• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perdamaian Itu Seperti Gunung Pasir

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 169-175)

Problem Parlemen

Keberhasilan PA pada pemilu legislatif adalah solusi penyelesaian konflik dan problem sekaligus. Pemandangan DPR Aceh ke depan adalah jawaban yang harus dinilai secara terbuka. Kelompok luar itu (outsider) kini mendarat di tengah jantung

Teuku Kemal Fasya

Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)

Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh

MERANGK AI K ATA DAMAI

156

kekuasaan parlemen. Mereka akan terlibat proses legislasi dan logika administrasi yang rumit, melelahkan, menggoda, serba kuasa, dan bisa mengatur diri sendiri (Selbst-Regulierung).

Bisa jadi problem administrasi akan teratasi melalui up grading atau kursus perumusan anggaran dan tugas kedewanan, tapi seni berdiplomasi tidak memiliki tempat kursus. Dengan menguasai 33 kursi dari 69 kursi, PA pasti berhasil menempatkan kadernya sebagai pemimpin dewan. Hampir final PA akan menggalang koalisi bersama Partai Demokrat yang menguasai 10 kursi. Ini kombinasi parlok-parnas yang akan menjadi kekuatan mayoritas tunggal di parlemen. Duet ini tidak mungkin goyah oleh intrik sepuluh partai lain meski mereka bersatu menggalang mosi atau petisi. Bencana mungkin terjadi jika soliditas fraksi internal retak oleh kepentingan jangka pendek atau peng bicah.

Kemampuan bernegosiasi dan berperan sebagai legislator secara benar adalah “teori” bagi partai yang baru pertama terlibat pemilu ini. Sejarah sebagai pembangkang (dissident) yang keras dan tak suka aturan negara musti dijauhkan. Komunitas PA harus mampu membangun kelembutan dalam berdiplomasi dan berkomunikasi publik. Sebagai pelayan masyarakat, sejuta lebih suara Aceh yang telah menggantungkan kepercayaan pada partai ini patut diterjemahkan dalam kebijakan yang populis dan demokratis. Jika dahulu komunitas ini hidup di belakang retorika “demi kebanggaan bangsa Aceh”, kini kebanggaan itu harus diparut dalam tindakan nyata.

Problem lain yang mungkin berkecambah adalah friksi internal PA. Sejarah PA sebagai organisasi transformasi GAM yang militeris tidaklah sesolid berita yang muncul harian. Sudah lama dawai-dawai konflik mengisi politik internal Komite Peralihan Aceh (KPA), bahkan jauh sebelum muncul kasus “matahari kembar” pada Pilkada Aceh lalu. Peta selisih yang menyejarah itu tidak sepenuhnya menjadi arang. Ia bahkan menjadi tunas yang mekar saat muncul politik kepentingan. Ia seperti benjolan di belakang kepala yang membengkak ketika terjadi tubrukan interaksi personal atau persaingan antarwilayah (Pase - non-Pase, tokoh lapangan - tokoh intelektual, pesisir timur - pesisir barat). Problem ini akan terus muncul ketika kematangan berdiplomasi belum dimiliki.

157

Problem Pasca-Pilpres

Kemenangan SBY 93,2 persen atau tertinggi senasional merupakan hal yang tak pernah diperkirakan sebelumnya. Kemenangan ini sekaligus menguak misteri bahwa perdamaian Aceh adalah pilihan-pilihan yang pragmatis, tidak melulu idealis.

Seperti diketahui, the man behind a robe perdamaian Helsinki adalah Jusuf Kalla (JK) ad persona. Beberapa dokumen menyebutkan rintisan perdamaian Aceh telah dimulai sebelum bencana tsunami. Menurut catatan Farid Husain, salah seorang tim pelobi perdamaian Aceh melalui memoarnya, To See the Unseen : Kisah di Balik Damai

Aceh (2007), rapat-rapat partikelir antara pihak Indonesia dan GAM telah dilakukan

pada akhir tahun 2004 atau pada masa pemerintah masih memberlakukan darurat sipil dan itu sepenuhnya langkah berani JK. Diskusi dilakukan di beberapa tempat seperti di restoran Aceh daerah Benhil Jakarta, di tengah hutan belantara Aceh Utara, Singapore, hingga Swedia dengan tim yang dibentuk tidak secara resmi.

Ketika tsunami muncul sebagai bencana yang meluluh-lantakkan Aceh, level perundingan pun meningkat karena ada tuntutan global untuk percepatan rekonstruksi. Proses dialog pun melibatkan mediator asing. Dialog enam babak dimulai sejak musim dingin (27-29 Januari 2005) hingga musim panas (15 Agustus 2005) difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI) dengan ketua Martti Ahtisaari. Turut juga seorang intelektual-pengusaha asal Finlandia yang telah dipercayai GAM, Juha Christensen, yang lebih lanjut banyak berperan dalam sosialisi di akar rumput melalui lembaganya, Inter-Peace.  

Nota kesepahaman Helsinki adalah berkah perdamaian terbaik bagi Aceh karena telah bertahan hampir empat tahun. Bandingkan dengan tiga kesepakatan sebelumnya: Jeda Kemanusiaan (2000), Moratorium Kekerasan (2001), dan Cessation of Hostilities Agreement/CoHA atau Kesepakatan Penghentian Permusuhan (2002) yang semuanya gagal berumur lebih dari enam bulan.

Namun ide MoU Helsinki bukanlah mekanisme politik baru. Prinsip-prinsip CoHA banyak menginspirasi MoU Helsinki. Namun mata sejarah berkabut menatap masa lalu. Kegagalan CoHA adalah karena terlalu sering muncul perdebatan di media tentang pelanggaran masing-masing pihak yang bertikai. Saat itu tokoh

MERANGK AI K ATA DAMAI

158

yang gencar membangun sentimen-anti perdamaian Aceh adalah SBY (menjabat sebagai Menko Polkam). SBY saat itu menuding pihak GAM tidak fair menjalankan CoHA sehingga mengarah kepada krisis keselamatan negara. Pemerintah juga siap mengancam dengan tindakan tegas untuk menghentikan CoHA (Kompas, 8/5/2003). Langkah tegas itulah yang diartikan sebagai operasi militer terpadu yang menjadi prahara kemanusiaan terburuk pasca-Daerah Operasi Militer (DOM), meskipun pihak yang paling bertanggungjawab adalah Megawati sebagai presiden.

Pada perjanjian terakhir, Helsinki, Presiden SBY juga sempat menolak kehadiran Partai GAM (sebelum diubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri dan terakhir disetujui bernama Partai Aceh). Menurutnya pembentukan partai lokal dari kelompok separatis itu tidak sesuai dengan semangat rekonsiliasi, persatuan, melupakan luka-luka lama, dan kembali ke negara kesatuan R.I (Antara, 10/7/2007). Namun kenyataan ini tidak bersinergis menjadi dukungan bagi JK pada Pilpres lalu. Walaupun kehadiran JK saat berkampanye di Aceh disambut meriah oleh tokoh-tokoh PA, realitas di lapangan sama sekali tidak berbekas. JK hanya mendapatkan suara kurang dari lima persen di Aceh atau terburuk senasional.

Kekalahan telak JK di Aceh mengakhiri politik simalakama, terutama di tubuh KPA. Dukungan KPA terhadap JK adalah simpati bathin dan bukan dukungan zhahir. Hal ini tentu saja terkait iklim politik nasional. Hingga minggu terakhir kampanye Pilpres, kebanyakan hasil survey menunjukkan pasangan SBY-Boedi unggul jauh dari pasangan lain. KPA tentu tidak harus mengambil resiko mendukung calon presiden yang kalah. Lagi pula, secara nasional suara Pilpres Aceh sama sekali tidak signifikan mendorong agregasi suara. Jika pun suara Aceh sepenuhnya mendukung JK itu hanya menambah 1,5 persen suara nasional. Apa jadinya jika Aceh mendukung JK tapi presiden mendatang adalah SBY? Proyeksi inilah yang menyebabkan KPA mengambil langkah pragmatis yang terkesan kacang lupa kulitnya.

Tentu saja pilihan ini pun bukan bersih dari resiko. Berkaca dari “kepribadian” politik SBY di masa lalu, perdamaian Aceh tetap berada dalam godaan jika ke depan parlemen Aceh yang dikuasai PA memainkan politik sentimental yang mengarah pada isu etnonasionalisme, seperti memaksa amandemen UU No. 11/2006 secepatnya atau tuntutan menerapkan prinsip protektoratisme berlebihan atas

159 nama otonomi khusus. Kata self-government yang digaungkan di masa diskusi MoU

Helsinki tidak pernah sepenuhnya diikhlaskan Jakarta. Hal ini dapat memancing perdebatan NKRI vs anti-NKRI yang tidak produktif.

Epilog

Berkaca dari dua kasus di  atas, tersimpul bahwa potensi perdamaian di Aceh pun bisa menjadi racun yang membusukkan perdamaian itu sekaligus. Tentu saja karena situasi sekarang adalah situasi labil pascakonflik karena transisi belum sepenuh-penuhnya hilang.

Demokrasi masih menjadi ajang “coba dan salah”, belum merasuk sebagai ideologi yang diyakini dengan penuh kesadaran. Keamanan dan perdamaian yang dirasakan saat ini adalah momentum pubertas yang lebih banyak dikawal oleh emosi dan bukan rasionalitas. Gagasan reformasi politik dalam konteks perdamaian Aceh, yang seharusnya mengarah kepada hubungan masyarakat (society) dan negara (state), tidak sepenuhnya berjalan secara partisipatif. Masyarakat di Aceh adalah definisi bagi elite politik dan belum berarti seluruh pribadi-pribadi dalam komunitas.

Meskipun perdamaian Aceh seperti gunung pasir yang rapuh, ia adalah referensi terbaik setelah tanah Abu Beureu-eh ini koyak-moyak oleh perang dan air mata selama lebih seratus tahun. Dari sejak gubernur jenderal Hindia Belanda, J Loudon, memaklumkan perang di tanah ini (26 Maret 1873) hingga perdamaian ditanda-tangani di sebuah villa di Vantaa, Helsinki, Finlandia (15 Agustus 2005). Di musim panas yang terasa sejuk di kulit penduduk masyarakat tropis. Di depan sebuah danau, ketika angsa-angsa putih asik melayang-layang di seberang jendela.***

Pendahuluan

Ada yang menilai penyebab terjadinya pemberontakan separatisme Aceh terhadap Pemerintah RI adalah karena perbedaan etnis atau adanya kebencian masyarakat Aceh terhadap masyarakat Jawa yang secara kultur dan etnis memiliki perbedaan. Menurut Heraclides1, pendapat yang mengatakan bahwa separatisme merupakan karakter dari konflik etnis adalah sebuah kesalahan umum. Memang secara identitas fisik, terjadi perbedaan antara masyarakat Aceh dengan penduduk lain di pulau Jawa, Kalimantan atau bahkan Sumatera sekalipun. Tetapi perbedaan identitas itu tidak cukup memberikan eksplanasi umum mengapa Aceh bergolak. Separatisme atau secessionisme terjadi bukan semata karena adanya kesadaran perbedaan identitas kolektif berbarengan dengan adanya diskriminasi dan ketidakadilan dalam negara.2

Korupsi merupakan salah satu penyebab masalah terjadinya ketidakadilan

1 Alexis Heraclides. “The Ending of Unending Conflict: Separatist War”, Millenium;

Journal of International Studies, Vol.26, No.3, (1997), hlm.683

2 ibid

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 169-175)