• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnalisme DamaiMuhammad Saman

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 71-79)

Wartawan Harian Analisa di Banda Aceh

Pers sebagai media penyampai informasi ke publik, menjadi wahana pendidikan, hiburan dan fungsi kontrol jalannya kekuasaan negara. Agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal, pers membutuhkan ruang kebebasan. Kemerdekaan pers merupakan satu unsur dalam peradaban manusia yang maju, bermanfaat tinggi dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Jika kemerdekaan pers itu tidak ada, maka martabat manusia menjadi hilang.

Sebuah peristiwa yang terjadi di suatu daerah tidak akan berarti apa-apa jika pers baik media cetak, elektronik maupun online tak menyebarluaskan kepada masyarakat. Di sini, media mengambil peranan yang sangat penting.

Harus diakui, sebuah konflik ataupun suasana perang di daerah tertentu saat ini masih sangat seksi untuk mendapat liputan wartawan dari berbagai media. Oleh perusahaan media, konflik itu merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan dari sisi bisnis, meningkatkan pendapatan karena berita-berita seperti itu pasti diburu publik.

Kita dapat melihat ketika konflik bersenjata terjadi di Aceh beberapa tahun lalu antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia khususnya Tentara

MERANGK AI K ATA DAMAI

58

Nasional Indonesia (TNI) dan Polri. Ketika penerapan status darurat militer dan darurat sipil sejak 2003 hingga 2005, hampir seluruh media baik lokal, regional, nasional maupun internasional mengerahkan para wartawannya untuk meliput sengitnya suasana perang antara kedua pihak yang bertikai.

Media yang ada saat itu lebih banyak memberitakan perseteruan antara GAM-TNI dan terjebak pada pemberitaan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Satu hal yang sangat memprihatinkan kala itu, sangat sedikit media mengangkat hal-hal yang menyangkut penderitaan masyarakat sipil tidak berdosa akibat konflik.

“Kalau tentara atau GAM yang tewas akibat konflik itu, ya itu memang resikonya karena mereka saling bertempur. Tetapi, kalau rakyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban, apa urusannya. Ini seharusnya lebih diperhatikan media,” ujar pakar Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Bachtiar Aly.

Media yang lebih mengedepankan masyarakat korban konflik ketimbang perang statemen antara pihak bertikai akan terus memperkeruh konflik, inilah yang dimaksudkan dengan praktik jurnalisme damai yang diterapkan sebuah media.

Jurnalisme damai adalah praktik jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis tentang manfaat aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan hikmah konflik itu sendiri. Ruhnya mengembangkan liputan yang berkiblat ke masyarakat.

Saat ini, kondisi Aceh memang telah berubah. Perdamaian sudah terwujud untuk mengakhiri konflik bersenjata hampir 30 tahun dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) perdamaian antara pemerintah Indonesia dan GAM pada 15 Agustus 2005 silam di Helsinki, Finlandia.

Situasi Aceh yang kondusif memberikan kesempatan bagi rakyat untuk bangkit menata kehidupan mereka yang lebih baik. Denyut pembangunan kini memang terlihat di mana-mana. Tidak terkecuali yang dilakukan ribuan mantan kombatan GAM dan warga korban konflik. Sejumlah NGO, lembaga-lembaga dunia dan para aktivis kemanusiaan aktif terlibat mendukung proses reintegrasi.

Pers juga memiliki peran strategis untuk menginformasikan dan memperkuat usaha-usaha membangun tali silaturahmi antara mantan kombatan dan warga (korban konflik). Untuk itu, pers harus mampu mentransformasikan peran agar tidak sekadar sebagai pewarta informasi yang mengutamakan nilai konflik.

59 Konflik yang mengiringi reintegrasi, seharusnya dipahami sebagai bagian proses resolusi konflik menuju perdamaian sejati. Pers karenanya harus berperan aktif dan proaktif dalam mendorong para pihak untuk membangun tali silaturahmi.

Tentu saja pers, atau jurnalis tidak dituntut sebagai mediator. Namun mereka dapat “memprovokasi” para pihak yang terlibat dalam proses reintegrasi untuk mengedepankan upaya-upaya penyelesaian konflik secara damai lewat fakta media (berita) yang mereka produksi.

Ini mengingat daya persuasif pemberitaan pers yang dipercaya ikut memperkuat pola pikir dan perilaku seseorang. Untuk itu, dibutuhkan perubahan perspektif dan keterampilan teknis untuk mengimplementasikan jurnalisme damai dalam meliput berbagai isu atau peristiwa yang muncul di Aceh, tidak terkecuali dalam meliput proses reintegrasi.

Tugas media massa ikut menjaga dan merawat perdamaian agar terus berlanjut di Aceh. Wartawan sebaiknya tidak lagi terjebak pemberitaan yang menjurus kepada konflik.

Masyarakat Aceh berharap, perdamaian itu tidak sebatas di atas kertas yang diliput media secara luas, tetapi ia membumi dan ditindaklanjuti dalam praktik nyata di lapangan.

Segala bentuk kekerasan sudah harus berhenti, permusuhan berganti secara bertahap menjadi saling pengertian dan persahabatan, kecurigaan perlu disikapi dengan jujur terbuka, hilangkan egoisme kelompok, rasa dendam dikuburkan dengan semangat islah (rekonsiliasi), saling memaafkan sebagai sesama anak bangsa.

Upaya rekonsiliasi secara komprehensif (kaffah) dengan spirit keluarga besar bangsa Indonesia menjadikan peran media makin penting. Utamanya, bagaimana media menghampiri permasalahan dengan bijak, tidak mengeksploitasi konflik dan turut mencari solusi.

Misi dan instrumen jurnalisme damai harus dikedepankan. Media diharapkan ikut memberi kontribusi menjelasterangkan butir-butir MoU Helsinki sehingga mampu menghindari polemik yang tidak perlu.

***

MERANGK AI K ATA DAMAI

60

Jurnalisme damai bukanlah hal baru. Pendekatan kerja jurnalisme ini digagas Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan, pada 1970-an. Galtung merasa “miris” melihat pemberitaan pers yang mendasarkan kerja jurnalistiknya secara hitam putih atau kalah-menang. Pola kerja jurnalistik seperti ini dia sebut sebagai jurnalisme perang.

Jurnalisme perang lebih tertarik pada konflik, kekerasan, korban yang tewas, dan kerusakan material. Pola seperti ini banyak dianut infotainment, lebih suka mendasarkan kerjanya pada konflik rumah tangga selebritis.

Penganut jurnalisme perang enggan menggali asal-usul konflik, mencari alternatif-alternatif penyelesaian, berempati pada akibat-akibat kemanusiaan yang ditimbulkannya. Jurnalisme perang lebih suka memperjauh jarak para pihak yang berkonflik dalam kerangka kalah-menang, bukan mendekatkan keduanya untuk berdamai.

Akibatnya, jurnalisme perang secara tidak sadar juga menggiring publik untuk memihak pada salah satu pihak yang bertikai. Ini bisa dimaklumi karena dalam proses liputan, jurnalisme perang selalu menggunakan kacamata “kita-mereka”.

Galtung yang kemudian diikuti Annabel McGoldricik dan Jake Lynch mendorong pers mengubah teori klasik jurnalisme perang menjadi jurnalisme damai (peace journalism). Pers harus mengambil peran memprovokasi pihak-pihak bertikai menemukan jalan keluar. Pers harus melakukan pendekatan menang-menang dan memperbanyak alternatif penyelesaian konflik.

Jurnalisme damai melihat perang atau pertikaian bersenjata sebagai masalah, sebagai ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Dalam konteks ini, jurnalisme damai pada dasarnya adalah seruan kepada semua pihak memikirkan hikmah konflik. Yaitu dengan senantiasa menggarisbawahi kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan struktur kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik atau perang.

Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban-korban konflik daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik. Jurnalisme damai memberi porsi sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik. Jurnalisme damai juga berusaha mengungkapkan ketidakbenaran dari kedua pihak, bahkan

61 kalau perlu menyebutkan nama pelaku kejahatan (evil-doers) kedua belah pihak.

Jurnalisme damai dalam upaya menyampaikan fokus beritanya lebih pada efek kekerasan yang tidak tampak (invisible effect of violence), seperti kerusakan sosial, kerusakan budaya moral, hancurnya masa depan, maupun trauma pihak yang menjadi korban, bukan produk fisik dari konflik dan kekerasan semata, seperti potongan mayat, rumah ibadah yang hangus, wanita dan anak terlantar.

Hal ini bertujuan untuk menarik empati audien, bahwa konflik yang disertai kekerasan hanya mendatangkan kerugian. Di samping itu aspek keseimbangan pemberitaan (cover both side) tidak hanya pada sisi materinya saja, tetapi juga sumber berita. Suara korban seperti orang tua, wanita dan anak-anak harus mendapat tempat lebih banyak dalam pemberitaan dibanding porsi elit yang bertikai.

Jurnalis juga dituntut untuk memindahkan orientasi sumber pemberitaannya dari level elit ke masyarakat. Menggeser angle liputannya dari fakta kekerasan ke pusat penderitaan masyarakat biasa. Jurnalis harus mengungkap penderitaan para korban dan akibat-akibat dari konflik yang menyengsarakan.

Berbagai implikasi konflik yang tidak tampak, dan lebih bersifat psikologis harus mampu diungkap jurnalis. Tujuannya untuk menggugah orang agar sadar bahwa ekses konflik sebenarnya sangat fatal, yakni menimbulkan penderitaan manusia.

Selanjutnya kebutuhan suatu kemasan yang manis terhadap suatu fakta konflik, sama artinya dengan menangkap ikan tanpa membuat keruh air di sekitarnya, itulah jurnalisme yang cerdas. Karena saat ini, jurnalisme tidak hanya dituntut mampu menciptakan iklim kondusif memberi suasana damai, tapi juga menjadi bagian dari proses mendidik dan mencerdaskan bangsa.

Penggagas jurnalistik damai menilai pers bukan sekadar penyampai informasi apa adanya darah dan kemarahan, melainkan harus kreatif membangun debat publik yang sehat bagi kepentingan umum yang luas memberikan empati pada anak-anak yang telantar, penderitaan rakyat tak berdosa akibat konflik.

Ide jurnalisme damai tidak sekadar guyonan atau asal ngomong. Kita melihat masih banyak media massa yang menyulut emosi audiens dalam pembuatan berita-beritanya. Padahal jurnalis harusnya bisa membuat berita menyejukkan. Apa

MERANGK AI K ATA DAMAI

62

memang tugas media membuat sensasi? Atau memang justru kontroversi itu yang menarik? Ah, memangnya media gosip.

Ide jurnalisme damai memang tak sepenuhnya bisa diterima. Seorang wartawan mengatakan, tugasnya hanya menulis fakta yang ada, dan bukan tugas media menyelesaikan sebuah persoalan yang ada di negeri ini. Ya, mungkin juga benar apa yang dikatakan kawan ini.

Tapi bukankah peran media juga harusnya memberi pendidikan, pencerahan dan informasi yang baik buat para audiensnya? Lalu, apa salahnya dengan ide jurnalisme damai ini?

Jika saja standar profesi jurnalistik dan etika pers benar-benar diaplikasikan, kita yakin akan tercipta sebuah jurnalisme damai. Tapi, celakanya lagi standar profesi jurnalisme seperti syarat-syarat untuk menjadi wartawan dan penerbit pers tidak ada dalam Undang-Undang Pers.

Konsep-konsep jurnalisme accurate reporting (akurat dan teliti), objective

reporting (tidak memihak), fair reporting (jujur dan tidak bias), balance reporting

(pemberitaan yang berimbang dan proporsional), dan true reporting (benar) banyak diabaikan para wartawan.

Pemberitaan yang vulgar dan sensasional justru menjadi kegemaran wartawan dalam cara pemberitaan yang disebut crisis news, action news, spot news, dan

hard news. Ditambah kebiasaan buruk mengambil angel kejadian menegangkan,

pemakaian gaya bahasa, cara memilih judul, lead dan cara menerapkan fungsi agenda setting (pilihan waktu dan tempat berita) yang mencemaskan khalayak.

Kemampuan untuk memilih dan memilah karya jurnalistik ialah tanggungjawab untuk mengedepankan rasa aman, adil dan objektif. Media menuntut pembaca untuk mengenal dunia dengan menggunakan bahasa yang tepat sasaran secara santun.

Paling tidak, setiap statement elit tidak begitu saja dilansir tanpa secara kritis menilai apakah bahasa yang digunakan sudah sesuai dengan norma-norma, kaidah bahasa dan kode etik. Media yang cerdas tidak akan pernah secara serta merta memuat pernyataan dalam bahasa yang vulgar.

63 pengendalian diri telah menjadikan segelintir elit kita terjebak menggunakan kata-kata yang kurang pantas, terbawa emosi. Mereka kurang menyadari bahwa bahasa dapat mengundang kekerasan.

Penggunaan kata-kata seperti libas, embat, tebas, basmi, bumihanguskan,

luluhlantakkan, binasakan atau istilah lain yang berkonotasi permusuhan dan

konfrontatf seharusnya dihindari, karena sangat tidak pantas diucapkan kepada entitas manusia, seberapapun  salah dirinya.

Media yang memiliki integritas tidak akan terjebak dan tidak ingin menjadi mesin photocopy yang mengadopsi pernyataan-pernyataan bercorak provokatif. Hak media mencarikan kata sinonim menggantikan ungkapan petinggi atau elit yang tampak kurang kendali atau memang tidak pandai berkata hati, tidak cerdas dalam berkomunikasi.

Pemberitaan beberapa suratkabar sebagaimana yang diamati analis media KIPPAS, penuh dengan pergelaran bahasa kekerasan. Tak hanya ketika surat kabar mengkonstruksi fakta yang sudah kerasa seperti konflik (etnis), tetapi juga ketika mereka mengkonstruksi konflik diantara elit politik.

Dalam istilah Prof Dr Hasan Alawi, ahli bahasa yang pernah menjabat Kepala Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia itu, bahasa komunikasi yang dipraktikkan para elit politik merupakan bentuk vulgarisasi bahasa Indonesia. Hal tersebut, menurut dia, merupakan perubahan ekstrem dari kramanisasi bahasa Indonesia karena adanya hegemoni semantik yang terjadi selama masa Orde Baru.

Jurnalisme damai diharapkan menjadi keteladanan bagi khalayaknya untuk bersama mencapai cita-cita menuju Indonesia damai. Dengan merekonstruksi fakta-fakta yang ‘tidak kasatmata’ tersebut, para pihak yang bertikai, diharapkan akan segera menyimpan senjata mereka, dan memilih berunding lewat jalan beradab, bukan biadab. Jurnalisme damai memang sebuah intervensi. Tepatnya intervensi nilai perdamaian. Di kolong langit, siapakah yang tidak merindukan sebuah masyarakat cinta perdamaian? Tentu semua menghendakinya, kecuali para produsen senjata dan mesin kekerasan. ***

Perdamaian Aceh Bertopeng Sebelah

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 71-79)