• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aceh : Agenda Krusial Dalam Fase Transisi

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 123-126)

MERANGK AI K ATA DAMAI

110

yang diwarnai oleh perang dan bencana alam maha dahsyat, sekaligus menandai tumbuhnya harapan dan cita-cita besar akan terciptanya sebuah “Aceh Baru”.

Namun lazimnya dalam sebuah fase transisi, cita-cita semacam ini sering dihadapkan pada berbagai tantangan. Dalam konteks Aceh, problem-problem di level domestik adalah tantangan yang nyata. Mulai dari gesekan politik di tingkat lokal, kondisi keamanan yang masih terasa labil yang diwarnai aksi-aksi kriminal bersenjata, belum maksimalnya kinerja Pemerintah Aceh, isu korupsi yang semakin masif, program pengentasan kemiskinan yang masih jauh dari harapan, sampai dengan isu pemekaran provinsi ALA-ABAS. Problem-problem ini adalah ancaman potensial yang tidak hanya menjadi kerikil bagi stabilitas perdamaian, tetapi juga berpotensi memicu konflik baru di Aceh.

Isu sustainable peace pun lalu mengemuka sebagai bentuk respon, atau lebih tepatnya kekhawatiran terhadap nasib perdamaian Aceh yang masih sangat rentan (fragile peace) dengan umurnya yang masih seumur jagung. Banyak pihak sangat concern terhadap potensi re-konflik dengan menekankan pentingnya ide keberlanjutan perdamaian bagi Aceh. “Keberlanjutan” telah menjadi stressing

point dalam banyak diskusi dan perbincangan publik terkait dengan masa depan

perdamaian di daerah ini.

Jika mau disikapi dari sudut pandang yang optimistik, keberlanjutan perdamaian ini bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Isu perdamaian saat ini sesungguhnya dapat dikatakan tidak lagi sekrusial ketika ia dirintis pada masa konflik masih berlangsung sampai menjelang penandatangan MoU kesepakatan damai Helsinki. Jadi walaupun sangat fundamental bagi proyeksi Aceh ke depan, dan dihadapkan pada tantangan yang juga tidak kalah serius, kini kita sesungguhnya lebih dihadapkan pada tantangan bagaimana mengefektifkan program-program rehabilitasi/pembangunan Aceh ke depan dengan hasil-hasil yang positif hingga secara signifikan mampu mengeliminir, atau setidaknya meminimalisir potensi konflik terjadi kembali, baik pada skala vertikal maupun horizontal.

Perdamaian Aceh kini telah bergerak ke fase “dipertahankan”. Ini mengandung makna bahwa fase peace keeping sebagai hasil dari komitmen penghentian permusuhan dan kekerasan bersenjata merupakan sebuah prakondisi yang

111 memungkinkan, baik Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Aceh untuk

mengkosilidasikan seluruh sumber daya untuk melakukan langkah-langkah rehabilitasi Aceh secara bersama-sama.

Dalam kerangka pikir inilah, beberapa langkah berikut yang dipaparkan di bawah ini tampaknya penting untuk diagendakan dengan segera, untuk memastikan perdamaian dapat terus eksis sekaligus menyediakan sebuah situasi dan kondisi yang konstruktif bagi program rehabilitasi/pembangunan Aceh ke depan.

Beberapa Agenda

Rekonfigurasi Ideologi

Dalam fase ketika konflik telah berhasil dihentikan dan konsensus politik telah dicapai, maka sangat diperlukan adanya semacam rekonfigurasi ideologi. Rekonfigurasi ideologi pascakonflik ini penting artinya tidak hanya untuk meredam tumbuhnya ideologi balas dendam antarpihak pelaku konflik, tetapi juga untuk memelihara komitmen terhadap perdamaian yang telah dicapai, sekaligus meletakkan sebuah pondasi permanen bagi program dan upaya-upaya rehabilitasi pascakonflik.

Inilah yang dilakukan oleh Nelson Mandela ketika ia mengatakan : “Saya ingin Afrika berdamai dengan dirinya”. Visi politik Mandela ini telah menjadi ruh tidak hanya bagi proses rekonsiliasi antara warga kulit hitam dan kulit putih di sana, tetapi juga menjadi spirit bagi upaya memusnahkan virus-virus rasisme yang mana di atasnya kemudian berdiri sebuah cita-cita besar bangsa Afrika Selatan yang lebih demokratis, multi-ras dan kultural, yang menghormati persamaan hak warganya tanpa memandang perbedaan ras, etnis, dan warna kulit mereka. Dengan visinya Mandela mengajak bangsa Afrika Selatan memaknai kejatuhan rezim apartheid sebagai “freedom for all”, kemerdekaan bagi seluruh rakyat Afrika Selatan terlepas dari belenggu tirani, baik bagi yang tertindas maupun bagi yang menindas, tanpa melihat ras dan warna kulit mereka.

Di Aceh sendiri, Manifesto Aceh Baru yang digagas oleh Konsorsium Aceh Baru, salah satu elemen civil society di daerah ini, sesungguhnya juga dapat dipandang sebagai bagian dari bentuk rekonfigurasi tersebut.

MERANGK AI K ATA DAMAI

112

Walaupun poin-poin manifesto itu sendiri bukanlah sesuatu yang asing ataupun baru di telinga kita, namun ia tetap dibutuhkan sebagai affirmation (penegasan), untuk menstimuli ingatan dan kesadaran akan sebuah era baru yang ideal, yang pada dasarnya adalah common expectation seluruh rakyat Aceh. Cuma tantangannya kemudian adalah apakah manifesto ini direspon oleh seluruh elemen di Aceh sebagai gerakan bersama (common movement) untuk kemudian diterima sebagai nilai bersama (common values).

Tanpa adanya rekonfigurasi ideologi semacam ini, atau efektifitas penerapannya, siklus konflik sangat berpotensi terjadi kembali. Bahkan jika dilihat dari heterogenitas dan polaritas kepentingan, baik yang berbasis pada ideologi politik maupun etnis-geografis yang belakangan semakin meruncing di Aceh, yang terjadi bukan hanya siklus, tetapi juga mutasi konflik. Pergeseran konflik dari vertikal menjadi horizontal. Salah satu gejala yang dapat dikaitkan dengan potensi mutasi ini adalah munculnya wacana pemekaran provinsi ALA-ABAS, yang menuntut pemekaran wilayah tengah

Aceh BARU merupakan formulasi dari sejarah Aceh yang gemilang, hikmah dari pengalaman pahit di masa lalu dan cita-cita masa depan yang berperadaban tinggi, MAKA :

Aceh BARU dibangun atas dasar keadilan, kebebasan dan penghormatan atas hak-hak dasar serta menghargai keberagaman dalam kehidupan. Aceh BARU dibangun atas sistem ekonomi kerakyatan dan berkeadilan.

Aceh BARU dibangun dengan sistem pemerintahan yang bersih dan pelayanan berkualitas pada rakyat.

Aceh BARU dibangun dengan kekuatan komunikasi politik yang terbuka dan menghargai kerjasama antarbangsa serta budaya dunia

Aceh BARU dibangun dengan menjunjung tinggi agama, pendidikan, dan adat-istiadat Aceh.

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 123-126)