Koresponden Liputan 6 SCTV dan Ketua AJI Banda Aceh
“Aceh tak seksi lagi!” Awalnya ungkapan saya biarkan berlalu begitu saja. Bukan saja tidak penting, tapi meluncur bukan dari orang penting apalagi berpengaruh. Tak lama kemudian saya terhenyak juga dengan ungkapan tersebut. Dalam benak saya sempat berkecamuk antara ungkapan selintas atau ungkapan yang sarat makna dengan memakai istilah sedikit nakal.
Saya berusaha mencari berbagai kesimpulan terhadap ungkapan itu. Antara akal sehat dengan daya imajinasi pun saling berkecamuk. Memang tidak terlalu lama menemukan jawaban tersebut. Ternyata ungkapan tak seksi terkait dengan makin sulitnya jurnalis menyuplai berita atau laporan peristiwa ke redaksi mereka.. Berita ringan atau soft news tidak menarik bagi majikannya. Apalagi, hard news yang banyak dipasok dari daerah lain. Sehingga muncul istilah “Aceh tak seksi lagi!”
Alasan ini diperkuat asumsi para senior di salah satu media. Mereka menganggap pemberitaan terhadap Aceh sudah habis-habisan atau mencapai klimaks ketika tsunami dan setahun perjanjian damai pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Agenda koh beude atau decommismioning dan relokasi TNI/Polri yang berlangsung hingga akhir 2005 silam merupakan akhir dari proses eksplorasi
MERANGK AI K ATA DAMAI
42
berbagai peristiwa di Aceh. Yang terbaru adalah proses pemilihan kepala daerah langsung yang dilaksanakan Desember 2006 silam.
Bisa jadi tak seksi adalah asumsi jurnalis Aceh yang gemar dengan berita tam
tum atau berita berbau rusuh. Sungguh disayangkan, jika format berpikir jurnalis
di Aceh terkontaminasi dengan peristiwa kekerasan dan tragedi kemanusiaan. Kekerasan dan duka lara kerap menjadi berita pilihan dan tak jarang muncul sebagai headline di media kita. Tak heran jika yang menuding bahwa kantor media di Indonesia bahkan dunia hanya tergiur dengan darah dan air mata. “Tanpa darah dan air mata, bukan berita!” Demikian tudingan yang kerap dialamatkan pada media sebelum perjanjian Helsinki .
Benar saja, image ini yang menjerumuskan para jurnalis terpatron pada jurnalisme kekerasan seperti bunyi senjata atau bentrokan.. Petinggi media pun sumringah ketika ada gambar kerusuhan atau peristiwa berdarah. Konon pula ada tragedi kemanusiaan yang memancing emosi pembaca atau pemirsa atau pendengar. Bisa saja para pemilik media berdalih, mereka menerapkan jurnalisme empati yang untuk menggugah penonton. Yang pasti jurnalis dan media sudah bersalah mengeksploitasi nasib masyarakat. Nah, format inilah yang tengah menggelayut para pekerja pers sehingga muncul istilah “Aceh tak seksi lagi!”
Padahal darah dan air mata pasti melahirkan dendam. Istilah darah air mata disingkat menjadi “dam”. Dam dalam terminologi Aceh identik dengan dendam. Jika dendam dipelihara, bukan tak mungkin Serambi Mekkah tinggal nama. Konon, unsur dam yang dibesar-besarkan, maka jurnalis pun tidak hanya mem-blow up
dam tapi juga dendam. Artinya, damai menjadi hal sangat sulit digapai. Karena dam masih belum bisa dikikis malah dipelihara bukan dijadikan pelajaran berharga
untuk memulai kehidupan baru.
Jika fenomena ini dipelihara, jangan salahkan masyarakat jika jurnalis nantinya akan menjadi komunitas provokasi karena beritanya. Bahkan, lebih sadis menjadi provokator akibat laporan kekerasan selalu menjadi sajian infomasi setiap hari. Lalu, ke manakah nurani yang menjadi pijakan jurnalis melaporkan peristiwa mendatangkan dampak positif bagi warga Aceh. Jangan sampai jurnalis melahirkan kelompok jurnalis dendam. Karena dari dam bisa menelurkan damai.
43 Artinya, damai tanpa dam bukan lagi suasana yang berlangsung sesaat, tapi selamanya, selama generasi itu ada.
Damai di sini bukan kepenjangan dari Darah dan Air Mata Anak Isteri atau Darah dan Air Mata Ibu-Anak. Tapi damai yang sesungguhnya. Juga bukan
damee-damee alias boleh lebih kurang. Bukanlah damee-damee sebagai implementasi
dari pelarian dari proses hukum seperti yang disaksikan di jalan raya atau “jual-beli” seperti kasus BLBI yang melibatkan para jaksa agung muda. Kalau damai dijadikan
damee-damee, maka apa pun yang dilakukan menyelamatkan perdamaian bisa
bertahan lama. Muaranya, Aceh terlibat lagi pada konflik yang saya yakini tak akan reda lagi.
Ikrar Lamteh yang pernah lahir pada 8 April 1957 silam, merupakan agenda
damee-damee. Pemerintah Indonesia ingin meredam pemberontakan Teungku
Muhammad Daud Beureu-eh karena kecewa akibat Aceh dilebur dan digabungkan ke Sumatera Utara pada 23 Januari 1951 oleh PM Muhammad Natsir. Natsir bahkan mengumumkan secara langsung peleburan Aceh melalui RRI Banda Aceh. Padahal, provinsi Aceh baru berusia setahun lebih yang didirikan pada tanggal 17 Desember 1949.
Bagi yang pernah merasakan getirnya kondisi mencekam, pahitnya berada di bawah bayang ketakutan. Tak ada yang berharap bahwa suasana demikian hadir lagi dan meramaikan pemberitaan di Aceh. Ingat! Semua sudah lelah dengan perseteruan dan skenario yang menjijikkan. Tak perlu berharap banyak dari pemberitaan kekerasan dan bombastis. Karena konflik Aceh sudah tak lagi jadi komoditi laporan menggiurkan. Bukan hanya untuk luar negeri, dalam negeri pun sudah tak sudi. Jadi, berhentikan berpikir bahwa berita ada jika kekerasan masih terjadi.
Begitu lelah, jurnalis berada di bawah tekanan. Bukan saja, oleh ilegal, kelompok legal pun tak hentinya merongrong media. Sudah banyak korban harga dan jiwa. Tidak sadarkah kita pada pengorbanan teman-teman jurnalis yan telah mendahului. Sebut saja Jamaluddin, kamerawan TVRI Banda Aceh yang ditemukan tak bernyawa, Ersa Siregar yang tertembak dalam kontak senjata. Juga Feri Santoro yang hampir setahun berada di rimba penculikan GAM. Peristiwa menimpa para jurnalis ketika
MERANGK AI K ATA DAMAI
44
konflik dan pemberlakuan darurat militer adalah kenyataan pahit. Darah dan air mata anak atau isteri begitu nyata ketika itu. Belum lagi para pekerja kemanusiaan yang senantiasa terancam jika kekerasan masih saja menjadi brand mark daerah Serambi Mekkah. Biarlah, Aceh ini menjadi darul salam atau negeri damai daripada
darul harb atau negeri perang.
Begitu panjang episode kekerasan di Aceh. Sejak pemberontakan pertama meletus Desember 1976 silam, hanya beberapa saat Aceh ini damai. Masa DOM yang berlangsung pada periode 1989-1998 bukan masa yang indah. Kuburan tanpa nama bertebaran di mana-mana. Pembantaian nyaris menjadi hal biasa dengan dalih penyematan negara. Demikian pula pascapencabutan DOM periode 1999-2005. Ajang pembantaian baru seperti Tragedi KKA dan pembantaan Arakundo atau kasus Bantaqiah muncul. Maka biarkan damai bersemi untuk selamanya bukan sejenak seperti yang terjadi pada masa lalu.
“Memang enak hidup tak damai,“ begitu sindiran anak-anak yang sering terdengar. Bayangkan saja, bagaimana kehidupan malam bisa dinikmati tanpa rasa aman. Tegasnya, kehidupan malam saat konflik bagai barang langka yang tak bisa dibeli. Suasana mencekam, saling curiga dan tanpa tenggang rasa adalah bagian yang selalu mewarnai kehidupan warga Aceh. Jika, damai sudah digapai mengapa harus dilumuri lagi dengan kekerasan?
Jurnalis bukan malaikat atau manusia setengah dewa. Sebagai manusia biasa, dia tak kuasa membendung kekerasan. Jangan lupa, karya jurnalis jauh lebih besar efeknya daripada desingan peluru. Jika peluru bisa membunuh satu hingga beberapa orang, tapi berita bisa membumihanguskan kampung. Toh, masih ada berita seksi lainnya. Jurnalis bisa memilih berita korupsi atau investigasi yang lebih mendalam yang lebih bermanfaat daripada mengeksploitasi kekerasan. Namun, terserah bagaimana jurnalis menyikapi dengan arif. ***