• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perdamaian Aceh Bertopeng SebelahThamren Ananda

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 79-87)

Sekjend DPP-PRA

Sekitar delapan puluh persen dari semua perang saudara (civil war) yang ada di dunia ini menimpa seperenam dari penduduk termiskin dunia. Perang saudara selalu disebabkan oleh kepentingan ekonomi. Konflik Aceh yang dimulai sejak tahun 1976, juga dilandasi secara kuat oleh kepentingan—ketimpangan ekonomi pusat daerah. Khususnya dengan muncul perusahaan Multi National Corporate (MNC) (PT. Exxon Mobil Oil) yang mengekplorasi gas di Aron, Aceh. Produksi gas alam Aron pertama dimulai pada tahun 1978. kalau dilihat dari fase lahirnya pemberontakan Aceh terhadap Republik yang mulai dideklarasikan pada tahun 1976 memiliki kaitan yang sangat erat dengan kehadiran perusahaan eksplorasi gas alam di Aceh.

Konflik yang munculpun bukan konflik horizontal, tetapi konflik vertikal pusat-daerah yang kemudian melahirkan perang sipil dengan kristalisasi munculnya nasionalisme ke-Acehan. Secara umum dapat dilihat dari berbagai peristiwa sejarah munculnya nasionalisme (Negara bangsa) selalu diawali dengan munculnya ekspansi ekonomi global dalam mengeksplorasi kekayaan alam di suatu daerah. Kondisi ini menjadi basis awal bagi munculnya semangat nasionalisme khususnya

Almost all wars are now civil wars. Many of the causes are economic.

MERANGK AI K ATA DAMAI

66

dalam hal perebutan kekuasaan atas kekayaan alam di daerah tersebut antarkelas menengah (borjuasi) pribumi dengan borjuasi pendatang (MNC). Di Aceh borjuasi pendatang dilembagakan sebagai perwakilan pemerintah pusat walaupun orang asing, sehingga kontradiksi yang muncul daerah dan pusat.

Konflik panjang dan telah melahirkan begitu banyak derita yang begitu sulit untuk dilupakan, telah membuat Aceh porak-poranda dalam berbagai sektor. Baik itu secara ekonomi maupun politik. Secara politik telah mengakibatkan hilangnya kondisi kondusif di Aceh dan hancurnya rasa saling percaya dengan pemerintah pusat. Kemudian mencapai klimaks pada awal tahun 2000 dengan mulai memudarnya semangat kebangsaan Indonesia dan mulai masifnya semangat ke-Acehan dalam bentuk Negara bangsa. Sedangkan secara ekonomi, kondisi Aceh dalam keadaan konflik, sudah pasti akan sulit terjadi pertumbuhan ekonomi apalagi dalam hal pemerataan ekonomi—sudah pasti kemiskinan bagaikan wabah penyakit yang begitu cepat meluas.

Perjalanan konflik besenjata di Aceh yang begitu panjang dan melelahkan, diperparah lagi dengan terjadinya bencana tsunami yang dahsyat, semakin membuat Aceh terpuruk secara ekonomi dan politik. Namun konflik sebesar apapun, ketika mengalami klimaks (puncak dari konflik) pasti akan menemukan muara penyelesaiannya. Begitu juga dengan konflik Aceh, tahun 2005 merupakan babak baru dalam sejarah perjalanan Aceh. Di tahun tersebut telah terjadi satu kesepahaman bersama antara pihak berkonflik untuk menyelesaikan konflik, yang kemudian dikenal dengan MoU Helsinki. Karena konflik bagaikan mata rantai yang sulit diputuskan, maka penyelesaian konflik setelah mencapai puncak konflik biasanya akan melahirkan konflik baru. Konflik baru ini akan terus mencul bila akar dari konflik tidak pernah bisa diselesaikan secara menyeluruh.

Kalau dilihat secara umum konflik Aceh mulai muncul akibat dari kesenjangan ekonomi antara daerah dan pusat, kemudian secara otomatis meluas menjadi ladang kemiskinan, maka akar konflik Aceh bisa dipastikan adalah persoalan ekonomi kesejahteraan. Dari sisi lain yang dapat menguatkan kesimpulan tersebut adalah dengan mulai terjadinya perubahan status para pelaku konflik yang dulunya berbicara keadilan ekonomi dan politik mulai berubah ke arah penguasaan alat-alat

67 produksi atau mulai menjadi orang-orang baru yang menguasai ekonomi atau telah terjadi perubahan status kelas sosial yang saling berkontadiksi. Kalau kondisi ini terus berjalan tanpa ada pemerataan ekonomi atau peningkatan kesejahteraan— melalui pembukaan lapangan kerja, maka konflik baru atas perdamaian pascakonflik panjang akan terus terawat dan pada akhirnya juga akan mencapai puncak atau klimaks dari konflik baru tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena perdamaian abadi tidak hanya ditandai oleh berkurangnya aktivitas konflik militer, tetapi perdamaian abadi akan selalu ditandai oleh berkurangnya angka kemiskinan.

Lalu bagaimana mengisi perdamaian untuk mengurangi angka kemiskinan agar potensi munculnya konflik baru dapat diantisipasi dari sekarang? Ini sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah dalam hal pemberantasan kemiskinan atau lebih luas dalam hal kebijakan ekonomi Pemerintah Aceh pasca-MoU Helsinki. Apakah pemerintahan baru (eksekutif dan legislative) mampu melakukan perubahan yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh atau hanya melanjutkan pola kebijakan ekonomi pemerintahan Aceh sebelumnya—di masa konflik.

Kebijakan pembangunan ekonomi Pemerintah Aceh dapat dilihat dalam dua hal penting pertama pengalokasian anggaran—APBA dan kedua penggarapan sektor ekonomi dengan menganut sistem fragmentasi atau leading sector (terfokus).

Dalam pengalokasiaan anggaran APBA/politik anggaran, akan sangat menentukan dalam pemberantasan kemiskinan. Pemerintah harus mengalokasikan dana yang besar ke sektor yang jumlah penduduk miskin lebih banyak. Di Aceh jumlah penduduk miskin yang tinggi berada di sektor pertanian, dan mayoritas penduduk Aceh juga bekerja di sektor tersebut. Bahkan hampir mencapai 70 persen penduduk Aceh bermatapencaharian sebagai petani (dalam makna yang luas). Namun anehnya alokasi anggaran untuk sektor pertanian tidak lebih 6 persen dari jumlah APBA dan alokasi anggaran APBA yang paling besar mencapai angka diatas 50 persen adalah untuk kepentingan pejabat dan birokrasi dengan jumlah penduduk yang menjadi birokrat tidak lebih dari 10 persen dari jumlah penduduk Aceh. Artinya 70 persen penduduk Aceh memperebutkan kue APBA sebesar 6 persen sedang 10 persen penduduk Aceh memperebut kue APBA sebesar 50

MERANGK AI K ATA DAMAI

68

persen lebih. Ini satu fakta kesenjangan ekomoni saat ini. Dan kalau kondisi ini terus dipertahankan maka pemberantasan kemiskinan hanya akan menjadi selogan pemerintah saja. Karena pemerintahan memang tidak melakukan tindakan yang signifikan dari segi pengalokasiaan anggaran untuk sektor yang mayoritas penduduk dan juga tinggi angka kemiskinan.

Selain kebijakan anggaran yang harus berpihak kepada mayoritas rakyat, maka kebijakan ekonomi pemerintah juga harus fokus dalam pemberantasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak akan menjamin mampu menekan angka kemiskinan, bila tidak terjadi pemerataan. Secara empiris konsep ekonomi yang cenderung menganut pemerataan akan sedikit lamban dalam mengejar angka pertumbuhan ekonomi. Sistem ekonomi yang menganut sistem ekonomi pemerataan walaupun lambat tetapi memiliki fondasi yang kuat. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan semua rakyat, bukan segelintir pengusaha dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga ekonomi pemerataan biasanya lebih kuat dalam menghadapi berbagai kondisi krisis ekonomi, dan sistem ekonomi pemerataan sering diibaratkan sebagai sistem ekonomi seperti piramida.

Namun sebaliknya bila ingin mengejar pertumbuhan maka harus mengabaikan pemerataan ekonomi. Ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan sering disebut dengan ekonomi developmentalis yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada segelintir pengusaha. Ekonomi seperti ini sering juga disebut sebagai ekonomi piramida terbalik, sehingga sistem ekonomi ini tidak kuat dalam menghadapi berbagai krisis ekonomi. Dan sepertinya konsep mengejar pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan pemerataan merupakan pilihan sistem ekonomi Pemerintah Aceh saat ini, kalau dilihat dari politik anggarannya dan kebijakan ekonomi mikro/ makro lainnya.

Kebijakan ekonomi yang harus fokus adalah dalam menggarap sektor ril. Saat ini Pemerintah Aceh tidak memiliki leading sektor dalam menumbuhkan ekonomi daerah. Dan sektor ril yang paling berpotensi adalah pertanian. Hal ini disebabkan dua faktor penting. Pertama komoditas pertanian saat ini sedang menjadi unggulan, di tengah krisis pangan global. Seharusnya krisis pangan global bukan menjadi petaka bagi pemerintah kita, tetapi harus menjadi peluang bagi

69 pemerintah dan rakyat Aceh. Kedua jumlah lahan pertanian yang masih sangat luas dan ditunjang oleh keadaan alam yang sangat subur. Aceh dan Indonesia pada umumnya termasuk wilayah tropis yang terbesar kedua di dunia setelah Brazil yang luas wilayah tropisnya mencapai angka 27 persen sedangkan Indonesia memiliki 11 persen wilayah tropis.

Krisis pangan dunia disebabkan oleh beberapa faktor, pertama disebabkan oleh jumlah lahan pertanian yang mulai sedikit akibat dari banyaknya lahan pertanian yang terkonversi ke industri. Keberadaan teknologi yang mampu mengolah komoditas pertanian menjadi energi alternatif (bio-energi) telah menjadi faktor kedua meningkatnya kebutuhan komoditas pertanian dewasa ini.

Kondisi inilah yang membuat masyarakat dunia mulai terpikat dengan bio-energi sebagai alternatif pengganti minyak bumi. Konversi komoditas pangan menjadi bio-energi secara langsung telah meningkatkan kebutuhan bahan pangan dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan bahan pangan bukan hanya diperebutkan oleh umat manusia dewasa ini, tetapi juga manusia telah berkompetisi dengan mesin dalam memperebutkan bahan pangan tersebut.

Keterpikatan terhadap konversi komoditas pangan menjadi bio-energi sebagai pengganti minyak bumi disebabkan bio-energi bisa diperbaharui, sedangkan minyak bumi membutuhkan waktu berjuta-juta tahun untuk mengubah fosil-fosil menjadi minyak bumi sebagai energi. Tidak mengherankan bila dunia sekarang menghadapi satu masalah besar dalam persediaan pangan bagi kelangsungan hidup. Keadaan ini telah mengalihkan perhatian para pengusaha untuk melirik agribisnis sebagai bisnis yang menjanjikan, khususnya pengusaha asing. Seperti

Agro Indomas, Charoen Indonesia, Grop Golden Hope, Oriental Holding Bhd, Kulim Bhd, Grup Guthrie, Kuala Lumpur Kepong Bhd, Grup Sime Darby dan Tradewinds Bhd,

yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit. Dan masih banyak lagi yang mulai menjajaki untuk investasi sektor agribisnis di Indonesia.

Indonesia merupakan daerah yang paling besar lahan untuk komoditas pangan, bila dibandingkan dengan negara-negara Eropa, yang sebahagian besar wilayahnya telah dipenuhi oleh berbagai industri. Begitu juga dengan Cina yang memiliki penduduk terbesar di dunia dengan luas wilayah yang lumayan besar, sementara

MERANGK AI K ATA DAMAI

70

lahan pertaniannya telah terkonversi menjadi areal industri. Untuk mengantisipasi kebutuhan pangan masa depan, Cina mulai membangun basis pertanian yang kuat dan modern di Afrika.

Fakta di atas telah menunjukkan betapa pentingnya sektor pertanian untuk dikembangkan, apalagi jumlah penduduk Aceh mayoritas bekerja di sektor tersebut dan jumlah angka kemiskinan yang paling tinggi juga berada dalam sektor pertanian. Maka sudah saatnya Pemerintah Aceh fokus dalam membangun ekonomi Aceh ke depan dengan menjadikan pertanian modern sebagai leading sektornya.

Dengan dukungan pemerintah, mulai dari politik anggaran sampai pada manajemen produksi dan pemasaran, akan mampu mendorong pertanian Aceh terkonversikan dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Dengan demikian ke depan Aceh akan menjadi daerah agribisnis yang kuat di Indonesia. Sehingga jumlah pengangguran dan kemiskinan akan mulai teratasi dengan banyaknya peluang/lapangan kerja. Dan tingkat kesejahteraan petani akan semakin meningkat, sehingga akan mendongkrat pendapatan ekonomi sekitar 70 persen penduduk Aceh.

Dengan demikian perdamaian abadi yang terus diharapkan oleh banyak pihak akan semakin mudah untuk terus dipertahankan, karena akar dari konflik adalah kesenjangan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat, termasuk dalah hal kriminalitas, selalu dilandasi oleh faktor ekonomi. Perdamaian dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan atau saling mendahului. Keduanya harus seiring-sejalan, apabila perdamaian tidak dibarengi dengan kesejahteraan maka perdamaian sebagai solusi dari konflik selalu akan menjadi mata rantai yang tidak terputuskan, akan melahirkan berbagai potensi konflik baru. Perdamaian harus diisi dengan kesejahteraan agar terus langgeng sepanjang masa. Untuk itu Pemerintah Aceh harus memiliki kebijakan pembangunan ekonomi yang terfokus—memiliki leading sector. Dan sektor pertanian merupakan sektor unggulan, selain krisis pangan dunia yang mengakibatkan komuditas pertanian menjadi buruan masyarakat dunia, Aceh juga merupakan daerah yang subur akan pertanian. Sehingga perdamaian bisa mengubah wajah Aceh dari masa kelam

71 menjadi puncak kejayaannya.

Apabila perdamaian di Aceh tidak mampu diisi dengan peningkatan kesejahteraan dan pengurangan angka pengangguran serta kemiskinan, maka perdamaian di Aceh bertopeng sebelah.

Di satu sisi semua orang berhasrat untuk terus mempertahankan perdamaian, sedangkan di sisi lain perdamaian hanya mampu mensejahterakan segelintir rakyat Aceh. Dan mayoritas rakyat Aceh akan hidup dalam kondisi perekonomian yang sama di masa konflik. Hanya kondisi kondusif yang membedakan pola hidup mereka. Namun yang pasti perdamaian bukanlah tujuan, melainkan jalan menuju kesejahteraan. Karena tujuan dari satu kehidupan adalah mencapai kesejahteraan. Begitu juga tujuan bernegara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Apabila perdamaian di Aceh tidak mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Aceh, maka perdamaian Aceh dan pemerintahan baru Aceh, hanya mampu mewujudkan Aceh yang kondusif tanpa ada kesejahteraan bagi rakyatnya. ***

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 79-87)