• Tidak ada hasil yang ditemukan

29pemerintah pusat untuk menuaikan realisasi janjinya tentang keistimewaan Aceh

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 43-47)

Aceh: Sebuah Refleksi Pergerakan dan Masa Depan Perdamaian

29pemerintah pusat untuk menuaikan realisasi janjinya tentang keistimewaan Aceh

Tapi, sekali lagi amat disayangkan, orde baru telah menganggap GAM sebagai pengacau stabilitas keamanan pemerintah pusat di Aceh, sehingga GAM dianggap sebagai gerakan liar yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.

Orde baru, bukan hanya telah menjadikan Aceh miskin secara ekonomi, akan tetapi juga telah membuat Aceh harus menerima resiko miskin secara pengetahuan, degradasi budaya dan adat-istiadat Aceh harus terbentur dengan kebijakan pemerintah pusat, persis sama seperti apa yang digambarkan oleh Samuel Hungtington (1996) dalam thesisnya The Class of Civilization and the

Remaking of the World Order. Untuk membasmi GAM, Pemerintah Pusat Indonesia

telah memberlakan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada sejak tahun 1989 hingga 1998. Buah dari operasi yang dijuluki dengan Operasi Jaring Merah (OJM) ini telah mengakibatkan terjadinya 7,727 kasus pelanggaran hak azasi manusia (human rights) di Aceh (Suraiya, 2001). Pencabutan status darurat militer di Aceh, didasari oleh meletusnya isu reformasi yang mulai digulirkan sejak awal mei, hingga mencapai mencapai puncaknya tuntutan reformasi pada 20 Mei 1998 yang ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter Indonesia. Keruntuhan orde baru, juga bermakna peluang bagi orang Aceh untuk menyampaikan kehendaknya kepada dunia luas. Betapa tidak, orde reformasi telah membuka peluang bagi terciptanya perubahan besar di Indonesia. Sebagai representatif masyarakat Aceh, GAM kembali eksis untuk menuntut keadilan bagi Aceh. Kali ini, GAM bukan sekedar menuntut keistimewaan, tetapi juga ingin membebaskan Aceh dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Referendum yang diusung Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) pada tahun 1998 yang pimpin oleh Muhammad Nazar, telah memperkuat asumsi bahawa lebih dari 85 persen orang Aceh sedang menuntut pemisahan Aceh dari Republik. Ini adalah kemarahan puncak masyarakat Aceh terhadap Republik. Pemerintah pusat seperti cepat lupa, bagaikan “keledai” yang harus jatuh dalam lubang yang sama dalam waktu yang berbeda. Pemerintah pusat tidak ingat akan satu pepatah bahwa “ureung Aceh, meunyoe kateupeh, bu leubeh han geu peutaba.

Tapi meunyo hana teupeh, dumho pih geumaba” (orang Aceh, kalau sudah dibuat

marah, maka nasi lebihpun tidak akan ditawarkan kepada kita. Tapi kalau tidak

MERANGK AI K ATA DAMAI

30

dibuat marah, maka semuanya akan diberikan kepada kita). Nampaknya pemerintah pusat pada ketika itu, sedang tidak dapat belajar dari pengalamannya, ini bermakna sejak Januari 1999 sampai ke November 2003, pemerintah telah mengembalikan Aceh kepada status Darurat Militer, walapun kemudian diturunkan menjadi darurat sipil sejak Mei hingga akhir tahun 2004 yang disebabkan oleh satu kejadian besar yaitu tsunami (Tempo Report, Desember 2004). Konflik bersenjata yang terjadi sejak tahun 1989 hingga akhir 2004, telah menyebabkan 11,214 kasus pelanggaran berat HAM, yang terdiri dari korban pembunuhan, pembakaran rumah, pelecehan seksual, pemerkosaan, penahanan semerta-merta, dan meningggal pada saat perang (ARF Report, Mei 2007). Penghujung tahun ketika itu, tepatnya pada hari minggu 26 Desember 2004, Aceh harus berhadapan dengan bencana besar. Bencana internasional tersebut bernama gempa tektonik dengan kekuatan 8,9 SR yang diikuti oleh tsunami yang meluluhlantakkan sebagian pesisir Aceh. Nampaknya Tuhan telah memberikan teguran besar kepada kita semua, agar praktek homo

homini lupus sesegera mungkin harus ditinggalkan. Tsunami Aceh telah membuat

luka yang belum kering akibat konflik, menjadi tersobek-sobek serta menciptakan kepiluan yang amat dalam bagi Aceh. Tsunami telah menyebabkan 170,000 orang meninggal, manakala 500,000 orang lainnya harus kehilangan tempat tinggaassl mereka (Pemerintah NAD, 2006). Perkiraan atas kerusakan dan kerugian materipun sangat tidak sedikit (loss and damage assessment), kerugian yang dialami secara materil sebanding dengan lima kali bilangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh tahun 2004 atapun mencapai Rp. 29,4 triliun atau U$D 11,5 (Bank Dunia 2005).

Aceh Pascakonflik dan Tsunami serta Upaya Reintegrasi

Gambaran terhadap fenomena di atas, telah membuat hati rakyat Aceh bukan saja tersayat, tetapi hancur. Sebetulnya bukan hanya Aceh yang menangis, namun Indonesia juga menangis, bahkan duniapun berkabung sembari menghening cipta untuk mengenang kejadian yang amat menyayat itu. Konflik dan tsunami, bukan hanya telah membinasakan Aceh secara fisik, tetapi juga mental. Sehingga Aceh semakin tertinggal dalam beberapa bidang penting, seperti ekonomi, pendidikan,

31 kesehatan, hukum dan sosial budaya. Kondisi seumpama di atas tadi, telah membuka hati para pemimpin kedua belah pihak yang bertikai, untuk memikirkan jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik Aceh yang telah lama berlarut. Maka pada tanggal 15 agustus 2005, sebuah perjanjian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah pusat Indonesia telah disepakati di Helsinki Finlandia. Masyarakat Aceh secara umum, menaruh harapan besar pada konsensus tersebut. Tercapainya perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan GAM adalah sebuah rahmat dan kesuksesan besar yang telah dicapai. Konsesnsus ini, tidak hanya diperuntukkan bagi GAM dan Pemerintah pusat semata-mata, akan tetapi juga bagi masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan bahkan lebih dari itu, yakni untuk perdamaian dan keamanan kawasan (Humam Hamid, 2007).

Membangun Aceh pascakonflik dan tsunami, sebetulnya kita tidak sedang berbicara tentang build back Aceh, tetapi lebih kepada build better Aceh. Bukan hanya waktu yang dibutuhkan, tetapi juga tenaga serta biaya yang tidak tergolong sedikit, demi pembangunan Aceh ke depan yang lebih baik dengan tanpa harus kehilangan jatidirinya. Adanya pemerintahan dari unsur rakyat Aceh “tulen” yang ditopang oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka, akan sangat dimungkinkan bahwa pembangunan Aceh dapat diwujudkan secara adil dan merata. Saat ini, Aceh ada peruntukan beberapa sektor penting dari pemerintah pusat melalui UUPA. Peruntukan tersebut mencakupi pembagian hasil migas antara pusat dan daerah, otonomi dalam bidang pendidikan dan kesehatan, otonomi dalam bidang adat-istiadat dan resam serta otonomi dalam pelasanaan syaria’at Islam. Tiga poin penting ini, sesungguhnya dapat dijadikan sebagai modal besar terhadap pembangunan Aceh secara adil dan menyeluruh tanpa harus melahirkan kecumburuan sosial.

Hal lain yang tidak kalah penting dan harus menjadi perhatian utama adalah pelaksanaan reintegrasi Aceh pascakonflik bersenjata yang merupakan salah satu dari point terpenting dari Memorandum of Understanding. Saat ini Aceh telah memasuki tahun keempat bagi sebuah transisi. Maka dengan demikian, pelaksanaan reintegrasi Aceh dengan adil dan bijaksana akan memberikan ruang khusus bagi

MERANGK AI K ATA DAMAI

32

terwujudnya situasi damai Aceh di masa depan. Berbicara damai, sebetulnya bukan hanya sekedar berbicara tentang pemotongan 900 pucuk senjata dan mobililasi militer, akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah, bagaimana mewujudkan tujuan terhadap reintegrasi itu sendiri. Proses reintegrasi Aceh pascakonflik bersenjata secara formal telah dilimpahkan wewenang melalui Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA), namun demikian tetap akan menjadi tanggung jawab masyarakat Aceh secara keseluruhan, untuk mewujudkan Aceh yang damai dan sejahtera. Ditinjau dari tujuannya, maka proses reintegrasi lebih ditujukan kepada tiga hal utama: Pertama adalah berkaitan dengan reintegrasi mantan kombatan GAM ke dalam masyarakat dengan pendekatan ekonomi, sosial dan politik. Ini berarti, mantan kombatan GAM berhak atas uang jaminan sosial, pemberian amnesti dan remisi kepada tapol/napol GAM dan sekaligus pemberian kesempatan kepada mantan kombatan GAM untuk bergabung dalam arena politik lokal dan nasional ataupun membentuk partai baru. Berdasarkan MoU, GAM berjumlah 3.000 orang (Ahmad Farhan, 2006: 203). Kedua, berkaitan dengan reintegrasi Aceh ke dalam Republik Indonesia pascakonflik bersenjata (Aceh re-integrated post conflict). Reintegrasi ini pula dilakukan bagi mengukuhkan patriotisme dan juga Nasionalisme ke-Indonesia-an yang dimiliki oleh rakyat Aceh dengan pendekatan pendidikan sebagai intry point. Ketiga, berkaitan dengan reintegrasi masyarakat korban konflik yang yang ditangani dengan pendekatan ekonomi sebagai entry point.

Salah satu tolak ukur terpenting pencapaian perdamaian Aceh di masa mendatang adalah amat sangat tergantung kepada seberapa efektifnya proses reintegrasi itu dapat diwujudkan dengan seadil-adilnya. Ini artinya, bahwa proses reintegrasi Aceh tidak boleh dijadikan sebagai lencana politik kelompok tertentu, karena erosi integrasi pasti akan terus terjadi, sebab politik tidak punya mata, tidak punya telinga, tidak punya hati. Politik hanya mengenal kawan dan lawan, kalah dan menang, peradaban yang dangkal. Maka reintegrasi Aceh juga perlu menanamkan sikap senses of belonging, dengan rasa saling percaya, sehingga transisi ini akan menjadi modal bagi terbentuknya perdamaian Aceh yang abadi di masa yang akan datang. Amin.***

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 43-47)