• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lubang Hitam di Era Transisi Aceh

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 147-153)

MERANGK AI K ATA DAMAI

134

pelaksanaan perdamaian di bawah pemerintahan baru. Kalau tidak, akan terus menjadi objek provokasi orang yang tidak ingin Aceh damai, karena “hudép prang

dengòn taki, dan hudép kheunduri dengòn do’a, (berjalan perang dengan siasat

gerilya, dan berjalan kenduri/pesta dengan doa).

Barangkali bisa kita simpulkan bahwa, Serambi Mekkah kini telah tiba pada suatu hari yang biasa, pada suatu ketika yang telah kita ketahui. Apakah kita akan bisa minum susu dan tertidur dengan lelap, inilah pertanyaannya.

Damai Aceh telah berlangsung empat tahun yang lalu, kedua pihak telah melakukan kewajibannya masing-masing. Upaya demi upaya terus dilakukan untuk mensosialisasikan, implementasi serta menjalankan hasil kesepakatan bersama, termasuk dalam menyukseskan pemilihan kepala daerah (pilkada) 11 Desember 2006 dan pemilihan umum 9 April 2009 lalu.

Pelaksanaan Undang Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) pun telah dirumuskan dalam paket Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006, walaupun masih ada pasal-pasal dan poin-poin yang menjadi harus diamandemenkan. Ini merupakan ruhnya bagi Pemerintahan Aceh ke depan demi mewujudkan proses damai yang hakiki dan berkelanjutan, setelah hal-hal yang masih krusial diamandemenkan, seperti penegasan tentang pembagian kewenangan serta kekuasaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Aceh, Pengadilan HAM, begitu juga dengan point-point lain, seperti pasal 4 UU PA, butir 1.1.2 huruf (a) MoU Helsinki, pasal 7 ayat 2 UU PA, butir 1.1.2 huruf (a) MoU Helsinki, dan lain-lain sebagianya.

Ini merupakan bagian dari tidak optimalnya penanggungjawab Aceh dalam mensosialisasikan sikap anti kekerasan dan cinta damai kepada masyarakat yang menjangkau ke seluruh pelosok desa. Padahal, kesempatannya sangat terbuka, termasuk melalui pendidikan sekolah. Ada baiknya, pihak pemerintah daerah (Pemda) memprogramkan mata pelajaran baru dalam kurikulum pendidikan. Program yang dimaksud tentunya muatan lokal baik bahasa daerah, peradaban dan peradatan daerah maupun yang berkaitan dengan kedamaian serta hak asasi manusia (HAM).

Pasca-Aceh Monitoring Mission (AMM) habis masa tugasnya, sosialisasi atau kampanye damai jarang dilakukan. Berbagai bentuk workshop dan training yang

135 dilakukan tidak pernah berkaitan dengan perdamaian.

Dengan demikian, kini kita singsingkan lengan baju serta langkah serentak untuk membekali definisi damai kepada masyarakat agar damai bisa bertahan, baik lewat media, workshop, training dan sekolah. Minimal, harapannya generasi muda kita ke depan tidak mengalami degradasi moral serta paham tentang anti kekerasan dan cinta damai. Dalam hal ini juga, para stakeholders harus menyiapkan kerangka-kerangka kausalitas dengan mengidentifikasikan cikal bakal potensi konflik baru, selanjutnya segera ditutupi.

Potensi konflik ini tidak hanya saja muncul dalam persoalan konflik langsung

(direct conflict), tapi juga konflik yang tidak langsung (indirect conflict). Tak lupa

mengenai sosial, ekonomi dan budaya, pepatah Aceh mengatakan “Ureuëng aréh

hantom kandjai, ureuëng meu-akai hantom binasa, (orang yang arif tidak pernah

rugi, orang yang bisa berpikir tidak pernah binasa).” Mungkin dengan beberapa narit

éundatu menjadi pelajaran bagi kita untuk memberi konstribusi bagi perdamaian

ini agar tetap sejati dan utuh.

Potensi konflik baru

Potensi munculnya konflik baru belakangan dipicu oleh belum tuntasnya pelaksanaan proses damai, ketersediaan dana reintegrasi, jaminan sosial bagi masyarakat dan kemudahan ekonomi serta akses kesehatan yang merupakan kebutuhan utama, masyarakat belum menerimanya pemenuhan hak keadilan dan penjagaan harga diri, serta kapasitas kelembagaan pemerintah yang belum memadai juga perebutan kekuasaan dalam kancah politik nasional dan lokal.

Belum lagi dari kesenjangan sosial yang lahir antara korban konflik dan korban tsunami, gesekan antara pengikut partai politik nasional dengan partai politik lokal menjelang dalam pemilu 2009. Konkritnya adalah, dalam pembagian kompensasi nilai politik antara elit, sebagai bukti kita telah melihat kasus-kasus penolakan terhadap keputusan hasil pemilu 9 April 2009 yang lalu, kendatipun selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Sebagai langkah antisipatif kemungkinan-kemungkinan di atas, pemerintah pusat dan daerah serta semua stakeholders harus mengarahkan komunitas

MERANGK AI K ATA DAMAI

136

masyarakat untuk anti kekerasan serta cinta damai, setiap upaya konflik serta pelakunya adalah musuh bersama. Format yang partisipatif dari masyarakat dalam mengatur strategi serta mekanisme keamanan di setiap gampong, terutama dengan memperdalami hukum-hukum adat. Dalam hal ini juga dibutuhkan kepastian hukum yang memunculkan mekanisme rekonsiliasi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang belum tuntas dengan model bebas intervensi, serta rehab rekon berversi perdamaian.

Negara Vs Masyarakat

Tidak banyak orang yang membayangkan bahwa, reformasi untuk demokrasi akan membawa perubahan penting pada peran partai politik ke depan dan lahirnya berdasarkan dorongan banyak elemen. Memang secara umum kepercayaan yang berkembang adalah suatu insfrastruktur politik baru sangat dibutuhkan oleh proses demokrasi dan spirit perdamaian yang abadi. Artinya, sebuah perubahan politik yang lebih mendasar merupakan istilah awal yang dipercayai sebagai tuntutan dalam perubahan yang dimaksud.

Suatu observasi wacana dominasi tentang reformasi yang merupakan fenomena elektrik di sepanjang akhir tahun 1997 dan sepanjang tahun 1998 mengasumsikan masalah terpokok bagi sebuah perubahan di Indonesia terdapat pada negara

(state) dan bukan masyarakat (civil society). Kekuasaan yang korup, sentralistik, dan

pengabaian terhadap hak-hak sipil serta politik rakyat, misalnya dipandang sebagai sumber utama dari berbagai persoalan yang melilit Indonesia.

Datang dengan gagasan “reformasi total” telah beroperasinya gerakan yang menuntut perubahan melalui tema-tema demokrasi, HAM, keadilan, rule of law, civil

supremacy dan clean government and good government, walaupun sebagian besar

tidak mempercayai pada sikap revolusioner, akan tetapi semua ini harus diarahkan kepada proses perdamaian lanjutan di Indonesia, khususnya dalam penyelesaian konflik Aceh yang sedang dalam masa perdamaian.

Walau datang dari berbagai latar belakang, namun dalam satu wujud yaitu, wujud perdamaian yang kini sedang dirilis memalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Memang, penegasan partai politik

137 bahwa, organisasi politik dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara

sukarela atas dasar kebersamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat dan negara melalui pemilu yang termaktub dalam pasal 1 Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 dan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008.

Padahal, mandat MoU Helsinki menegaskan tentang pembentukan partai politik lokal untuk memberikan konstribusi besar bagi calon-calon pemimpin Aceh ke depan. Intinya, semua pihak harus bekerja keras demi kelangsungan pemilihan umum (pemilu) tahun 2009. Mengingat sebelum pemilu berlangsung banyak kasus yang muncul tanpa dalih. Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh proses damai Aceh kini kembali membangkit intifadah baru, dengan asumsi untuk merongrong keberlangsungan damai.

Pihak yang bertindak sebagai pelaku perang kini telah berbalik tangan, senjata dijadikan pena. Hal akan mengingatkan kita pada satu pepatah eundatu yakni,

Njankeuh, pat udjeun jang hana pirang, pat prang jang hana reuda (Inilah, hujan

mana yang tak teduh, perang mana yang tidak reda). Rasa terimakasih kita kepada Allah swt yang telah memberikan kita penuh rahmat dan nikmatnya dalam masa damai Aceh, harus kita tampilkan, begitu juga kepada pihak-pihak yang telah menyukseskan proses ini.

Terimakasih Kepada Stakeholders

Setelah keikhlasan semua elemen dilahirkan dalam memelihara damai di Serambi Mekkah ini, proses demi proses pun silih berganti. Katakan saja soal pemilihan, baik pemilihan kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota, pemilu dan pemilihan presiden pun berbeda. Itu tentu sebuah perkembangan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Inilah namayan, metuka thôn meu-laen udjeun, meutuka

djameun ka laén tjara (berganti tahun lain hujannya, berganti zaman juga lain

caranya).

Setelah perang reda serta zaman berganti, keihklasan pun berubah dalam waktu yang bersamaan. Ikhlas menjaga perdamaian, ikhlas pula dalam memilih pemimpin. Alhamdulillah, masyarakat di Aceh dan Indonesia tidak salah pilih, kita

MERANGK AI K ATA DAMAI

138

berharap kepada mereka-mereka yang terpilih tidak asal bicara, karena yang rakyat butuhkan adalah kerja nyata. Kita tidak mengharapkan pemenang baik partai politik nasional maupun partai politik lokal yang lahir dari rahim MoU Helsinki akan keok dengan janjinya sendiri. Tentu saja itu semua tidak terjadi, jangan sampai terjadi tjèt langet!

Kenapa jangan tjèt langet? Keterpurukan Aceh pascakonflik dan bencana sangat jelas, maka tidak perlu bernari-nari di punggung rakyat, baik dengan dalih korban konflik maupun korban bencana yang berasumsi demi kepentingan rakyat. Padahal, yang terjadi di lapangan terhadap rakyat adalah “demikianlah…!”

Perjanjian Helsinki telah melahirkan banyak kemudahan bagi elemen masyarakat Aceh, antara lain proses pemilu 2009 telah berhasil dan dimenangkan oleh Partai Aceh, partai made in ex combatan. Mulai kini, diharapkan Aceh akan berada dalam suasana yang penuh idaman dan harapan, pemenang pemilu bisa selalu peka, mampu berbicara dan menulis tentang ketidakadilan dalam lingkup publik serta mengutarakan ketertindasan sekali menjadi solusi dalam penyelesaian.

Dalam teori perpolitikan dan teori-teori lainnya, jika disikapi secara positif, semakin banyak kompetitor, maka sebaik-baik pelayanan yang dinikmati oleh publik. Apalagi, nantinya hanya satu jurus yang akan ditampilkan, yaitu berjuang untuk kepentingan rakyat Aceh di bawah paying perdamaian.

Harapan kita untuk ke depan, semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari berbagai partai politik yang ada agar bisa bekerjasama dengan baik demi kepentingan Aceh dan rakyatnya. Sisi ini barangkali harus dijadikan komitmen para wakil rakyat masing-masing, mengutip satu iklan minuman bahwa, “ngomong

boleh apa saja, tapi minumnya tetap teh sosro,” agar negara (Aceh) diuntungkan dan

kita pun diuntungkan.

Sebagai natijah dari tulisan ini, kembalikan Aceh ke asalnya dengan keikhlasan dalam menjaga proses damai yang telah disepakati dalam Perjanjian (MoU) Helsinki, Finlandia kinerja para angota dewan ke depan bisa menjadi ubat peunawa Aceh yang sudah lama terluka.

Sejarah panjang tentang Aceh bukan saja pergolakan dengan kekerasan yang muncul di permukaan tapi sebenarnya perebutan terhadap alam yang berlimpah dengan isinya dan juga perdamaian di atas kertas terhadap pengakuan kebesaran Aceh. Celakanya damai dan perang bagaikan roda berputar. Ada kearifan lokal yang dapat menyelesaikan berbagai perkara dalam kehidupan masyarakat di Aceh lewat adat yang bersendikan syariat.

Aceh bukan hanya sekarang sebagai sebuah peradaban yang hanya dikenal dengan perlawanan masyarakatnya akan tetapi bagaimana peradaban, ilmu pengetahuan dan berbagai kreatifitas masyarakatnya menjadi suatu yang sangat menarik untuk dikaji, diteliti lebih lanjut. Dukungan Sumber Daya Alam yang sangat berlimpah ruah menjadi Aceh sebagai sumber kehidupan  yang sangat menjanjikan bukan saja terhadap orang Aceh namun juga terhadap bangsa luar yang telah singgah lewat pelayaran di masa lalu seperti portugis dan berdiam di Aceh.

Dalam perjalanan laut sejarah bangsa-bangsa besar dunia ini pasti ada persingungan Aceh dengan kekuatan dan pemaksaan terhadap nilai-nilai yang diyakini ada pula penyelesaian lokal yang memang menjadi landasan “hukum’

“Ulon peu troeh sigoe teuk bak droeneuh adak beusingeh ulon woe bak Allah,

dame njoe neujaga, dame nyoe beuneupejak,

beu jroeh keu geutanyoe mandum sampe keu aneuk tjutjo”

(Dr. Muhammad Hasan - Gema Damai

Nomor 4 Minggu II Desember 2008 hal 7-11)

Yunidar Z.A

Dalam dokumen Merangkai Kata Damai (Halaman 147-153)