• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Ulama dalam Mempertahankan Perdamaian Aceh

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 107-113)

MERANGK AI K ATA DAMAI

94

dibuktikan dalam sejarah dengan begitu banyaknya kontribusi ulama selama pemerintahan Aceh, terutama sebagai sumber meminta fatwa dan pemecah masalah (problem solver) untuk mencapai perdamaian (islah).

Bagaimana potensi ulama dalam mempertahankan perdamaian Aceh? Langkah apa saja yang mereka tempuh untuk meredam konflik di Aceh? Untuk menemukan jawaban tersebut tidak ada salahnya bila kita mengawali pembahasan ini dengan membuka pintu sejarah Aceh masa silam karena dari perjalanan sejarah ada pelajaran berharga yang dapat dipetik untuk dijadikan contoh di masa sekarang.

Ulama dalam lintasan sejarah

Sebagaimana catatan sejarah, sepanjang hampir empat abad lamanya semenjak Islam masuk ke wilayah Aceh, 35 orang penguasa mengendalikan kerajaan di Aceh, yaitu 31 orang sultan dan empat orang ratu (sultanah). Fakta kejayaan itu tidak terlepas dari campur tangan sejumlah ulama besar yang membantu sepenuhnya dalam membuat kebijakan-kebijakan dan memberikan kontrol kepada pemerintah untuk mempertahankan keutuhan Kerajaan Aceh Darussalam.

Keterlibatan ulama erat sekali hubungannya dengan sejarah Kerajaan Aceh Darussalam dari sejak era kejayaannya hingga era kemundurannya. Sebagaimana pengakuan dunia bahwa kerajaan Aceh Darussalam telah mencapai puncak keemasannya di era pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, dan setelah itu terus menurun teristimewa setelah wafat Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat himgga ratu terakhir, Kamalat Syah. Sebutlah di dalamnya keterlibatan beberapa ulama besar seperti Syaikh Nuruddin Ar-Raniry yang mendapat jabatan sebagai Qadhi Malikul Adil atau sebutan lainnya Mufti Besar Kerajaan Aceh Darussalam. Beliau telah membantu menyelesaikan persoalan perebutan kekuasaan (kudeta) politik yang terjadi di masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah Iskandar Sani hingga setelah mangkatnya, Syaikh Nuruddin Ar-Raniry turut berperan serta dalam tegaknya pemerintahan para Ratu. Segala alasan yang dijadikan alat oleh segelintir politikus avonturir untuk merebut kekuasaan dengan cara menentang diangkatnya raja wanita, dapat dipatahkan oleh Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, karena beliau memang seorang ulama besar yang

95 mempunyai pengetahuan luas dalam segala bidang; politik, sejarah, tafsir, hadits, fiqh, filsafat/mantik, tasawuf, dan sebagainya.

Kepergian Syaikh Nuruddin Ar-Raniry dari kehidupan negara masyarakat di Aceh, diganti oleh seorang ulama besar, negarawan, dan ahli hukum terbesar yaitu Syaikh Abdurrauf Fansury yang lebih terkenal dengan lakap Teungku Syiah Kuala.

Salah satu hal yang perlu diketahui, bahwa pada akhir tahta Ratu Kamalat Syah, Syaikh Abdurrauf Syiah Kuala berpulang ke rahmatullah dalam usia hampir seabad, di mana selama hayatnya terus menerus menjadi Qadhi Malikul Adil atau Mufti Besar Kerajaan Aceh Darussalam, sejak dari Ratu Safiatuddin sampai kepada Ratu Kamalat Syah.

Bukanlah hal yang mustahil, sekira Syaikh Abdurrauf Syiah Kuala masih hidup, Ratu Kamalat Syah tidak akan dapat diturun-tahtakan.

Dari wacana di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran ulama dalam masyarakat Aceh yang mayoritasnya Islam, memiliki kedudukan tersendiri. Oleh karenanya, ulama sama pentingnya dengan kehadiran umara (pemimpin) yang adil, para aghniya (saudagar) yang dermawan, kaum fuqara (fakir miskin) yang terpuji akhlaknya, para birokrat pemerintahan yang peduli, dan para penguasa keamanan (pejabat TNI/POLRI) yang jujur dan terpercaya.

Potensi Ulama

Di antara mulianya ulama, syari’at Islam yang telah diperjuangkan oleh rakyat Aceh dapat dikawal oleh ulama, karena syari’at Islam mendukung tercapainya perdamaian abadi jika masyarakat Aceh beriman dan bertakwa. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A’raaf: ayat 96, yang bunyinya: “Jika sekiranya penduduk

negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkat dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” Kata ‘berkat’ yang tersurat

dalam ayat tersebut mengandung makna apa-apa yang Allah SWT berikan kepada mereka karena keimanan dan ketakwaan padaNya, dan itulah kebaikan yang terus-menerus, tiada hentinya.

Bukah hanya itu, ulama Aceh mampu berdakwah dengan memanfaatkan

MERANGK AI K ATA DAMAI

96

budaya apa yang berkembang dalam masyarakat. Tidak heran banyak lahir penyair yang ulama disebabkan masyarakat Aceh sangat menggemari hikayat pada zamannya. Kegigihan sang ulama dalam menjaga akidah umat lewat bersyair secara tidak langsung menjelaskan kepada kita bahwa ia masih tetap menjalankan peranannya sebagai ulama yang selalu menganjurkan masyarakat mengikut suruh dan menjauhkan tegah, amar ma’ruf nahi mungkar.

Begitu pula dalam hal pendidikan, sejak dulu masyarakat Aceh cenderung memperkenalkan syari’at Islam kepada anak-anaknya dengan belajar agama di pesantren-pesantren sebelum ada sekolah formal seperti sekarang ini. Pusat pendidikan Islam yang banyak dipimpin oleh para ulama ini memiliki beberapa tingkatan. Pendidikan rendah dimulai di meunasah (semacam surau), tingkat menengah berlangsung di rangkang (semacam pesantren rendah), tingkat lebih lanjut berlangsung di dayah (pesantren) dan dayah manyang (pesantren tinggi).

Para ulama sangat akrab dengan kegiatan keagamaan, baik dalam pengajaran agama maupun penyampai khutbah jum’at dan tabligh. Mereka tentu sangat menguasai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits sebagai rujukannya. Para ulama yang menjadi ikutan masyarakat ini, terus menanamkan ajaran agama dan mengajarkan kedamaian secara sederhana kepada anak-anak maupun untuk lingkungan yang lebih luas.

Demikianlah masyarakat Aceh menjadikan ulama sebagai “pelabuhan” bertanya dan meminta fatwa tentang kompleksnya problem kehidupan. Ulama begitu mulia dan terpandang karena selain pewaris para nabi (waratsatul anbiya) juga memiliki keluasan dan kedalaman ilmu: agama dan umum.

Allah SWT telah mengabarkan tentang ulama secara eksplisit dalam dua ayat. Pertama, QS. Fathir ayat 28, yang berbunyi: “Dan demikian pula di antara

binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. Kedua, Allah SWT juga berfirman dalam QS. Asy-Syu’ara ayat 197 yang

bunyinya: “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama

97 Ada sebuah catatan penting yang tersirat dari kedua ayat di atas, yaitu suatu penegasan bahwa telah menjadi sunatullah adanya keanekaragaman yang terhampar di atas bumi. Ketentuan ini merupakan hukum alam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Demikianlah, Allah SWT menegaskan hal ini sehubungan dengan keanekaragaman tanggapan manusia terhadap para nabi dan kitab-kitab suci yang diturunkan Allah (QS. Fathir: 25).

Dengan demikian, keanekaragaman dalam kehidupan mereka merupakan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan pendapat dalam bidang ilmiah, yang selanjutnya bisa sampai kepada keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut sistem kenegaraan dan sistem kepemimpinan. Jadi, perbedaan adalah rahmat Allah yang tidak patut dijadikan perdebatan kusir atau benih pertikaian dan permusuhan.

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, peran ulama bagi masyarakat Aceh telah diperlihatkan sejak Islam menapaki Bumi Serambi Mekkah. Di awal perkembangan Islam di Aceh, ulama sekaligus menjadi orang kepercayaan para sultan (dan sultanah) sampai geusyik memiliki seorang ulama sebagai pendampingnya dalam memecahkan permasalahan di masyarakat.

Sikap yang harus diambil

Setelah penandatanganan MoU Helsinki, masyarakat Aceh merasakan damai dan tentram dalam kehidupan sehari-harinya. Namun sampai kapan kedamaian itu akan tetap bisa dinikmati? Siapapun belum bisa memastikan. Karenanya, semua pihak perlu ambil bagian dalam menjaga perdamaian itu. Ulama sebagai komponen terpenting dalam masyarakat juga memiliki peranan wahid yang selalu diharapkan umat.

Tugas ulama dalam meredam konflik di Aceh: Pertama, masalah dendam. Dendam adalah pengejawantahan dari pergolakan yang timbul dari hati. Banyak rencana kejahatan (makar) dan kemungkaran yang dirancang asal mulanya atas dasar ketidakpuasan hati terhadap kebijakan pemerintah. Ini merupakan wilayah psikologi agama, semakin merontanya untuk dibebaskan, ia semakin “kesakitan”. Dalam perdamaian di Afrika Selatan, tanggung jawab meredamkan dendam

MERANGK AI K ATA DAMAI

98

masyarakat Apatech diberikan kepada kaum gereja (ulamanya kaum Nasrani). Kedua, rasa benci. Masyarakat selama ini tidak percaya lagi dengan janji-janji karena merasa kepercayaan yang pernah diberikan kepada pejabat dan tokoh masyarakat, diselewengkan secara tercela dan berimbas kepada masyarakat pula. Dari sinilah timbul rasa benci yang begitu membuncah.

Ketiga, rasa ketidakadilan. Ulama sangat dipercayakan untuk menumpas ketidakadilan. Banyak sekali hadits nabi menerangkan tentang ulama berkaitan dengan potensi ulama dalam hal ini. Ulama dituntut untuk selalu berpijak pada kejujuran, kebenaran, keadilan, dan kepentingan kaum dhuafa.

Untuk memaksimalkan peran ulama dalam menjaga perdamaian ini tidak bisa terlepas dari rasa kepercayaan kita yang begitu besar kepada para ulama. Meski kita percaya kepada pemerintah (umara), adakalanya suatu waktu timbul rasa keraguan dalam hati. Berbeda dengan rasa percaya pada ulama. Meski tak pernah bertemu dan berbicara dengan ulama hati kita bisa dengan mudah menerima perkataan mereka. Perumpamaan hati ibarat air mengalir tanpa ada hambatan.

Ulama juga memiliki murid dan pengikutnya yang banyak. Tentu akan dengan mudah mengajak mereka agar terus menjaga kedamaian ini.

Sejatinya, sudah saatnya kini umara dan ulama bekerja bersama-sama masyarakat merawat perdamaian untuk kebaikan bersama. Umara dan ulama juga perlu menumbuhkan kesadaran politik (wa’y assiyasi) Islam di tengah-tengah masyarakat. Kesadaran politik islam adalah pandangan dunia yang dibangun dengan landasan ideology Islam (Zallum, 2004:88). Bila tumbuh kesadaran ini masyarakat Aceh akan mampu membentengi dirinya dari pengaruh gembong makar dari luar dan dalam yang tidak senang akan perdamaian ini. Dengan tercapainya kesepakatan damai di Aceh maka semua lapisan masyarakat telah bahagia dan terbebas dari ketakutan. Betapa nikmatnya hidup dalam keadaan damai karena masyarakat dapat beribadah, belajar, mencari rezeki dengan tenang. Semoga kedamaian yang sedang dinikmati ini akan terus berlanjut untuk selamanya.***

Sebagai negeri yang sejarah perkembangannya diwarnai dengan warna-warni konflik sudah sepantasnya seluruh rencana dan pelaksanaan pembangunan pascakonflik dirancang dan dilaksanakan di atas landasan sensitivitas konflik. Sensitivitas adalah pandangan, perasaan, dan tindakan yang dibangun atas kepekaan terhadap hal-hal yang diperkirakan dapat menjadi faktor penghambat dan pendorong capaian dari sebuah hubungan. Untuk itu, sensitivitas konflik dapat dimaknai sebagai usaha perumusan dan pelaksanaan suatu pandangan, perasaan, dan tindakan yang mempertimbangangkan faktor pemicu konflik dan pada saat yang sama juga mempertimbangkan faktor-faktor pendorong perdamaian.

Pertanyaan kuncinya adalah, apakah seluruh rencana masa depan Aceh dan pelaksanaannya yang sudah, sedang, dan akan dibangun mulai dari gampong sampai dengan nanggroe sudah menerapkan pendekatan sensitivitas konflik? Untuk menjawabnya tentu membutuhkan penelitian mendalam terhadap pelaku perencana dan pelaku pelaksana pembangunan di seluruh tingkatan pembangunan. Namun, jika dilihat dari kacamata analisis pohon masalah ditingkatan akibatnya maka bisa dikatakan bahwa sensitivitas konflik belum menjadi pendekatan dalam

Risman A Rachman

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 107-113)