• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aceh Masuk Babak BaruMuhammad Hamzah

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 59-65)

Wartawan Suara Pembaruan di Banda Aceh

Kini Bumi Aceh ceria lagi, usai melewati banyak peristiwa mengerikan, seperti bencana alam gempa bumi dan tsunami lima tahun silam serta terhentinya konflik bersenjata yang berujung pada perdamaian empat tahun lalu, membuat wajah negeri ini cepat berubah, mulai dari klaim sebagai daerah angker, desingan peluru, menjadi daerah membangun.

Meskipun, saat ini daerah pernah hancur-lebur, luluh-lantak karena berbagai peristiwa sebelumnya, masih terus berbenah guna mewujukan cita-cta Aceh baru, namun membicarakan peristiwa bencana dan konflik akan selalu menarik dan strategis untuk dibahas. Sebab penuntasan kedua masalah tersebut, menjadi titik awal untuk membangun Aceh yang bermartabat.

Lahirnya kebijakan strategis dari pemerintah pada awal bencana dangan membangun berbagai infrastruktur yang rusak, akibat tsunami menjadi titik awal yang bagus, mewujudkan Aceh baru di masa mendatang, termasuk membangun rumah bagi korban bencana dan konflik dengan dukungan kuat dari dunia Internasional serta NGO lokal, nasional, membuat daerah ini cepat berubah.

jalan-MERANGK AI K ATA DAMAI

46

jalan dalam kota, terutama di Banda Aceh, Aceh Besar dan sejumlah kawasan luluh-lantak lain di kabupaten/kota, kini semua sudah mulus bahkan tidak sedikit ruas dibangun dengan aspal hotmix, tersedianya sekolah refresentatif, fasilitas kesehatan, perkantoran megah, lebarnya lapangan terbang tumbuhnya pelabuhan berskala internasional di Banda Aceh dan Aceh Jaya serta tumbuhnya ratusan bahkan ribuan toko berkontruksi beton di semua jalan dalam wilayah ibukota provinsi dan kabupaten.

Selain itu, banyak hotel bermunculan dengan fasilitas mewah dengan harga mendunia, restoran megah juga pusat pembelanjaan serta pusat jajanan bagi kaum remaja, dewasa, politikus serta uhasawan dan aktivis berjejeran di hampir semua pelosok kota di Banda Aceh, semakin menguatkan fakta. Kalau daerah bekas konflik ini, sekarang sudah lebih maju dari sebelumnya dan masyarakat yang menetap di ibukota provinsi tentu hidupnya lebih sejahtera dan mewah.

Fakta ini, didukung oleh kondisi keramaian pada berbagai sudut kota dan jalanan yang macet, karena banyak kenderaan roda dua dan empat yang lalu-lalang serta terus bertambah pascatsunami, juga cukup banyak warga yang nongkrong bebas di berbagai sudut kota untuk menikmati santapan ringan siang malam, lebih menyakinkan semua pendatang saat berkunjung ke Aceh langsung berpikir mewahnya hidup warga di sini.

Menghabiskan waktu berjam-jam untuk membahas permasalah bangsa dalam berbagai sudut pandang di café-café dan warung kopi terkenal di Banda Aceh dan daerah kabupaten/kota lain di bumi syariat Islam ini tidaklah gratis. Bahkan sekali duduk mimum kopi menyantap makanan ringan di tempat semacam ini bisa menghabiskan biaya hampir setahun gaji warga miskin pekerja panjat kelapa di pelosok desa.

Muncul anggapan warga Aceh kini hidup sejahtera, juga dikuatkan oleh hasil survei Bank Dunia, dengan menyebutkan saat ini populasi warga miskin di Aceh sudah menurun, meskipun saat bencana terjadi kerusakan dan kerugian besar akibat tsunami, tetapi setelah dilakukan perbaikan menunjukkan ada perubahan positif dari upaya rekonstruksi. Kemiskinan turun dari sebelumnya berada pada posisi 40 persen menjadi 26,5 persen tahun 2006, dan BPS Aceh menyebutkan

47 tahun 2007 turun menjadi 25 persen dan 2008 menjadi 23 persen.

Turunnya angka kemiskinan di Aceh,  menjadi titik terang kalau daerah ini sudah sedikit maju. Lalu pertanyaannya, benarkah angka kemiskinan di Aceh sudah turun drastis dan apa ukuran masyarakat Aceh kini hidup lebih sejahtera, lalu bagaimana dengan korban konflik yang hingga kini masih banyak belum tertangani, ini menjadi pekerjaan selanjutnya yang mesti dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan.

Sebab, salah-salah menangani masalah rekontruksi pembangunan kembali rumah korban konflik, janda dan anak yatim, akan menjadi titik rawan dalam merawat perjalanan Aceh damai untuk terus bertahan langgeng seperti harapan semua pihak.

Kondisi ini diperparah lagi, dengan banyak kegiatan pembangunan di bumi serambi mekkah muncul dadakan, tidak melalui proses pertimbangan matang, sehingga menimbulkan berbagai kritikan terhadap proses pembangunan tersebut, kondisi yang sama juga terjadi dalam proses menyakinkan rakyat dari pemerintah terkait dengan situasi keamanan Aceh, apakah sudah benar-benar ada jaminan pascarekontruksi Aceh warga bisa terus hidup tenang, aman tentram tanpa ada lagi desingan peluru.

Faktanya, hinggá kini masih ada sebagian kecil warga yang masih hidup dalam ketidakpastian, terutama mereka yang berada di kawasan terpencil pelosok desa di Aceh, munculnya spanduk pro-kontra antara tolak kisah, antara satu kelompok dengan kelompok lain.

Juga maraknya aksi perampokan bersenjata, penculikan hampir saban hari menghiasi lembaran berita media cetak lokal dan nasional saat ini, juga menjadi tanyangan menarik dari media elektronik, serta maraknya aksi pengrusakan kantor BRA seperti yang terjadi di Aceh Barat baru-baru ini, juga menunjukkan dalam proses reintegrasi masih menimbulkan masalah.

Meski saat ini, tidak sedikitpun dari masyarakat Aceh yang terbentuk pikiran, untuk kembali hidup seperti pernah terjadi pada lima atau 30 tahun silam, sebab selama itu pula, warga tidak pernah merasakan adanya ketidakadilan, karena apa yang sebelumnya terjadi semua simbol serta perlakukan buruk sering menimpa mereka.

MERANGK AI K ATA DAMAI

48

Disahkan UUPA menjadi undang-undang otonomi khusus dengan kewenangan luas pada tahun 2006 lalu, memunculkan harapan besar bagi rakyat untuk terus bisa hidup di tanah makmur dan memunculkan perubahan fundamental dalam berbagi segi kehidupan, tetapi realitasnya hingga empat tahun usai MoU Helskinki dan dua tahun efektif berlakunya UU Pemerintahan Aceh, masih juga belum nampak perubahan signifikan, menyebabkan berbagai perangkat penduduk dari UUPA belum tuntas dibahas oleh DPR Aceh, pelabuhan bebas Sabang masih terkendala aturan lain dari pusat.

Hambatan dalam pembangunan kembali Aceh, tidak hanya tersangkut pada tingkat pusat, tetapi kinerja Pemerintah Aceh di bawah pimpinan Irwandi– Muhammad Nazar bersama kabinetnya, dinilai oleh banyak pihak termasuk pengamat agak lamban, banyak program pembangunan terhambat pada proses pelaksaan di lapangan, begitu juga pembangunan kembali kawasan pantai barat yang luluh-lantak dihantam tsunami masih belum ada perubahan, maka tidak heran jika jalan Banda Aceh–Meulaboh hingga saat ini sulit dilalui, program

peumakmu nanggroe sebagai andalan memajukan warga tingkat perdesaan dan

kawasan perdalaman masih jalan di tempat, begitu juga dengan anggaran belanja daerah yang teralokasi triliyunan rupiah tiap tahun tersisa. Ini menjadi indikator bahwa Pemerintah Aceh masih menemui titik lemah dalam memacu percepatan pembangunan.

Dalam melahirkan Aceh baru, pemerintah dan segenap pengambil kebijakan harus melakukan berbagai terobosan, terutama dalam menyusun program pembanguan secara terukur, terstruktur, bermanfaat dan bukan kegiatan studi banding serta mampu membangkitkan ekonomi rakyat agar rakyat benar-benar dapat hidup sejahtera dan lebih penting lagi membasmi pelaku korupsi dan buat kebijakan berpihak lepada rakyat, menghidupkan pertanian, perkebunan rakyat dengan menyediakan fasilitas pendukung seperti kilang padi, pabrik serta membaguskan irigási sawah petani dan mendidik pemuda Aceh dengan memberikan berbagai kemudahan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi agar pada saatnya nanti para lulusan tersebut bisa mengabdikan diri membangun Aceh.

49 Kalau program seperti tertera di atas bisa dilaksanakan, setidaknya pemegang amanah rakyat bisa sedikit memenuhi harapan masyarakat Aceh, tepatnya delapan bulan usai Aceh dilanda gempa bumi dan tsunami, ribuan masyarakat dari berbagai pelosok ini, berduyun-duyun datang ke pelataraan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, mereka ke sini untuk menyaksikan langsung prosesi penandatanganan kesepakatan damai antara pemerintah RI-GAM, Senin 15 Agustus 2005 pukul 16.00 WIB, yang disiarkan melalui siaran telivisi dari Helsinki.

Nurdin (45) sopir angkutan umum jurusan Banda Aceh–Medan, usai menyaksikan prosesi serimonial penadatanganan MoU, menyebutkan setelah perdamaian dicapai, berbagai ganguan di jalan tidak terjadi lagi, begitu juga dengan aksi kekerasan yang kerap menimpa pengemudi truk dan bus serta desingan peluru benar-benar hilang di bumi serambi mekkah.

Harapan warga tertindas ini sepertinya dikabulkan oleh Allah SWT, empat tahun Aceh damai, gedung-gedung berdiri kokoh dan megah di berbagai sudut kota, jalan mulus, swalayan serta ratusan bahkan ribuan toko tumbuh, cafe-cafe mulai dari kelas rendahan sampai untuk kelas tinggi berjejeran di mana-mana, mobil berbagai jenis terus lalu-lalang di jalan raya dan pelosok desa, membuat jalanan jadi macet berjam-jam. Ini menunjukkan daerah paling barat Indonesia kini sedikit maju dibandingkan lima tahun silam.

Fakta ini seolah membenarkan apa yang disampaikan Menko Kesra Alwi Shihab ketika memberi sambutan usai menyaksikan penandatangan kesepakatan damai antara pemerintah-GAM, di halaman Masjid Baiturrahman Banda Aceh, kala itu dia minta kepada semua pihak untuk memelihara perdamaian.

Perdamaian ini, sebagai anugerah dari Allah SWT, setelah Aceh berkonflik dan dilanda musibah bencana alam gempa dan tsunami, rakyat terus hidup dalam penderitaan, tetapi mulai hari ini, penderitaan berubah menjadi kebahagiaan, karena mulai saat ini berbagai bentuk kekerasan, konflik bersenjata tidak terdengar lagi, mari membangun Aceh dan Indonesia kearah yang lebih baik.

Pesan Alwi Shihab tersebut sangat berbeda dengan apa yang terjadi dua tahun setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diproklamasikan, tepatnya bulan Juni 1948, presiden pertama Ir Soekarno (Bung Karno) terbang ke Aceh.

MERANGK AI K ATA DAMAI

50

Setelah Yogyakarta, ibu kota NKRI, direbut kembali oleh Belanda saat agresi kedua, hanya Aceh-lah yang menjadi wilayah NKRI, sedangkan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia saat itu telah menjadi negara bagian yang ibukotanya di Den Haag, Negeri Belanda.

Ketika itulah, Bung Karno terbang ke Aceh. Seraya mengeluarkan air mata, bertempat di Hotel Aceh yang kini menjadi kenangan karena telah dibongkar, Soekarno meminta rakyat Aceh agar bersedia membantu perjuangan menegakkan NKRI secara utuh.

Rakyat Aceh pun dengan tulus menyatakan dukungannya dengan menghimpun sejumlah uang, emas murni, dan harta benda lain ketika itu, lalu disumbangkan untuk membeli dua buah pesawat terbang, yang diberi nama Seulawah RI 001 dan RI 002.

Pengorbanan besar demi tegaknya NKRI dengan menyumbang sejumlah uang dan perhiasan emas serta harta benda lain dari rakyat Aceh ketika itu dengan harapan bisa hidup lebih tenang, aman, dan sejahtera. Ternyata, harapan sang "donatur" itu belumlah menjadi kenyataan pada saat itu, bahkan sampai sekarang-pun masih banyak warga di pedesaan hidup di bawah garus kemiskinan.

Daerah paling barat Indonesia yang kini berubah nama menjadi Aceh berdasarkan UUPA No.11 tahun 2006 sebagai perubahan dari nama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sesuai UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus, masih tetap saja hidup dalam ketidakpastian. Kondisi ini tentu ironis dengan usia Republik ini yang genap 64 tahun pada tanggal 17 Agustus 2009.

Namun kegelisahan rakyat, setelah hidup dalam ketidakpastian dalam kurun waktu lama, pasca-MoU Helsinki, kehidupan rakyat Aceh jadi berubah, kalau dulu menjadi donatur dengan tangan selalu di atas, berubah menjadi penerima, terutama pascadaerah ini dilanda bencana alam gempa bumi dan tsunami.

Dan kini, Aceh mulai memasuki babak baru, pertanyaannya apakah akan kembali ke janji pada masa Soekarno sampai Megawati atau melaksanakan program sesuai dengan UUPA atau undang-undang tersebut menjadi pajangan hanya dibaca dan disimpan, semua terpulang kepada orang Aceh. ***

Tinta Damai

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 59-65)