• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aceh di Tangan Irwandi-Nazar

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 91-97)

MERANGK AI K ATA DAMAI

78

rakyat Aceh pascakonflik dan tsunami telah diberikan mandat oleh rakyat kepada Irwandi-Nazar (2007-2012). Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar secara mutlak menang saat pemilihan kepala daerah dengan angka 36 persen, menyisihkan 7 pasang calon gubernur lainnya. Mayoritas suara rakyat, memberi mandat upaya perubahan itu kepada Irwandi-Nazar tiga tahun lalu. Tak ada protes dan demontrasi ketika mandat kepemimpinan Gubernur diberikan kepada Irwandi-Nazar. Di kota,

gampong dan jurong, semua menyambut gembira dengan kemenangan mutlak

pasangan independen Irwandi Nazar memimpin Aceh (2007-2012).

Kenapa demikian? Karena rakyat Aceh mendambakan/membutuhkan perubahan yang fundamental, radikal dan tidak dikecewakan lagi. Rakyat Aceh sudah lama sekali menderita akibat ulah politisi, birokrasi dan ulah-ulah manipulasi Jakarta yang membuat mereka terus hidup di ranah kemiskinan. Makanya, rakyat Aceh berharap Irwandi-Nazar dapat membawa perubahan, kebaikan, kesejahteraan untuk semua elemen warganya.

Sekarang, setengah perjalanan kepemimpinan Irwandi-Nazar sudah dilalui. Perubahan apa yang fundamental dirasakan rakyat Aceh. Hanya rakyatlah yang bisa menjawabnya secara objektif. Karena rakyat pula yang memberi mandat kepemimpinan pada mereka.

Kalau membaca dokumen visi dan misi Irwandi-Nazar, terdapat 8 poin besar misi yang harus dihidupkan dalam bentuk action plan pemerintahannya. Secara jujur, saya hanya bisa mengatakan bahwa harapan untuk mencapai perubahan fundamental, radikal pada masa Irwandi-Nazar sebagaimana termaktub dalam dokumen visi dan misinya, ditambah dengan harapan masyarakat, bisa kita katakan tak mengarah kepada perubahan yang signifikan dan fundamental, apalagi radikal.

Namun demikian, setidaknya pengharapan untuk menunaikan janjinya, Irwandi-Nazar masih terbuka peluang dan kesempatan di sisa paruh kedua masa kepemimpinannya. Kalau mampu mereka melakukan penetrasi ke semua lini elemen masyarakat, mereka akan dikenang dalam catatan sejarah pembangunan Aceh kelak. Setidaknya fondasi perubahan telah mereka gagas.

Jika penetrasi tidak mampu dilakukan oleh Irwandi-Nazar beserta dengan kabinetnya, tidak jujur dalam membangun Aceh, mereka juga akan dicatat

79 sebagai pemimpin yang dipilih dengan suara mayoritas namun tak sukses membawa perubahan. Ke depan, mereka tak dipercaya lagi. Itu pasti. Imbas dari ketidakpercayaan terhadap Irwandi-Nazar tentu akan berdampak pada dinamika politik regional di Aceh.

Salah satunya adalah memunculkan segala kesalahan dan kemunduran Aceh di pundak Gubernur dan Wakil Gubernur beserta dengan para pendukungnya yang dimotori oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Di paruh kedua kepemimpinan Irwandi Irwandi-Nazar yang didukung dengan Parlemen baru dari GAM, bila tetap tidak mampu melakukan penetrasi cepat untuk membangun Aceh. Maka tahun 2012 dan seterusnya, baik Irwandi-Nazar secara personal dan GAM secara institutional akan ditinggalkan oleh rakyat Aceh. Irwandi, Nazar dan GAM akan mati suri ditelan bumi. Rakyat tidak memerlukan lagi GAM, karena ketika GAM berkuasa, harapan perubahan itu tak kunjung datang. Rakyat Aceh kembali memilih jalannya sendiri; tak berharap lagi pada cita-cita kebohongan.

Belum lagi, rakyat Aceh saat ini sedang menonton persoalan-persoalan internal Irwandi dan Nazar. Sudah menjadi rahasia di level provinsi bahwa Irwandi dan Nazar sedang berada pada posisi disharmonisasi. Tampak bahwa keduanya memiliki cara pandang yang berbeda dalam membangun Aceh pada paruh sisa waktu saat ini. Terkesan dan rakyat bisa menyaksikan bahwa Irwandi dan Nazar memiliki personal

mission dalam segala kebijakan dan lobi-lobi politik mereka. Rakyat membaca,

misi-misi pribadi dilakukan menyangkut suksesi untuk kepentingan tahun 2012 nanti. Naif memang, itulah politik. Di saat banyak persoalan publik yang tak kunjung selesai, muncul pula sandiwara-sandiwara politik untuk jaringan dan berpihak kepada golongan-gologannya saja.

Seharusnya Irwandi-Nazar harus meningkatkan lagi kerja kerasnya, melakukan advokasi besar-besaran untuk mempercepat lahirnya sejumlah Peraturan Presiden (PP). Karena dengan PP itulah UU Pemerintahan Aceh baru bisa dijalankan. Setelah pengesahan UU Nomor 11 Tentang Pemerintahan Aceh. Pemerintah Pusat baru memenuhi janjinya dengan PP Parlok dan PP Konsultasi. Selebihnya, masih dalam tong sampah Presiden SBY. Sedangkan PP yang sangat dibutuhkan adalah PP Sabang, PP Migas, PP Kewenangan Pemerintah Pusat di Aceh, PP Kerjasama Luar

MERANGK AI K ATA DAMAI

80

Negeri yang menjadi amanah Undang-Undang Pemerintahan Aceh belum juga selesai. Belum lagi berbicara pembebasan Tahanan Politik (Tapol) yang sesuai dengan amanah MoU Helsinki, hilang dalam perbincangan. Dalam kasus ini, dan lainnya Irwandi-Nazar masih memiliki peluang untuk menyelesaikannya, kalau juga tidak, ini akan menjadi preseden buruk bagi Irwandi-Nazar dan pasukan pendukung mereka kelak.

Masalah Warisan

Aceh di tangan Irwandi-Nazar tidak sebatas membawa masalah dari diri mereka sendiri untuk membangun Aceh (2007-2012), tapi juga harus memikul dan melanjutkan masalah warisan dari pendahulu mereka, Gubernur sebelumnya. Simak saja, masalah warisan setumpuk yang harus diselesaikan juga secara bijak oleh Irwandi-Nazar. Bila tidak selesai, sumpah serapah akan dialamatkan kepada mereka. Dari sekian banyak masalah warisan yang harus menjadi prioritas diselesaikan adalah pertama tentu gerakan pemisahan ALA/ABAS. Munculnya gerakan ALA/ABAS adalah buah dari ketidakadilan program pembangunan di Aceh. Irwandi-Nazar tentu harus memikirkan cara, budget dan skenario berkelanjutan supaya gagasan dan gerakan pemisahan wilayah tidak diwujudkan. ALA/ABAS menjadi perhatian besar dalam perspektif politik Irwandi-Nazar, kalau tidak mereka akan diboikot oleh kelompok pendukungnya.

Kedua masalah warisan rekontruksi pascatsunami. Ketika Irwandi-Nazar dilantik

tahun 2007. Rekontruksi sudah berlangsung 2 tahun. Dari segi perencanaan,

budgeting, dan kebijakan tentu mereka tidak mengetahuinya. Di tengah jalan

mereka terlibat. Kemudian sejak Mei 2009 lalu, Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) dibubarkan oleh Presiden RI. Sedangkan pekerjaan rekontruksi ditinggal begitu banyak, persoalan sosial, fisik dan spiritual dibiarkan begitu saja. Sejak pembubaran BRR, otomatis Irwandi-Nazar menjadi leader juga untuk memikirkan hal-hal yang ditinggalkan oleh BRR. Termasuk membentuk BKR (Badan Kelanjutan Rekontruksi). Sungguh berat. Sampai-sampai Irwandi sakit, harus dirawat di Singapura.

81 dari pemimpin sebelumnya. Kebijakan, klasifikasi penerima manfaat yang tidak tepat sasaran menjadi persoalan tersendiri bagi Irwandi-Nazar. Dari dulu sampai sekarang, penanganan korban konflik selalu bermasalah. Terkesan tidak memiliki

blueprint. Lebih parah lagi pada masa Irwandi-Nazar, keberadaan BRA (Badan

Reintegrasi Damai Aceh) dipimpin oleh para mantan kombatan GAM pun tak lepas dari masalah. Karena ini adalah masalah warisan yang diterima Irwandi-Nazar, maka diperlukan konsensus semua elemen rakyat untuk mencari jalan keluar. Kalau tidak, Irwandi-Nazar akan dicaci-maki kemudian hari oleh para korban konflik.

Keempat masalah warisan birokrasi yang amburadul. Banyak dinas/badan

memiliki tugas dan fungsi bersamaan. Lokasi intervensi program juga sama, yang membedakan adalah pemberian nama program. Akibatnya banyak program yang dijalankan oleh birokrat dinas/badan melalui program provinsi maupun pusat, baik fisik maupun pemberdayaan masyarakat terjadi tumpang tindih (double

intervention). Belum lagi berbicara etos kerja PNS, tentu menjadi masalah warisan

yang tak mudah untuk mencari jalan keluar. Di sinilah diperlukan tim penasehat untuk memaksimalkan kinerja-kinerja birokrat di segala level di Aceh.

Kelima komunikasi dengan Jakarta. Karena Irwandi-Nazar menjadi gubernur

melalui jalur independen. Tentu tidak mudah memiliki jaringan komunikasi yang aktif dengan para sekretaris jenderal departemen-departemen di Jakarta. Akibatnya lobi-lobi program dan budgeting menjadi masalah bagi Irwandi-Nazar karena tidak berpengalaman pada sistem administrasi pemerintahan RI. Ditambah dengan masih kentara peran militer dalam komunikasi Aceh-Jakarta. Karena pada tahun 2002-2003 pemerintahan di Aceh dikendalikan oleh militer. Akibatnya, egosentris Aceh-Jakarta menjadi batu sandungan dalam pembangunan Aceh, termasuk pada kemimpinan Irwandi-Nazar. Pada tahun 2009-2012 perlu diperbaiki, supaya komunikasi Aceh-Jakarta maksimal karena ini akan sangat bermanfaat bagi Aceh.

Masih banyak masalah-masalah warisan lain yang tak mungkin diungkapkan satu persatu dalam warkah ini. Namun yang pasti akibat masalah-masalah warisan yang tidak terbaca sebelum Irwandi-Nazar memimpin. Tentu akan menghabiskan energi dan strategi yang harus dilakukan secepat kilat, untuk menyelesaikan masalah-masalah warisan tersebut. Namun strategi cepat tanpa perencanaan

MERANGK AI K ATA DAMAI

82

matang, masterplan, tentu hasilnya juga tidak maksimal.

Ikhtitam

Hal-hal demikian yang harus menjadi catatan bagi rakyat Aceh hari ini bahwa tidak perlu berharap banyak dalam upaya menyaksikan perubahan fundamental, radikal dalam pembangunan Aceh pada masa Irwandi-Nazar. Karena membangun Aceh tidak mudah, Irwandi-Nazar telah membuktikan itu, untung saja mereka tidak melempar handuk putih, tanda mengundurkan diri. Semoga saja tidak hendaknya.

Namun demkian, kita berharap supaya di paruh sisa waktu kepemimpinan Irwandi-Nazar untuk bisa memamfaatkan waktu sebaik mungkin guna merangkul semua pihak dalam membangun Aceh secara jujur dan ikhlas. Salah satunya yang perlu direalisasikan oleh Irwandi-Nazar adalah dengan mengajak para politisi yang telah lengser dari parlemen untuk tetap menjadi timnya dalam membangun Aceh yang lebih baik, jujur, bukan malah menjadikan Aceh sebagai ladang proyek keluarga dan jaringannya. Ini penting dilakukan karena syahwat politisi sangat berpengaruh untuk ”merusak” Aceh di masa Irwandi-Nazar. Apabila mereka tak memiliki tempat yang baik dan terhormat.

Akhirnya, Aceh di tangan Irwandi-Nazar yang semula dipasang harapan besar oleh seantero penjuru, untuk membangun Aceh yang lebih bermartabat, sejahtera, jujur, ikhlas dan adil. Bila itu belum tercapai, waktu berjuang bagi Irwandi-Nazar beserta dengan kabinetnya belum habis. Investasi asing masih terbuka, dengan segala hambatannya. Tapi isyarat bahwa Irwandi-Nazar ”gagal” dalam merealisasi misi dan visinya telah terbaca. Itulah kita manusia. Semua berlomba-lomba menjadi pemimpin. Ketika peluang dan kesempatan diberikan bahaya adoe nibak adun. Tapi yang pasti setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban kepemimpinannya oleh Allah SWT, termasuk rakyat, Anda dan saya tentunya. Wassalam.***

Aryos Nivada

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 91-97)