Damai

Menulis opini adalah berpendapat, ide atau pikiran terhadap topik yang sudah, sedang, belum dan akan terjadi. Opini tidaklah bersifat objektif karena belum mendapatkan pemastian atau pengujian. Dan apabila di suatu saat bisa dibuktikan, maka dia menjadi sebuah fakta. Ada juga pendapat, opini yang dibangun dari fakta menjadi sebuah topik. Dengan membuat sebuah penilaian dan tanggapan, maka kita telah mengubah fakta menjadi sebuah opini.

Hadirnya buku ini tidak lain dimaksudkan untuk memaparkan pikiran-pikiran dan pendapat penulis atas perkembangan Aceh pasca-konflik yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam.

Buku ini lahir dari sebuah program Katahati Institute yang bekerjasama dengan CCRPS (Center for Conflist Resolution and Peace Studies) IAIN Ar-Raniry dan didanai oleh masyarakat Jepang. Program yang berlabel ‘Studi Antropologi dan Jurnalisme Damai’ ini mendidik para jurnalis pemula, mahasiswa dan pelajar menjadi seorang penulis yang handal.

Lalu mengapa buku ini diterbitkan? Katahati Institute menilai perlunya sebuah usaha untuk mengumpulkan pemikiran-pemikiran penulis dalam membangun, menjaga dan melanjutkan perdamaian Aceh melalui sebuah tulisan. Karena menulis adalah sebuah proses mengamati, berpikir, menciptakan dan merenungkan. Melihat kekinian Aceh dalam perspektif penulis menjadi sebuah ‘senjata’ yang bermanfaat bagi perkembangan Aceh.

Bagi para pembaca, setelah anda membaca opini-opini dalam buku ini mungkin akan menemukan keistimewaan-keistimewaan tertentu yang belum anda dapat. Tergantung bagaimana menilainnya. Mungkin dengan buku ini juga anda akan dapat menguak informasi yang masih tersembunyi. Informasi lama dan baru yang

(13)

xi lalu lalang, namun tak pernah tersaring di dalam pikiran dan benak anda.

Sebagai penerbit, terimakasih tak terhingga kami ucapkan kepada para penulis dan pembaca. Karena pada hakikatnya, sekali lagi kami tegaskan bahwa terbitnya buku ini dapat membantu kita semua selaku rakyat Aceh menjadi orang yang kritis, peduli terhadap apa yang terjadi selama ini di bumi Serambi Mekkah. Ini sebuah kumpulan catatan-catatan. Kumpulan inspirasi untuk berbagi.

Banda Aceh,17 Ramadhan 1430 H, 7 September 2009 FAHRUL RIZHA YUSUF

(14)
(15)

Damai sudah dalam genggaman rakyat Aceh sejak Memorandum of

Understanding (MoU) Helsinki ditandatanganu pada 15 Agustus 2005 lalu. Alhamdulillah, kedamaian yang ‘hilang’ itu kembali terwujud ketika rakyat sudah

berada pada puncak kejenuhan dan penderitaan seusai dilanda konflik berdarah dan dihempas tsunami yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh pada 2004 silam.

Kini perdamaian Aceh sudah berusia empat tahun dan sedang menapaki jalan lima tahun ke depan. Selama itu pula, rakyat sudah menikmati angin perdamaian yang berhembus di saat kritis yang terkadang bisa mendegradasikan optimisme.

Perdamaian ini seperti gelas yang setengah berisi, bukan gelas yang setengah kosong. Tapi yakinlah bahwa suatu saat gelas yang setengah berisi tersebut akan menjadi gelas yang penuh. Karena itu, mari semua elemen untuk sama-sama mengisi agar ‘gelas’ perdamaian itu berisi dengan air yang menyejukkan masyarakat kita.

Memang, gerbong perdamaian yang bergerak hingga ‘tiga kilometer’ pertama diserempet banyak aral. Aral itulah yang menjadi ujian sukses tidaknya kereta

Damai Aceh, Damai Kita

drh. Irwandi Yusuf, M.Sc

Gubernur Aceh

(16)

MERANGK AI K ATA DAMAI

2

perdamaian ini melintasi rel yang sudah digariskan para perancang perdamaian itu sendiri.

Kita akui, dalam masa tiga tahun pertama, beberapa kali terjadi insiden yang membuat kita menjadi pesimis. Membuat hati kita terasa luka. Tak tanggung-tanggung, insiden yang terjadi itu berakhir pada kematian dengan motif yang disamarkan. Mulai dari isu ekonomi yang sebenarnya—bertujuan politis, hingga isu-isu kriminal yang brutal.

Hal-hal seperti inilah yang merupakan batu uji bagi rakyat Aceh, apakah ingin kembali ke masa lalu atau ingin melaju menuju masa depan yang sudah di tangan. Karena masyarakat pun harus menyadari, merawat pohon perdamaian ini berat. Dia harus kita siram dan pupuk dengan urea yang baik. Jangan menebar racun ketika pohon ini hendak menggapai angkasa.

Pemerintah Aceh yang kami pimpin pun tak tinggal diam dalam mengisi perdamaian. Tentu saja bersama pemerintah pusat tetap terus memperhatikan para korban konflik dan kombatan. Hanya saja butuh kesabaran, karena ini butuh proses panjang dan tidak semudah mengutip ranting patah di bawah pohon.

Karena itu, pohon damai ini harus kita lestarikan, sehingga anak cucu kita bisa memetik hasilnya pada suatu saat nanti. Semoga. Sama seperti kita melestarikan hutan dan lingkungan, Insya Allah, anak cucu yang merasakan manfaat dari perbuatan endatunya.

Situasi kondusi yang terbangun ini patut terus dipertahankan. Seperti kita ketahui, perdamaian itu modal utama pembangunan. Kita harus belajar dari berbagai peristiwa konflik masa lalu, mulai sejak zaman kolonialisme, perang kemerdekaan, Perang Cumbok, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai kepada gerakan perlawanan masyarakat sipil yang mengusung wacana referendum.

Karena itu, kita harus belajar pula dari perang dan konflik yang menciptakan radikalisme dan rasa saling curiga. Tugas kita adalah mengubah dari kebiasaan alam konflik menjadi kebiasaan alam damai.

Kita berharap Aceh tidak lagi menjadi lahan tandus kering yang di atasnya tumbuh rerumputan kering yang mudah terbakar dan dibakar, lalu angin yang bertiup akan menjalarkan konflik ke seluruh kebun Aceh.

(17)

3 Oleh sebab itu perdamaian yang sudah ada harus diisi dengan berbagai macam kegiatan perekonomian, sosial, kebudayaan, pendidikan, olahraga, dan kegiatan yang terkait dengan rekonsiliasi. Intinya damai harus bersemayam dalam jiwa dan hati kita.

Selama ini perubahan demi perubahan telah nyata di bumi Aceh. Di sektor ekonomi misalnya, terdapat kenaikan yang signifikan. Sebab pertumbuhan ekonomi terus membaik. Hal tersebut dibuktikan oleh hasil survei Bank Indonesia, yang memperoleh gambaran bahwa di luar sektor migas terus membaik, dibanding tahun sebelumnya.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di luar migas triwulan I tahun 2009 melaju sebesar 4,4 persen, meningkat dibanding tahun 2008 yang hanya sebesar 1,9 persen. Pertumbuhan positif tersebut didorong oleh upaya-upaya serius yang dilakukan pemerintah Aceh dalam meningkatkan produksi beberapa sektor utama seperti sektor pertanian dan sektor perdagangan.

Kendati saat ini perdamaian sudah, sedang dan akan terus dipertahankan, namun ruh dan hakikat perdamaian tersebut tidak akan berjalan secara mulus, manakala masih ada kesenjangan yang tajam antara perkembangan sektor perkotaan dan sektor perdesaan perdesaan.

Hakikat perjuangan oleh elite-elite masyarakat Aceh adalah untuk pemerataan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Itu pula yang menjadi entry point dalam perumusan MoU Helsinki yaitu dengan mengedepankan peningkatan keadilan dan kesejahteraan masyarakat tanah rencong.

Demokrasi di segala bidang hanya akan berjalan utuh, jika persebaran pembangunan dapat dipenuhi sampai ke pelosok-pelosok atau sampai ke grass

root, sehingga proses reintegrasi, proses rehabilitasi dan proses rekonstruksi

pembangunan dengan berbasis hak, mengutamakan pemerataan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat secara bermartabat. Inilah harapan yang perlu kita laksanakan secara bersama-sama ke depan.

Pemerintah Aceh dengan berbagai dukungan stakeholders akan berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, melakukan pemerataan pembangunan, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan derajat

(18)

MERANGK AI K ATA DAMAI

4

kesehatan masyarakat dan mengakselerasikan pembangunan di segala bidang. Dengan harapan, seperti amanat Presiden RI, bahwa mempertahankan kedamaian di Aceh adalah harga mati. Semoga damai Aceh, damai kita semua. Amin.***

(19)

Reza Idria Mohd. Roem

Peneliti senior di Metamorfosa Institute (Liga Kebudayaan Tikar Pandan) Mahasiswa pascasarjana di Leiden University, Belanda.

Kata ‘perdamaian’ dan ‘damai’ dalam nalar berbahasa saya memiliki sekat tegas, yang membedakan kepemilikan terhadap siapa yang bisa merasakannya, satu sama lain. Khusus untuk mendefinisikan ‘perdamaian’, tidak dapat tidak kata ini hanya bisa muncul dan disandarkan setelah ada dua pihak bertikai, dan terminologi tersebut terwujud ketika kedua pihak telah memutuskan untuk berjeda atau samasekali berhenti berseteru. Sementara ‘damai’ sebagai kata dasar berdiri sendiri sebagai keadaan umum yang dapat dimaknai kurang lebih tentram jiwa raga, bisa sebagai berkah dari keteraturan serta ketaatan, dan kerap juga merupakan janji-janji puncak dari dianutnya norma-norma dalam agama-agama yang diserukan dari bumi dan langit. Maka keberadaan ‘damai’ bisa tidak membutuhkan kondisi dimana ada perseteruan sebagai awalan, sebagaimana keadaan sebaliknya yang dibutuhkan untuk lahirnya sebuah perdamaian. Ini menjadi pijakan saya untuk menelaah satu kajian ringkas bagaimana menyebut ‘perdamaian’ dan apa itu ‘damai Aceh’.

Di Aceh, tentu saja perseteruan dan perdamaian bukanlah kata yang terlalu asing dalam sejarah klasik ataupun catatan modern suku bangsa yang mendiami ujung pulau Sumatera ini. Tidak perlu terlalu jauh, sebentar saja setelah terprovokasi untuk

Sedikit (Lagi) Tentang Perdamaian Aceh

(20)

MERANGK AI K ATA DAMAI

6

bergabung seiring euphoria kemerdekaan Republik Indonesia dan merayakan imaji kebangsaan gugusan Nusantara (mungkin atas dasar persamaan pengalaman melawan kolonialisme), Aceh mulai bergolak dalam serial pemberontakan demi pemberontakan. Dimulai dengan pemberontakan DI/TII di Aceh akhir tahun 50-an hingga awal 60-an, yang juga bermunculan di sejumlah daerah lain di Indonesia. Menurut sejumlah ahli, perseteruan ini masih dapat dikategorikan sebagai pemberontakan dalam lingkup nasionalisme Indonesia. Hal ini bisa dilihat dengan tetap digunakannya nama Indonesia sebagai nama resmi Negara, dengan haluan ideologi berbeda yang dicita-citakan dalam bentuk pengakuan tunduk di bawah jejaring Negara Islam Indonesia (NII).

Sejurus kemudian, sejak Hasan Tiro memproklamirkan Aceh sebagai sebuah suku bangsa yang berhak merdeka dan bebas dari telikung penjajahan modern Indonesia-Jawa, maka gerakan separatis atau dalam bahasa akademik yang lebih santun diistilahkan sebagai gerakan nasionalisme regional (lihat, Kees van Dijk (2003): Coping with Separatism, Is there a Solution?) telah menjadi bagian tak terpisahkan ketika orang membayangkan atau menyebut Aceh. Pasang surut gerakan perlawanannya telah menorehkan sejumlah traktat perdamaian, yang telah ditandangani dengan unsur ke-Aceh-an (baca: GAM/ASNLF) di satu pihak dengan otoritas lain (baca: TNI/pemerintah RI) di pihak seberang. Sejumlah traktat itu sayangnya hanya ada di atas kertas, untuk selanjutnya berakhir sebagai kenangan perdamaian. Kegagalan demi kegagalan dalam meredam pertikaian memberi warna dalam catatan-catatan penting atas peliknya kata ‘perdamaian’ bisa dipahami dan diwujudkan di Aceh.

Setelah humbalang tsunami menggempur Aceh pada akhir Desember 2004, kedua pihak yang menyumbang keberadaan para petempur di Aceh perlahan tertekan oleh sorot tajam mata internasional. Akhirnya, kita tahu bahwa pada 15 Agustus 2005 satu traktat perdamaian yang berkaitan dengan penghentian perseteruan Aceh kembali ditandatangani. Dan saat ini menjelang tahun kelima usia traktat itu, masih ada sejumlah kecemasan dan keraguan terhadap akan bertahannya perdamaian termutakhir ini, semisal pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dari sudah cukup kuatkah fondasi perdamaian itu, hingga mengukur-ukur

(21)

7 keinginan kedua pihak bertikai dalam mewujudkan arti damai dalam perdamaian yang ada sekarang. Rasa cemas ini tentu saja menghantui kaum yang paling menderita selama masa perang, yakni rakyat Aceh. Berkaca dari kegagalan-kegagalan sebelumnya, kecemasan dan sikap skeptik ini cukup ditunjang dengan adanya sejumlah aksi kejahatan bersenjata, pembunuhan, dan keributan-keributan dalam pendistribusian kompensasi dana perdamaian yang tampaknya masih akan terjadi hingga hari-hari ke depan. Bila rakyat Aceh masih merasa cemas dengan perdamaian ini, maka bagi saya, pertanyaan pertama paling sederhana dan harus diajukan di muka adalah siapa sebenarnya pemilik perdamaian Aceh? Yang tentu saja tak cukup hanya dijawab oleh jargon bahwa “ini adalah perdamaian-nya rakyat Aceh”. Ini penting dalam hemat saya untuk kemudian kita tahu apa yang harus dilakukan dengan keberadaan perdamaian saat ini, untuk sekedar refleksi singkat apa makna sebenarnya dari kata perdamaian sebelum di beri imbuhan, yakni menuju satu frasa; damai Aceh.

Sejumlah kriminolog dan berita acara peristiwa pihak kepolisian mungkin akan terlihat cukup berhasil dalam menganalisis bahwa keberadaan kekerasan bersenjata dan perampokan yang masih terjadi di Aceh adalah tindak kriminal murni yang memanfaatkan situasi Aceh yang masih rentan. Sekumpulan pengamat lain akan menunding adanya pembiaran dan upaya-upaya sistematis yang bermuatan politis di sebalik kekacauan yang masih terjadi di sana-sini. Di seberangnya, sejumlah orang juga akan cenderung mengaitkan hal ini adalah ekspresi dari warisan kekerasan perang yang akan masih akan menjangkiti tindak-tanduk masyarakat Aceh, sebagaimana yang telah lebih dari tiga dekade diajarkan untuk berbudaya demikian oleh parapihak dari dua golongan petempur. Saya pribadi lebih cemas dengan kemungkinan terakhir. Di sini saya cukup percaya budaya kekerasan ini tentu bukan hal yang gampang dikikis terlebih dalam situasi-situasi sensitif ketika kepentingan banyak pihak belum terakomodir ke tahap yang memuaskan, terutama para pihak yang dulunya terlibat aktif dalam menginisiasi perang. Jadi tidaklah bijak bila hanya sudut pandang criminal, atau paranoid terhadap pusat saja yang digunakan dalam melihat peristiwa yang sebenarnya jelas sekali menjadi ancaman-ancaman laten terhadap perdamaian.

(22)

MERANGK AI K ATA DAMAI

8

Pertanyaan siapakah sebenarnya yang memiliki perdamaian Aceh yang saya kemukakan di atas bisa juga adalah pertanyaan sensitif dan bernada cemburu, yang bisa muncul dari masyarakat awam maupun para mantan petempur sendiri. Setelah penghentian perang dan adanya keinginan masif dari masyarakat untuk melihat perubahan struktur politik dan pemerintahan di Aceh, ada sejumlah reformasi besar dalam formasi pemerintahan baik di kalangan eksekutif maupun legislatif Aceh. Namun sejumlah kesenjangan yang terjadi kemudian memantik kembali pertanyaan tadi, karena tentu saja ada kecenderungan sederhana untuk menisbatkan kepemilikan perdamaian terhadap sesiapa yang dimudahkan dalam menjangkau sejumlah akses kemakmuran. Hal ini adalah sesuatu yang terang dan tak perlu dapat ditutup-tutupi hari ini, di mana sejumlah golongan di Aceh memperoleh akses ekonomi yang besar meski tidak sesuai latar belakang profesi mereka (lihat, Edward Aspinall (2009): From Combatant to Contractor).

Ketika kemudian sejumlah kesenjangan memicu kecemburuan sosial, baik timbul dari masyarakat awam maupun mantan petempur itu sendiri, maka perasaan ikut memiliki perdamaian akan begitu gampang tanggal dari benak para pengawalnya (jelas bagi saya, rakyat adalah pengawal garda terdepan perdamaian Aceh). Tentu saja menjelang tahun kelima perdamaian termutakhir ini, dengan mengamati sejumlah potensi rusuh massa seiring pesta politik nasional Indonesia, namun berhasil dilewatkan dalam suasana yang tenang di Aceh patutlah diapresiasi sebagai sebuah bentuk berkah yang ditimbulkan oleh kesabaran tiada tara masyarakat Aceh dalam mengawal perubahannya. Tapi percayalah sejumlah teori sosial sudah menguji, pun masyarakat Aceh sendiri telah membuktikan adanya batas kesabaran yang berakhir dalam bentuk perlawanan berkali-kali atas kesenjangan yang tak lekas diselesaikan pusat. Maka hari ini ketika kepercayaan dan pengawalan itu dilakukan oleh rakyat Aceh dalam bentuk memberi peluang kepada formasi yang agak baru dan diisi oleh orang-orang baru, maka seharusnya disadari bahwa ada jawaban yang ditunggu masyarakat dari kesabaran mereka. Mereka menanti sebuah kata ‘damai’ bisa menjadi ikutan dari terwujudnya perdamaian Aceh, mereka bukan sebagai penonton untuk mengidentifikasi siapa sebenarnya yang menjadi pemilik perdamaian (baca: kemakmuran). Karena damai

(23)

9 yang sebenarnya bukan sekedar ada penghentian perang dan ada isi traktat yang diperbincangkan, tetapi bagaimana sejumlah hajat hidup paling mendasar dari rakyat bisa dilayani oleh orang-orang yang mereka beri kepercayaan.

Rakyat menunggu cara kerja baru dan hasil baru dari sejumlah orang baru yang dipilihnya sebagai bentuk apresiasi mereka terhadap adanya perdamaian setelah sekian puluh tahun mereka menjadi korban langsung dari pertikaian, dan tentunya berisi cita-cita adanya suasana damai yang hakiki yang bisa tercapai dari terpenuhinya hajat hidup terpenting mereka, yakni pendidikan, kesehatan dan akses perekonomian yang setara. Untuk yang terpilih di level eksekutif dan yang terbaru di tingkat legislatif, penting sekali mengingat-ngingat dan merefleksikan kenapa bisa ada perseteruan, perdamaian dan apa cita-cita damai itu sendiri. Bila tidak, perdamaian Aceh hari ini hanya menuju ke jalan gelap semacam pergantian rezim yang disiratkan George Orwell dalam Animal Farm-nya, ketika sekumpulan binatang yang dipimpin dua babi, Snowball dan Napoleon, memimpin revolusi untuk kemudian menjadi tirani baru karena mungkin telah cukup lama belajar cara menindas dari tuan sebelumnya. Bila hal ini tak disadari, jangan ditanya kemudian kemana lagi damai pergi. ***

(24)
(25)

Masthur Yahya

Menggapai Harmoni Setelah Berdamai

Perdamaian Aceh yang sudah ditetapkan melalui kesepakatan damai Helsinki mulai menciptakan kehidupan yang lebih aman dibandingkan masa konflik antara pasukan TNI/Polri dengan kelompok pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Akan tetapi jika kita bertanya dari sisi lebih dalam, yaitu harmoni (baca: keselarasan hidup yang berakar pada kerukunan, tidak saling curiga, hormat-menghormati, tentram) seperti sediakala maka sebagian besar masyarakat menjawab dengan ragu-ragu. Hal tersebut bukan tidak beralasan, pascakesepakatan damai Helsinki beberapa tindakan kekerasan kerap terjadi. Kekerasan tersebut menurut pandangan masyarakat adalah sangat dekat dengan iklim yang pernah terjadi pada masa konflik tempo dulu yang juga melemahkan posisi perdamaian.

Harmoni menjadi keadaan yang ideal yang diharapkan terwujud di tengah masyarakat Aceh pascakesepakatan damai dalam semua hubungan sosial, baik di tengah masyarakat sipil, antarmantan kombatan dengan masyarakat sipil biasa, maupun antara masyarakat sipil dengan militer. Harmoni yang dimaksudkan di sini adalah sebuah kondisi kehidupan yang disepakati secara kolektif oleh masyarakat Aceh sendiri untuk bersikap tenang satu sama lain dan menyingkirkan unsur-unsur

(26)

MERANGK AI K ATA DAMAI

12

yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan, termasuk kekerasan fisik maupun politisasi kekerasan tanpa pandang bulu seperti masa konflik.

Kerukunan hidup secara harmoni yang menguatkan perdamaian merupakan kaidah kehidupan masyarakat yang bersifat menyeluruh. Dalam konteks perdamaian pascakonflik, cita-cita kerukunan bukan terletak pada penciptaan kondisi ketenangan sosial belaka, melainkan pada usaha untuk tidak mengganggu keselarasan yang sudah ada, melalui butir-butir kesepakatan perdamaian, ketenangan sosial merupakan keadaan normal yang akan didapat dengan sendirinya selama keselarasan perdamaian tidak diganggu. Prinsip kerukunan adalah penjagaan keselarasan dalam pergaulan dengan mengatur permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara dengan mencegah kembalinya konflik secara terbuka.

Pihak manapun harus berhati-hati dalam situasi pascakonflik, di mana kepentingan-kepentingan yang berlawanan saling berhadapan. Kesepakatan damai yang tidak menyentuh harmoni maka akan susah untuk mencapai gerbang perdamaian hakiki, yaitu rekonsiliasi. Pengelolaan suatu konflik yang memadai tidak hanya dituntut agar dapat sekadar meredakan suasana yang tegang, melainkan dapat menghilangkan sumber-sumber ketegangan. Masalah yang dihadapi harus dipecahkan dengan berorientasi pada ide keadilan. Yaitu bahwa hak semua pihak terjamin, baik pihak yang terlibat secara langsung di masa konflik maupun yang tidak terlibat.***

(27)

Merawat Damai dengan Hati

Sehat Ihsan Shadiqin

Setelah berlalu beberapa tahun sejak penandatanganan MoU Helsinki, perdamaian di Aceh nampaknya mulai mengalami titik jenuh. Hal ini terlihat dari munculnya berbagai aksi pembunuhan, perampokan, penawanan dan lainnya yang semuanya menggunakan kekerasan. Aksi kekerasan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari konflik. Kalau kita kembali kepada masa-masa Aceh dilanda konflik, lembaran pertama media masa selalu berlumuran darah. Saban hari yang diangkat adalah pembunuhan, penembakan, sweeping dan lain sebagainya. Sehingga, ketika hal yang serupa terjadi saat ini, memori kolektif masyarakat Aceh kembali membayangkan kehidupan suram masa-masa konflik yang amat menyakitkan hati. Ini menjadi alasan bagi sebagian masyarakat untuk mengatakan perdamaian di Aceh mulai ternodai dan memungkinkan munculnya konflik baru.

Sebagai daerah yang sejarahnya terus dibalut dengan konflik maka perdamaian di Aceh memang menjadi hal yang unik meskipun selalu dibutuhkan. Hampir sepanjang eksistensinya Aceh tidak terlepas dari perang. Dimulai dengan perang menentang kedudukan Portugis di Malaka dalam abad ke-XVI, kemudian berabad-abad Aceh melakukan perang melawan ekspansi penjajahan Belanda.

(28)

MERANGK AI K ATA DAMAI

14

Setelah Belanda lumpuh, Aceh mengahadapi agresi tentera Nipon, Jepang. Pascakemerdekaan Aceh masih harus melakukan pemberontakan untuk menjamin harga diri daerah dan agama dengan melakukan perang pemberontakan melawan negara Indonesia yang baru terbentuk. Setelah damai dari perang DI/TII, Aceh kembali bergejolak karena munculnya Aceh Merdeka yang kemudian menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kondisi ini terus berlangsung dalam masyarakat Aceh hingga lahir MoU Helsinki pada tahun 2005. Belajar dari sejarah konflik dan damai di Aceh ini nampak bahwa perdamaian yang terjadi di Aceh yang didasari pada perjanjian-perjanjian sering kandas dan tidak berumur panjang. Konflik akan muncul kembali dan kehidupan masyarakat akan kacau lagi.

Padahal kehidupan damai adalah kehidupan yang diimpikan oleh semua orang. Meskipun konflik selalu mengambil semboyan “atas nama rakyat” namun tidak ada rakyat yang mau hidup di dalamnya. Konflik justru membawa kehidupan menjadi suram dan terhenti. Semua orang menginginkan kehidupan damai dan aman di mana mereka dapat melakukan aktifitas sosial dan mengembangkan diri. Hanya kehidupan damai yang mampu menjamin masyarakat melakukan kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan intelektual dengan baik. Konflik membuat banyak hal berubah. Bangunan yang dibakar, harta yang dijarah, perkebunan yang ditinggalkan dan lainnya. Demikian juga konflik menimbulkan pergeseran budaya yang besar. Misalnya dalam hal melemahnya kekerabatan sosial, munculnya individualisme dan penghargaan pada ulama dan orang tua.

Hal-hal di atas menuntut adanya upaya serius untuk menjadikan damai terus berlangsung dan berjalan sebagaimana diimpikan oleh masyarakat. Upaya ini hanya mungkin dilaksanakan jika adanya kesadaran semua elemen masyarakat. Sebab kedamaian pada hakikatnya adalah kepentingan bersama sehingga menjaga dan mewujudkannya juga harus bersama. Setiap orang mesti berperan dan mengambil aksi sendiri dalam mewujudkan dan menjaganya. Mustahil menjaga damai diberikan kepada pihak tertentu semisal pemerintah, aparat kepolisian atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Sebab tanpa keterlibatan dan keikutsertaan semua eleman masyarakat maka perdamaian hanya akan menjadi ilusi dan fatamorgana belaka.

(29)

15 Dalam konteks menjaga kedamaian bersama yang paling berperan adalah individu. Artinya individu menjadi orang yang berkewajiban melakukan berbagai perbuatan dan aktifitas yang menjamin dapat terwujudkanya kehidupan damai dalam masyarakat. Pekerjaan individu sangat berkaitan dengan niat baiknya dalam melakukan aktifitas. Bayak kejadian teror, pembunuhan, kekerasan yang ada selama ini didasari pada kepentingan individu semata. Biasanya dilandasi pada persoalan kerja, dendam masa lalu, hubungan sosial dan lainnya. Ini semua berakar pada individu. Sehingga untuk membentuk kedamaian yang abadi perlu ditekankan pada aspek kesadaran individu.

Pentingnya peran individu ini terkait juga dengan pernyataan berbagai lembaga yang dulu menjadi pihak yang bertikai secara organisasi telah menyatakan berdamai dan akan mewujudkan kedamaian di Aceh untuk selamanya. Oleh sebab itu, dapat dipastikan munculnya konflik baru bukan lagi karena organisasi, namun ulah dari orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut secara personal atau orang lain yang tidak menginginkan kedamaian di Aceh berlangsung.

Dua pendekatan

Untuk mengatasi hal tersebut ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu pengubahan mindset mengenai damai dan kehidupan bersama, dan menjamin keterampilan kerja yang merata bagi masyarakat yang potensial memunculkan konflik. Pengubahan mindset dimaksudkan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat tentang pentingnya kehidupan bersama. Manusia tidak mungkin dapat mengasingkan diri dan berkembang tanpa melibatkan orang lain. Mengasingkan diri justru akan menjadikan sebuah masyarakat tertinggal dalam berbagai kehidupan bahkan lama-kelamaan akan berubah menjadi “suku terasing” yang tidak memiliki peradaban.

Merubah mindset ini perlu disebabkan banyak orang yang terlibat menjadi aktor konflik di tingkat bawah pada masa lalu adalah mereka yang sebenarnya tidak memiliki cara pandang dunia yang terbuka dan tidak mengerti dan menghargai hak asasi orang lain. Aktor-aktor bawah inilah yang digunakan oleh orang yang memiliki kepentingan lebih besar, baik secara pribadi atau organisasi sehingga

(30)

MERANGK AI K ATA DAMAI

16

konflik terus bertahan. Hal ini pasti akan berbeda jika di tingkat masyarakatnya ada kesadaran masif akan buruknya konflik. Mereka tidak mau terlibat di dalamnya hingga kepentingan yang digagas oleh aktor yang lebih tinggi tidak akan berjalan dengan baik.

Selain itu diperlukan sebuah upaya menjamin pemerataan keterampilan kerja kepada masyarakat yang potensial menimbulkan konflik. Saya menekankan keterampilan kerja bukan modal usaha sepeti yang selama ini banyak diprogramkan oleh pemerintah dan NGO. Keterampilan kerja akan membuka kemandirian dan kreatifitas sehingga mereka “sibuk” dengan kreatifitas tersebut. Hal ini berbeda dengan memberikan modal usaha pada orang yang tidak memiliki kemampuan skill usaha. Pemberian itu justru dimanfaatkan untuk hal-hal yang konsumtif yang hanya bertahan dalam jangka waktu pendek. Seiring perjalanan waktu pemberian modal usaha justru menimbulkan ketergantungan dan memudarkan semangat kerja dari masayarakat. Bahkan jika pembagian modal usaha tidak dilakukan dengan pertimbangan yang bijak bisa jadi ia berubah menjadi awal dari munculnya konflik dalam masyarakat.

Penutup

Mencermati fenomena di atas maka masalah perdamaian sangat ditentukan oleh keinginan baik dari individu yang menjadi anggota masyarakat Aceh. Seandainya dalam dada semua masyarakat tertanam keinginan untuk menjadikan kedamaian di Aceh abadi, maka benih-benih konflik akan hancur sebelum berkembang. Untuk kepentingan ini diperlukan kerja sama semua pihak dan organisasi sosial masyarakat untuk terus menerus memberikan kepahaman bahwa hidup damai adalah hidup dengan dengan penghargaan kepada orang lain. Hal ini perlu dilakukan sejak dini dan dalam berbagai kelompok sosial masyarakat. Hanya dengan demikian di dalam hati setiap masyarakat Aceh akan tertanam keinginan untuk hidup damai dan menjaganya sepanjang masa. Wallahu a’lam.***

(31)

Panglima Ahtisaari

(Surat Terbuka Untuk Peraih Nobel Perdamaian 2008)

Munawardi Ismail

Pekerja media di Banda Aceh

Yang Mulia Tuan Martti Ahtisaari. Mitä kuuluu Mister Ahtisaari. Toivon, että sinusta

tuntuu hyvältä. Kehu teidän palkinnon (terjemahan bebasnya; apa kabar Mister

Ahtisaari, saya harap anda baik-baik saja. Selamat atas penghargaan yang anda terima). Tuan, kami rakyat Aceh, pantas memberi apresiasi atas Nobel Perdamaian yang anda terima.

Ini warkah saya tulis secara terbuka agar para Yahwa dan Mawa di segala pesolok

gampong Aceh ikut membaca. Sebab merekalah yang menikmati ’pohon’ damai

sesudah anda bantu semai. Damai itu, membuat mereka bisa kembali ke ladang, mulai dari tanom pade sampai pula campli, tapi bukan pula pingkui.

Maaf kalau ketika membuka surat ini, saya mengawali dengan mengutip bahasa Suomi, bahasa yang—mungkin--anda pakai sehari-hari. Kalau salah harap maklum, karena ini saya kutip dari internet. Dengan teknologi, Aceh dan negara anda cuma selebar komputer jinjing.

Kini, saya tidak tahu, apakah anda masih tetap memantau situasi nanggroe tsunami; Aceh. Apalagi sesudah tuan menerima Nobel Perdamaian pada 10 Desember lalu. Setahu saya anda menjadi orang ke 89 yang menerima Nobel di

(32)

MERANGK AI K ATA DAMAI

18

bidang perdamaian, setelah Jean Henri Dunant dari Swiss dan Frédéric Passy asal Perancis yang menerimanya pertama kali pada 1901.

Tuan Martti, saya ingin kabari bahwa, menjelang Pemilihan Umum 2009 nanti, situasi Aceh diprediksikan bakal panas sekali, bukan karena ekses pemanasan global atau gara-gara hutan yang terbakar. Suasana itu dipengaruhi oleh suhu politik. Apalagi pemburuan kursi legislatif juga kian ketat dengan adanya partai lokal di sini. Padahal kami berharap, Pemilu nanti bisa sejuk, sedingin salju di Helsinki. Tapi apa daya, semua kadung terjadi.

Tuan, kami rakyat jelata, tidak bicara soal tahta. Kami tahu, pemilu itu pesta demokrasi, kalau ’enak’ kami ikuti, jika tidak juga tak boleh dipaksai. Apalagi sampai harus membuat fatwa haram bagi yang tidak berpartisipasi (baca: golput). Maaf tuan, saya tidak menggurui, mungkin begitulah prinsip orang berdemokrasi. Tak boleh intimidasi apalagi memaksa sesuka hati.

Tak Ingin Konflik

Beranjak dari klausul perjanjian yang sudah ditandatangani, kami tahu ada perkara mulia di sana buat rakyat jelata. Dengan damai, kami bisa hidup merakit asa yang sempat dihayak senjata. Menata negeri supaya maju. Agar rakyat bisa hidup sejahtera, tanpa perlu menadah tangan meminta-minta. Dengan potensi yang melimpah, kami ingin, supaya rakyat juga tidak perlu hidup susah. Meski itu tidak mudah, tapi jangan pula dibuat hati rakyat makin gundah. Pasalnya, banyak aturan yang menjadi amanat undang-undang, tapi belum juga kelar. Bagaimana ini Tuan?    

Bagi kami, itu tugasnya petinggi negeri yang sedang bertahta. Mereka berhak menagih dan meminta kepada yang lebih berkuasa di Jakarta. Kami hanya rakyat jelata, cuma ingin agar tak ada lagi amuk senjata. Tuan Presiden lebih tahu, konflik yang membuat hidup menjadi pelik. Oleh karena itu, kami rindu Aceh tanpa mesiu. Rindu Aceh tanpa perang, termasuk ’perang’ kata-kata, seperti banyak diberitakan media. Jangan sampai pula, gara-gara perang-perangan membuat kami berhenti berladang.

Kami tak ingin, petinggi di sini saling tuding-menuding. Semuanya harus akur. Semua pihak seharusnya bersanding, bukan bertanding. Biarlah yang bertanding

(33)

19 itu para pemain sepakbola saja. Betul tidak Tuan? Lalu, kalau ada rasa curiga sebaiknya di-stipo saja. Jangan curigai bahwa kami ingin merdeka lagi, merdeka itu sudah cukup sekali, sebab setelah itu mati.

Tuan Martti. Kami sudah lelah berpeluh darah. Kami berharap damai itu tidak semu seperti yang diketuskan petinggi negeri. Seharusnya itu kita jaga bersama-sama, agar damai tidak sirna. Bukan itu saja, kita pun harus memupuk damai ini dari yang katanya semu menjadi nyata, jika dia belum tumbuh, mari kita sirami biar dia cepat berakar.

Panglima Ahtisaari

Tuan Ahtisaari. Di hari anda menerima penghargaan bergengsi dalam karier sebagai politisi, sebenarnya kami ingin memberi juga sebuah gelar untuk Tuan. Boleh jadi itu sebagai rasa terima kasih, atawa sebagai tanda jasa untuk anda yang paling istimewa. Ya, anda telah berjasa bagi perubahan Aceh.

Setahu saya, para endatu kami dulu juga acap memberi gelar kehormatan kepada mereka yang sudah berjasa. Gelarnya pun ada macam-macam, tapi yang pasti itu amat-amat terhormat. Namun, sampai saat ini, saya melihat belum ada usul dari orang yang membidangi adat-isitiadat guna memprakarsai itu.

Saya yakin, mereka bukan lupa, tapi sedikit sibuk mengurusi proyek. Ya, mulai dari proyek jalan becek, sampai saya tak tahu hendak bilang apalagi ke Tuan. Karena ’gelombang’ anggaran yang datang ke Aceh, bak hujan turun dari langit. Semoga ini tidak membuat mereka lupa dataran. Sebab kalau lupa, bisa-bisa mereka harus ’berenang’ di kamar sempit lembaga permasyarakatan.

Tuan Presiden, saya yakin dedikasi anda itu tanpa berharap imbalan dan pamrih. Semua bermula dengan ketulusan merakit perdamaian. Soal sebuah gelar, ini bukan untuk menambah eforia saja. Tapi murni sebagai bentuk menghargai kerja orang lain. Ini tulus sebagai rasa terima kasih untuk kerja berat yang sudah Tuan perbuat.

Karena itu, jika anda berkenan datang lagi ke nanggroe kami. Saya ingin memberi gelar tinggi, mungkin tak setinggi gunung Halimon, sebab tak kuasa kami daki. Buktinya, kami pernah 32 tahun terperosok di sana. Ah, itu masa lalu Tuan, sudah kami kuburkan bersama puing-puing gelombang tsunami.

(34)

MERANGK AI K ATA DAMAI

20

Tapi anteeksi (maaf) Tuan, saya belum punya referensi tentang banyak gelar warisan nenek moyang kami. Mungkin semuanya masih tersimpan rapi dalam almari di Leiden, Belanda. Nah, ini kesempatan lagi untuk kembali studi banding atau mencari jejak ke sana. Masalahnya bukan cuma itu saja Tuan, sampai saat ini pun, yang berhak memberi gelar belum ada. Kalau tidak salah Wali Nanggroe namanya. Itu pun, sampai kini, kami belum tahu siapa orangnya.

Qanun Wali Nanggroe yang menjadi amanat dari Helsinki pun tak kami ketahui juntrungnya. Kabarnya sudah disusun rapi, tapi belum finalisasi. Sekali lagi anteeksi Tuan, itu tugas anggota dewan, jadi kami tak berani campuri. Kami rakyat jelata hanya bisa diam untuk sementara. Sembari menunggu aturannya, tak ada salahnya kami mulai menyeleksi gelar yang tepat untuk Tuan.Sambil menanti kelar Qanun Wali Nanggroe.

Mungkin biarkan kami menggelari anda panglima saja. Ya, Panglima Martti Ahtisaari. Panglima itu juga jabatan yang sudah lazim di tempat kami. Contohnya ada Panglima Laot. Lembaga Panglima Laot ini sudah berdiri sejak Sultan Iskandar Muda. Dia itu raja kami dahulu kala yang gagah perkasa, membuat Aceh kaya raya. Gelar itu, tak mungkin kami sematkan untuk Tuan. Karena Tuan berjasa bukan hanya di laut dan darat saja. Damai itu membuat semua sendi kehidupan berdenyut lagi. Kemudian ada lagi Panglima Uteun, tapi ini tak cocok dan tak banyak dipakai, sebab mereka hanya Pang Seuneubok.

Lalu Panglima Polem, ini gelar untuk kalangan bangsawan istana. Jadi yang berhak menyandang itu hanya orang-orang yang berdarah biru saja. Begitu pula dengan Panglima Kawom. Ini juga skopnya kecil, hanya untuk kelompok atau kalangan sebuah etnik saja. Panglima Tibang sama juga. Dia hanya mengurusi urusan syahbandar pelabuhan. Dalam negara modern sekarang—mungkin—dia setara dengan kepala imigrasi. Untuk sekedar Tuan ketahui, Panglima Tibang pun kadung cacat namanya. Kesannya sudah negatif.

Kalau Panglima Prang, jelas-jelas tak mungkin lagi, sebab negeri ini sudah damai. Kalau Panglima Damai juga lebih-lebih salah kaprah, sebab tak ada literaturnya dalam kamus masa silam Aceh. Untuk sementara sebagai bentuk penghargaan, tak ada salahnya kami panggil Panglima Martti saja. Sembari menanti gelar yang layak

(35)

21 dari lembaga yang berhak menganugerahinya. Semoga anda berkenan.

Tuan, anda pasti tambah bingung melihat tulisan ini. Logis sekali, sebab saya tidak menulis dalam bahasa yang anda pakai sehari-hari. Dan, kalau—mungkin saja—ada orang yang kurang senang dengan warkah ini. Anggap saja ini tulisan lalu. Eh, angin lalu maksud saya.

Sebab niat saya hanya ingin merekam suara jelata yang sudah bertumpuk dari Sabang hingga Tamiang. Karena ini juga harapan mereka di Ate Fulawan (Simeulue) sampai Lawe Bulan (Aceh Tenggara). Ini pula keinginan orang-orang Lembah Seulawah sampai lewat Bener Meriah, juga hasrat para pedagang dan nelayan. Harapan petani dan semua mereka yang mengagungkan damai.

Makanya Tuan, jika negeri ini damai, kami tak rugi. Kalau ada yang masam muka karena Aceh begini, itu musuh yang harus dipreteli. Betul tidak Tuan? Kiitos (terima kasih) anda sudah bersedia menyimak surat ini. Anteeksi jika ini tak berkenan di hati.

Näkemiin!***

(36)
(37)

Dari Helsinki Turun Ke Aceh

Munawardi Ismail

Pekerja media di Banda Aceh

Helsinki mendadak tenar di Aceh. Bukan tanpa alasan, nama kota yang ada tepi Teluk Finlandia dan Laut Baltik itu mengepul dalam benak Rakyat Aceh. Aromanya seharum kopi yang acap diseruput warga tanah rencong.

Begitu pula yang terjadi dengan Helsinki yang tak lain sebuah ibu kota sekaligus kota terbesar di Finlandia. Kawasan itu penduduk sebanyak 562.570 jiwa. Kota ini terletak di bagian selatan Finlandia, di tepi Teluk Finlandia dan Laut Baltik.

Kota Helsinki, paling tidak—meski kurang sama— hampir serupa dengan tipologi Banda Aceh yang dibelah sungai (baca: Krueng Aceh) dan Selat Malaka. Sanking pentingnya, kini sebuah tempat kongkow di kota ibu kota Aceh pun ditabalkan dengan namanya.

Dari berbagai literatur disebutkan, Daerah Helsinki Raya (Greater Helsinki) melingkupi lebih banyak kota-kota di sekitarnya dan memiliki 1.283.093 penduduk yang berarti satu dari empat penduduk Finlandia tinggal di daerah tersebut.

Helsinki adalah pusat bisnis, keuangan, mode, hiburan, media, dan budaya di Finlandia dengan jajaran museum, galeri, dan tempat pertunjukan. Kota ini juga menjadi pintu gerbang internasional Finlandia.

(38)

MERANGK AI K ATA DAMAI

24

Helsinki memiliki jumlah warga asing terbesar di Finlandia baik dalam jumlah nyata maupun persentasenya. Mereka terdiri dari sekitar 130 kewarganegaraan dengan mayoritas dari Rusia, Estonia, dan Swedia.

Dari Helsinki ke Aceh

Kota Helsinki menjadi saksi agung pada 15 Agustus 2005 silam. Ini adalah momentum paling fenomenal bagi masyarakat kita; Aceh. Jatuhnya tanda tangan dua pihak pada perjanjian kesepakatan damai bermakna ganda bagi bangsa kita, tetutama rakyat Aceh. Itulah rahmat yang tak terkira.

Perjanjian damai yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Memorandum

of Understanding atau MoU Helsinki mengakhiri kesengsaraan akibat konflik.

Bencana dahsyat tsunami yang menghancurkan sebagian besar wilayah Aceh pada 2004 yang lalu juga menyadarkan Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka untuk mengakhiri konflik 29 tahun.

Aroma kedamaian yang berhembus dari kota itu hinggap ke pelosok Aceh. Damai itu bening, turun selembut salju di sana. Bagi Aceh, damai itu laksana butiran hujan di ladang gersang. Dengan kehendak Allah SWT, perdamaian itu terwujud ketika rakyat sudah berada pada puncak kejenuhan dan penderitaan. Menderita akibat konflik dan dilantak tsunami.

Kini, ketika gerbong damai sudah meniti pada posisi empat tahun, tentu banyak kerikil di dalamnya. Tapi, masa-masa itu sudah amat dinikmati dan dihayati rakyat kita. Bagaimana angin perdamaian itu berhembus dalam masa-masa rawan yang menyiratkan pesimisme.

Pesimisme itu menguat di antara duri-kuri kecil yang acap menganggu proses perdamaian yang sedang berlangsung di daerah kita. Adakala kerikil itu tak bisa dihindari dan kerap kali membuat kita gamang. Tapi, Alhamdulillah, rakyat Aceh belajar banyak dari corobong perdamaian ini.

Perdamaian Aceh yang sudah empat tahun ini bukanlah tanpa ujian, beberapa kali terjadi insiden yang berujung pada kematian-kematian mantan kombatan. Motifnya sering samar; antara isu ekonomi dan politis.

(39)

25 perdamaian itulah kerikil. Ini menjadi batu uji bagi rakyat Aceh. Apakah ingin kembali ke masa lalu atau ingin melaju menuju masa depan yang sudah di tangan. Masa depan merajut ketertinggalan dalam berbagai sektor, terutama ekonomi dan pembangunan. Pemerintah tentu mendapat tantangan besar dalam mengisi perdamaian ini. Tak sedikit persoalan yang belum dituntaskan. Program reintegrasi menjadi pekerjaan besar yang membutuhkan energi ekstra. Jika salah dalam mengelola, bukan tak mungkin ’kerikil’ yang kita khawatirkan akan menghadap jalan perdamaian.

Persoalan ekonomi juga bisa menjadi sandungan. Pasalnya banyak kombatan, korban konflik dan masyarakat yang menerima ekses konflik hidup sulit. Tingkat pengangguran juga tinggi. Meski upaya ke arah sana terus diupayakan pemerintah, tapi tak semudah membalik telapak tangan.

Masyarakat juga tak boleh terus-terusan cuma menengadah tangan ke atas. Karena itu segala potensi ekonomi harus mendapat prioritas untuk dikembangkan. Membangun sarana dan prasarana memudahkan masyarakat dalam berusaha meretas jalan ekonominya.

Tapi di level grass root harus terus berusaha melestarikan perdamaian dengan berbagai upaya. Tanpa itu, jangan harap warga kelas bawah bisa menikmati perdamaian ini. Buktinya, selama ini mereka bisa bergerak bebas melakukan aktivitas tanpa dicekam ketakutan. Semoga.

Pascaagenda bersejarah itu, tak salah jika kita berharap pula, kemudian, Aceh menjadi pusat bisnis, keuangan, wisata dan budaya di Indonesia dengan karakternya tersendiri. Tapi itu semua tak semudah mengambil air di kolam renang. Butuh kerja keras semua komponen. Semoga Aceh nanti menjadi pintu gerbang dunia seperti yang pernah terjadi berabad-abad silam.***

(40)
(41)

Aceh: Sebuah Refleksi Pergerakan

dan Masa Depan Perdamaian

Maimun

Mahasiswa Pascasarjana, Program Sains Politik, Universiti Kebangsaan Malaysia

Aceh telah lama menjadi pembicaraan bagi banyak kalangan, baik nasional maupun internasional. Alasan utama yang mungkin dapat diterima kenapa Aceh sering manjadi perhatian adalah karena Aceh merupakan lahan perang dan Aceh juga merupakan wilayah yang pernah mendapatkan bencana besar, berupa tsunami. Aceh dan perang, bagaikan dua suku kata yang kerap digabungkan. Sehingga perang —bagi orang Aceh bukan lagi kata yang asing, kata perang— sesungguhnya telah melekat dalam setiap ingatan orang Aceh. Realitas ini terjadi, setelah berabad-abad orang Aceh harus berhadapan dengan perang kolonialis Belanda. Pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, Aceh juga harus merelakan diri untuk berperang melawan “kolonialis” pemerintahan yang hegemoni, sejak digabungkannya Aceh ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1949. Karena perang telah menjadi perkataan yang lumrah, maka orang Aceh akan sangat siap untuk terus berperang mempertahankan Islam, adat-resam serta budaya sebagai intisari jatidiri bangsa Aceh, dari ancaman genocide ataupun ethnic

cleaning pemerintah yang otoriter. Maka sesungguhnya, adalah sesuatu yang fatal

(42)

MERANGK AI K ATA DAMAI

28

dengan pendekatan militer dan upaya manipulasi, atas aksi protes endatu orang Aceh yang pernah ditunjukkan awal kali pada tahun 1953 yang ketika itu dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh. Sebab, sesungguhnya aksi protes para endatu Aceh melalui gerakan Darul Islam Aceh (DIA) itu bertujuan menuntut keadilan pusat agar menyempurnakan janjinya atas pemberian istimewa kepada Aceh dalam tiga hal utama, yaitu: pertama, menyangkut dengan pemberlakuan syari’at Islam, yang harus diatur dengan pembentukan beberapa Qanun. Kedua, keistimewaan atas pemberlakuan adat-istiadat Aceh dalam kehidupan masyarakatnya. Ketiga, menyangkut dengan pembagian hasil bumi Aceh yang adil antara pusat dan daerah (Ahmad Farhan, 2006). Tuntutan atas keistimewaan Aceh memiliki alasan yang sangat dapat dipertanggungjawabkan, di mana Aceh adalah sebagai daerah modal (region of capital) bagi negara Indonesia. Modal yang dimaksudkan oleh sejarah dalam hal ini, dapat dilihat dalam beberapa bentuk: pertama, Aceh pernah mengantarkan pasukannya sebanyak 3.000 orang untuk berperang melawan agresi Belanda di Medan Area. Kedua, Aceh telah memberikan sumbangan dua buah pesawat yang amat sangat penting bagi persiapan kemerdekaan Indonesia. Ketiga, Aceh telah berhasil mempengaruhi opini masyarakat internasional dengan Radio Rimba Raya, dengan mengabarkan kepada dunia, bahwa Indonesia belum dapat dikuasi oleh belanda. Keempat, Aceh telah menyumbangkan banyak biaya untuk persiapan kemerdekaan Indonesia, baik berupa biaya perjalanan diplomatik maupun untuk kebutuhan dalam negeri. Pendekatan militer dan upaya manipulasi pemerintah pusat terhadap masyarakat Aceh, sudah tidak menghasilkan satu kesimpulan yang baik bagi perdamaian abadi, malah akan menjadi alasan utama penyebab munculnya kecurigaan yang mendalam dan rasa tidak percaya orang Aceh terhadap pemerintah pusat. Sebagai konsekuensi yang harus diterima pemerintah pusat atas kealpaannya menerapkan pendekatan sosial budaya dalam menangani masalah Aceh, maka muncullah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan oleh Dr. Hasan Muhammad Ditiro pada tahun 1976 di Djokan Pidie. GAM lahir pada awalnya sebagai kelanjutan dari aksi protes keras ”episode kedua” gerakan yang pernah dipimpin oleh Tgk. Daud Beureuh. Dimana GAM menuntut keadilan yang sama seperti yang pernah dituntut endatunya, yaitu: menuntut

(43)

29 pemerintah pusat untuk menuaikan realisasi janjinya tentang keistimewaan Aceh. Tapi, sekali lagi amat disayangkan, orde baru telah menganggap GAM sebagai pengacau stabilitas keamanan pemerintah pusat di Aceh, sehingga GAM dianggap sebagai gerakan liar yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.

Orde baru, bukan hanya telah menjadikan Aceh miskin secara ekonomi, akan tetapi juga telah membuat Aceh harus menerima resiko miskin secara pengetahuan, degradasi budaya dan adat-istiadat Aceh harus terbentur dengan kebijakan pemerintah pusat, persis sama seperti apa yang digambarkan oleh Samuel Hungtington (1996) dalam thesisnya The Class of Civilization and the

Remaking of the World Order. Untuk membasmi GAM, Pemerintah Pusat Indonesia

telah memberlakan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada sejak tahun 1989 hingga 1998. Buah dari operasi yang dijuluki dengan Operasi Jaring Merah (OJM) ini telah mengakibatkan terjadinya 7,727 kasus pelanggaran hak azasi manusia (human rights) di Aceh (Suraiya, 2001). Pencabutan status darurat militer di Aceh, didasari oleh meletusnya isu reformasi yang mulai digulirkan sejak awal mei, hingga mencapai mencapai puncaknya tuntutan reformasi pada 20 Mei 1998 yang ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter Indonesia. Keruntuhan orde baru, juga bermakna peluang bagi orang Aceh untuk menyampaikan kehendaknya kepada dunia luas. Betapa tidak, orde reformasi telah membuka peluang bagi terciptanya perubahan besar di Indonesia. Sebagai representatif masyarakat Aceh, GAM kembali eksis untuk menuntut keadilan bagi Aceh. Kali ini, GAM bukan sekedar menuntut keistimewaan, tetapi juga ingin membebaskan Aceh dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Referendum yang diusung Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) pada tahun 1998 yang pimpin oleh Muhammad Nazar, telah memperkuat asumsi bahawa lebih dari 85 persen orang Aceh sedang menuntut pemisahan Aceh dari Republik. Ini adalah kemarahan puncak masyarakat Aceh terhadap Republik. Pemerintah pusat seperti cepat lupa, bagaikan “keledai” yang harus jatuh dalam lubang yang sama dalam waktu yang berbeda. Pemerintah pusat tidak ingat akan satu pepatah bahwa “ureung Aceh, meunyoe kateupeh, bu leubeh han geu peutaba.

Tapi meunyo hana teupeh, dumho pih geumaba” (orang Aceh, kalau sudah dibuat

marah, maka nasi lebihpun tidak akan ditawarkan kepada kita. Tapi kalau tidak

(44)

MERANGK AI K ATA DAMAI

30

dibuat marah, maka semuanya akan diberikan kepada kita). Nampaknya pemerintah pusat pada ketika itu, sedang tidak dapat belajar dari pengalamannya, ini bermakna sejak Januari 1999 sampai ke November 2003, pemerintah telah mengembalikan Aceh kepada status Darurat Militer, walapun kemudian diturunkan menjadi darurat sipil sejak Mei hingga akhir tahun 2004 yang disebabkan oleh satu kejadian besar yaitu tsunami (Tempo Report, Desember 2004). Konflik bersenjata yang terjadi sejak tahun 1989 hingga akhir 2004, telah menyebabkan 11,214 kasus pelanggaran berat HAM, yang terdiri dari korban pembunuhan, pembakaran rumah, pelecehan seksual, pemerkosaan, penahanan semerta-merta, dan meningggal pada saat perang (ARF Report, Mei 2007). Penghujung tahun ketika itu, tepatnya pada hari minggu 26 Desember 2004, Aceh harus berhadapan dengan bencana besar. Bencana internasional tersebut bernama gempa tektonik dengan kekuatan 8,9 SR yang diikuti oleh tsunami yang meluluhlantakkan sebagian pesisir Aceh. Nampaknya Tuhan telah memberikan teguran besar kepada kita semua, agar praktek homo

homini lupus sesegera mungkin harus ditinggalkan. Tsunami Aceh telah membuat

luka yang belum kering akibat konflik, menjadi tersobek-sobek serta menciptakan kepiluan yang amat dalam bagi Aceh. Tsunami telah menyebabkan 170,000 orang meninggal, manakala 500,000 orang lainnya harus kehilangan tempat tinggaassl mereka (Pemerintah NAD, 2006). Perkiraan atas kerusakan dan kerugian materipun sangat tidak sedikit (loss and damage assessment), kerugian yang dialami secara materil sebanding dengan lima kali bilangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh tahun 2004 atapun mencapai Rp. 29,4 triliun atau U$D 11,5 (Bank Dunia 2005).

Aceh Pascakonflik dan Tsunami serta Upaya Reintegrasi

Gambaran terhadap fenomena di atas, telah membuat hati rakyat Aceh bukan saja tersayat, tetapi hancur. Sebetulnya bukan hanya Aceh yang menangis, namun Indonesia juga menangis, bahkan duniapun berkabung sembari menghening cipta untuk mengenang kejadian yang amat menyayat itu. Konflik dan tsunami, bukan hanya telah membinasakan Aceh secara fisik, tetapi juga mental. Sehingga Aceh semakin tertinggal dalam beberapa bidang penting, seperti ekonomi, pendidikan,

(45)

31 kesehatan, hukum dan sosial budaya. Kondisi seumpama di atas tadi, telah membuka hati para pemimpin kedua belah pihak yang bertikai, untuk memikirkan jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik Aceh yang telah lama berlarut. Maka pada tanggal 15 agustus 2005, sebuah perjanjian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah pusat Indonesia telah disepakati di Helsinki Finlandia. Masyarakat Aceh secara umum, menaruh harapan besar pada konsensus tersebut. Tercapainya perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan GAM adalah sebuah rahmat dan kesuksesan besar yang telah dicapai. Konsesnsus ini, tidak hanya diperuntukkan bagi GAM dan Pemerintah pusat semata-mata, akan tetapi juga bagi masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan bahkan lebih dari itu, yakni untuk perdamaian dan keamanan kawasan (Humam Hamid, 2007).

Membangun Aceh pascakonflik dan tsunami, sebetulnya kita tidak sedang berbicara tentang build back Aceh, tetapi lebih kepada build better Aceh. Bukan hanya waktu yang dibutuhkan, tetapi juga tenaga serta biaya yang tidak tergolong sedikit, demi pembangunan Aceh ke depan yang lebih baik dengan tanpa harus kehilangan jatidirinya. Adanya pemerintahan dari unsur rakyat Aceh “tulen” yang ditopang oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka, akan sangat dimungkinkan bahwa pembangunan Aceh dapat diwujudkan secara adil dan merata. Saat ini, Aceh ada peruntukan beberapa sektor penting dari pemerintah pusat melalui UUPA. Peruntukan tersebut mencakupi pembagian hasil migas antara pusat dan daerah, otonomi dalam bidang pendidikan dan kesehatan, otonomi dalam bidang adat-istiadat dan resam serta otonomi dalam pelasanaan syaria’at Islam. Tiga poin penting ini, sesungguhnya dapat dijadikan sebagai modal besar terhadap pembangunan Aceh secara adil dan menyeluruh tanpa harus melahirkan kecumburuan sosial.

Hal lain yang tidak kalah penting dan harus menjadi perhatian utama adalah pelaksanaan reintegrasi Aceh pascakonflik bersenjata yang merupakan salah satu dari point terpenting dari Memorandum of Understanding. Saat ini Aceh telah memasuki tahun keempat bagi sebuah transisi. Maka dengan demikian, pelaksanaan reintegrasi Aceh dengan adil dan bijaksana akan memberikan ruang khusus bagi

(46)

MERANGK AI K ATA DAMAI

32

terwujudnya situasi damai Aceh di masa depan. Berbicara damai, sebetulnya bukan hanya sekedar berbicara tentang pemotongan 900 pucuk senjata dan mobililasi militer, akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah, bagaimana mewujudkan tujuan terhadap reintegrasi itu sendiri. Proses reintegrasi Aceh pascakonflik bersenjata secara formal telah dilimpahkan wewenang melalui Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA), namun demikian tetap akan menjadi tanggung jawab masyarakat Aceh secara keseluruhan, untuk mewujudkan Aceh yang damai dan sejahtera. Ditinjau dari tujuannya, maka proses reintegrasi lebih ditujukan kepada tiga hal utama: Pertama adalah berkaitan dengan reintegrasi mantan kombatan GAM ke dalam masyarakat dengan pendekatan ekonomi, sosial dan politik. Ini berarti, mantan kombatan GAM berhak atas uang jaminan sosial, pemberian amnesti dan remisi kepada tapol/napol GAM dan sekaligus pemberian kesempatan kepada mantan kombatan GAM untuk bergabung dalam arena politik lokal dan nasional ataupun membentuk partai baru. Berdasarkan MoU, GAM berjumlah 3.000 orang (Ahmad Farhan, 2006: 203). Kedua, berkaitan dengan reintegrasi Aceh ke dalam Republik Indonesia pascakonflik bersenjata (Aceh re-integrated post conflict). Reintegrasi ini pula dilakukan bagi mengukuhkan patriotisme dan juga Nasionalisme ke-Indonesia-an yang dimiliki oleh rakyat Aceh dengan pendekatan pendidikan sebagai intry point. Ketiga, berkaitan dengan reintegrasi masyarakat korban konflik yang yang ditangani dengan pendekatan ekonomi sebagai entry point.

Salah satu tolak ukur terpenting pencapaian perdamaian Aceh di masa mendatang adalah amat sangat tergantung kepada seberapa efektifnya proses reintegrasi itu dapat diwujudkan dengan seadil-adilnya. Ini artinya, bahwa proses reintegrasi Aceh tidak boleh dijadikan sebagai lencana politik kelompok tertentu, karena erosi integrasi pasti akan terus terjadi, sebab politik tidak punya mata, tidak punya telinga, tidak punya hati. Politik hanya mengenal kawan dan lawan, kalah dan menang, peradaban yang dangkal. Maka reintegrasi Aceh juga perlu menanamkan sikap senses of belonging, dengan rasa saling percaya, sehingga transisi ini akan menjadi modal bagi terbentuknya perdamaian Aceh yang abadi di masa yang akan datang. Amin.***

(47)

Saifuddin Bantasyam SH MA

Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Isu-Isu Kritis dalam Pembangunan

Perdamaian Aceh

Karakter konflik yang berkembang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini tidak lagi didominasi oleh konflik antarnegara, melainkan konflik yang terjadi di dalam wilayah suatu negara. Dua elemen kuat sering bergabung dalam konflik seperti ini: elemen identitas, dan elemen distribusi. Jenis konflik seperti itu cenderung bertahan lama, dan fasenya silih berganti, antara bersifat laten dan terbuka. Skala penderitaan manusia juga sangat dahsyat. Konflik yang demikian, meskipun ada di tingkat internal, juga bisa menyebar hingga jauh keluar perbatasan geografis negara di mana konflik berlangsung. Ini menandakan bahwa konflik dalam negara yang rendah tingkatannya pun bisa meningkat menjadi konflik antarnegara yang lebih tajam. Jika ini terjadi, maka korban jatuh diperkirakan akan jauh lebih banyak.

Dengan pelajaran sebagaimana disebutkan di atas, maka tak mengherankan apabila semua pihak yang terlibat dalam konflik, baik internal dan eksternal, berusaha keras untuk menyelesaikan konflik. Kelihatannya, pihak-pihak yang berkonflik memiliki sebuah kesadaran, bahwa konflik yang berlarut-larut akan membuat pihak yang berkonflik membayar harga yang tak murah, dan menghabiskan energi yang tak terhitung besarnya. Masyarakat di wilayah itu demikian juga, mereka tak akan

(48)

MERANGK AI K ATA DAMAI

34

pernah bebas dari penderitaan sebagai akibat langsung dan tidak langsung konflik, bahkan sebuah generasi dapat saja lenyap karena konflik.

***

Demikian halnya dalam kaitannya dengan konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Dalam beberapa catatan, angka kematian hampir mencapai seribu orang setiap tahun sepanjang tahun 1999, 2000 dan 2001. Termasuk yang tewas adalah mereka yang berstatus penduduk sipil yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan konflik, atau tidak mengambil bagian apapun dalam konflik. Di luar angka korban tersebut, konflik bersenjata di Aceh telah menghancurkan banyak sisi kehidupan sosial politik dan ekonomi, dan menimbulkan rasa takut dan trauma yang mendalam di kalangan warga masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di pedalaman di beberapa kecamatan di sejumlah daerah kabupaten di Aceh. Akibatnya sangat parah, kantor-kantor pemerintahan di tingkat desa dan tingkat kecamatan tidak berfungsi maksimal, mobilitas masyarakat sehari-hari menjadi sangat terganggu, dan angka kemiskinan juga meningkat. Kondisi ini tak hanya memberi beban kepada pemerintah pusat dan daerah, namun juga bagi PBB dan masyarakat internasional, karena sesungguhnya dampak konflik berpeluang menyebar ke luar batas geographis Aceh.

Proses formal untuk mencapai perdamaian dimulai pada tahun 1999 ketika Presiden Abdurrahman Wahid menyetujui kehadiran Hendry Dunant Centre (HDC) untuk menjadi mediator dalam perundingan Pemerintah RI dengan wakil-wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada masa-masa awal, dengan difasilitasi oleh HDC, kedua belah pihak menyetujui kesepakatan yang disebut dengan Joint

Understanding for Humanitarian Pause (Kesepakatan Bersama Jeda Kemanusiaan)

pada Tahun 2000. Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk memungkinkan kedua belah pihak membahas lebih lanjut berbagai masalah yang terjadi, menghentikan kekerasan, dan untuk memungkinkan penyaluran bantuan kemanusiaan kepada para korban konflik di berbagai daerah.

(49)

35

ISU-ISU KRITIS DALAM PEMBANGUNAN PERDAMAIAN ACEH

lain terlihat pada intensitas kekerasan yang tetap tinggi, dan kedua pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan-kesepakatan lain yang lebih strategis. Karena itu, usaha berikutnya dilakukan dalam bentuk The Cessation of Hostilities Agreement (COHA) pada Desember 2002. Pada masa ini, disepakati juga penentuan zona-zona aman di beberapa daerah seperti Aceh Besar, Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara. Namun, pihak militer Indonesia kelihatannya tidak puas, dan sebagai akibatnya Pemerintah Pusat di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, memberlakukan status Darurat Militer pada Mei 2003 – Mei 2004 dan kemudian melakukan operasi militer besar-besaran.

Status Darurat Militer itu, kemudian dicabut dan diganti dengan status Darurat Sipil pada Mei 2004, dan seharusnya berakhir pada Mei 2005. Namun keadaan kemudian berubah drastis, ketika gempa dan tsunami melanda sebagian besar daratan Aceh pada 26 Desember 2004. Bencana ini menjadi salah satu bencana dengan korban terbesar di abad modern, karena itu mau tidak mau, Pemerintah Indonesia harus membuka Aceh bagi dunia internasional untuk melaksanakan misi-misi kemanusiaan. Status darurat sipil untuk Aceh menjadi tidak lagi berlaku, dan meskipun disebut-sebut bahwa rancangan untuk mencari solusi damai terus diupayakan sepanjang tahun 2004, namun tak bisa dipungkiri bahwa bahwa proses perdamaian yang diakhiri dengan penandatanganan Memorandum of

Understanding (MoU) antara wakil GAM dan wakil Pemerintah Indonesia pada 15

Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, terjadi karena pengaruh bencana tersebut. Setelah bencana dahsyat itu, memang sepertinya Aceh tak memiliki apapun lagi untuk diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Karena itu, pilihan paling tepat adalah menempuh jalan damai untuk membangun kembali berbagai infrastruktur sosial dan ekonomi yang hancur dan memulihkan trauma para korban dan keluarga yang ditinggalkan karena gempa dan tsunami besar tersebut, yang seperti disebutkan di atas, diakhiri dengan penandatanganan MoU Helsinki.

***

(50)

MERANGK AI K ATA DAMAI

36

upaya yang mudah. Perdamaian sebagai suatu resultan dari sebuah negosiasi yang sarat dengan berbagai kepentingan, adalah sebuah bangunan yang kompleks, yang membutuhkan tidak hanya perencanaan dan strategi yang komprehensif melainkan juga mensyaratkan anggaran yang cukup dengan pendekatan yang adil, efisien dan efektif, untuk membuat bangunan tersebut dapat terus kokoh berdiri. Di atas sudah disebutkan dua elemen penting yang mengemuka dalam konflik internal, yaitu identitas dan distribusi. Dalam konteks Aceh, secara normatif, identitas ke-Acehan sudah muncul melalui UU No. 44/1999 yang memberi keistimewaan kepada Aceh, kemudian UU No. 18/2001 berkaitan dengan otonomi khusus untuk NAD, dan terakhir UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). UU PA bahkan mengatur lebih banyak, misalnya pemilihan langsung kepala daerah, yang dapat diikuti oleh calon perorangan, dan pembentukan partai politik lokal. Hukuman cambuk terhadap beberapa bentuk pelanggaran pidana, semakin menegaskan keistimewaan Aceh dibanding provinsi lain di Indonesia. Dengan kata lain, identitas ke-Acehan sudah cukup terakomodasi dalam sejumlah aturan.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa program-program pembangunan pasca-BRR, yang berada di bawah tanggung jawab Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, belum mampu menyerap tenaga kerja yang dalam jumlah yang lumayan, sehingga angka kemiskinan pun tak menurun secara signifikan. Di pihak lain, terjadi berbagai ketidaksiplinan dan kejadian salah urus dalam tata kelola keuangan daerah, yang mengakibatkan terganggunya program-program pembangunan. Bahkan beberapa daerah kabupaten/kota, mengalami defisit APBK, sesuatu yang sulit diterima oleh akal sehat. Besar kemungkinan, suatu saat nanti, para kepala daerah dan wakil kepala daerah akan menjadi tersangka atau terdakwa dalam kasus-kasus korupsi. Ketika penegakan hukum dilakukan kepada para elit, sangat mungkin akan ditarik kepada kepada isu ketidaksenangan Pemerintah Pusat kepada Aceh, atau disebut sebagai bagian dari skenerio untuk melemahkan Pemerintah Aceh. Pada akhirnya, muncul mobilisasi benih-benih kebencian dari masyarakat Aceh kepada Pemerintah Pusat, yang kemudian dapat memicu gerakan separatisme jilid berikutnya.

Gambar

Grafik Korupsi di Aceh

Referensi

Dokumen terkait

rangsang kepada peserta didik untuk menanya berkaitan dengan gambar yang diamati 4.7 Mempraktik kan variasi dan kombinasi gerak berbentuk rangkaian langkah dan ayunan

Sediaan kompleks nanopartikel alginat-kitosan yang mengandung bovine serum albumin dapat memberikan pelepasan obat yang optimal dalam medium NaCl 0,9%. 1.5

- Tidak ada bahan baku impor selama periode 3 (tiga) bulan terakhir yaitu bulan Februari 2016 s/d April 2016.. 2

kemudian klik Simpan ID Pemesanan (kosong) File diisi (kosong) Sistem akan menolak akses untuk proses pembayaran dan tampil ke halaman pembayaran untuk field ID

[Type text] 19 Sebelum pelaksanaan praktik mengajar di kelas, mahasiswa PPL harus membuat skenario atau langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan di kelas yang

Untuk fasilitas trotoar pada empat titik yang disurvei rata-rata pejalan kaki merasa sangat terganggu dengan banyaknya kaki lima yang ada disepanjang jalan dan mengurangi lebar

Jika kondisi habitat yang maksimal sudah dapat dipenuhi, maka perilaku sosial dan kesuksesan reproduksi suatu spesies dalam kandang rehabilitasi akan lebih tinggi (Bottcher-Law

dengan Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 034/SEK/SK/VI/2010 tanggal 30 Juni 2010 tentang Penerapan Standar Biaya Perjalanan