• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aceh Baru: Sebuah Wacana Pemikiran

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 135-141)

MERANGK AI K ATA DAMAI

122

dihargai oleh semua elit politik di Jakarta.

Rakyat Aceh sudah sangat lelah dalam konflik, jangan giring mereka kembali untuk berkonflik. Konflik telah membawa kemusnahan serta kesengsaraan bagi rakyat Aceh. Biarlah rakyat mengecapi kedamaian yang ada di Aceh selama ini, mudah-mudahan tetesan air mata rakyat Aceh sebagai tanda kesyukuran sewaktu menyambut penandatanganan MoU Helsinki benar-benar akan melanggengkan perdamaian di Aceh. Kini rakyat Aceh ingin menatap masa depan yang lebih maju sebanding dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara lain di dunia. Maka sudah sewajarnya pemimpin Aceh baik Pemerintah Aceh, DPRA, politisi, KPA, ulama, mahasiswa, intelektual untuk menyatukan langkah membangun Aceh baru yang lebih maju dalam konteks keacehan, keislaman dan demokrasi bukan tatanan Aceh baru yang bersifat cet langet.

Kita memang tidak bisa menyembunyikan keresahan serta kegelisahan selama ini terhadap kemunduran Aceh dari segala aspek bila dibangdingkan dengan bangsa lain. Aceh telah ketinggalan bukan seratus tahun malah seribu tahun untuk bersaing dengan bangsa lain. Ketika bangsa lain telah berpikir untuk menjelajah angkasa luar kita masih berpikir untuk membagi-bagi proyek BRR yang kononnya telah banyak membantu merekontruksi Aceh. Betapa lemahnya kita menghadapi masa depan untuk bersaing dengan bangsa-bangsa yang lebih maju. Ketika bangsa lain berlomba-lomba meningkatkan pendidikan sebagai peneraju kebangkitan bangsa meminjam istilah Melayu. Kita masih lagi berpikir memproyeksikan beasiswa pendidikan dengan alasan untuk meningkatkan pendidikan, sehingga timbul penyimpangan serta unsur nepotisme dalam pemberian beasiswa tersebut. Alangkah sedihnya kita menatap wajah Aceh selama ini yang penuh dengan kesuraman.

Mengapa kita terus mundur dan bagaimana harus membangun Aceh baru yang lebih maju? Pertanyaan ini harus selalu kita pertanyakan pada diri kita yang bergelar orang Aceh sehingga menjadi introspeksi untuk membangun Aceh yang lebih maju. Apakah kelemahan dan kemunduran selama ini kita persalahkan kepada para pemimpin yang tidak memperhatikan nasib Aceh. Atau akibat konflik yang terjadi di Aceh, atau kesalahan kita terlalu open menerima budaya luar dan

123 menghilangkan identitas atau budaya Aceh. Faktor-faktor ini penting menjadi

kajian, sekurang-kurangnya akan membentuk pola pikir orang Aceh untuk menyusun langkah membangun Aceh baru lebih maju. Sebagaimana Aceh lama yang telah pernah mencapai kegemilangan pada masa Sultan Iskandar Muda.

Sejarah telah mengajari kita, sesuatu bangsa yang menjauhkan diri dari budaya sendiri dan menerima budaya asing secara totalitas tidak akan dapat menjadikan bangsa tersebut maju. Turki modern adalah merupakan contoh klasik, Turki memutuskan untuk meninggalkan landasan agama serta akar budaya tradisinya, dan lebih memilih faham sekuler dari barat dengan harapan mencapai kemajuan. Turki tidak pernah mencapai kemajuan yang mereka inginkan. Tapi sebaliknya Jepang telah maju menjadi sebuah negara modern tanpa meninggalkan budaya tradisinya. Masyarakat Jepang sangat bangga dengan tradisi dan budaya mereka. Jepang juga menerima pengaruh barat dalam beberapa hal tertentu, akan tetapi mereka telah mendapatkan kekuatan dasarnya dari warisan budaya tradisinya sendiri yaitu ajaran Zen Buddhism yang menjadi pegangan kuat bangsa Jepang. Sehingga tidak salah mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad melaungkan idenya ”dasar pandang ke Timur” untuk mengajak rakyat Malaysia mencontohi Jepang yang telah berhasil membangun Jepang menjadi sebuah negara maju dengan landasan nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat Jepang

Maka sudah sewajarnya generasi atau pemimpin Aceh mencontohi serta mengalihkan pandangan ke Timur untuk belajar dari Jepang bagaimana membangun kemajuan dengan landasan nilai-nilai tradisi dan budaya. Mungkinkah kita merevolusi sistem yang ada dan kembali kepada dasar nilai-nilai tradisi keacehan untuk membangun Aceh yang lebih maju. Kalau Jepang bisa melahirkan masyarakat yang berpegang teguh kepada ajaran Zen Buddhism, mengapa Aceh tidak bisa melahirkan masyarakat yang memiliki serta berpegang teguh kepada nilai-nilai keacehan dan keislaman. Islam sebagai way of live telah menjadi bahagian hidup masyarakat Aceh. Bukankah landasan ini “adat bak Po Teumeureuhom, hukom

bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana, hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeuet”, cukup kuat bagi kita untuk membentuk masyarakat Aceh

yang kental dengan nilai-nilai keacehan dan keislaman.

MERANGK AI K ATA DAMAI

124

Generasi yang terbentuk dari proses keislaman dan keacehan akan melahirkan generasi Aceh baru yang terpancar jiwa merdeka, sujud, ruku’ dan setia kepada Allah SWT. Bangga berbicara dan mengajari anak-anak mereka dengan bahasa Aceh, memahami nilai tradisi dan budaya Aceh yang terpancar dari nilai-nilai keislaman. Punya komitmen keacehan yang tinggi, kehadiran mereka akan membawa makna yang positif dan mampu bertahan melintasi badai dan taufan sejarah. Inilah sosok generasi Aceh baru ke depan yang mampu kita harapkan untuk membangun Aceh yang lebih maju. Kita mengingikan istilah yang dipopulerkan di Malaysia ”Tak kan Melayu hilang di dunia” akan menjadi motivasi serta spirit keacehan bagi generasi Aceh baru untuk membangun Aceh yang lebih modern ”Tak kan Aceh hilang di dunia”.

Visi ke depan

Prasyarat untuk membangun Aceh baru yang lebih maju memerlukan pemimpin atau generasi Aceh yang mempunyai visi masa depan, bukan pemimpin atau generasi Aceh yang hanya pandai beretorika dengan cet langet akan tetapi kosong dari visi yang berorentasi ke depan. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang memandang jauh ke depan (forward looking). Pemimpin atau generasi yang punya visi masa depan biasanya diartikan ”a mental journey from the known to the

unknown, creating the future from a montage of current facts, hopes, dreams, dangers and opportunities” suatu penjelajahan mental, bertolak dari yang diketahui kepada

yang tidak diketahui, menciptakan masa depan berdasarkan fakta, harapan, impian, bahaya dan peluang yang wujud masa sekarang. Fakta-fakta yang wujud dewasa ini dapat dilihat dan dianalisa sebagai indikasi yang mengisyaratkan apa yang akan terjadi di masa depan.

Bukankah dalam kisah Nabi Yusuf As, telah mengajari kita betapa pentingnya seseorang pemimpin atau generasi yang punya visi ke depan. Bagaimana Nabi Yusuf As dapat meramalkan masa depan ekonomi negara dalam masa empat belas tahun yang akan datang. Setelah melihat berbagai kemungkinan yang akan terjadi, beliau memberi saran tentang perkembangan ekonomi dan berbagai perubahan untuk dihadapi dengan membuat beberapa persediaan. Umar bin Khatab juga pernah

125 berpesan, ” didiklah anak-anak kamu, sesungguhya mereka dilahirkan untuk zaman

yang bukan zaman kamu” kata-kata tersebut merupakan manisfestasi kesadaran generasi yang akan pergi (outgoing generation) tentang perlunya mempersiapkan generasi penerus dengan pendidikan yang futuristik.

Dalam Al-Quran terdapat banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang gambaran-gambaran futuristik. Ayat 45 surat Al-Qamar yang diturunkan di Mekkah menjelaskan nasib yang akan menimpa kaum musyrikin Quraish yang ketika itu masih kuat, golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang (surat Al-Qamar: 45). Penjelasan futuristik adalah bertujuan untuk mempersiapkan mental dan psikologikal generasi sekarang untuk menghadapi perubahan perubahan masa yang akan datang. Demikian juga ketika Al-Quran menjelaskan dalam surat Ar-Rum ayat 1-5, bangsa Rome akan mengalahkan bangsa Parsi. Penjelasan tersebut membuat umat Islam gembira, dalam analisa mereka kemenangan bangsa Parsi akan membawa implikasi buruk terhadap Islam. Umat Islam memang mengharapkan kemenangan bangsa Rome. Keadaan ini menunjukkan bahwa umat Islam, walaupun masih lemah dan kecil pada saat itu, akan tetapi mereka begitu perhatian terhadap perkembangan dunia dan menyadari kesan-kesan positif dan negatif terhadap masa depan.

Jadi jelaslah bahwa, untuk membangun Aceh baru yang lebih maju memerlukan generasi atau pemimpin Aceh yang mempunyai visi ke depan. Ciri-ciri Pemimpin atau generasi Aceh baru yang futuristik adalah: pertama, mempunyai pengetahuan yang lengkap well informed, yang akan mampu mengolah segala informasi dengan kekuatan analisanya serta kemampuan berpikir secara integratif dan konseptual. Kedua, generasi yang bersedia untuk belajar secara terus menerus life–long learning, agar mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia yang secara terus menerus mengalami perubahan. Ketiga, generasi Aceh yang mempuyai kemampuan memprediksi perubahan-perubahan yang akan terjadi serta mempuyai watak kreatif-inofatif dalam menghadapi segala tantangan dan perubahan dunia. Berani bertanggungjawab dalam arti berani mengambil keputusan-keputusan dan dan sanggup menghadapi segala resiko yang akan terjadi. Keempat, memiliki harga diri dan kepercayaan pada diri sendiri yang berlandaskan iman yang kuat. Ciri-ciri

MERANGK AI K ATA DAMAI

126

inilah yang diperlukan bagi generasi Aceh untuk mereka mampu membangun Aceh baru yang lebih maju dan bermartabat.

Bukankah Teungku Hasan di Tiro ketika pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008 juga telah mengajak rakyat Aceh untuk mempunyai visi ke depan dengan mengambil hikmah dari apa yang telah dicapai dalam MoU Helsinki. Dalam pidatonya yang dibacakan oleh Malik Mahmud beliau menjelaskan ” Kami ingatkan, konflik 30 tahun yang disusuli oleh gempa dan tsunami, mengakibatkan Aceh kehilangan segala-galanya, kita sanggup kehilangan masa depan kita. Justru raihlah masa depan kita melalui proses yang telah ditentukan di dalam MoU Helsinki dengan cukup teliti dan berdisiplin tinggi. Dalam perang kita telah sangat banyak pengorbanan, akan tetapi dalam perdamaian kita juga harus bersedia berkorban lebih banyak lagi. Memang, biaya perang sangat mahal akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah perdamaian ini untuk kesejahteraan kita semua”... Mudah-mudahan rakyat Aceh dapat memaknai amanah singkat Teungku Hasan di Tiro untuk memilih generasi atau pemimpin Aceh pada pemilu 2009 yang benar-benar punya visi misi untuk membangun Aceh yang lebih

meugah. Bukan pemimpin atau generasi yang mengatasnamakan rakyat untuk

Kepulangan Tgk Hasan Tiro pada 11 Oktober 2008 mempunyai kesan tersendiri bagi seluruh rakyat Aceh. Selain dapat melihat wajah Wali secara langsung, mereka juga telah mendengar amanah serta nasehat yang disampaikan Wali secara dekat di depan Masjid Raya Baiturrahman. Sesuatu yang sangat didambakan oleh seluruh rakyat Aceh, keinginan mereka telah terkabulkan dengan sempurna. Sehingga tidak heran  mereka begitu antusias datang ke Banda Aceh untuk melihat serta menyambut kepulangan Wali. Peristiwa tersebut bagaikan pengulangan sejarah ketika rakyat berbondong-bondong datang ke Banda Aceh untuk mendukung perjuangan referendum yang digerakkan oleh mahasiswa tahun 1999. Kepulangan Wali seakan-akan telah membangkitkan semangat mereka kembali setelah hilang diombang-ambing oleh gelombang Tsunami pada 26 Desember 2004 yang lalu.

Seluruh kalangan baik di tingkat nasional maupun internasional begitu kagum melihat sambutan yang diberikan rakyat Aceh terhadap Wali. Mereka begitu terkesima melihat rasa takzim rakyat Aceh terhadap pemimpinnya walaupun pemimpin tersebut tinggal jauh di luar negeri. Tapi jiwa mereka bagaikan satu ikatan yang tidak bisa dipisahkan. Sambutan tersebut sekaligus telah menciptakan

Wali dan Perjuangan Rakyat Aceh

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 135-141)