Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh
Tak ada alasan yang dapat diterima terhadap perilaku kekerasan, entah itu sebagai ekses perang maupun sebagai strategi fasisme dalam melanggengkan kekuasaan. Sebaliknya kekerasan juga tidak bisa dibenarkan sebagai konsekuensi dari gerakan kontrafasisme atas nama perubahan. Yang jelas perilaku kekerasan merupakan kecelakaan sejarah dari praktek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia oleh generasi yang berseteru pada masa itu.
Belakangan wacana antikekerasan cenderung menguat pasca-berakhirnya konflik bersenjata yang disebut sebagai fase transisi menuju kematangan demokrasi. Namun dalam konteks konflik Aceh versus Jakarta, di mana konflik kekerasan telah berlangsung puluhan tahun dan warisan kekerasan terlanjut berurat-akar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, maka sedikit banyak telah mempengaruhi cara pandang berbagai pihak dalam menafsirkan langkah-langkah penyelesaian warisan kekerasan masa lalu tersebut. Bahkan sejak kekerasan itu terjadi sampai dengan empat tahun perdamaian bergulir, penyelesaian warisan kekerasan masih berada pada perdebatan wacana belaka.
Hal tersebut diyakini sebagai gejala normal dalam masa transisi di mana kekuatan
4 Tahun Tanpa Kebenaran
MERANGK AI K ATA DAMAI
74
politik yang ada masih bercampur aduk antara yang pro-HAM dengan kelompok “peragu”. Dengan demikian cukup wajar ketika muncul gagasan konvensional agar energi positif perubahan dimaksimalkan hanya untuk menata masa depan dengan melupakan masa lalu. Kesadaran kelompok ini tentu berangkat dari kekhawatiran terhadap munculnya resistensi oleh sisa-sisa kekuatan politik lama yang merasa dipersalahkan. Di lain pihak terdapat komponen prodemokratik yang berkeyakinan bahwa terlalu sulit untuk memproyeksikan masa depan kalau masa lalu dikubur begitu saja. Karena masa lalu merupakan kehidupan nyata yang dapat diukur dan dinilai secara objektif perihal keunggulan sekaligus kesemrautannya.
Agaknya terlalu rumit untuk meyakinkan semua pihak bahwa kepentingan untuk pelurusan masa lalu bukanlah bertujuan untuk mengungkit dosa-dosa para pihak, mengingat idealnya kebenaran merupakan capaian yang diperoleh melalui proses pengungkapan yang objektif dan transparan, melalui kesaksian, pengakuan dan pembuktian. Dengan demikian kemungkinan mencuatnya kembali identitas korban, pelaku, pola, dan periode kekerasan merupakan fenomena yang tidak terhindarkan dari proses truth seeking (pengungkapan kebenaran).
Padahal secara sosiologis, memori kolektif masyarakat senantiasa terjaga terhadap peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi secara sistemik dan meluas. Misal, peristiwa Simpang KKA, Peristiwa gedung KNPI, Teungku Bantaqiah, Bumi Flora dan berbagai peristiwa lainnya yang terjadi sepanjang periode DOM sampai dengan berakhirnya Darurat Sipil (2005). Melalui obrolan warung kopi maupun cerita keluarga yang disampaikan secara berjenjang ke anak-cucu, ditambah lagi oleh pemberitaan media, dengan sendirinya peristiwa-peristiwa kelam tersebut terus dikenang secara subjektif oleh komunitas Aceh.
Pada situasi ini bukankah kebenaran justru tidak terkelola dengan baik, dan saban waktu dapat dimanfaatkan oleh siapapun untuk kepentingan yang belum tentu konstruktif dengan spirit pelanggengan perdamaian.
Kebenaran versi masyarakat sipil
Menarik ketika mencermati fonomena menguatnya kembali inisiatif sipil dalam mendorong terbetuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh. Inisatif
75 ini telah dilaksanakan dengan berbagai kegiatan yang mulai terkoordinasi dengan baik, minimal di tingkat aliansi sipil dan korban.
Di beberapa kabupaten, lembaga advokasi HAM bersama organisasi korban telah melakukan sosialisasi tentang instrumen hak asasi manusia dan mekanisme penyelesaian HAM, dan ada juga yang melakukan pendataan dan pendokumentasian peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi. Pada waktu bersamaan sejumlah LSM juga telah merampungkan tawaran konsep KKR versi sipil yang telah diajukan kepada otoritas pemerintah daerah. Dan yang lebih menarik lagi, di Aceh Utara saban tahun keluarga korban menggelar doa bersama untuk mengenang tragedi simpang KKA dan tragedi Gedung KNPI.
Inisiatif sipil di atas merupakan indikator kuat betapa kebutuhan untuk meluruskan sejarah secara perlahan mulai menjadi kesadaran publik, artinya meskipun inisiatif formal pemerintah untuk mewujudkan KKR masih terbelenggu berbagai pertimbangan politik dan yuridis, pengungkapan kebenaran tetap berpeluang untuk diterapkan. Paling tidak truth seeking (pengungkapan kebenaran) versi masyarakat sipil Aceh.
Selain alasan di atas, inisiatif pengungkapan kebenaran oleh masyarakat sipil juga didukung beberapa argumen lainnya yaitu; pertama, kemunculan konsep kebenaran dan rekonsiliasi dalam konteks penyelesaian HAM di bebarapa negara merupakan alternatif penyelesaian untuk melengkapi proses yudisial. Konsep KKR juga dikenal memiliki kekhasan tentang bentuk dan kerangka operasional yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Selain itu, proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi juga berbeda dengan mekanisme yudisial yang memiliki syarat dan standar dalam pembuktian serta prosedur legal lainnya.
Alasan kedua, berdasarkan Pasal 100-103 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, masyarakat sipil berhak berpartisipasi daIam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Dengan demikian upaya masyarakat sipil untuk mengungkapkan kebenaran merupakan terobosan menarik yang sah-sah saja dilakukan, selain itu upaya tersebut juga memiliki nilai strategis. Paling tidak dokumen yang dihasilkan dari proses pengungkapan keberanan merupakan sumbangan berharga dalam
MERANGK AI K ATA DAMAI
76
merajut kebolongan sejarah. Dokumen tersebut juga dapat dijadikan referensi alternatif oleh generasi mendatang dalam memaknai sejarah, mengingat selama ini kebenaran sejarah acapkali menjadi monopoli kekuasaan yang tentunya sarat dengan kepentingan politik yang sempit.***
Membangun Aceh pascakonflik (1976-2005) dan tsunami (2004) tidak semudah membayangkan ataupun direncanakan oleh berbagai pihak. Membangun Aceh untuk sejahtera, jaya dan kondusif diperlukan banyak energi, fisik maupun pemikiran yang konprehensif. Salah satu potensi atau kekuatan untuk memajukan Aceh yang lebih baik adalah dengan melakukan konsolidasi rakyat dan melibatkan semua elemen pemimpin Aceh. Mau dibawa keman Aceh ini? Kalau rakyat dan pemerintah tidak solid dan tidak ada satu kata untuk memajukan Aceh, kapanpun Aceh tetap terus terpuruk. Lingkaran segitiga; damai-konflik-kemiskinan, terus menghantui rakyat yang jumlah populasinya 4 jutaan ini nantinya.
Belajar dari konflik yang berkepanjangan dan musibah tsunami yang menakutkan, sudah saatnya semua elemen rakyat Aceh sadar dan bangun dari mimpi-mimpi yang radikal. Untuk menggapai subtansi mimpi merdeka melalui ranah kesejahteraan rakyat, yang kita utamakan. Kita semua mendambakan kemerdekaan itu, bukan kemerdekaan lain.
Rakyat Aceh memerlukan perubahan yang fundamental, radikal, untuk mencapai titik kemajuan dan kesejahteraannya. Tahapan menuju perubahan kesejahteraan
Mukhlisuddin Ilyas
Peneliti dan Penulis Buku Aceh dan Romantisme Politik